Renata terbangun menjelang subuh. Saat membalikkan badan, Bagastya telah meninggalkan kasur. Suara gemericik dari dalam kamar mandi membuat Renata menduga bahwa pria muda itu tengah bersiap untuk pergi. Otaknya langsung memikirkan berbagai kemungkinan, ke mana kira – kira pasangan selingkuh itu akan menghabiskan hari Minggu. Mungkinkan menonton, makan, atau mendekam di kamar hotel? Renata duduk seraya menggaruk kepala untuk menghilangkan pikiran yang pasti akan membuat hati kembali panas. Tak berapa lama, Bagastya keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana panjang kain dan kaus polo. Otomatis penampilan itu membuat Renata keheranan.
“Mau ke mana?” tanya Renata. Ia menyesal saat kalimat itu terlontar. Bila jawabannya ternyata menusuk hati, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Lain kali mulutnya akan dijaga benar &
Renata mengembalikan tas plastik berisi matoa kepada Ines. “Aku titip kamu sementara. Aku mau lari lagi.” Tanpa menoleh kepada Satria, ia melesat pergi.Aku masih istri orang. Aku belum resmi bercerai. Suamiku masih serumah. Sekarang apa yang Satria pikir tentang kamu, Renata?Batin Renata memberontak keras. Apa ia salah bila menginginkan seseorang yang lain? Mengapa saat menemukan orang itu kondisinya begini? Ya, ampun! Ia pasti sudah gila! Mengapa melihat pria itu bersama Ines ia kebingungan?Langkah Renata menjadi kacau, terutama karena matanya mulai mengabur. Ia kesal sekali pada dirinya sendiri. Mengapa segala sesuatu menjadi pilu? Mengapa?
Renata mengerjap takjub pada pria muda di hadapannya. Mengenakan kaus putih yang dilapis kemeja kotak – kotak hitam serta celana denim hitam, penampilan Satria terlihat santai. Poninya disisir rapi dan terlihat basah. Walau cahaya lampu teras itu temaram, bibir kemerahan Satria tetap terlihat jelas. “Bang? Ayo duduk,” ujar Renata setelah otaknya bekerja dengan sempurna. Dibukanya pintu lebih lebar sehingga pria itu bisa masuk dengan leluasa.“Sepi sekali. Suamimu belum datang?” tanya Satria. Ia mengambil tempat di dekat dengan pintu masuk. Di kursi tamu yang empuk itu ia duduk dengan seraya menumpangkan kaki kiri di atas kaki kanan. Kedua tangan bersilang dan ditumpukan di paha. Santai dan anggun. Renata seperti berhadapan dengan seseorang yang biasa menghadapi banyak karyawan. Apakah memang demikian,
“Abang ngomong apa, sih?” tukas Renata sembari membuang muka. Wajahnya terasa panas. Sudah lama tidak ada lelaki yang memujinya dengan tulus.Satria segera menyadari kelancangannya. “Oh, maaf. Saya tidak bermaksud tidak sopan. Tadi itu hanya spontanitas. Jangan marah, ya?”“Enggak apa–apa, kok. Abang nggak salah. Saya yang terlalu sensitif.” Renata berusaha menutupi perasaan yang sesungguhnya.“Maaf,” pinta Satria dengan lirih.Renata tersenyum. “Jangan jadi sungkan, ah. Saya malah nggak enak sama Abang.”
Film horor yang mereka saksikan memakan waktu hampir tiga jam. Renata bersyukur akhirnya bisa keluar dari gedung, terutama karena ia tidak perlu menyaksikan usaha Ines menarik perhatian Satria.“Ya, ampun, kamu pintar memilih film. Aku hampir nggak berani membuka mata. Hantunya serem banget. Ya nggak, Ta?” tanya Ines seraya menepuk tangan temannya.“Lebih serem teriakanmu,” sahut Renata ketus. Bagaimana tidak? Ines sengaja bergaya penakut, kemudian memiringkan badannya ke arah Satria. Benar – benar mencari kesempatan. Padahal pilihan menonton film horor adalah idenya. Ia yang seharusnya memekik - mekik begitu. Saat masih pacaran dulu, strategi ini sukses memancing pelukan Bagastya.
Renata baru ingat ia dan Bagastya memang tidak pernah secara khusus membicarakan tentang komitmen pernikahan mereka. Renata hanya meminta Bagastya tidak melakukan poligami, akan tetapi tidak membicarakan hal – hal lain. Padahal sebelum menikah, mereka telah berpacaran selama tiga tahun. Apa saja yang mereka lakukan selama masa itu? Apakah hanya bermain – main saja?“Menikah asal- asalan, ya Bang?” Renata kembali meringis.Satria tersenyum lebar. “Saya juga bukan ahlinya, Renata. Tapi itulah yang saya dan Karina lakukan sebelum menikah, yaitu membicarakan komitmen. Dan kami berhasil sampai … semuanya berakhir ketika Karina berpulang.”“
Bagastya termangu di samping tempat tidur rumah sakit di mana sang ibu terbaring. Wajah wanita itu terlihat pias dan bibirnya sangat pucat. Sebuah selang yang mengalirkan darah tambahan tengah terpasang. Ia tak menyangka kondisi ibunya bisa turun secepat ini. Saat ia tinggalkan hari Jumat pagi lalu, wanita itu masih lebih segar walaupun memang kurus.Diam – diam Bagastya menyesal, mengapa berbohong menggunakan alasan kesehatan sang ibu. Sekarang wanita itu benar – benar perdarahan. Mana deras pula. Setiap bergerak, cairan merah segar mengalir ke kedua paha. Kalau tidak ingat bahwa dirinya adalah satu – satunya sandaran sang ibu, barangkali ia sudah pingsan melihat darah berceceran sebanyak itu.Lastri merintih perlahan. Kantong darah ke
Bagastya mengucapkan permintaan maaf dengan sepenuh hati. Renata pasti sudah muak dan sebentar lagi mereka akan terlibat perdebatan. Biarlah. Memang dirinya pantas untuk dimarahi. Di seberang, Renata yang mendengar permintaan maaf untuk ke sekian kali itu menjadi gusar. “Untuk apa kamu meminta maaf terus kalau tidak pernah memperbaiki sikapmu?” katanya dengan nada datar.“Aku juga minta maaf karena tidak bisa berubah sesuai keinginanmu,” jawab Bagastya sekenanya.Renata merengut. “Kalau tidak mau berubah, cepat diurus perceraian kita!” Renata mengatakan itu dengan hati yang perih.“Aku minta maaf juga untuk itu.”
Petang itu cuaca cerah. Langit berawan tetapi matahari bersinar cerah. Saat telah bergeser ke barat, berkas sinarnya meninggalkan jejak berwarna jingga yang indah. Semuanya seolah menyambut datangnya babak baru dalam hidup Bagastya.Sepulang dari kantor, Bagastya bergegas menuju rumah sakit tempat ibunya dirawat. Hari ini adalah hari yang berat karena adaptasi di tempat tugas yang baru. Kepalanya sungguh berat. Niatnya setelah sampai adalah mandi dan membaringkan badan sejenak sebelum makan malam. Ia tidak tahu bahwa Dewi telah menyiapkan pernikahan mereka di kamar perawatan sang ibu.Saat masuk ke kamar ibunya, ia heran. Ternyata kamar itu penuh dengan orang - orang. Yang membuatnya semakin bingung adalah penampilan mereka yang mengenakan baju rapi layaknya m