"Tante, semalam kok nggak ikut ke rumah Rina?" tanya gadis kecil berusia delapan tahun itu sambil menikmati kentang yang baru aku goreng.
Aku yang sedang bersantai setelah dinas malam di depan ruang tivi sontak duduk di sofa."Lho, emang semalam ada apa di rumah kamu, Rin?" tanyaku sekali lagi seraya menatap ke arah Rina yang sedang bermain barbie dengan Windi, anakku."Lho, semalam dan juga beberapa malam, Om Herman sering ke rumah. Tapi aku sedih karena Windi dan Tante nggak ikut. Apalagi Om Herman pas datang ke rumah langsung masuk ke kamar mama," sahut Rina merapikan rambut barbie nya.Aku melongo. 'Kapan mas Herman ke rumah Dita, janda depan rumah yang merupakan ibu dari Rina? Apa saat aku sedang dinas malam? Astaga, apa benar yang dikatakan oleh Rina?' batinku.Aku melirik ke arah jam dinding yang menempel di tembok. Masih jam satu siang. Mas Herman masih lama pulang dari kantor dan Dita yang bekerja di rumah makan dekat kantor mas Herman juga masih bekerja di sana.Dita memang baru pindah ke kompleks perumahan ini sejak enam bulan lalu. Dan mas Herman lah yang mencarikan pekerjaan Dita di warung makan samping kantor nya. Padahal Dita tinggal di kompleks perumahan ini dengan ibunya yang juga janda, untuk menemani Rina saat pulang sekolah dan Dita masih di warung, jadi masa sih Dita memasukkan laki-laki ke rumah nya? Apalagi laki-laki itu adalah suamiku.Aku tidak bisa tinggal diam, aku harus mencari informasi selengkapnya pada Rina."Oh ya Rin, apa kamu pernah bertanya soal papanya Windi yang sering main ke rumah kamu pada Mama kamu?" tanya ku hati-hati.Rina mengangguk. Manik matanya menatap lurus ke arahku."Pernah, Tante.""Lalu apa jawab mama kamu?""Mama bilang sih itu permainan orang tua. Pokoknya aku nggak boleh tahu dan nggak boleh bilang siapa-siapa," sahut Rina polos.Aku menghela nafas berat. "Baiklah, Rin. Kamu jangan bilang mamamu kalau kamu sudah menceritakan rahasia ini ya. Tante juga nggak akan bilang siapapun termasuk mamamu."Rina mengangguk dan mengiyakannya.***Aku menunggu dengan sabar sampai terdengar suara dengkur halus dari mas Herman. Kulirik jam bulat yang menempel di tembok. Sudah jam satu malam.Dengan perlahan aku bangkit dari ranjang mendekati mas Herman. Kukibaskan tangan di depan wajahnya. Aman. Tak ada respon. Dia sudah terbawa mimpi lelap.Aku berjingkat meraih ponselnya di atas nakas. Ah, dikunci! Padahal biasanya tidak dikunci. Kami memang sudah lama tidak saling memperhatikan ponsel. Seakan sudah saling percaya satu sama lain, kami tidak saling kepoin ponsel pasangan.Fokus mencari rejeki dan quality time dengan keluarga saat liburan. Tapi ternyata apa yang kudapat? Aku kecolongan!Untung saja ponsel mas Herman terkunci dengan sensor sidik jari. Dengan membungkuk dan secara perlahan aku meraih jempol tangan kanannya dan menempelkannya ke layar ponsel miliknya.Aku menarik nafas dengan hati-hati. Walaupun aku tahu dia telah tidur lelap, tapi rasanya aku tidak mau ketahuan sedang menyelidikinya.Terbuka!Aku menggulir layar, jantungku berdebar kian kencang saat membuka galeri ponsel nya. Aman. Tidak ada sesuatu yang membahayakan.Jempolku beralih ke pesan w******p. Kubuka perlahan. Ada satu nama yang asing. Nama yang tidak pernah dibicarakan oleh mas Herman sebagai teman kerjanya.Dito office. Sudah bisa kutebak, siapa nama dibalik Dito office itu.[Merindukan saat berselimut denganmu, Mas!]Kubuka perlahan pesan dari Dito office. Hanya ada satu kalimat yang dikirimkan. Pasti mas Herman sudah menghapus semua pesan sebelum tidur.Kukirim nomor ponsel atas nama Dito ke ponsel ku. Aku beralih membuka ponselku dan melihat nomor ponsel yang baru kukirim. Kucocokkan dengan nomor Dita. Dan ternyata sama.Aku membuka w******p web di ponselku. Kuklik titik tiga pada bagian atas w******p web. Dan kupilih dekstop site. Lalu muncullah kode QR, selanjutnya aku membuka kode QR di ponsel mas Arif. Dan kuarahkan kamera ponsel mas Arif ke layar ponsel ku.Umpan telah ditebar dan sekarang saatnya aku bertindak sebagai istri sah.Mumpung mas Herman tidur, aku segera mengetik pesan ke nomor Dito.[Sayang sekali ya, semalam kita nggak mengabadikan foto saat kita bersama.]Aku menunggu dengan jantung berdebar kencang saat di layar ponsel mas Herman bertuliskan 'sedang mengetik'.[Wah, kamu ini amnesia ya? Aku kan sudah merekam video dan mengambil foto saat kita di ranjang?]Aku menelan ludah. Ini pahit. Tapi aku harus mengetahui hal ini.[Oh, iya aku lupa. Apa boleh aku minta foto kita lagi? Yang semalam terhapus. Aku rindu banget sama kamu.][Hm, katanya kamu sudah menyimpan foto-foto dan video kita di laptop kamu? Gimana sih kamu?][Oh iya. Aku lupa, mungkin karena aku mengantuk. Ya sudah, aku tidur dulu dari pada tidak fokus.][Iya Sayang. Jangan bercinta dengan istrimu dong! Aku cemburu!]Aku mendelik. Astaga, apa-apaan pelakor ini? Dia cemburu pada istri sah? Sudah buntu udel nya rupanya.Aku segera menghapus semua pesan dari Dita, lalu meletakkan ponsel mas Herman di tempat semula. Aku lalu berjalan ke arah ruang kerja mas Herman dan menuju ke arah laptop nya.Setelah menyala, kuamati satu persatu dokumen di laptop itu untuk mencari bukti foto dan video mes*m mereka.Selama ini aku selalu percaya pada mas Herman karena dia tidak menunjukkan gelagat aneh, sehingga kami tidak saling mengontrol hp dan laptop masing pasangan. Tapi ternyata setelah sukses, dia mulai bermain api. Awas saja kamu, Mas!"Ah, ketemu!"Aku ternganga saat melihat foto dan video ranjang suamiku dan Pelakor itu di file tempat sampah dokumen.Hatiku hancur, air mata berlelehan, dan badanku gemetar. Setega ini mas Herman padaku setelah aku memberikan semuanya untuk nya."Tunggu, Mas. Aku akan main cantik, dan mengganti nama rumah ini, BPKB mobil, serta sawah kita. Awas kamu!"Next?Aku mengamati foto dan video di hadapan ku walaupun hati menyuruh untuk segera mema tikannya. Tapi otak memberi aba-aba padaku untuk mempelajari foto dan video yang ada di hadapanku. Ya, aku harus tahu mulai kapan suamiku berselingkuh dengan janda itu. Aku menggulir lingkaran mungil di mouse dan mendapatkan foto pertama yang diposting oleh mas Herman. Sekitar dua bulan lalu. Kalau melihat ranjang dan ruangan sebagai latar mereka berfoto, sepertinya berganti-ganti. Seperti di hotel dan di kamar biasa. Tanganku terkepal. Selama ini aku yang hanya mendengarkan berita dan film tentang pelakor, sekarang dipaksa harus menerima kenyataan bahwa suamiku telah tergoda pelakor. Aku menghela nafas panjang. Melepaskan rasa sesak di dada, membayangkan anakku yang akan menjadi anak korban broken home. Tapi aku segera menenangkan hati, lebih baik Windi menjadi anak korban broken home daripada mempunyai ayah yang berzina dan membohongi ibunya. Akan lebih buruk untuk tumbuh kembang Windi jika dia tu
"Astaga, Mbak Dita! Kok bisa jatuh? Tangannya licin? Atau masih ada sabunnya?" tanya pura-pura berempati. Dita segera menggelengkan kepalanya. "Ma-maaf, Bu Dinda. Saya tadi melamun sebentar karena teringat suami saya saat ada main dengan perempuan lain. Oh ya, Bu Dinda belum menjawab pertanyaan saya," ujar Dita. Nada suara nya terdengar gugup tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Pertanyaan kamu yang mana, Mbak?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku berbalik dan mengambil sapu serta pengki lalu menyerahkannya ke arah Dita. "Mbak, karena mbak Dita yang sudah menjatuhkan dan memecahkan piring serta mengotori rumah saya, jadi mbak yang harus membersihkan nya. Tolong buang ke tempat sampah di luar sana, Mbak." Aku menunjuk tempat sampah dari bambu di luar rumah samping dapur. Dita tampak tercengang. "Saya yang harus membersihkan ini?""Iya. Karena mbak Dita yang mengotori rumah saya."Dita terlihat bersungut-sungut mengambil sapu dan pengki dari tanganku."Jadi kenapa Bu Dinda tega men
Aku baru saja menyimpan ponsel saat terdengar suara pintu depan diketuk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku segera ke ruang depan untuk membukakan pintu. "Pagi, Bu Dinda!""Pagi, Bi Inah, ayo masuk dulu."Aku mempersilahkan asisten rumah tanggaku untuk masuk kedalam rumah. Namanya bi Inah. Sudah berumur sekitar empat puluh lima tahun, sangat cekatan. Dia bekerja di sini mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Jadi kalau aku sedang dinas sore dan mas Herman belum pulang ke rumah, Windi ditemani oleh Bi Inah. "Sudah sarapan, Bi?" tanyaku saat bi Inah mulai meraih sapu dan pengki. "Sudah, Bu Dinda.""Oh, saya kita belum. Karena kalau belum sarapan, di meja makan ada lauk, Bi."Aku membuka tudung saji meja makan. Bi Inah melihat nya sekilas. "Wah, Bu Dinda mantap betul. Pagi-pagi sudah matang saja lauknya," ujar Bi Inah menatap ke arah tumis cumi pedas dan udang krispi. "Hm, itu bukan masakan saya, Bi. Jadi nanti kalau bi Inah pulang ke rumah, bawa saja ya semua lauk i
Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas. "Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik. Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga. "Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku. Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya. Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini. Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan. Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan. "Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" t
Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA. "Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo. Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas.""Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?""Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku. Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."Aku me
"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!""Saya dan beberapa ibu arisan akan membantu Bu Cici melabrak Dita. Bu Cici segera kesini saja."Panggilan telepon segera diakhiri setelah Bu Cici mengucap salam. "Bu Dinda, tadi baru saja telepon Bu Cici, istri nya pak Andre?" tanya Bi Inah dengan penuh rasa ingin tahu. Aku mengangguk dan tersenyum lalu mengirimkan pesan whatsapp ke seluruh anggota arisan geng kami yang berjumlah lima orang. Jadi total tujuh denganku dan Bu Cici.Aku mengirimkan foto pak Andre dan Dita yang sedang menurunkan beberapa tas dari dalam mobil ke seluruh anggota arisan. [Apa kalian sudah tahu kalau tetangga baru kita adalah pelakor? Sasarannya adalah pak Andre, suami Bu Cici. Ayo kita beri pelajaran berharga pelakor itu agar lebih pintar.]Terkirim dan langsung centang biru. Beberapa pesan balasan la
"Aawwww!" Dita menjerit kesakitan saat tangan kanan Bu Cici mendarat di pipinya. Sesaat mereka bertatap-tatapan. Dan kami semua tercengang dalam diam. Suasana hening sejenak. Tapi terasa memanas. Tangan Dita naik ke atas dan hendak memukul Bu Cici, saat pak Andre mendadak menangkap tangannya. "Sudah, Dit! Sudah!"Dita tercengang dan menurunkan tangannya dengan perasaan kesal. Sementara itu Bu Cici menatap ke arah Dita dengan senyum meledek. "Kenapa kau berbeda, Mas? Kamu takut dengan istrimu yang tua ini?" tanya Dita dengan mata melotot. "Heh, jaga ucapanmu ya? Tua kata kamu? Jangan seenaknya kalau bicara, pelakor!" seru Bu Cici tak kalah keras. Aku dan teman-teman lain sudah memasukkan semua papper bag dan kantung plastik berisi aneka baju dan sembako ke dalam mobil. Beberapa tetangga yang di kiri dan kanan rumahku yang biasanya cuek dan selalu menutup pintu pagar, kini keluar rumah dan menonton kami. Tak ketinggalan pula, Bi Inah terlihat mengintip dari balik pagar rumahku den
"Pak RT, saya tidak sudi kalau Dita tinggal di rumah pemberian orang tua saya! Saya mau Dita dan keluarganya pergi dari rumah ini sekarang juga!" seru Bu Cici berapi-api. "Apa? Nggak bisa gitu dong? Sewa rumah ini telah dibayar penuh pada bulan ini! Mana profesionalismenya, Bu!" geram Dita saat mendengar perkataan Bu Cici."Profesionalisme, profesionalisme, gundulmu kui! Saya kembalikan uang kamu bulan ini sekarang juga. Saya pemilik rumah ini dan saya berhak menentukan siapa yang akan menempati rumah ini dan siapa yang saya usir!" ujar Bu Cici tegas. "Yah, nggak bisa begitu dong, Bu! Nyari rumah kontrakan kan pakai proses. Emang bisa sim salabim! Lagipula kalau saya pindah, bagaimana dengan pekerjaan dan tempat sekolah anak saya? Nggak kasihan banget sih sama single mom! Mana empatinya pada sesama perempuan?!" ujar Dita. Wajahnya meringis menahan sakit. Bi Cici tertawa. Sementara itu semua anggota arisan juga tergelak. "Heh! Apa kamu bilang tadi? Empati?! Single mom? Kamu itu nge