MasukSelain karena pertanyaan intens Emma tentang siapa yang datang kemarin, kening Chris makin mengerut begitu melihat ponselnya ada di tangan oleh Emma.
Sudah dua tahun menikah, selama ini Emma dan Chris tidak pernah memeriksa ponsel satu sama lain tanpa izin. Emma sangat percaya pada Chris, sehingga ia tidak pernah berpikiran negatif kalau Chris akan menyembunyikan sesuatu darinya. Pagi ini adalah pertama kalinya ia membuka ponsel Chris tanpa diketahui oleh Chris, itu pun hanya melihat notifikasi pesan saja, tidak lebih. Namun tampaknya, hal itu membuat Chris sangat tidak suka. Pria berambut pompadour itu menjawab, “Itu temanku.” “Temanmu yang mana? Wanita atau pria? Apakah kemarin dia datang ke sini? Kenapa dia membawa-bawa namaku?” Chris menghela napas. “Temanku dari kantor, Emma. Dan tentu saja dia pria. Dia pernah datang ke sini pekan lalu saat kau sedang lembur, lalu kami minum-minum bersama. Dia tahu kau melarangku minum alkohol, makanya aku baru bisa mempersilakan dia untuk datang saat kau sedang lembur. Puas?” Emma terdiam. Kalau memang yang dikatakan Chris benar, maka tentu ia merasa bersalah karena membuat Chris kesal pagi-pagi begini. Hanya saja, ada bagian dari perasaannya yang seolah tidak yakin dengan perkataan Chris, sehingga ia tetap menaruh rasa curiga. Selagi ia masih terdiam dan sibuk memaksa dirinya sendiri untuk tidak curiga pada suaminya itu, Chris mencoba merebut ponsel dari tangannya dengan sangat kasar sambil menggerutu, “Lancang sekali kau membuka-buka ponselku.” Tindakan Chris yang kasar dan tiba-tiba, membuat Emma merasa tidak terima, sehingga ia defensif dan menahan ponsel itu agar tak bisa direbut oleh Chris. “Aku tidak membuka ponselmu. Aku hanya tak sengaja melihat notifikasinya saja ketika kebetulan aku ingin membawakan ponselmu ke dapur,” sahut Emma dengan nada bicara yang meninggi. Tangan kanannya masih terus mencengkeram ponsel Chris. “Tetap saja kau lancang! Aku tidak mengizinkanmu menyentuh ponselku!” “Sekalipun kau tidak mengizinkan, seharusnya sah-sah saja jika aku menyentuh ponselmu. Memang apa salahnya? Aku ini istrimu! Perkara aku melihat notifikasi di ponselmu saja, kau mendadak marah-marah begini. Apakah ada yang kau sembunyikan di ponselmu selama ini?!” tukas Emma. Emma tidak tahu apa yang salah pada suaminya. Namun setelah ia selesai melontarkan tuduhan seperti barusan, tiba-tiba Chris melayangkan tamparan ke pipi kirinya. Tamparan yang sangat keras, efektif membuat wajah Emma terhempas ke samping dan ia terhuyung setengah langkah. Jelas terkejut bukan main. Rasa tak percaya membuat Emma mematung menatap lantai, lalu akhirnya Chris berhasil merebut ponselnya dari tangan Emma. Sikap Chris benar-benar aneh. Emma makin yakin bahwa ada sesuatu yang Chris sembunyikan, terutama di ponselnya. Wajar jika ia jadi terdorong untuk memeriksa ponsel Chris. Dengan begitu, mengesampingkan sejenak tentang tamparan di pipinya barusan meski itu membuatnya sangat kesakitan, ia berusaha mengambil kembali ponsel Chris secara paksa. Namun, Chris mencengkeram pergelangan tangan Emma dengan sangat keras dan kasar, lalu mendorong tubuh istrinya itu sampai sang istri menjauh darinya. Kalau saja punggung Emma tak menabrak kulkas, dorongan Chris bisa mengakibatkan Emma jatuh ke lantai dan itu dapat membahayakan kandungannya. “Kau benar-benar keterlaluan!” bentak Emma. “Apa yang kau sembunyikan di ponselmu, hah?!” Chris sedikit merasa bersalah setelah mendorong Emma seperti barusan. Dia berdecak seraya menyahut dengan emosinya yang berusaha dia tahan, “Tidak ada yang aku sembunyikan, Emma.” “Kalau memang tidak ada, maka berikan ponselmu itu padaku! Biarkan aku memeriksanya.” Emma kembali mendekat pada Chris dan mencoba lagi merebut ponsel dari tangan Chris. Entah apa yang mempengaruhi Chris sampai seperti kesetanan, tindakan yang kemudian Chris lakukan, membuat Emma merasa tidak mengenali suaminya sendiri. Chris mencengkeram pergelangan tangan kanan Emma dan memelintir tangan itu sampai Emma menjerit kesakitan, memukuli tangan Emma berkali-kali supaya Emma berhenti mencoba merebut ponsel. Chris bahkan menampar pipi Emma empat kali berturut-turut kala Emma berupaya melawan. Sambil mengumpat kasar, kemudian Chris mendorong Emma sampai tubuhnya menghantam bagian depan kulkas. Semua itu terjadi begitu cepat sampai Emma tidak punya kesempatan untuk membela diri. Saking cepat dan terasa mendadak sekali, Emma merasa seperti sedang bermimpi. Emma adalah wanita yang sebenarnya cukup tangguh, kuat, dan sangat pemberani. Kalau saja dirinya tidak sedang hamil, kalau saja pengaruh kehamilan tidak membuatnya mudah lelah dan tenaganya sangat kecil, dan kalau saja semua perlakuan Chris tidak terjadi secara mendadak serta tanpa jeda sedikitpun, ia pasti bisa melawan dan tidak akan pasrah begitu saja ketika dipukuli. Kini tubuhnya langsung lemas dan seperti mati rasa, bahkan untuk menangis saja Emma tidak bisa. Ia terlalu syok dan kebingungan, sehingga ia hanya mematung dalam posisinya di depan pintu kulkas. Bekas pukulan Chris jelas akan meninggalkan bekas. Terutama di bagian tangan Emma yang kebas dan lama-kelamaan pasti akan terasa sakit sekaligus nyeri sebelum memar-memar. Sementara itu, Chris masih mengumpat kasar. Membawa ponsel yang seolah dia anggap lebih berharga daripada istrinya yang sedang hamil tua, dia berjalan pergi dari dapur meninggalkan Emma yang masih mematung sendirian. *** Bersambung .....(Tiga Tahun Kemudian)Televisi yang ada di dapur menyala, Emma membuat jus dan memotong buah sambil terus menonton video yang terputar di televisi itu dengan senyum yang tak henti tersungging.Televisi tidak sedang menayangkan film atau acara komedi. Tidak pula menayangkan film romantis. Melainkan menayangkan video pernikahan Andrew dan Emma.Pada bagian ia dan Andrew berdansa, senyum Emma kian melebar. Sesekali ia tertawa kecil ketika dalam video itu ia dan Andrew tiba-tiba tertawa tanpa sebab di tengah Dansa Waltz yang mereka lakukan.Sejak ia dan Andrew menikah dua tahun lebih, ia sudah menonton video pernikahan itu puluhan kali. Atau mungkin ratusan.Emma tak ingat.Tapi yang pasti, segala yang ada dalam acara pernikahan itu, mulai dari gaun pengantinnya, tuksedo Andrew, dekorasi tempat acara dilaksanakan, suasananya, ciuman pertama setelah resmi menjadi suami-istri, buket dan mawar pink yang bertaburan indah, hingga dansa pertama mereka ... semuanya tak pernah membuat Emma bosan.
“Andrew!”Andrew menoleh ke belakang dan berbalik.Senyum pria yang mengenakan kemeja abu-abu tua itu merekah hangat saat melihat Emma berlari menghampirinya. Ia langsung menyambut Emma ke dalam pelukan erat saat Emma tiba tepat di hadapannya.“Sudah kuduga, memang ada yang aneh. Dari kemarin aku tidak bisa menghubungimu sama sekali. Ternyata kau diam-diam datang ke New York, ya?” tutur Emma setengah terharu sambil memeluk Andrew erat-erat.Andrew tertawa, tangannya membelai rambut cokelat Emma yang tergerai.Aroma parfum mahal Andrew yang selalu terasa segar di hidung dan sangat menonjolkan sosok maskulinnya, makin lekat di indra penciuman Emma saat ia memeluk erat. Itu membuat Emma semakin senang. Ia rindu sekali pada aroma tubuh Andrew yang tak bisa ia hirup dari dekat begini selama dua bulan belakangan.“Kau membuatku khawatir sekali, Andrew,” keluh Emma seraya mengendurkan pelukan dan mendongak untuk menatap Andrew. “Kau tidak bisa dihubungi. Aku takut sesuatu terjadi padamu ...
“Siapa Tuan Putri paling cantik di dunia?”Nancy yang sudah mulai belajar bicara, menunjuk wajah Emma sambil tersenyum lebar dan berkata, “Ma-ma ....”Emma tertawa gemas dan mencium pipi Nancy. “Itu kurang tepat, Sayang. Kaulah Tuan Putri paling cantik di dunia. Siapa nama Tuan Putri paling cantik ini?”“Nanci.”Tawa Emma makin lebar. “Nanci? Apakah kau menyebut dirimu Nanci karena ibu sering bergurau menyebutnya, lalu mengatakan bahwa sebutan itu adalah namamu yang bisa disebut dengan cara berbeda di belahan dunia lain?”Nancy tak tahu makna kalimat panjang lebar Emma, tetapi dia merespons bunyi akhir kalimat yang menyuratkan tanda tanya, sehingga dia tetap tersenyum lebar dan mengangguk seolah paham.“Nan-cy. Namamu Nancy, Sayang. Cy dibaca ‘si’ seperti dalam bahasa Spanyol. Tapi tidak apa-apa. Kau baru sebelas bulan. Kau adalah bayi paling hebat!”Selama bermain di ruang tengah bersama Nancy, Emma melirik ponselnya untuk menunggu telepon dari Andrew.Dua bulan terakhir, selama Andr
Emma sudah bersiap untuk keluar dari apartemennya. Ia akan pergi ke Gedung Pengadilan Wilayah bersama Jack pagi ini.Jack akan mengurus dokumen dan identitas kenegaraan Andrew sebelum nanti Andrew kembali ke New York.Andrew memiliki kewarganegaraan ganda selama belasan tahun terakhir, semenjak Medtronic melebarkan sayap cabang sampai ke Australia dan Andrew yang memegang tanggung jawab atas cabang tersebut. Jadi, Andrew adalah warga negara Amerika Serikat dan mendapatkan legalisasi kewarganegaraan Australia juga setelah berjalan empat tahun berbisnis di sana.Maka dari itu, Jack sebagai asisten pribadi Andrew, perlu mengurus beberapa dokumen kenegaraan Andrew yang memang harus diperbarui secara rutin, baik di Amerika Serikat maupun di Australia, sebagai bentuk registrasi legal yang juga dibutuhkan untuk keperluan perusahaan di dua negara. Apalagi Andrew akan memiliki ekspansi besar di New York.Emma meminta untuk ikut dengan Jack, sebab hari ini jam praktiknya dimulai pukul tiga sore
Lift sudah sampai di lantai dasar gedung utama Cornell Hill. Emma melangkah keluar dari lift sembari membenarkan posisi tas yang tersampir di bahu kanannya.Saat ini waktu menunjukkan pukul empat sore. Emma akan pulang ke apartemennya menggunakan taksi.Ia tidak mau naik mobil selagi sedang hamil lagi, bahkan meskipun kehamilannya baru berjalan tiga bulan dan belum kelihatan sama sekali. Perutnya masih datar.Tapi sebelum sempat sampai ke pintu keluar di lobi Cornell Hill, langkah Emma terhenti. Ia melihat seorang pria yang sedang duduk di salah satu kursi ruang tunggu lobi, berkutat dengan iPad.Itu Jack. Asisten pribadi Andrew.Emma berjalan menghampiri Jack, lalu setelah Jack menyadari kedatangannya dan langsung berdiri, ia berkata, “Apa yang kau lakukan di sini, Jack? Aku, ‘kan, sudah bilang, kau tidak perlu repot-repot mengikutiku terus. Sana, pergilah ke Sydney!” “Kau mengatakan kalimat yang sama pada Tuan Andrew untuk memintanya membawaku kembali ke Sydney, tapi Tuan Andrew me
Tangan mungil Nancy yang lembut terus menggenggam jari telunjuk Emma sejak setengah jam yang lalu.Ketika sadar kalau Nancy sepertinya benar-benar sudah pulas dalam tidur, pelan-pelan Emma menarik jarinya dari genggaman putrinya tersebut, lalu menjauh dari ranjang bayi Nancy, yang mana ranjang bayi itu sudah disiapkan oleh pelayan rumah Keluarga Maurice di dalam salah satu kamar tamu yang disediakan untuknya.Saat ini waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Emma belum mengantuk sama sekali dan tidak bisa tidur. Ia berpikir mungkin berkeliling sebentar di halaman depan rumah yang sangat luas bisa membuatnya cepat lelah, lalu lebih mudah tertidur nantinya.Setelah memastikan kamera pada monitor bayi portable yang ia bawa sudah aktif dan terhubung ke ponselnya, ia keluar dari kamar. Jadi, ia tetap bisa memantau Nancy lewat ponselnya untuk mengantisipasi keadaan putrinya tersebut.Saat Emma melewati ruang keluarga, di mana di sana terdapat pohon Natal yang sangat besar dan dihias sangat i







