Azan Isya berkumandang, tetapi Dewi belum juga tiba di rumah. Pulang kantor, Dewi memang mengunjungi rumah ibunya dulu. Ia ingin memastikan kalau Mbak Marni benar-benar sudah tiba di rumah ibunya lagi dan semua baik-baik saja. Setelah shalat maghrib dan makan malam, baru Dewi pamit pulang."Benar tidak mau nginap saja, Wi?" tanya Bu Rasti untuk menahan putrinya. Ia tidak tega Dewi di rumah sebesar itu sendirian."Enggak, Bu. Gampang besok aku ke sini lagi.""Ya sudah, hati-hati di jalan, ya! Kalau sudah sampai rumah, langsung kasih kabar Ibu!""Siap!"Setelah mencium tangan dan memeluk ibunya, Dewi kemudian pulang. Sengaja ia mengemudikan mobilnya dengan santai. Ia ingin begitu tiba di rumah langsung mandi, shalat, dan tidur untuk menghalau rasa kesepian yang pasti akan menderanya.Biasanya kalau dia pulang lembur, Gibran akan menyambutnya dengan berbagai cerita. Dulu, Dewi sampai merasa kalau dia yang laki-laki dan Gibran yang perempuan karena memang kondisi mereka berdua seperti itu
Tiba di rumah Bu Santi langsung masuk ke kamar. Ia bahkan merasa tidak punya tenaga sekadar untuk mengusir Rindu dan Asih yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga seolah-olah tidak merasa bersalah sama sekali atas peristiwa yang menimpa Gibran. Energi Bu Santi serasa habis terkuras untuk memikirkan Gibran yang sudah tidak memiliki secuil kesempatan pun untuk kembali bersama Dewi.Seperti zombi dengan tatapan mata kosong, Bu Santi memasuki ruang kamarnya. Penyesalan demi penyesalan layaknya cambuk yang terus menghujam tanpa ampun. Seandainya .... Seandainya .... Dan ribuan kata seandainya lainnya memenuhi kepala Bu Santi sampai rasanya mau meledak. Sampai akhirnya wanita itu ambruk di tempat tidur."Bu, makan dulu, yuk!" ajak Gina yang sejak tadi mengikuti langkah ibunya. "Dari tadi ibu belum makan. Kalau ibu sakit aku gimana?"Namun, Bu Santi hanya menggeleng lemah tanpa mau membuka mata. Rasanya ia ingin segera tidur agar semua yang terjadi hari ini bisa segera ia lupaka
Setelah puas menangisi keadaan dan juga ibunya, Gina mencari tahu lewat ponsel pintarnya tentang cara mengompres orang demam. Setelahnya Gina mempraktekkan kepada ibunya. Ia harap panas ibunya bisa turun setelah ia kompres.Semalaman Gina tidak tidur untuk menjaga sang ibu dan juga terus menerus mengompresnya. Hal yang baru pertama kali ia lakukan setelah selama ini semua dilakukan oleh Dewi dan Gibran.Pagi harinya Bu Santi bangun dengan kondisi demamnya sudah mulai turun. Meski suhu tubuhnya masih panas, tetapi tidak sepanas semalam. Sementara Gina ketiduran dengan kepala di bibir ranjang ibunya."Gin, kenapa kamu di sini?" tanya Bu Santi. Ia kemudian meraba keningnya karena merasa ada sesuatu di atasnya. Bu Santi kemudian mengambil kain kompres itu dan merasa sangat terharu dengan apa yang telah dilakukan putrinya."Ibu udah bangun?" tanya Gina sembari mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih terasa berat."Udah, kamu semalaman tidur di sini?"Gina mengangguk. "Badan ibu panas sekal
"Awas aja kamu, Gina! Aku bersumpah kamu akan mengemis di kakiku!" ancam Rindu. "Lihat aja nanti! Kalian akan terusir dari rumah ini! Menangis darah pun, aku enggak akan kasih ampun sama kalian!"Gina tidak memedulikan ucapan istri baru kakaknya itu. Gadis itu langsung masuk dan membanting pintu sekeras ia mampu. Kemudian dikuncinya pintu itu agar tidak ada kesempatan lagi untuk Rindu dan Asih memasuki rumahnya.Tubuh Gina akhirnya luruh. Gadis itu tergugu dengan bersandar pintu. Sungguh, saat ini bagi Gina adalah masa terberat dalam hidupnya. Dulu saat ayahnya meninggal di sisinya masih ada Gibran dan ibunya. Namun, sekarang ia hanya bersama ibunya, itu pun sedang sakit dan usianya sudah cukup tua.Gina takut kalau pada akhirnya Gibran benar-benar masuk penjara. Siapa yang akan bertanggung jawab atas dirinya dan sang ibu? Jika harus berhenti kuliah dan bekerja, Gina merasa belum siap. Ia ingin meraih cita-citanya sebagai seorang perawat.Tangis Gina semakin pecah memikirkan masa depa
"Mana atasan kamu?" bentak Dewa pada Wina. "Atasanku?" Wina balik bertanya karena tidak biasanya Dewa bersikap seperti ini."Iya! Si Dewi!""Si Dewi?" ulang Wina. Bagaimana tidak merasa aneh sementara selama ini Dewa selalu bersikap sopan terhadap Dewi."Kemana dia?" tanya Dewa dengan tidak sabar. Amarah Dewa tersulut karena memang selama ini sering menjadi tempat berkeluh-kesah Gibran. Dan hari ini puncaknya ia mendapati Dewi sampai bertindak sejauh itu melaporkan Gibran ke polisi sampai Gibran ditahan."Ada di ruangan. Ada perlu apa?" Wina balik bersikap ketus."Bukan urusanmu!"Dewa melangkah lebar menuju ruangan Dewi. Dibuka dan ditutup dengan kasar pintu ruangan Dewi sampai Dewi yang sedang fokus dengan laptopnya sangat terkejut."Ada apa, Wa?" tanya Dewi melihat tingkah teman kerjanya itu tidak biasa."Luar biasa kamu emang, ya, Wi!" Dewa menyeringai."Maksud kamu?" Dewi masih tidak mengerti apa yang membuat teman yang sekaligus bawahannya itu bersikap demikian."Aku tahu, Wi,
Rencana Dewi untuk bisa langsung tidur setelah tiba di rumah ternyata urung. Ia masih memikirkan ucapan Dewa. Karena bagaimanapun Dewi manusia biasa yang bisa tersentuh hatinya."Apa benar aku keterlaluan?" gumam Dewi. "Enggak! Kesalahan Mas Gibran sangat fatal. Dia sudah memalsukan surat kematianku. Itu udah enggak bisa dimaafkan!"Untuk mengalihkan pikiran, Dewi berselancar di dunia maya. Hal yang sebelumnya jarang sekali ia lakukan. Dewi bukan orang yang aktif di media sosial. Ia hanya memiliki akun media sosial, tetapi nyaris tak pernah ia gunakan. Sangat berbeda dengan Gibran yang sehari-hari tak bisa lepas dari media sosial.Dewi melihat-lihat postingan teman-temannya di facebook. Daftar pertemanan Dewi didominasi oleh akun-akun yang memang ia kenal di dunia nyata. Ada yang memposting foto bersama anak, bersama suami, dan lain sebagainya.Penasaran, Dewi mencari akun Gibran. Ia ingat kalau dulu pernah berteman dengan Gibran sebelum menikah. Dewi mengetik nama akun Gibran, tetapi
"Dok, gimana ibu saya?" tanya Gina setelah dokter selesai memeriksa Bu Santi."Bu Santi dehidrasi akut. Kondisinya sangat lemah, nyaris kritis, jadi harus rawat inap," jelas dokter tersebut. "Silakan anggota keluarga untuk mengurus administrasi terlebih dahulu!""Biar aku yang urus," ucap Dewa setelah dokter dan perawat meninggalkan tempat dimana Bu Santi diperiksa."Makasih, Mas."Setelah administrasi beres, Bu Santi dipindahkan ke ruang perawatan sesuai dengan pilihan Dewa. Ruang VVIP."Mas, di sini kan, mahal?" bisik Dewi saat ibunya diantar ke ruangan tersebut."Udah, kamu tenang aja. Biar ibu kamu cepat sembuh dan kamu juga nyaman jagainnya," ucap Dewa sembari tersenyum menenangkan Gina."Sekali lagi terima kasih, ya, Mas.""Udah, jangan terima kasih terima kasih terus. Nanti yang lain enggak kebagian," candanya agar suasana tidak tegang.Mau tak mau Gina akhirnya tersenyum. Ia merasa beruntung kakaknya pernah membantu Dewa. Gina tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya dan san
Dewa berjalan ke parkiran dengan langkah gontai. Rambutnya kusut karena entah berapa kali telah ia acak-acak. "Aku harus cari uang kemana?" Berulang kali pertanyaan itu menggema di kepala Dewa. Belum lagi biaya buat pengacara yang tidak murah."Duh ...." Dewa kembali meremas rambutnya. Tiba di parkiran, Dewa langsung menuju tempat sepeda motornya diparkir. Kemudian ia melajukan sepeda motornya pulang ke rumah.Dara, istri Dewa sudah cantik dan siap berangkat periksa ke dokter saat Dewa tiba di rumah."Dari mana aja, sih, Mas?" omel Dara. "Aku kan, udah bilang hari ini jangan pulang telat. Hari ini aku harus cek kandungan ke dokter!""Iya, maaf. Aku mandi dulu, ya?" pamit Dewa tanpa semangat."Hm."Dara menunggu di kamar selama Dewa mandi. Dalam hati Dara merasa aneh dengan suaminya. Tak biasanya Dewa bersikap seperti itu saat pulang kerja. Wajah Dewa juga terlihat kusut tidak seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya Dewa akan tersenyum lebar kala masuk ke rumah, mencium kening Dara lalu