"Rin, maaf .... Kami tidak bisa melawan kehendak warga," ucap suami kakak Asih, lelaki yang biasa Rindu panggil dengan sebutan Pakde. "Terus aku harus makamin Mama dimana, Pakde? Pesan Mama, dia ingin dimakamkan di sini," ucap Rindu sembari terisak-isak. "Gimana lagi, aku tidak berani menentang warga. Apalagi selama ini, mamamu cukup menjadi buah bibir warga karena pekerjaannya. Dan sekarang ditambah dengan meninggal dalam kondisi seperti ini. Aku juga tidak tega, Rin. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Pakde Rindu dengan penuh penyesalan. Rindu terisak-isak tanpa tahu harus berbuat apa. "Buat makamin Mama di tempat lain, tentu aku butuh uang yang enggak sedikit. Sementara aku udah enggak punya apa-apa, Pakde ...." Tangis Rindu semakin pecah. Gibran yang berada di sisi Rindu juga ikut bingung dengan situasi ini. Sisa uang dari penjualan mobil Rindu sudah digunakan untuk melunasi biaya rumah sakit Asih. Untuk membayar pemakaman di tempat lain, ia sudah tidak punya
Gibran menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu tidak siap-siap buat nyari kerjaan, Bran?" tanya Bu Santi dengan hati-hati. "Rindu masih sakit, Bu." "Rindu biar Ibu yang urus tidak apa-apa, Bran." Gibran menoleh dan menatap ibunya. Padahal saat ada Dewi, selalu Dewi yang mengurus ibunya. Tidak pernah sekali pun Dewi merepotkan ibunya. Dan sekarang semua menjadi kebalikannya. "Tapi Ibu baru aja sembuh juga. Gibran takut Ibu sakit lagi kalau nanti kecapean, Bu." "Tidak, Bran. Ibu masih kuat. Ibu juga sehat, kok." "Benar ibu enggak apa-apa kalau Gibran keluar?" "Iya, Bran. Enggak apa-apa." "Ya udah, Gibran mandi dulu, Bu." Bu Santi mengangguk. Meski di dadanya masih ada bongkahan besar yang belum ia keluarkan. Gibran beranjak dari sofa dan hendak melangkah ke belakang untuk mandi, namun, belum juga menjauh dari sofa, Bu Santi sudah memanggilnya lagi. "Iya, Bu? Ada apa?" tanya Gibran sembari menoleh. "Ehm, anu, Bran ...." Bu Santi ragu-ragu hendak menyampai
"Loh, Bran? Sepeda motor kamu mana?" tanya Bu Santi begitu melihat Gibran memasuki pekarangan rumah dengan berjalan kaki. Kebetulan siang itu Bu Santi sedang menyapu teras. "Tadi aku keserempet mobil, Bu. Jadi motorku lagi diperbaiki di bengkel," dusta Gibran. Ia berusaha bersikap biasa saja. Terus berjalan dengan membawa dua kantong belanjaan cukup besar.Bu Santi justru yang sangat terkejut mendengar itu. Wanita berdaster hitam tersebut langsung membuang sapunya dan mengejar putranya yang sedang berjalan ke arahnya. "Ya ampun, terus kamu gimana? Apanya yang luka? serunya sembari meraba-raba badan Gibran."Aku enggak kenapa-napa, Bu. Motornya aja yang bagian depannya hancur.""Ya ampun, ada-ada aja, Bran. Tapi untung kamu tidak kenapa-kenapa. Tidak ada yang lecet?""Enggak, Bu. Aku baik-baik aja." Dalam hati ingin sekali Gibran memeluk ibunya dan mengatakan yang sebenarnya, kalau motornya telah ia jual murah. Hanya saja ia tidak mau ibunya kepikiran."Syukurlah, kalau begitu." Bu Sa
Hari-hari selama proses persidangan Gibran semakin berubah menjadi sosok yang lebih pendiam. Sering sekali saat duduk di teras belakang rumah sendirian dia termenung. Kehancuran pernikahannya dengan Dewi benar-benar menjadi pukulan terbesar dalam hidupnya. Bahkan saat ayahnya meninggal pun, Gibran tidak seberduka itu. Namun, kehilangan Dewi dan anak yang ada dalam kandungan Dewi, benar-benar membuat Gibran berada di titik terendah.Senyumnya, kata-kata yang keluar dari bibirnya, hanya untuk menenangkan hati Rindu. Gibran tidak ingin Rindu terus-menerus keluar masuk rumah sakit, terlebih kandungannya pun semakin besar. Gibran berusaha bersikap sebaik mungkin pada Rindu. Meski hatinya tak sejalan dengan apa yang dia lakukan dan katakan.Bibirnya menyebut Rindu dengan panggilan sayang, sementara hatinya dipenuhi kerinduan tak terbendung kepada Dewi. Tangannya menyentuh Rindu untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, tetapi matanya melihat wajah Rindu dengan rupa Dewi. Bahkan ser
Kehamilan pertama tanpa didampingi seorang suami dan juga harus menghadapi peliknya sebuah perceraian, terlebih perceraian karena sebuah pengkhianatan, tentu bukan hal mudah bagi siapapun. Begitu juga bagi Dewi.Pedih, sakit, dan hancurnya dikhianati tidak akan semudah itu terobati. Meski segala tuntutan yang Dewi ajukan ke pengadilan dikabulkan oleh hakim, tetapi itu tidak cukup untuk menjadi penawar kesakitannya, penebus dosa bagi Gibran, Rindu, Asih, Bu Santi, dan Gina yang telah mengkhianatinya.Dewi masih tidak ikhlas dengan semua yang terjadi. Cintanya yang tulus untuk Gibran, kepercayaannya yang penuh ia berikan pada Gibran, kejujurannya dalam menjaga dirinya hanya untuk Gibran, dibalas dengan pengkhianatan. Gibran selingkuh dan menikahi adik tirinya, bahkan ketahui dan direstui oleh ibu dan adik Gibran yang selama ini ia tanggung biaya hidupnya.Adakah yang lebih memilukan dari ini?Puing-puing kepercayaan yang bertahun-tahun telah hancur lebur dalam hidup Dewi, tertatih-tatih
"Wi ...." Gibran menatap Dewi dengan wajah memelas. "Apa ...." Ingin sekali Gibran membujuk Dewi untuk mengurungkan perceraian mereka. Namun, lidahnya kelu. Ia tidak mampu meminta itu sementara di belakangnya ada Rindu yang menunggu.Dewi hanya tersenyum masam melihat Gibran gamang seperti itu."Dre, udah, yuk! Sebentar lagi persidangan dimulai. Aku enggak mau telat," ucap Dewi pada akhirnya."Oke." Andre mendorong kembali kursi roda Dewi untuk memasuki gedung kantor pengadilan agama diikuti Bu Rasti.Sementara Gibran memandang mereka bertiga berlalu meninggalkannya. Ia bahkan sampai tidak ingat tentang Candra yang seharusnya jug sudah datang untuk mendampinginya.Setelah rombongan Dewi tidak terlihat, baru Gibran menoleh ke belakang, dimana Rindu masih berdiri dengan jantung terbakar."S-Sayang ...." Gibran berjalan kembali ke arah Rindu.Sementara pada saat itu, mata Rindu sudah dipenuhi genangan air mata. "Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau Mbak Dewi juga hamil?" hardik Rindu.
Usai sidang Dewi dan Bu Rasti saling berpelukan. Ada rasa sedih karena pernikahan yang mereka harapkan bisa untuk selamanya harus hancur berantakan. Namun, mereka merasa jauh lebih lega karena pada akhirnya Dewi berhasil lepas dari lingkaran orang-orang tidak tulus dan hanya memanfaatkan dirinya saja."Kamu punya Ibu, Wi. Kamu tidak usah khawatir," ucap Bu Rasti sembari memeluk putrinya."Iya, Bu. Dewi enggak khawatir sama sekali. Dewi sekarang udah lega. Dewi tinggal menata hidup ke depan bersama Ibu dan anak yang ada dalam kandungan Dewi.""Iya, Nak. Maafin Ibu karena dulu maksa-maksa kamu buat nikah ...." Bu Rasti sangat sedih dan menyesal."Ibu enggak salah. Ini semua udah jadi garis takdir Dewi, Bu. Ibu enggak salah sama sekali. Dewi yakin, setelah ini Allah akan kasih kita semua hadiah yang lebih besar, yang enggak pernah kita sangka sebelumnya."Bu Rasti begitu terharu mendengar kata-kata Dewi. Sehingga kali ini justru Bu Rasti yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan putrinya.
"Iya, emang uang segini mau buat buka usaha apa?" tanya Bu Santi. "Buka warung kelontong di rumah aja tidak akan cukup."Rindu dan Gibran bersamaan menghela napas. "Iya juga, sih," gumam Gibran. "Tapi ... Gibran malu, Bu.""Emang malu bikin kenyang?" tegur Bu Santi. "Yang penting sekarang, uang ini tidak habis percuma. Ini uang diputar buat usaha. Baru keuntungannya yang kita pakai untuk kebutuhan sehari-hari.""Tapi jualan apa ya, Bu?" tanya Gibran dengan sangat tertekan. Begitu juga Rindu. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan akan menjadi istri dari pedagang keliling yang pasti hasilnya tidak seberapa untuknya."Jualan bakso tusuk aja gimana?" usul Bu Santi. Ia masih ingat apa yang diajarkan Dewi untuk membuat bakso tusuk yang enak."Bakso tusuk?" tanya Gibran tak percaya."Iya, Ibu masih punya catatan resep dari Dewi."Gibran tertegun. Ia jadi kembali teringat pada mantan istrinya itu. Dewi memang pecinta bakso. Sehingga Dewi sering membuat bakso di rumah. Baik itu bakso kuah sep