Renata dan Ines kembali ke rumah dengan setengah berlari. Duda tampan di seberang itu bagai magnet bagi keduanya. Saat sampai di depan rumah Renata, pria itu tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon.
"Bang, sudah lama datang?" tanya Ines dengan terengah.
"Baru aja." Satria berdiri, kemudian menyalami keduanya.
"Kok enggak masuk, nunggu di rumah saya?" tanya Renata.
"Ah, sungkan. Saya lebih senang duduk di pinggir sungai ini sambil melihat orang olahraga di hutan kota."
"Mana barangnya, Bang?" tanya Ines lagi.
Satria menunjuk dua koper besar yang diletakkan di depan pintu gerbang.
Renata menyetir dengan berdebar. Sosok jangkung di sampingnya membuat jantung bergetar. Semakin diamati, pria itu semakin mengundang rasa ingin tahu. Selain postur tubuh dan wajah yang rupawan, raut wajah itu begitu unik karena memancarkan sesuatu yang asing.Renata banyak berjumpa dengan klien dari berbagai kalangan. Ia terbiasa untuk mengenali kepribadian orang. Dari yang paling pendiam hingga yang senang berbicara berember-ember banyaknya. Dari yang mudah dimengerti hingga yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk mendekati. Dari semua jenis kepribadian itu, tidak ada yang seperti pria di sampingnya ini. Walau mudah tersenyum dan cukup banyak berbicara, auranya dingin, seperti terdapat semacam benteng yang membatasi mereka.“Kita mencari panggan
Renata dan Satria membawa barang – barang belanjaan masuk ke rumah. Renata meminta Satria membawa troli ke teras belakang yang menyambung dengan dapur. Ia sengaja merancang dapur terbuka agar saat meracik masakan bisa mendapat udara segar dan menikmati pemandangan taman serta koleksi sukulen milik Bagastya. Untuk itu ia meletakkan meja kayu panjang di tengah teras untuk melakukan pekerjaan dapur seperti memotong dan membersihkan bahan makanan. Bagastya kerap ikut duduk di situ. Sambil mengamati tanaman kesayangan, ia mengambil lauk yang selesai di goreng. Tak jarang makanan itu nyaris habis di meja itu tanpa sempat disajikan di ruang makan.Sambil mencuci ikan yang telah disiangi oleh penjual, Renata mengembuskan napas panjang berkali - kali. Betapa berbedanya situasi saat ini. Tidak ada Bagastya yang duduk di belakangnya, m
Sementara itu, di suatu tempat di Dufan..."Capek, Dew?" tanya Bagastya. Mereka duduk di restoran yang terletak di pinggir laut. Makan siang telah habis dan kini saatnya menikmati pemandangan pantai Ancol dengan ombak yang bergulung serta angin yang semilir. Bertiga dengan Dewi dan Nayla, Bagastya mengistirahatkan tubuh setelah sepanjang pagi berkeliling lokasi."Enggak. Biar aja begini," ujar Dewi yang menggendong Nayla. Balita itu tertidur. Barangkali kelelahan karena seharian berputar di area bermain. Mereka mengunjungi bianglala, sea world, menaiki berupa-rupa wahana dan mengunjungi berbagai pertunjukan menarik. Bagi orang dewasa kegiatan itu cukup menguras tenaga. Apalagi bagi gadis sekecil Nayla. Beruntung anak itu tidak rewel.
Bagastya memejamkan mata, menikmati sentuhan yang merayapinya. Semalam ia tidak mendapat jatah dari Renata sehingga kantung di bagian bawah itu berdenyut keras minta dikosongkan. Denyutan itu bagaikan teriakan orang kelaparan yang benar – benar mendesak minta dikenyangkan. Bagastya tak ingin menahan sekarang. Ia bisa gila dan terkena darah tinggi! Akan tetapi, ia juga tidak ingin membuka tubuh Dewi. Sejenak kebingungan memenuhi otak. Sebenarnya ia tidak boleh atau tidak mau? Entahlah. Segala nalurinya berkata bahwa ia hanya ingin membuka dan melihat milik Renata. Hanya Renata!Tangan Dewi terus bekerja di tubuh Bagastya. Segenap jiwa pria itu ingin mencapai puncak saat ini. Akan tetapi, ia ingat tidak boleh melakukannya saat belum sah. Ditepisnya tangan Dewi dan dikembalikan ke tempat semula. Sesudah itu ia menghambur ke kamar man
Renata terbangun menjelang subuh. Saat membalikkan badan, Bagastya telah meninggalkan kasur. Suara gemericik dari dalam kamar mandi membuat Renata menduga bahwa pria muda itu tengah bersiap untuk pergi. Otaknya langsung memikirkan berbagai kemungkinan, ke mana kira – kira pasangan selingkuh itu akan menghabiskan hari Minggu. Mungkinkan menonton, makan, atau mendekam di kamar hotel? Renata duduk seraya menggaruk kepala untuk menghilangkan pikiran yang pasti akan membuat hati kembali panas. Tak berapa lama, Bagastya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana panjang kain dan kaus polo. Otomatis penampilan itu membuat Renata keheranan.“Mau ke mana?” tanya Renata. Ia menyesal saat kalimat itu terlontar. Bila jawabannya ternyata menusuk hati, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Lain kali mulutnya akan dijaga benar &
Renata mengembalikan tas plastik berisi matoa kepada Ines. “Aku titip kamu sementara. Aku mau lari lagi.” Tanpa menoleh kepada Satria, ia melesat pergi.Aku masih istri orang. Aku belum resmi bercerai. Suamiku masih serumah. Sekarang apa yang Satria pikir tentang kamu, Renata?Batin Renata memberontak keras. Apa ia salah bila menginginkan seseorang yang lain? Mengapa saat menemukan orang itu kondisinya begini? Ya, ampun! Ia pasti sudah gila! Mengapa melihat pria itu bersama Ines ia kebingungan?Langkah Renata menjadi kacau, terutama karena matanya mulai mengabur. Ia kesal sekali pada dirinya sendiri. Mengapa segala sesuatu menjadi pilu? Mengapa?
Renata mengerjap takjub pada pria muda di hadapannya. Mengenakan kaus putih yang dilapis kemeja kotak – kotak hitam serta celana denim hitam, penampilan Satria terlihat santai. Poninya disisir rapi dan terlihat basah. Walau cahaya lampu teras itu temaram, bibir kemerahan Satria tetap terlihat jelas. “Bang? Ayo duduk,” ujar Renata setelah otaknya bekerja dengan sempurna. Dibukanya pintu lebih lebar sehingga pria itu bisa masuk dengan leluasa.“Sepi sekali. Suamimu belum datang?” tanya Satria. Ia mengambil tempat di dekat dengan pintu masuk. Di kursi tamu yang empuk itu ia duduk dengan seraya menumpangkan kaki kiri di atas kaki kanan. Kedua tangan bersilang dan ditumpukan di paha. Santai dan anggun. Renata seperti berhadapan dengan seseorang yang biasa menghadapi banyak karyawan. Apakah memang demikian,
“Abang ngomong apa, sih?” tukas Renata sembari membuang muka. Wajahnya terasa panas. Sudah lama tidak ada lelaki yang memujinya dengan tulus.Satria segera menyadari kelancangannya. “Oh, maaf. Saya tidak bermaksud tidak sopan. Tadi itu hanya spontanitas. Jangan marah, ya?”“Enggak apa–apa, kok. Abang nggak salah. Saya yang terlalu sensitif.” Renata berusaha menutupi perasaan yang sesungguhnya.“Maaf,” pinta Satria dengan lirih.Renata tersenyum. “Jangan jadi sungkan, ah. Saya malah nggak enak sama Abang.”