Binar masih sibuk dengan layar di depannya saat pesawat komunikasi internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi.
"Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili.
Usai meletakkan alat komunikasi itu, Mili terlihat sibuk lagi dengan layar di depannya. Lalu terdengar juga dia menelpon seseorang dengan nada serius. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat gadis itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi.
Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega.
Namun hal itu tak berlangsung lama, karena kemudian alat komunikasi di meja Mili berdering lagi. Binar menyaksikan wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu.
"Ada apa?" tanyanya hati-hati.
"Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai.
"Ooh." Binar hanya mengangguk.
"Nggak usah kaget, Binar. Apa saja pekerjaan kita akan selalu salah di mata dia. Tapi nanti kamu akan terbiasa. Yang penting jangan membantah. Kalau dimarahin, dengerin aja, iya in aja, beres," jelas Mili sembari terkikik pelan.
"Oke." Binar malah mendengarkan penjelasan rekan kerjanya itu dengan mimik serius. Mendadak dia tidak yakin akan bisa melakukan segala sesuatu se-cekatan Mili.
Dia melihat Mili sudah sangat mahir dalam pekerjaannya. Entah sudah berapa lama dia bekerja di tempat itu. Sambil ngobrol, Mili bisa melakukan apa saja dengan sesuatu di depannya, termasuk ngemil makanan ringan yang disembunyikan di salah satu file cabinet di atas meja. Tingkahnya memang sangat lucu, tapi terlihat sekali dia sangat pintar.
"Sebelum di sini kamu kerja dimana sih?" Tiba-tiba Mili mengajaknya ngobrol lagi. Mulutnya bahkan masih penuh dengan makanan, sementara jari-jarinya sibuk di keyboard komputer.
"Aku udah lama nggak kerja. Di rumah aja ngurusin anak," jawab Binar lirih.
"Hah?!" Mili nyaris tersedak mendengar jawaban itu. Saking kagetnya, sampai-sampai beberapa file yang ada di atas mejanya jatuh berserakan di lantai akibat gerakan tangannya yang refleks.
"Anak?" Dahi Mili berkerut parah, menatap Binar tidak percaya setelah selesai membenahi barang-barangnya.
"Iya, Mil. Ada apa memangnya?"
"Kamu sudah punya anak? Sudah menikah, gitu maksudnya?"
"Iyaa … memangnya kenapa sih, Mil?" Binar yang melihat reaksi berlebihan Mili, justru dibuat penasaran.
"Astagaaa!" Mili meletakkan berat tubuhnya ke sandaran kursi kerja dengan salah satu tangan menepuk dahi. "Jadi gosip itu benar?" gumamnya kemudian, seperti sedang bertanya pada diri sendiri.
"Gosip? Gosip apa, Mil?" Binar kebingungan dengan pernyataan Mili.
"Gosip kalau kamu punya hubungan spesial dengan big bos. Itu benar ya?" Mili makin serius.
"What?" Kali ini ganti Binar yang kaget luar biasa. "Hubungan? Hubungan apa maksudnya? Aku aja belum pernah ketemu sama bos kok."
Oops! Binar buru-buru menutup mulut dengan telapak tangannya. Tiba-tiba dia takut salah ucap.
"Jangan bercanda kamu, Binar!" Mili menatapnya penuh selidik.
"Ya Tuhan, Mil. Beneran, aku nggak ngerti apa yang lagi kamu omongin."
*****
"Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah.
"Iya maaf, Mas. Tadi aku sudah kirim pesan kan kalau langsung kerja hari ini?"
"Sampai jam segini pulangnya?" Dhimas tak menyahut, tapi malah lanjut memprotes. Arloji di tangannya sudah menunjuk pukul 7 malam. Dia benar-benar stress menunggu istrinya tak pulang seharian.
"Nggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 4. Tapi nunggu taksi online nya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium punggung tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, Aaron terlihat masih asik di depan TV.
Melihat kedatangan Binar, anak dua tahunan itu langsung menghambur ke pelukan sang ibu. Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah.
"Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat masih kesal. Bahkan setelah akhirnya Binar membersihkan diri, makan, dan selesai menidurkan Aaron, Dhimas masih saja enggan mengajaknya bicara.
"Kenapa sih, Mas, kok diem aja dari tadi?" Wanita itu melingkarkan kedua tangannya ke pinggang lelaki yang sedang duduk gelisah di sofa ruang tengah dengan sebatang rokok yang tinggal separuh di tangannya.
Lama Binar menunggu suaminya bicara sambil terus menyandarkan tubuh di bahu kokohnya. Biasanya jika Dhimas marah, sikap manjanya itu adalah senjata paling ampuh untuk meredakannya. Bersandar di bahu dan menunggunya untuk akhirnya mau bicara.
"Jadi kamu benar-benar kerja sekarang?" Akhirnya lelaki itu membuka mulut setelah meletakkan puntung rokok di asbak.
Binar pun segera mendongak, memberikan senyum termanis untuk sang suami agar suasana lebih mencair.
"Iya, Mas. Tapi sabtu hanya setengah hari dan minggu libur kok. Jadi weekend tetep bisa sama kalian. Ini demi kepentingan kita juga kan, Mas?" Binar menghentikan kalimat, menunggu reaksi Dhimas. Namun karena tak juga ada tanggapan, wanita itu pun melanjutkan kalimatnya
"Tadi aku sudah tanda tangani kontrak, Mas. Masa trainingku 3 bulan. Tahu nggak Mas, gajiku training aja udah lumayan gede lho. Pantas saja orang-orang pada berebut pengen kerja di tempat itu," jelas Binar dengan tatap mata cerah.
"Aku dan Aaron akan kesepian kalau kamu kerja." Dhimas masih dengan nada kekesalannya.
"Tapi kita nggak bisa selamanya bergantung sama bapak dan ibumu, Mas. Mereka juga punya kehidupan sendiri. Nggak bisa terus-terusan mikirin kita. Meskipun mungkin mereka nggak keberatan dengan itu, tapi pasti tetap jadi beban kan?"
Terdengar hembusan nafas berat Dhimas. Saat ini dia memang tidak punya pilihan lain. Kondisinya juga membuat posisinya sangat lemah untuk melarang Binar bekerja.
"Baiklah, kamu boleh kerja untuk sementara waktu. Tapi ingat, nanti kalau aku sudah ada pekerjaan lagi, kamu harus berhenti,” titahnya.
"Tapi jika masa training ku lolos, kontrakku masih satu tahun ke depan, Mas. Kalau kerjaku bagus, bisa diperpanjang lagi."
"Kalau satu tahun ke depan aku sudah punya pekerjaan lagi, kamu tidak boleh memperpanjang kontrak meskipun mereka menginginkan itu." Dhimas tetap memaksa.
Binar menghela nafas panjang. Dia sebenarnya juga lebih suka di rumah saja menjaga Aaron sementara Dhimas bekerja. Tapi mengingat usaha Dhimas yang bertahun-tahun tak pernah ada hasilnya, Binar pesimis. “Baiklah, iya Mas, nggak apa-apa.” Tak urung dia menyetujui keinginan suaminya juga.
"Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep
Binar meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja. Dia kembali mundur setelah sebelumnya sempat mengitari lagi ruangan dengan dua bola mata, mencari-cari seseorang yang mungkin saja ada di sebuah sudut. Nihil. Tetap tidak ada seorang pun yang dilihatnya di ruangan itu. Tak ingin disebut tidak sopan, Binar memutuskan untuk membuka mulut."Pak … berkas Anda sudah saya taruh di …." Tapi sebelum berhasil menyelesaikan kalimat, mulutnya seketika tercekat saat dia berbalik badan dan mendapati seseorang sedang berdiri di belakangnya. Jarak mereka mungkin hanya satu atau dua meter saja. Tubuh Binar nyaris limbung saking kagetnya."Mencariku?" Pria itu bertanya dengan suara berat. Suara itu terdengar begitu familiar untuk Binar. Bersahabat tapi terdengar begitu jauh karena wajah pemilik suara itu sangat datar, tanpa sedikitpun senyum."Abi-dzar? Ka-mu Abidzar?"Binar sampai kehabisan kata-kata, menyaksikan sosok di depannya adalah orang yang sangat dikenalnya meski dengan penampilan yang su
Langkah berat mengawali hari kedua Binar masuk kerja. Selain harus menenangkan Aaron yang mulai menyadari akan ketidak-hadiran sang ibu di hari-harinya, Binar juga masih terganggu dengan gosip yang sempat dibicarakan Mili tentangnya di kantor. Rasanya mustahil dirinya diisukan berhubungan gelap dengan bos perusahaan sebesar itu padahal bertemu saja belum pernah. Memangnya seperti apa rupa bos mereka itu? Binar sih yakin jika pimpinan perusahaan sebagus itu pastilah sudah bapak-bapak. Lagipula, tidak mungkin bos muda dan tampan setipe CEO CEO di film itu sampai bisa digosipkan dengannya. Memangnya secantik apa dia? Aneh banget. "Sudah nggak apa-apa, kamu berangkat saja. Nanti telat. Biar aku yang urus Aaron.” Ternyata Dhimas sangat membantu pagi itu. Mungkin dia sedang belajar terbiasa dengan kepergian istrinya. "Makasih ya, Mas?" Binar berkaca-kaca, haru dengan sikap suaminya yang begitu dewasa pagi itu.*****Binar seperti dikejar waktu saat akhirnya turun dari ojek online yang mem
Binar masih sibuk dengan layar di depannya saat pesawat komunikasi internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi."Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili.Usai meletakkan alat komunikasi itu, Mili terlihat sibuk lagi dengan layar di depannya. Lalu terdengar juga dia menelpon seseorang dengan nada serius. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat gadis itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi.Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena kemudian alat komunikasi di meja Mili berdering lagi. Binar menyaksikan wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu."Ada apa?" tanyanya hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai."Ooh." Binar hanya mengangguk."Nggak usa
"Maaf Bu, tapi sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya pada Gemma yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes."Kesalahan apa? Coba saya lihat."Wanita 40 tahun berpenampilan glamour dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang seharusnya ditandatangani itu, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah Binar."Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," ujarnya dingin."Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staff administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang seharusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar hati-hati.Gemma tersenyum paksa, menatap Binar dengan sedikit sinis, lalu memandang dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak Stephen Chaniago menyuruhnya untuk melakukan panggilan wanita bernama Binar dan menempatkannya di posisi sekretaris, Gemma sudah curiga bahwa ada yang tidak beres dengan bos besarnya itu. Meski Gemma ti
Kacau, mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan Abidzar membuatnya kehilangan konsentrasi. Parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar.'Ini gila!' rutuknya dalam hati.Belasan tahun berlalu, tapi pesona Abidzar ternyata masih bisa mempengaruhinya sedalam itu.Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Keinginanannya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu kini hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview yang super buruk itu.Hilang sudah harapan untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya. Meski masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak jadi kehilangan asa.Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada wawancara kerja istrinya hari