Share

bab 2. Mencari Bukti

Aku mengamati foto dan video di hadapan ku walaupun hati menyuruh untuk segera mema tikannya. Tapi otak memberi aba-aba padaku untuk mempelajari foto dan video yang ada di hadapanku.

Ya, aku harus tahu mulai kapan suamiku berselingkuh dengan janda itu. Aku menggulir lingkaran mungil di mouse dan mendapatkan foto pertama yang diposting oleh mas Herman. Sekitar dua bulan lalu. Kalau melihat ranjang dan ruangan sebagai latar mereka berfoto, sepertinya berganti-ganti. Seperti di hotel dan di kamar biasa.

Tanganku terkepal. Selama ini aku yang hanya mendengarkan berita dan film tentang pelakor, sekarang dipaksa harus menerima kenyataan bahwa suamiku telah tergoda pelakor.

Aku menghela nafas panjang. Melepaskan rasa sesak di dada, membayangkan anakku yang akan menjadi anak korban broken home. Tapi aku segera menenangkan hati, lebih baik Windi menjadi anak korban broken home daripada mempunyai ayah yang berzina dan membohongi ibunya. Akan lebih buruk untuk tumbuh kembang Windi jika dia tumbuh di lingkungan keluarga yang toksik dan penuh manipulasi.

Aku mulai merancang rencana. Bisa saja aku mengadukan hal ini ke polisi dengan tuntutan kumpul ke bo. Tapi anakku pasti malu ayahnya masuk penjara. Lagi pula hal ini akan terlalu ringan bagi mas Herman dan Dita.

Setelah cukup lama berpikir, kumatikan lagi laptop mas Herman, tentu saja setelah kupastikan bahwa tidak ada penempatan file yang berubah. Dan yang paling penting adalah aku tak lupa mengirimkan video dan foto mas Herman dengan Dita ke ponselku. Kemudian aku bergegas kembali ke kamar tidur.

Saat naik ke ranjang, aku menatap wajah mas Herman sekilas. Ya Tuhan, bayangan foto dan video saat dia bergumul dengan perempuan lain berkelebat di kepalaku. Rasanya menyakitkan.

'Benar sekali, Mas. Tahun ini adalah tahun terakhir kita merayakan anniversary pernikahan kita. Karena setelah aku mengamankan semua aset yang selama ini kita peroleh, aku akan menggugat cerai kamu.'

Aku lalu merebahkan diri di samping mas Herman yang terlelap. Sebenarnya aku tidak bisa lagi seranjang dengan suamiku itu. Ingin rasanya tidur di kamar lain, atau menendang mas Herman agar keluar dari rumah. Tapi aku tidak boleh grusa grusu.

Aku tidur membalikkan tubuh ke arah yang berlawanan dengan mas Herman. Tapi si*lnya aku tidak bisa memejamkan mata.

***

"Sayang, semalam aku terlalu lelah, jadi apakah jatah malam bisa berganti menjadi jatah subuh?" tanya mas Herman dengan nada menggoda.

Mas Herman mengendus-endus leher dan belakang telinga saat aku mengganti piyama tidur dengan daster sebelum aku memasak sarapan.

Biasanya aku terkikik geli dan langsung minta gendong karena hal itu merupakan salah satu kode darinya. Tapi kali ini aku tidak bisa. Aku tak sudi! Cangkul itu telah digunakan untuk menggali sawah lain.

Lagipula, aku takut jika Dita tidak hanya berhubungan mas Herman, alias dia sering gonta-ganti lelaki, wah, bisa-bisa terjangkit penyakit kela min. Dan untuk waktu dua bulan lalu, semoga saja tidak terjadi hal-hal yang kutakutkan karena hubungan kami masih aktif dan tidak ada perubahan, karena itu aku heran sekali kenapa Mas Herman bisa-bisanya selingkuh, padahal aku sudah memenuhi kebutuhan perut dan bawah perut.

Aku menoleh dan membalikkan tubuhku dalam dekapannya.

"Hm, aku lagi enggak enak badan, Mas. Jangan sekarang ya," tolakku halus.

Ekspresi senang tergambar sesaat di wajah mas Herman. 'Tunggu! Aku tidak salah lihat kan? Dia justru senang kalau ajakan bercintanya kutolak? Apa dia hanya basa-basi denganku?'

"Ya sudah. Kalau begitu kamu istirahat saja. Tidak usah masak, aku bisa makan roti untuk sarapan," sahut mas Herman melepaskan pelukannya.

"Hm, aku bisa kok kalau untuk sekedar membuat sarapan saja. Aku buatkan roti bakar dulu. Kamu mandi ya?"

"Siap, Ibu Negara!"

Mas Herman mengacungkan kedua jempolnya ke arahku. Dan aku menuju ke arah pintu kamar.

"Oh ya, besok kita dinner di restoran berdua ya. Kita titipkan Windi pada mami saja."

Aku mengangguk. "Tentu. Kan besok kita merayakan hari anniversary kita," sahutku. 'Dan juga terakhir kalinya,' sambungku dalam hati.

Aku melanjutkan langkahku keluar kamar menuju dapur, baru saja aku hendak mengambil roti, mendadak terdengar suara salam dari arah pintu samping.

Aku membukakan pintu samping dapur dan mendapati wajah Dita yang sedang tersenyum sumringah sambil membawa nampan. Menilik dari wajahnya, seperti nya umur Dita di bawah tiga puluh tahun. Aroma lezat tercium dari nampan itu bersaing dengan aroma harum yang menyengat dari baju janda itu.

"Hai Mbak, maaf mengganggu. Kemarin Rina bilang kalau Mbak Dinda menggorengkan kentang untuknya. Saya menjadi tidak enak karena mbak Dinda beberapa kali membuatkan makanan untuk anak saya. Jadi saya kesini ingin memberikan makanan yang saya masak sendiri," ujar Dita, mengulurkan nampannya padaku.

Aku tersenyum. "Hm, mbak Dita ini repot-repot segala. Terimakasih ya, masuk dulu, Mbak. Aku gantiin piring dan mangkoknya," sahutku membuka pintu lebih lebar. Dita pun masuk ke dapurku melalui pintu samping. Dia berdiri di sebelahku dan tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling dapur.

"Ini pertama kalinya saya masuk ke dapur Bu Dinda ya? Wah, dapurnya bagus. Enaknya punya rumah sendiri, punya keluarga lengkap, nggak kayak saya. Suami suka jajan di mich*t dan nggak tanggung jawab menafkahi saya.

Jadinya saya gugat cerai dan nggak membawa apapun, karena selama menikah, suami saya begitu boros. Bahkan rumah pun hanya mengontrak. Andai saya punya suami dan kehidupan seperti mbak Dinda," ujar Dita.

Aku tertawa dalam hati. Dia kehilangan suaminya karena suaminya jajan tapi sekarang dia menjadi selingkuhan suamiku.

Mendadak Dita menutup mulutnya. "Ah, maaf, tanpa sengaja saya curhat," ucapnya.

Aku menoleh dan menyerahkan nampan berisi mangkuk dan piringnya yang telah bersih setelah kucuci. Tak lupa pula kuberikan seplastik kentang goreng.

"Ini untuk Rina, Mbak."

"Wah, sebenarnya tidak perlu, Bu Dinda. Ngomong-ngomong maaf kalau saya bertanya pada Bu Dinda, kalau Bu Dinda ada di posisi saya, apa yang akan Bu Dinda lakukan?"

Aku menaikkan alis. Wah, dia sudah berani memberikan kode. Ini menarik. Dia menantangku rupanya. Aku menatap mata Dita lekat.

"Wah, pertanyaan bagus. Kalau suami saya ada main dengan perempuan lain, saya tidak akan tinggal diam. Saya akan membuat suami dan selingkuhannnya menderita.

Minimal masuk penjara, biar merasakan dinginnya penjara dan dihajar penghuni lama di sana. Kabarnya sih penghuni penjara wanita paling benci dengan pelakor, saya pernah baca berita kalau ada pelakor yang jalan lahirnya dioles sambel dan remason di sana!"

Praangggg!

Wajah Dita memucat dan badannya gemetar. Mendadak dia menjatuhkan nampan yang dibawanya sehingga piring dan mangkok belingnya pecah berhamburan.

"Astaga, Bu Dinda! Kok bisa setega itu?!"

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status