Setelah Hana pergi berangkat ke sekolah. Akupun kembali masuk ke rumah.
Ibu terlihat masih membaca surat dari sekolah yang kuberikan tadi. Benar apa yang dikatakan Hana, wajahnya tak terlihat seperti sedang marah. Tapi walaupun begitu, aku masih harus berjaga-jaga agar tak dimarahi olehnya.
Akupun berniat untuk pergi ke kamar lalu mengunci nya supaya ibu tidak bisa masuk dan memarahiku. Tapi seperti yang kupikirkan sebelumnya, ibu pasti sudah menyadari rencana klasik yang sudah kuulangi beberapa kali ini.
"Erika, kesini sebentar..." Ibuku memanggil dengan suara yang nyaris tak bisa kudengar saking kecilnya.
Akupun menghampirnya dengan perasaan campur aduk antara takut dan sedih. Kepalaku menunduk dan mencoba untuk tak memandang sorot matanya yang lebih menyeramkan dari penyihir abad pertengahan.
"Hana nya udah berangkat kan? duduk!...".
Akupun mulai duduk di sofa. Aku masih saja tak berani mengangkat kepalaku hanya untuk sekedar melihat wajahnya yang pasti sudah membendung emosi terlalu lama.
Lalu tiba tiba dia datang menghampiri dan duduk di sebelahku. Dengan rasa canggung dan takut yang menjadi satu, akupun memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Belum sempat aku mengangkatkan wajah, tiba tiba dia mengangkat tangan kanannya yang sepertinya bersiap untuk menampar cewek cengeng yang hampir menangis ini.
Lalu tiba tiba...
"Bagian mana aja yang sakit?".
"EH?!".
Dia memegang pipiku, mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Tatapan matanya sayu, dia seperti menahan air mata.
"E-engga ada kok mah, udah Hana obatin kemarin sama er-".
Belum sempat aku memberikan penjelasan, tiba tiba dia memelukku dengan erat. Nafas beratnya bisa kurasakan di leherku, air matanya tumpah membasahi punggungku.
"Kenapa kamu ngelakuin hal tidak berguna seperti itu?" Ibuku terisak.
Tak pernah aku mendapatkan pelukan sehangat ini selama hidupku. Apa sebenarnya seperti ini menjadi sosok orang tua? Menahan semua emosi yang sudah tak bisa terbendung karena menanggung beban yang berat hanya untuk menjaga anak anaknya?.
"A-apa maksud mamah?" Tanyaku.
"Kau tak perlu repot-repot ataupun bersusah payah untuk melindungi orang yang bahkan tak peduli padamu" Jawabnya.
"Tapi mamah bilang kalau aku harus membantu siapa pun tanpa memandang dia baik atau enggak kepada kita..." Jawabku kembali.
"Enggak-enggak itu hanya omong kosong, mamah juga awalnya berfikir kalau itu hal yang benar sehingga mamah mengajarinya padamu, tetapi itu kesalahan yang besar jika dilakukan olehmu, atau bahkan kita!" Ibuku mencoba menjelaskan.
Walaupun sebenarnya aku tak terlalu mengerti tentang apa yang ibuku katakan barusan. Tapi sepertinya dia memang mencoba melindungiku dari hal yang sebenarnya sudah kualami setiap hari disekolah.
Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini, tapi sepertinya ibuku tidak ingin melakukan kesalahan sama yang dilakukan olehnya dulu. Entah itu menyangkut ayahku atau apalah itu.
Ibuku masih memelukku, seperti yang kukatakan sebelumnya, dialah orang yang sepertinya paling khawatir tentang diriku walaupun dia tidak pernah menunjukan nya.
Aku bertanya
"Apa yang membuat Mamah khawatir sampai seperti ini tentang Erika?"
"Mamah melakukan hal yang sama denganmu. Melindungi orang yang bahkan tak peduli pada mamah, sampai akhirnya dia pergi dengan sendirinya entah kemana. Hanya menyisakan sejumlah uang yang bahkan tak pernah kita pakai".
Ibu pergi ke kamarnya lalu kembali membawa beberapa barang yang dibungkus dengan box bekas sepatu dan beberapa buah buku berukuran tebal. Reiza pun keluar dari kamarnya karena mendengar kegaduhan yang kami timbulkan sedari tadi tiba-tiba berhenti.
Ibu membuka box box tersebut. Terdapat beberapa surat, sobekan kertas, dan sejumlah uang yang cukup banyak.
"Ayahmu mengirimi surat dan sejumlah uang setiap bulan, mamah tak pernah membuka suratnya satupun, atau bahkan memakai uangnya untuk keperluan kita" Ibuku mulai menjelaskan.
Walaupun aku penasaran dari dulu tentang siapa ayahku, tapi sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan kepergian nya yang entah kemana. Dengan hidup sederhana seperti ini pun sudah cukup bagiku. Bahkan seperti nya jikalau dia muncul saat ini hanya akan menyebabkan kekacauan saja.
walau pemikiranku terkesan seperti pemikiran anak remaja yang baru pubertas, tapi sepertinya untuk saat ini aku masih yakin dengan pemikiranku.
Lalu ibu mulai membuka buku buku tebal, beberapa album foto. Sesuatu yang sempat aku fikir tidak akan pernah ada di rumah ini.
"Semua ini di simpan dikamar mamah, menunggu waktu yang tepat buat kamu dan Reiza" Sambungnya.
"Za udah tau kok" Reiza berbicara dari dapur.
"Kok Rei tau duluan mah?" Aku memprotes.
"Mana mamah tau..."
"Kan Za suka disuruh beres beres rumah kalo pulang sekolah, Za nemuin di bawah kasur mamah"
"Kamu udah baca semua suratnya juga?" Aku bertanya.
"Eng, belum sih..." Jawabnya.
"Kenapa ayah mengirim kabar melalui surat? bukan nya ada ponsel?" Aku bertanya pada ibu.
"Mamah gak tau, mungkin ayahmu gak ingin kita mengetahui dia ada dimana" Jawab ibu.
Aku berniat membaca surat surat ini bersama Hana dan Erin nanti. Mereka lah orang yang selalu memberiku jalan keluar di setiap masalah. Ya walaupun kita masih ada kasus dengan Zulfa yang harus di selesaikan di rumah Hana hari ini.
Ibu pun kembali membereskan barang-barang yang dibawanya dari kamar. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin kutanyakan, tapi karna aku tak terlalu mau ambil pusing tentang ayahku yang sampai kapanpun tak akan pernah pulang. Jadi aku hanya diam saja.
******
"Erika, Reiza... mamah berangkat ke toko dulu ya. Tolong jaga rumah. Oh iya, hari ini atau enggak besok kayaknya paket dari ayahmu dateng. Kalian ambil ya..." Teriak ibu sambil pergi keluar.
"Iya mah..." Jawab kami bersamaan.
Ibuku pergi berangkat bekerja di toko, adikku tidur karna demamnya belum membaik. Akhirnya aku hanya sendirian di rumah sambil menonton televisi di sofa dengan harapan bisa beristirahat setelah emosiku di pacu sedari tadi. Padahal ini masih pagi, tapi rasa kantukku ini masih bersemayam di kelopak mata, ditambah sepoi-sepoi dari kipas angin yang membuat pagi ini menjadi Waktu yang pas untuk tidur...
******
"Kak, kak bangun. Itu temen temen datang kerumah".
"Ah eng... mmm apasi Rei ah ngantuk".
"Itu kak Hana dat-".
"Iya iya suruh masuk aja ah".
"Icha, cha bangun cha. Kita mau ngomongin masalah kemarin"
Aku pun terbangun setelah mendengar suara Hana, ya... bagaimana tidak. Dia terus mengguncangkan tubuhku.
"EH?! Eh kok banyak orang?" Aku terbangun kaget.
Ada sekitar tujuh orang yang datang kerumahku. Diantaranya Hana, Erin, Zeinal dan dua temannya ditambah dua perempuan lain yang wajahnya tak kukenali.
"Hana?! ini kenapa pada kesini semua? bukannya kumpulnya di rumahmu?"
Aku yang baru terbangun dengan rambut yang terurai dan baju yang berantakan jelas saja kaget jika tiba-tiba banyak orang di hadapan nya.
"Kak Hana... I-ini Erika? kok rambutnya panjang" Tiba-tiba Zeinal berbicara.
"Lah iya, kalian di sekolah kan cuman lihat dia pake kupluk"
"Oh iya Cha, tadi kita udah kerumahku. Tapi dirumahnya ada ayah yang ngundang temen temen kerjanya buat makan malem" Sambungnya.
"Jadi?" Tanyaku.
"Ya kita diskusi nya disini" Kata Erin.
"Terus ini dua cewek, mereka temen deketnya Zulfa" Ze menambahkan.
Aku baru ingat, saat aku bertarung dengan Ze kemarin. Hana sempat menangis dan ditenangkan oleh dua orang perempuan yang kemungkinan adalah mereka.
"Haduh... yaudah pada duduk aja dulu. Rei?! Tolong ambilin minum buat mereka. Aku mau ganti baju dulu".
"Eh iya tadi Gue kaget loh si Erika punya adek" Kata teman nya Ze.
"Ahaha Gue juga kaget rambut si Erika panjang" Sambung teman Ze yang lain.
"Padahal kayaknya dia bakalan cakep kalo rambutnya diurai pas sekolah" Ze menambahkan.
"Yah... Ze kok jadi naksir?" Erin membalas.
Mereka tertawa, bahagia. pemandangan yang selalu kuharapkan agar terus kulihat sampai kapanpun. Mereka tetap seorang manusia yang rela menyisakan sisa hari harinya hanya untuk menyelesaikan sebuah masalah yang bahkan tak terlalu penting bagi mereka.
TO BE CONTINUED...
Gelap malam menjadi titik tumpu pandanganku hari ini, membiarkan pikiran melayang bebas mencari jawaban setelah apa yang terjadi sejauh ini sebelum akhirnya dering telpon menyadarkan ku dari lamunan."Iya Halo?," aku mengambil ponsel di sebelahku."Erin ngajak keluar, ikut gak?" Suara serak Hana mulai terdengar."Kenapa dia gak langsung bilang aja?," Tanyaku. "Pulsa dia gak bakal cukup buat nelpon kamu yang dari tadi di spam gak bales bales".Benar saja, setelah mengecek kembali, Erin mengirim puluhan pesan sejak dua puluh menit yang lalu. Dia mengajak kami berdua untuk datang berkunjung kerumahnya dengan alasan kesepian karena orang tua nya sedang tidak ada di rumah."Iya-iya, tapi kita gak pernah pergi kerumahnya, katanya kemarin Deket perumahan?" Tanyaku."Pokoknya bawa sepeda mu".Dia menutup telfon tanpa menjawab pertanyaan ku, sekali lagi pandanganku teralih pada malam deng
"Eh eh eh ini seriusan?" Aku memegang erat pundak Hana sambil melihat ke lantai dasar."Tenang dulu Cha, kita periksa dulu ke bawah" Hana menarik tanganku yang disusul oleh Erin.Kami berlari menuruni tangga satu persatu menuju lantai bawah tempat Ze terjatuh. Rasa cemas terus menyelimuti, berharap satu satunya petunjuk yang kami punya tidak hilang begitu saja."OSIS mana OSIS?! Bantu ibu sini!" Seseorang dari kerumunan memanggil-manggil kami sambil melambaikan tangannya."Hadir bu, kita harus bagaimana?" Tanya Erin sebagai ketua kami."Emm..., gini. Erika sama Hana tolong bilang ke murid yang lain untuk masuk kelas terlebih dahulu, Erin bantu ibu menghubungi orang tuanya" Perintah guru BK kami."Tapi bu, kita harus bilang apa sama murid lain?" Tanyaku."Ah Iya, oke gini aja deh. Biar semua gak pada ribut, kamu suruh mereka kumpul di lapangan belakang, karna ini udah mau jam terakhir juga, nan
Akhirnya hari ini aku sudah bisa masuk sekolah setelah tiga hari diskors, sampai akhirnya aku harus menerima fakta bahwa sebelum kita menyelesaikan kasus uang hilang ini, kita akan menjadi bahan untuk orang orang melampiaskan emosinya."Tumbenan Hari ini gak ada yang manggil manggil koruptor" Ujar Hana yang baru kembali dari kantin.Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya, aku pribadi memang tak terlalu peduli dengan omong kosong mereka, begitu pun Erin dan juga Hana. Sepertinya mereka sudah mulai terbiasa dengan hal hal semacam itu sehingga orang orang ini sepertinya sudah mulai bosan mempermainkan kami, walaupun sebenarnya Hana cenderung tak mendapat ejekan apa-apa."Orang pada bosen... emang apa yang mereka harapkan dari ngatain kayak gitu kalo bukan reaksi marah dari kita?" Jawabku sambil mengeluarkan beberapa camilan yang dia bawa."Terus, yang kemarin udah ditanyain belum? yang kelas B sama F?" Sambungku.
Hari ini kami melanjutkan membahas tentang masalah yang baru muncul lagi hari ini, masih tentang hal yang sama."Uang sumbangan kelas perbulan ilang? seriusan?" Aku bertanya seakan tak percaya dengan apa yang kudengar barusan."Iya, uang sumbangan itu kan tadinya buat gantiin peralatan sekolah yang udah rusak" Erin mencoba menjelaskan."Aku takut kita dituduh korupsi lagi Cha..." Sambungnya."Iya aku tau, maksudku... ya masa ilang lagi? lagian kan uang itu disimpan di setiap ketua masing masing kelas?""Tapi Cha, yang kehilangan uang cuman beberapa kelas doang, termasuk kelasnya si Ze" Hana memperjelas."Eh, gimana maksudnya cuman beberapa kelas?" Tanyaku kembali."Cuman tiga kelas doang yang kena. Kelas dua belas B, dua belas D sama Kelas kita bertiga, kelas F" Ze mulai angkat bicara."Ahh....." Kami menghela nafas panjang sambil me
Mata kami saling bertemu, sebuah kebetulan dia bisa datang ke tempat dimana aku bekerja selama bertahun-tahun, atau mungkin bukan sebuah kebetulan.Dia memakai setelan hoodie dan juga topi. Hampir saja aku tak mengenalinya kalau bukan karna tas merah yang dia pakai di punggungnya."Hei tunggu!" Aku mengejar dia yang berlari keluar meninggalkan toko buku.Dia berlari perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian orang-orang disekitar. Aku terus mengikutinya sampai tiba disebuah gang buntu nan sempit."Gausah main kejar-kejaran lagi... " Aku menyandarkan tubuhku di tembok kotor yang sepertinya tidak pernah disentuh oleh makhluk hidup manapun."Kenapa kak Erika ada disana?" Dia bertanya dengan kepala yang masih menunduk, tak mau menatapku."Maksudmu toko buku itu? itu tempat aku kerja, lagian yang harusnya bertanya itu aku, kenapa kamu ada disini saat jam seko
"Kak bangun... kata mamah anterin Za ke sekolah"Seseorang membangunkanku dari nikmatnya tidur."Ahh iya iya, kamu mandi duluan, kakak siapin sarapan"Jawabku Sambil menarik kembali selimut.Hari kedua sejak aku di skorsing dari sekolah, aku yang biasa kerja paruh waktu sekarang memutuskan untuk bekerja full time. Setidaknya sampai aku mengingat sesuatu."Eh Rei pulang sekolah nya siang kan? mamah udah berangkat kerja?""Udah, makanya... Aku udah mandi dari tadi, sarapan udah dibuatin sama ayah, tinggal kakak yang siap siap"Jawabnya sambil meninggalkan kamarku.Ah iya, dia tinggal disini sekarang, aku tak perlu repot-repot menyiapkan sarapan lagi. Tapi tetap saja aku masih merasa canggung karena ucapanku padanya kemarin, secara kita baru pertama kali bertemu setelah bertahun-tahun, dan kalimat yang pertama kali muncul di bibirku malah terkesan seperti tak menerima