Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri.
Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamar. Dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya yang juga sudah terjaga beberapa menit lalu.
Hampir satu jam lamanya Binar hanya berdiri terpaku di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa lama dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini.
Detak jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur memaksa Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasanya paling match dengan baju itu.
Dalam ingatan wanita yang kini tengah menginjak 30 tahun itu, dress dengan setelan blazer pilihannya itu dulunya sepertinya sedikit longgar di badan. Tapi sekarang baju itu menjadi sangat pas sekali dipakainya. Sepertinya dia memang sudah bertambah gemuk saja.
"Mainan pesawat Aaron dimana, Sayang?" Sebuah suara dari luar kamar sedikit mengagetkannya. Itu Dhimas Haninditya–sang suami–yang sedang bermain dengan anak semata wayang mereka di ruang tengah.
"Ada di kotak mainan kayaknya," sahut Binar asal.
"Kok nggak ada ya. Sudah aku cari di sana barusan." Suaminya kembali menyahut dari luar kamar.
Binar menghentikan sapuan bedak di pipinya. Dahinya mulai berkerut, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya malam sebelumnya dia telah merapikan semua mainan anaknya dan memasukkannya ke dalam kotak. Kenapa Dhimas bilang tidak ada?
Hari itu Binar benar-benar sedang sangat terburu-buru. Rasanya tidak akan cukup waktu jika harus ikut mencari benda itu. Tangannya pun segera bergerak cepat memoles tipis lipstik berwarna nude di bibirnya, sementara pikirannya sibuk mengingat-ingat keberadaan mainan anaknya.
'Ah iya!' Tiba-tiba dia memekik pelan. "Di kamar Aaron, Mas. Semalam dia bawa mainan itu pas mau tidur!" ucapnya dengan nada lega.
"Dimana, Sayang?" Dhimas rupanya tidak mendengar apa yang diucapkan oleh istrinya. Dia berinisiatif melongok ke dalam kamar. Namun lelaki itu justru kaget melihat Binar yang sudah rapi dengan pakaian kerja.
"Kamu mau kemana?" tanyanya penuh selidik. Tampak jelas raut tidak suka melihat istrinya sudah bersiap pergi sepagi itu.
"Maaf Mas, aku belum sempat kasih tahu kamu. Semalam waktu aku dapat email, kamu sudah tidur. Hari ini aku ada panggilan wawancara kerja. Jadi aku minta tolong jagain Aaron sebentar ya, Mas?" pintanya penuh harap.
"Apa?! Kerja? Kamu ngelamar kerja maksudnya?!" Raut kecewa langsung terpasang di wajah Dhimas.
"Maaf ya Mas, aku belum sempat bilang. Aku takut kamu nggak ngijinin. Makanya aku masih cari waktu yang tepat buat ngobrolin ini," ucapnya dengan wajah memelas.
Dhimas bukannya tak tahu masalah yang sedang mereka hadapi. Sudah hampir dua tahun dia menganggur dan itu yang selalu jadi topik perdebatan di antara keduanya. Bukan satu dua kali Binar menawarkan diri untuk mencari kerja, tapi Dhimas selalu melarang. Toh selama ini dia selalu berusaha memulai bisnis ini dan itu, walau hasilnya selalu nihil. Bahkan seringkali rugi. Bagi Dhimas itu bukan masalah. Orang tuanya masih bisa mensupport segala kebutuhannya dan keluarga kecilnya. Sayang, Binar tidak bisa menerima itu.
“Memangnya belum cukup ya uang yang aku kasih ke kamu tiap bulan?" Dhimas terlihat mulai gusar.
"Bu-kan gitu, Mas. Cukup kok, uang yang kamu kasih itu cukup. Tapi kan kebutuhan kita makin hari makin banyak. Lagipula, aku nggak mau terus-terusan jadi beban orang tua kamu, Mas." Binar menatap suaminya dengan wajah yang sama ketika mereka membahas hal yang sama lagi berulang kali selama ini. Nelangsa.
"Jadi kamu keberatan menerima uang bantuan dari orang tuaku?" Dhimas menghela nafas panjang. Sebenarnya Dhimas tak perlu bertanya, karena dia selalu tahu jawaban atas pertanyaan itu. "Itu kan hanya sementara, Binar. Setidaknya sampai aku dapat kerjaan lagi. Kamu kan bilang, kamu butuh uang buat belanja bulanan. Apa salahnya sih terima bantuan dari mereka dulu? Toh, mereka nggak keberatan bantu kita." Dhimas bersikeras.
"Iyaa, aku tahu Mas. Bapak sama ibu memang tidak akan terbebani dengan itu. Tapi … plis, kamu juga tolong ngertiin aku. Aku nggak enak hidup kayak gini terus, Mas. Aku nggak mau keluarga kita terus-terusn jadi beban buat mereka."
Dhimas menarik nafas berat. Dia bukannya tak berusaha mencari kerja. Bahkan entah sudah berapa banyak modal yang diperbantukan kedua orang tuanya untuk mendukungnya memulai usaha. Tapi semua yang dia lakukan selalu gagal. Entah apa yang salah dengan dirinya. Dia tak tahu kenapa begitu susah mencari pekerjaan untuknya beberapa tahun belakangan.
"Kita bicarakan ini nanti lagi aja ya, Mas? Sekarang aku buru-buru banget. Jadwal interviewnya jam setengah 9. Aku takut telat. Tolong jagain Aaron sebentar ya, Mas?" Binar bergerak cepat mencium punggung tangan suaminya, lalu mengecup kedua pipi lelaki itu setelah sebelumnya menyambar tas kerja dan map berisi resume yang sudah disiapkannya malam sebelumnya.
Dhimas yang masih belum siap dengan semua itu tampak hanya terbengong di tempat. Sebagai lelaki, hatinya tercabik melihat istrinya berpakaian rapi dan pamit ingin menghadiri wawancara kerja. Namun, apa yang bisa dia lakukan saat ini untuk mencegah Binar yang dia tahu sudah memendam gejolak beberapa tahun belakangan?
Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok di antara perbukitan yang diselimuti kabut tipis. Dari jendela mobil, Binar melihat hamparan kebun teh terbentang sejauh mata memandang, hijau dan tenang, kontras dengan kegelisahan yang ia rasakan di dadanya. Aroma tanah basah masuk melalui celah kecil ventilasi, mengingatkan pada pagi-pagi masa kecilnya, saat ia masih berlari di jalan berbatu desa itu.Abidzar melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Kapan terakhir kamu pulang?” tanyanya.Binar tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Ia langsung menunduk. Jemarinya meremas pangkuan, suara mesin mobil terdengar lebih keras daripada detak jantungnya sendiri. “Sudah… sangat lama,” jawabnya pelan. “Sejak aku menikah.”“Kenapa?” nada suara Abidzar terdengar datar, tapi ada sesuatu di baliknya. Rasa ingin tahu yang sengaja ditahan agar tidak terdengar seperti interogasi.Binar menelan ludah, menatap keluar jendela. Pemandangan indah itu mendadak terasa asing. “Aku ikut suamiku. Hi
Pagi itu, di ruang tamu rumah, Binar menatap Dhimas dengan mata yang berat. Tangannya menggenggam tas kerja yang belum sempat ia siapkan sepenuhnya, sementara Dhimas berdiri di hadapannya dengan senyum mengembang. Bukan senang karena istrinyaakan pergi, tapi lebih ingin menyemangati.“Nggak ada yang ketinggalan kan, Sayang? Ayo dong yang semangat, jangan lesu gitu,” suara Dhimas ringan.Binar menelan ludah. “Sudah kok, Mas. Maaf ya harus ngrepotin Mas dengan Aaron.”“Ngomong apa sih, Sayang? Nggak repot. Kamu have fun ya, nikmati aja, anggap liburan.” Mata Dhimas mengerling. Lalu merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. “I will miss you,” bisiknya lembut di telinga Binar. “Aku janji akan langsung balik setelah sampai kantor, Mas.”Dhimas mengangguk. “Oke… hanya dua hari kan? Kamu hati-hati ya, Sayang.” Dhimas merengkuh makin erat, mencium kening istrinya dalam dalam, lalu melepaskannya dengan senyuman. Binar hanya tersenyum tipis, tak paham kenapa merasa ada hal yang mengganjal di dad
Beberapa hari berlalu setelah makan siang itu. Binar merasakan suasana yang berbeda. Abidzar sama sekali tak menghubunginya, pun tak ada panggilan untuknya pergi ke ruangan direktur. Bahkan, sekali waktu dia pernah berpapasan dengan lelaki itu di koridor, tapi Abidzar tak merespon sapaannya. Ia sekadar melirik, lalu melangkah cepat, seolah Binar tak lebih dari kursi kosong di sudut ruangan.Koridor kantor terasa asing dalam diam yang mendadak tercipta. Derap sepatu Abidzar yang biasanya membuat jantung Binar berdegup kencang kini hanya lewat tanpa menorehkan jejak apa pun. Kelegaan menyelinap, tapi entah kenapa ada ruang kosong di dadanya, seakan sesuatu yang dulu menakutkan kini malah menyisakan kehampaan.Tiba-tiba Binar merasa asing. Seperti ada yang hilang. Namun bersamaan dengan itu, ada kelegaan telah terbebas dari tatap intimidasi Abidzar. Binar sempat berpikir, mungkin pria itu tak lagi penasaran padanya setelah pertanyaan-pertanyaan pribadi di makan siang hari itu, hingga kem
Langkah kaki Binar terasa berat memasuki gedung kantor pagi itu. Aroma khas pengharum ruangan mewah yang beberapa hari ini menenangkan, kini tak mampu mengusir resah di dadanya. Jemarinya menggenggam erat ujung tas kerjanya, seolah benda itu bisa jadi perisai dari segala kemungkinan buruk yang menantinya. Hatinya terus menimbang, apakah hari ini Abidzar akan kembali membuatnya sesak?"Pagi, Binar," sapa Mili dari meja sebelah, suaranya ringan seperti biasa, sumringah. Binar sempat berpikir mungkin gadis itu sedang jatuh cinta."Pagi," jawab Binar lirih, mencoba tersenyum walau bibir terasa kaku.Mili mencondongkan tubuh sedikit, suaranya diturunkan. "Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?""Nggak. Nggak apa-apa kok, Mil." Binar buru-buru menjawab, lalu menyalakan komputer di depannya. Ia tidak ingin membiarkan ketakutannya terbaca, bahkan oleh Mili yang paling dekat dengannya di kantor itu.Namun kegelisahan itu tak bisa begitu saja ditekan. Setiap suara langkah berat di lantai membuatnya m
Binar menapaki tangga menuju basement dengan langkah ragu. Gema langkah kaki di lantai marmer membuatnya semakin waswas. Ponsel di sakunya terus berdering dari satu menit yang lalu, tapi ia tak berani mengangkat. Perasaan aneh menghantui, seperti sesuatu yang tak terlihat mengawasi setiap gerakannya.Di salah satu sudut parkiran, sosok tinggi tegap nan tampan itu sudah menunggunya. Abidzar berdiri di samping mobil mewah berwarna metallic, tangan mengepal di saku celana. Jas abu gelap rapi menempel di tubuhnya, memancarkan wibawa yang menusuk relung hati Binar. Mata tajamnya seolah bisa menembus isi pikiran. Bahkan dalam jarak beberapa meter, aura arogan pria itu membuat Binar ciut nyali.“Lama sekali.” Suara Abidzar berat, terkesan menggerutu, tanpa senyum. Tak ada sapaan hangat, hanya terdengar seperti otoritas yang mengancam.“Ma-maaf, Abi. Eh, maksud saya, P-pak. Tapi ini sudah jam pulang. Apa ada hal yang masih harus saya kerjakan?” Binar berusaha berucap pelan, menatap lurus ke w
"Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep