"Jahat kamu, Mas!" tuduh Rindu sembari terisak-isak. "Tega sekali kamu ngomong seperti itu sama aku! Kamu bilang sendiri kalau kamu cinta sama aku, kamu nyaman sama aku, tapi sekarang? Aku cuma ambil perhiasan yang seharusnya jadi milikku, Mas! Ibu udah kasih perhiasan itu ke aku! Terlepas perhiasan itu pemberian Dewi atau siapapun. Kenapa kamu enggak suka kalau ibu kamu kasih itu ke aku? Sampai kamu bilang aku seorang penipu! Tega kamu, Mas ...."Gibran membuang muka. Sebenarnya ia pun tidak tega berbuat sejauh ini pada Rindu. Karena bagaimanapun Rindu juga masih istrinya dan bahkan tengah mengandung buah hatinya. Namun, untuk saat ini Gibran harus mengambil sikap demi ibunya. Seandainya Rindu tidak selancang itu mengambil perhiasan yang seharusnya digunakan untuk membayar tagihan rumah sakit ibunya, tentu ia tidak akan sampai hati melakukan ini.Rindu masih terus menangis memohon belas kasihan Gibran. "Apa kamu enggak kasihan sama anak kita, Mas? Dia masih di dalam kandungan, tapi h
"Wi, kamu serius mau resign?" tanya Adnan saat Dewi menyerahkan surat pengunduran dirinya."Serius, lah, Bos. Masa udah nyerahin surat gini masih bercanda," sahut Dewi sedikit mengajak bercanda agar suasana tidak tegang. Ia yakin kalau atasannya itu akan sulit membiarkannya keluar begitu saja dari perusahaan."Tapi kenapa, Wi?" tanya Adnan sembari menatap Dewi dengan sorot keberatan. "Kasih aku alasan yang enggak bisa aku tolak!" "Aku capek, ingin istirahat," jawab Dewi asal."Kan, bisa ambil cuti. Aku bakal ACC kamu mau minta izin berapa hari pun! Asal bukan resign!" tegas Adnan kemudian menyandarkan punggungnya di sofa ruang kerjanya.Dewi menggeleng. "Aku udah capek kerja.""Terus?" Adnan memajukan tubuhnya."Ya aku mau resign.""Wi ...." Adnan menatap Dewi penuh harap. "Dunia kerja itu kejam. Kamu tau sendiri. Kalau kamu sampai keluar, enggak akan mudah buat dapat lagi kerjaan dengan posisi kamu seperti sekarang ini. Kamu udah pikirkan itu?"Dewi mengangguk mantap. "Udah."Adnan
Dewi tersenyum simpul. Sebenarnya dulu Dewi pun butuh usaha keras untuk benar-benar melupakan semua tentang harapannya kepada Adnan. Hanya saja, logika Dewi cukup jalan. Ia tidak mau kecewa. Ia tidak mau merasakan sakit yang sama seperti yang ibunya rasakan dulu. Meski pada akhirnya satu-satunya laki-laki yang ia anggap tidak akan mampu menyakitinya justru menjadi orang yang paling menyakitinya."Kenapa, Wi? Apa kurangku?""Status sosial kita terlalu timpang," jawab Dewi pada akhirnya."Why!?" Adnan cukup terkejut mendengar jawaban Dewi. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali. Bertahun-tahun ia pikir kalau dirinya memiliki kekurangan yang tidak bisa Dewi terima.Dewi mengangguk. "Aku cukup tahu diri. Ibuku janda enggak punya apa-apa. Apa kata orang kalau sampai aku sama kamu?""Apaan emangnya?""Ish!" Dewi membuang muka."Serius, Wi? Hanya karena itu?"Dewi mengangguk-angguk."Astaga, Wi. Aku dan keluargaku itu enggak pernah pusingin status sosial. Bagi kami semua sama aja. Se
"Kamu ... ha-hamil?" Gibran terperangah mendengar pengakuan Dewi. "Ki-kita akan punya anak, Wi?"Dewi menghela napas panjang. Sungguh, sebenarnya ia sangat tidak ingin berada dalam situasi ini, memberitahu Gibran perihal kehamilannya. Namun, demi hak bayi dalam rahimnya, Dewi lakukan ini semua. Dewi tidak rela jika pada akhirnya nanti, yang akan menikmati segalanya adalah anak Rindu. Kasih sayang Gibran dan juga materi yang ia dan Gibran miliki. Ibarat kata, Dewi tidak ingin peristiwa yang menimpanya dulu, kelak juga terjadi pada buah hatinya."Wi, kamu serius, kan?" tanya Gibran lagi karena Dewi hanya diam sembari memandanginya.Dewi akhirnya mengangguk sembari menghela napas. "Aku ingin kamu bertanggung jawab secara finansial terhadap anak ini.""Tentu, Wi! Tentu!" sahut Gibran dengan semangat. "Lahir batin aku akan bertanggung jawab terhadap anak kita. Aku akan berusaha jadi suami dan ayah yang baik untuk kamu dan anak kita, Wi. Aku janji!"Dewi tersenyum masam. Ia menjawab dengan
Proses penyidikan dan penyelidikan untuk kasus pemalsuan identitas dengan Gibran sebagai tersangka akhirnya ada titik terang. Dari sejumlah saksi dan bukti, Gibran terbukti tidak terlibat. Tentu saja semua atas peran Candra, pengacara yang disewa Gibran.Setelah lebih dari dua minggu ditahan, atas bantuan Candra, Gibran kemudian dibebaskan. Gibran pun langsung pulang bersama Candra. Ia ingin menemui Dewi untuk membicarakan perceraian mereka. Gibran masih bersikeras untuk tidak bercerai. Karena tanpa Dewi tentu ia menyadari akan kesulitan ekonomi. Sementara saat ini ia harus membayar Candra dan juga biaya-biaya lainnya.Namun, rumah dalam keadaan kosong saat Gibran dan Candra tiba. Pintu pagar masih dalam kondisi terkunci. "Kemana Dewi?" gumam Gibran. Ia melihat jam di tangan. "Sebentar lagi mahrib. Apa dia lembur?" gumamnya lagi."Gimana Pak? Kita kemana sekarang?" tanya Candra saat Gibran hanya tercenung menatap pagar tinggi rumahnya."Coba kita cari Dewi ke kantornya," usul Gibran.
"Mana Mama? Gimana Mama?" tanya Gibran begitu tiba di kontrakan Rindu. Ia sangat panik melihat Rindu bersimpuh di teras sembari menangis tersedu-sedu meski ada beberapa tetangga yang menyaksikannya."Mama dibawa ke kantor polisi, Mas," jawab Rindu sembari menghambur dalam pelukan Gibran. Ia puas-puaskan menangis di pelukan suaminya."Astaga," gumam Gibran sembari mengelus punggung istri keduanya. Ia lalu menatap Candra, menuntut penjelasan pada pengacaranya itu. Karena Candra memang belum memberitahunya perihal orang yang berada dibalik pemalsuan identitas itu.Saat Gibran dinyatakan tidak terbukti bersalah, ia pikir masalah telah selesai. Ia tidak tahu kalau polisi akan menyeret nama lain untuk dijadikan tersangka. Apalagi nama Asih. Dan Gibran sangat menyesalkan ketidaktahuannya itu."Ya udah, yuk, masuk dulu!" ajak Gibran. "Enggak enak diliatin tetangga."Rindu mengangguk. Kemudian dengan dipapah Gibran untuk memasuki rumah kontrakannya."Kamu tenang dulu," ucap Gibran sembari meng
"Terus Mama gimana, Mas? Aku enggak mau Mama sampai dipenjara, Mas ...." Rindu kembali menangis tergugu. Ia tidak tega membayangkan mamanya harus mendekam di penjara gara-gara memperjuangkan pernikahannya dengan Gibran.Rindu masih ingat betul perkataan mamanya saat itu. "Pokoknya kamu dan Gibran harus bisa nikah secara resmi! Tercatat di KUA. Jangan sampai nasib kamu seperti Mama. Terusir tanpa mendapatkan apa-apa."Karena memang dulu Asih hanya dinikahi secara siri oleh Pak Wisnu. Sehingga saat Pak Wisnu mengusirnya, Asih tidak bisa menuntut apa-apa. Dan demi Rindu bisa menikah secara resmi dengan Gibran, akhirnya Asih harus merasakan dinginnya tidur di lantai tahanan."Mama lakuin ini semua demi kita, Mas," ucap Rindu sembari terisak-isak. "Demi masa depan kita. Apa kamu tega kalau Mama sampai dipenjara?""Tapi aku enggak bisa apa-apa kalau bukan Dewi sendiri yang mencabut laporannya.""Temui Dewi, Mas! Temui Dewi! Meminta sama Dewi untuk mencabut laporan itu. Bilang sama Dewi kala
Gibran pulang membawa raga tanpa jiwa. Runtutan peristiwa tentang Dewi tersusun seperti puzzle di kepalanya. Mulai rumah mereka yang kosong dengan pintu pagar tergembok. Lalu Dewi keluar dari pekerjaan yang Gibran tahu sangat Dewi nomor satukan. Bahkan Gibran sampai merasa tidak akan ada yang mampu membuat Dewi keluar dari pekerjaannya. Namun, saat ini Dewi telah meninggalkan pekerjaan yang baginya sangat berarti itu. Kemudian barusan, rumah Bu Rasti telah terjual."Iya, dijual," gumam Gibran meyakinkan dirinya sendiri. Gibran tahu persis seberarti apa rumah itu bagi Bu Rasti. Ibu mertuanya itu bahkan menolak mentah-mentah saat Dewi meminta agar Bu Rasti ikut tinggal di rumahnya. Bu Rasti tidak mau meninggalkan rumah penuh sejarah perjuangan hidupnya selepas bercerai dengan Pak Wisnu. Namun, sekarang rumah yang bagi Bu Rasti sangat berarti itu pun sudah terjual."Kenapa sampai begitu, Wi? Kalian pergi kemana?" Pertanyaan itu memenuhi kepala Gibran. Membuat Gibran serasa tidak berada