Share

Chapter 7 : Dad

Setelah Hana pergi berangkat ke sekolah. Akupun kembali masuk ke rumah.

Ibu terlihat masih membaca surat dari sekolah yang kuberikan tadi. Benar apa yang dikatakan Hana, wajahnya tak terlihat seperti sedang marah. Tapi walaupun begitu, aku masih harus berjaga-jaga agar tak dimarahi olehnya.

Akupun berniat untuk pergi ke kamar lalu mengunci nya supaya ibu tidak bisa masuk dan memarahiku. Tapi seperti yang kupikirkan sebelumnya, ibu pasti sudah menyadari rencana klasik yang sudah kuulangi beberapa kali ini.

"Erika, kesini sebentar..." Ibuku memanggil dengan suara yang nyaris tak bisa kudengar saking kecilnya.

Akupun menghampirnya dengan perasaan campur aduk antara takut dan sedih. Kepalaku menunduk dan mencoba untuk tak memandang sorot matanya yang lebih menyeramkan dari penyihir abad pertengahan.

"Hana nya udah berangkat kan? duduk!...".

Akupun mulai duduk di sofa. Aku masih saja tak berani mengangkat kepalaku hanya untuk sekedar melihat wajahnya yang pasti sudah membendung emosi terlalu lama.

Lalu tiba tiba dia datang menghampiri dan duduk di sebelahku. Dengan rasa canggung dan takut yang menjadi satu, akupun memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Belum sempat aku mengangkatkan wajah, tiba tiba dia mengangkat tangan kanannya yang sepertinya bersiap untuk menampar cewek cengeng yang hampir menangis ini.

Lalu tiba tiba...

"Bagian mana aja yang sakit?".

"EH?!".

Dia memegang pipiku, mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Tatapan matanya sayu, dia seperti menahan air mata.

"E-engga ada kok mah, udah Hana obatin kemarin sama er-".

Belum sempat aku memberikan penjelasan, tiba tiba dia memelukku dengan erat. Nafas beratnya bisa kurasakan di leherku, air matanya tumpah membasahi punggungku.

"Kenapa kamu ngelakuin hal tidak berguna seperti itu?" Ibuku terisak.

Tak pernah aku mendapatkan pelukan sehangat ini selama hidupku. Apa sebenarnya seperti ini menjadi sosok orang tua? Menahan semua emosi yang sudah tak bisa terbendung karena menanggung beban yang berat hanya untuk menjaga anak anaknya?.

"A-apa maksud mamah?" Tanyaku.

"Kau tak perlu repot-repot ataupun bersusah payah untuk melindungi orang yang bahkan tak peduli padamu" Jawabnya.

"Tapi mamah bilang kalau aku harus membantu siapa pun tanpa memandang dia baik atau enggak kepada kita..." Jawabku kembali.

"Enggak-enggak itu hanya omong kosong, mamah juga awalnya berfikir kalau itu hal yang benar sehingga mamah mengajarinya padamu, tetapi itu kesalahan yang besar jika dilakukan olehmu, atau bahkan kita!" Ibuku mencoba menjelaskan.

Walaupun sebenarnya aku tak terlalu mengerti tentang apa yang ibuku katakan barusan. Tapi sepertinya dia memang mencoba melindungiku dari hal yang sebenarnya sudah kualami setiap hari disekolah.

Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga ini, tapi sepertinya ibuku tidak ingin melakukan kesalahan sama yang dilakukan olehnya dulu. Entah itu menyangkut ayahku atau apalah itu.

Ibuku masih memelukku, seperti yang kukatakan sebelumnya, dialah orang yang sepertinya paling khawatir tentang diriku walaupun dia tidak pernah menunjukan nya.

Aku bertanya

"Apa yang membuat Mamah khawatir sampai seperti ini tentang Erika?"

"Mamah melakukan hal yang sama denganmu. Melindungi orang yang bahkan tak peduli pada mamah, sampai akhirnya dia pergi dengan sendirinya entah kemana. Hanya menyisakan sejumlah uang yang bahkan tak pernah kita pakai".

Ibu pergi ke kamarnya lalu kembali membawa beberapa barang yang dibungkus dengan box bekas sepatu dan beberapa buah buku berukuran tebal. Reiza pun keluar dari kamarnya karena mendengar kegaduhan yang kami timbulkan sedari tadi tiba-tiba berhenti.

Ibu membuka box box tersebut. Terdapat beberapa surat, sobekan kertas, dan sejumlah uang yang cukup banyak.

"Ayahmu mengirimi surat dan sejumlah uang setiap bulan, mamah tak pernah membuka suratnya satupun, atau bahkan memakai uangnya untuk keperluan kita" Ibuku mulai menjelaskan.

Walaupun aku penasaran dari dulu tentang siapa ayahku, tapi sebenarnya aku tidak begitu peduli dengan kepergian nya yang entah kemana. Dengan hidup sederhana  seperti ini pun sudah cukup bagiku. Bahkan seperti nya jikalau dia muncul saat ini hanya akan menyebabkan kekacauan saja.

walau pemikiranku terkesan seperti pemikiran anak remaja yang baru pubertas, tapi sepertinya untuk saat ini aku masih yakin dengan pemikiranku.

Lalu ibu mulai membuka buku buku tebal, beberapa album foto. Sesuatu yang sempat aku fikir tidak akan pernah ada di rumah ini.

"Semua ini di simpan dikamar mamah, menunggu waktu yang tepat buat kamu dan Reiza" Sambungnya.

"Za udah tau kok" Reiza berbicara dari dapur.

"Kok Rei tau duluan mah?" Aku memprotes.

"Mana mamah tau..."

"Kan Za suka disuruh beres beres rumah kalo pulang sekolah, Za nemuin di bawah kasur mamah"

"Kamu udah baca semua suratnya juga?" Aku bertanya.

"Eng, belum sih..." Jawabnya.

"Kenapa ayah mengirim kabar melalui surat? bukan nya ada ponsel?" Aku bertanya pada ibu.

"Mamah gak tau, mungkin ayahmu gak ingin kita mengetahui dia ada dimana" Jawab ibu.

Aku berniat membaca surat surat ini bersama Hana dan Erin nanti. Mereka lah orang yang selalu memberiku jalan keluar di setiap masalah. Ya walaupun kita masih ada kasus dengan Zulfa yang harus di selesaikan di rumah Hana hari ini.

Ibu pun kembali membereskan barang-barang yang dibawanya dari kamar. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin kutanyakan, tapi karna aku tak terlalu mau ambil pusing tentang ayahku yang sampai kapanpun tak akan pernah pulang. Jadi aku hanya diam saja.

******

"Erika, Reiza... mamah berangkat ke toko dulu ya. Tolong jaga rumah. Oh iya, hari ini atau enggak besok kayaknya paket dari ayahmu dateng. Kalian ambil ya..." Teriak ibu sambil pergi keluar.

"Iya mah..." Jawab kami bersamaan.

Ibuku pergi berangkat bekerja di toko, adikku tidur karna demamnya belum membaik. Akhirnya aku hanya sendirian di rumah sambil menonton televisi di sofa dengan harapan bisa beristirahat setelah emosiku di pacu sedari tadi. Padahal ini masih pagi, tapi rasa kantukku ini masih bersemayam di kelopak mata, ditambah sepoi-sepoi dari kipas angin yang membuat pagi ini menjadi Waktu yang pas untuk tidur...

******

"Kak, kak bangun. Itu temen temen datang kerumah".

"Ah eng... mmm apasi Rei ah ngantuk".

"Itu kak Hana dat-".

"Iya iya suruh masuk aja ah".

"Icha, cha bangun cha. Kita mau ngomongin masalah kemarin"

Aku pun terbangun setelah mendengar suara Hana, ya... bagaimana tidak. Dia terus mengguncangkan tubuhku.

"EH?! Eh kok banyak orang?" Aku terbangun kaget.

Ada sekitar tujuh orang yang datang kerumahku. Diantaranya Hana, Erin, Zeinal dan dua temannya ditambah dua perempuan lain yang wajahnya tak kukenali.

"Hana?! ini kenapa pada kesini semua? bukannya kumpulnya di rumahmu?"

Aku yang baru terbangun dengan rambut yang terurai dan baju yang berantakan jelas saja kaget jika tiba-tiba banyak orang di hadapan nya.

"Kak Hana... I-ini Erika? kok rambutnya panjang" Tiba-tiba Zeinal berbicara.

"Lah iya, kalian di sekolah kan cuman lihat dia pake kupluk"

"Oh iya Cha, tadi kita udah kerumahku. Tapi dirumahnya ada ayah yang ngundang temen temen kerjanya buat makan malem" Sambungnya.

"Jadi?" Tanyaku.

"Ya kita diskusi nya disini" Kata Erin.

"Terus ini dua cewek, mereka temen deketnya Zulfa" Ze menambahkan.

Aku baru ingat, saat aku bertarung dengan Ze kemarin. Hana sempat menangis dan ditenangkan oleh dua orang perempuan yang kemungkinan adalah mereka.

"Haduh... yaudah pada duduk aja dulu. Rei?! Tolong ambilin minum buat mereka. Aku mau ganti baju dulu".

"Eh iya tadi Gue kaget loh si Erika punya adek" Kata teman nya Ze.

"Ahaha Gue juga kaget rambut si Erika panjang" Sambung teman Ze yang lain.

"Padahal kayaknya dia bakalan cakep kalo rambutnya diurai pas sekolah" Ze menambahkan.

"Yah... Ze kok jadi naksir?" Erin membalas.

Mereka tertawa, bahagia. pemandangan yang selalu kuharapkan agar terus kulihat sampai kapanpun. Mereka tetap seorang manusia yang rela menyisakan sisa hari harinya hanya untuk menyelesaikan sebuah masalah yang bahkan tak terlalu penting bagi mereka.

TO BE CONTINUED...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status