Aku mengamati foto dan video di hadapan ku walaupun hati menyuruh untuk segera mema tikannya. Tapi otak memberi aba-aba padaku untuk mempelajari foto dan video yang ada di hadapanku.
Ya, aku harus tahu mulai kapan suamiku berselingkuh dengan janda itu. Aku menggulir lingkaran mungil di mouse dan mendapatkan foto pertama yang diposting oleh mas Herman. Sekitar dua bulan lalu. Kalau melihat ranjang dan ruangan sebagai latar mereka berfoto, sepertinya berganti-ganti. Seperti di hotel dan di kamar biasa.Tanganku terkepal. Selama ini aku yang hanya mendengarkan berita dan film tentang pelakor, sekarang dipaksa harus menerima kenyataan bahwa suamiku telah tergoda pelakor.Aku menghela nafas panjang. Melepaskan rasa sesak di dada, membayangkan anakku yang akan menjadi anak korban broken home. Tapi aku segera menenangkan hati, lebih baik Windi menjadi anak korban broken home daripada mempunyai ayah yang berzina dan membohongi ibunya. Akan lebih buruk untuk tumbuh kembang Windi jika dia tumbuh di lingkungan keluarga yang toksik dan penuh manipulasi.Aku mulai merancang rencana. Bisa saja aku mengadukan hal ini ke polisi dengan tuntutan kumpul ke bo. Tapi anakku pasti malu ayahnya masuk penjara. Lagi pula hal ini akan terlalu ringan bagi mas Herman dan Dita.Setelah cukup lama berpikir, kumatikan lagi laptop mas Herman, tentu saja setelah kupastikan bahwa tidak ada penempatan file yang berubah. Dan yang paling penting adalah aku tak lupa mengirimkan video dan foto mas Herman dengan Dita ke ponselku. Kemudian aku bergegas kembali ke kamar tidur.Saat naik ke ranjang, aku menatap wajah mas Herman sekilas. Ya Tuhan, bayangan foto dan video saat dia bergumul dengan perempuan lain berkelebat di kepalaku. Rasanya menyakitkan.'Benar sekali, Mas. Tahun ini adalah tahun terakhir kita merayakan anniversary pernikahan kita. Karena setelah aku mengamankan semua aset yang selama ini kita peroleh, aku akan menggugat cerai kamu.'Aku lalu merebahkan diri di samping mas Herman yang terlelap. Sebenarnya aku tidak bisa lagi seranjang dengan suamiku itu. Ingin rasanya tidur di kamar lain, atau menendang mas Herman agar keluar dari rumah. Tapi aku tidak boleh grusa grusu.Aku tidur membalikkan tubuh ke arah yang berlawanan dengan mas Herman. Tapi si*lnya aku tidak bisa memejamkan mata.***"Sayang, semalam aku terlalu lelah, jadi apakah jatah malam bisa berganti menjadi jatah subuh?" tanya mas Herman dengan nada menggoda.Mas Herman mengendus-endus leher dan belakang telinga saat aku mengganti piyama tidur dengan daster sebelum aku memasak sarapan.Biasanya aku terkikik geli dan langsung minta gendong karena hal itu merupakan salah satu kode darinya. Tapi kali ini aku tidak bisa. Aku tak sudi! Cangkul itu telah digunakan untuk menggali sawah lain.Lagipula, aku takut jika Dita tidak hanya berhubungan mas Herman, alias dia sering gonta-ganti lelaki, wah, bisa-bisa terjangkit penyakit kela min. Dan untuk waktu dua bulan lalu, semoga saja tidak terjadi hal-hal yang kutakutkan karena hubungan kami masih aktif dan tidak ada perubahan, karena itu aku heran sekali kenapa Mas Herman bisa-bisanya selingkuh, padahal aku sudah memenuhi kebutuhan perut dan bawah perut.Aku menoleh dan membalikkan tubuhku dalam dekapannya."Hm, aku lagi enggak enak badan, Mas. Jangan sekarang ya," tolakku halus.Ekspresi senang tergambar sesaat di wajah mas Herman. 'Tunggu! Aku tidak salah lihat kan? Dia justru senang kalau ajakan bercintanya kutolak? Apa dia hanya basa-basi denganku?'"Ya sudah. Kalau begitu kamu istirahat saja. Tidak usah masak, aku bisa makan roti untuk sarapan," sahut mas Herman melepaskan pelukannya."Hm, aku bisa kok kalau untuk sekedar membuat sarapan saja. Aku buatkan roti bakar dulu. Kamu mandi ya?""Siap, Ibu Negara!"Mas Herman mengacungkan kedua jempolnya ke arahku. Dan aku menuju ke arah pintu kamar."Oh ya, besok kita dinner di restoran berdua ya. Kita titipkan Windi pada mami saja."Aku mengangguk. "Tentu. Kan besok kita merayakan hari anniversary kita," sahutku. 'Dan juga terakhir kalinya,' sambungku dalam hati.Aku melanjutkan langkahku keluar kamar menuju dapur, baru saja aku hendak mengambil roti, mendadak terdengar suara salam dari arah pintu samping.Aku membukakan pintu samping dapur dan mendapati wajah Dita yang sedang tersenyum sumringah sambil membawa nampan. Menilik dari wajahnya, seperti nya umur Dita di bawah tiga puluh tahun. Aroma lezat tercium dari nampan itu bersaing dengan aroma harum yang menyengat dari baju janda itu."Hai Mbak, maaf mengganggu. Kemarin Rina bilang kalau Mbak Dinda menggorengkan kentang untuknya. Saya menjadi tidak enak karena mbak Dinda beberapa kali membuatkan makanan untuk anak saya. Jadi saya kesini ingin memberikan makanan yang saya masak sendiri," ujar Dita, mengulurkan nampannya padaku.Aku tersenyum. "Hm, mbak Dita ini repot-repot segala. Terimakasih ya, masuk dulu, Mbak. Aku gantiin piring dan mangkoknya," sahutku membuka pintu lebih lebar. Dita pun masuk ke dapurku melalui pintu samping. Dia berdiri di sebelahku dan tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur."Ini pertama kalinya saya masuk ke dapur Bu Dinda ya? Wah, dapurnya bagus. Enaknya punya rumah sendiri, punya keluarga lengkap, nggak kayak saya. Suami suka jajan di mich*t dan nggak tanggung jawab menafkahi saya.Jadinya saya gugat cerai dan nggak membawa apapun, karena selama menikah, suami saya begitu boros. Bahkan rumah pun hanya mengontrak. Andai saya punya suami dan kehidupan seperti mbak Dinda," ujar Dita.Aku tertawa dalam hati. Dia kehilangan suaminya karena suaminya jajan tapi sekarang dia menjadi selingkuhan suamiku.Mendadak Dita menutup mulutnya. "Ah, maaf, tanpa sengaja saya curhat," ucapnya.Aku menoleh dan menyerahkan nampan berisi mangkuk dan piringnya yang telah bersih setelah kucuci. Tak lupa pula kuberikan seplastik kentang goreng."Ini untuk Rina, Mbak.""Wah, sebenarnya tidak perlu, Bu Dinda. Ngomong-ngomong maaf kalau saya bertanya pada Bu Dinda, kalau Bu Dinda ada di posisi saya, apa yang akan Bu Dinda lakukan?"Aku menaikkan alis. Wah, dia sudah berani memberikan kode. Ini menarik. Dia menantangku rupanya. Aku menatap mata Dita lekat."Wah, pertanyaan bagus. Kalau suami saya ada main dengan perempuan lain, saya tidak akan tinggal diam. Saya akan membuat suami dan selingkuhannnya menderita.Minimal masuk penjara, biar merasakan dinginnya penjara dan dihajar penghuni lama di sana. Kabarnya sih penghuni penjara wanita paling benci dengan pelakor, saya pernah baca berita kalau ada pelakor yang jalan lahirnya dioles sambel dan remason di sana!"Praangggg!Wajah Dita memucat dan badannya gemetar. Mendadak dia menjatuhkan nampan yang dibawanya sehingga piring dan mangkok belingnya pecah berhamburan."Astaga, Bu Dinda! Kok bisa setega itu?!"Next?"Astaga, Mbak Dita! Kok bisa jatuh? Tangannya licin? Atau masih ada sabunnya?" tanya pura-pura berempati. Dita segera menggelengkan kepalanya. "Ma-maaf, Bu Dinda. Saya tadi melamun sebentar karena teringat suami saya saat ada main dengan perempuan lain. Oh ya, Bu Dinda belum menjawab pertanyaan saya," ujar Dita. Nada suara nya terdengar gugup tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Pertanyaan kamu yang mana, Mbak?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku berbalik dan mengambil sapu serta pengki lalu menyerahkannya ke arah Dita. "Mbak, karena mbak Dita yang sudah menjatuhkan dan memecahkan piring serta mengotori rumah saya, jadi mbak yang harus membersihkan nya. Tolong buang ke tempat sampah di luar sana, Mbak." Aku menunjuk tempat sampah dari bambu di luar rumah samping dapur. Dita tampak tercengang. "Saya yang harus membersihkan ini?""Iya. Karena mbak Dita yang mengotori rumah saya."Dita terlihat bersungut-sungut mengambil sapu dan pengki dari tanganku."Jadi kenapa Bu Dinda tega men
Aku baru saja menyimpan ponsel saat terdengar suara pintu depan diketuk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku segera ke ruang depan untuk membukakan pintu. "Pagi, Bu Dinda!""Pagi, Bi Inah, ayo masuk dulu."Aku mempersilahkan asisten rumah tanggaku untuk masuk kedalam rumah. Namanya bi Inah. Sudah berumur sekitar empat puluh lima tahun, sangat cekatan. Dia bekerja di sini mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Jadi kalau aku sedang dinas sore dan mas Herman belum pulang ke rumah, Windi ditemani oleh Bi Inah. "Sudah sarapan, Bi?" tanyaku saat bi Inah mulai meraih sapu dan pengki. "Sudah, Bu Dinda.""Oh, saya kita belum. Karena kalau belum sarapan, di meja makan ada lauk, Bi."Aku membuka tudung saji meja makan. Bi Inah melihat nya sekilas. "Wah, Bu Dinda mantap betul. Pagi-pagi sudah matang saja lauknya," ujar Bi Inah menatap ke arah tumis cumi pedas dan udang krispi. "Hm, itu bukan masakan saya, Bi. Jadi nanti kalau bi Inah pulang ke rumah, bawa saja ya semua lauk i
Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas. "Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik. Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga. "Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku. Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya. Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini. Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan. Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan. "Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" t
Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA. "Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo. Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas.""Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?""Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku. Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."Aku me
"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!""Saya dan beberapa ibu arisan akan membantu Bu Cici melabrak Dita. Bu Cici segera kesini saja."Panggilan telepon segera diakhiri setelah Bu Cici mengucap salam. "Bu Dinda, tadi baru saja telepon Bu Cici, istri nya pak Andre?" tanya Bi Inah dengan penuh rasa ingin tahu. Aku mengangguk dan tersenyum lalu mengirimkan pesan whatsapp ke seluruh anggota arisan geng kami yang berjumlah lima orang. Jadi total tujuh denganku dan Bu Cici.Aku mengirimkan foto pak Andre dan Dita yang sedang menurunkan beberapa tas dari dalam mobil ke seluruh anggota arisan. [Apa kalian sudah tahu kalau tetangga baru kita adalah pelakor? Sasarannya adalah pak Andre, suami Bu Cici. Ayo kita beri pelajaran berharga pelakor itu agar lebih pintar.]Terkirim dan langsung centang biru. Beberapa pesan balasan la
"Aawwww!" Dita menjerit kesakitan saat tangan kanan Bu Cici mendarat di pipinya. Sesaat mereka bertatap-tatapan. Dan kami semua tercengang dalam diam. Suasana hening sejenak. Tapi terasa memanas. Tangan Dita naik ke atas dan hendak memukul Bu Cici, saat pak Andre mendadak menangkap tangannya. "Sudah, Dit! Sudah!"Dita tercengang dan menurunkan tangannya dengan perasaan kesal. Sementara itu Bu Cici menatap ke arah Dita dengan senyum meledek. "Kenapa kau berbeda, Mas? Kamu takut dengan istrimu yang tua ini?" tanya Dita dengan mata melotot. "Heh, jaga ucapanmu ya? Tua kata kamu? Jangan seenaknya kalau bicara, pelakor!" seru Bu Cici tak kalah keras. Aku dan teman-teman lain sudah memasukkan semua papper bag dan kantung plastik berisi aneka baju dan sembako ke dalam mobil. Beberapa tetangga yang di kiri dan kanan rumahku yang biasanya cuek dan selalu menutup pintu pagar, kini keluar rumah dan menonton kami. Tak ketinggalan pula, Bi Inah terlihat mengintip dari balik pagar rumahku den
"Pak RT, saya tidak sudi kalau Dita tinggal di rumah pemberian orang tua saya! Saya mau Dita dan keluarganya pergi dari rumah ini sekarang juga!" seru Bu Cici berapi-api. "Apa? Nggak bisa gitu dong? Sewa rumah ini telah dibayar penuh pada bulan ini! Mana profesionalismenya, Bu!" geram Dita saat mendengar perkataan Bu Cici."Profesionalisme, profesionalisme, gundulmu kui! Saya kembalikan uang kamu bulan ini sekarang juga. Saya pemilik rumah ini dan saya berhak menentukan siapa yang akan menempati rumah ini dan siapa yang saya usir!" ujar Bu Cici tegas. "Yah, nggak bisa begitu dong, Bu! Nyari rumah kontrakan kan pakai proses. Emang bisa sim salabim! Lagipula kalau saya pindah, bagaimana dengan pekerjaan dan tempat sekolah anak saya? Nggak kasihan banget sih sama single mom! Mana empatinya pada sesama perempuan?!" ujar Dita. Wajahnya meringis menahan sakit. Bi Cici tertawa. Sementara itu semua anggota arisan juga tergelak. "Heh! Apa kamu bilang tadi? Empati?! Single mom? Kamu itu nge
Sejenak wajah Herman tercengang. Dia menghela nafas panjang. "Aku ... aku hanya asal menebaknya, Ma. Sepertinya aku terlalu banyak bekerja sehingga asbun, asal bunyi, dan asma, asal mangap saja. Maafkan aku," ucap Herman lirih dengan memijit pangkal keningnya. "Hm, ya sudah. Aku buatin teh hangat dulu ya? Nanti pas mandi, pakai air hangat saja. Kan tinggal menyalakan shower," ujar Dinda berlalu ke arah dapur. Herman termenung sesaat lalu segera menuju ke kamarnya mencari kabel isi ulang daya.Dengan sabar, dilihatnya ponsel nya walaupun terus menerus menampilkan layar hitam karena ponselnya masih dalam keadaan ma ti. "Mas, tehnya sudah siap," ujar Dinda yang muncul dari pintu kamar nya. Ponsel yang dipegang Herman seketika nyaris jatuh karena dia terkejut mendengar sapaan Dinda. "Eh, kamu, Ma." "Heem. Ini tehnya." Dinda meletakkan cangkir teh yang beraroma melati di atas nakas. "Terima kasih, Ma.""Sama-sama. Oh ya, dari tadi, kuperhatikan kamu menatap ke ponsel kamu terus, Ma