Share

OTW 6

Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian? 

"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas. 

Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya."

"Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?"

"Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?"

"Loh, kalau kita enggak punya anak, kamu mau menyiksa diri selamanya dengan aku?" tanya Bagastya.

Renata mengerutkan kening. "Jadi kamu pikir, kalau kamu mandul, aku bakal ninggalin kamu, gitu?"

"Iya, kan? pernikahan tanpa anak itu hambar, kan? Kamu tahan dengan suami yang nggak bisa kasih kamu keturunan?"

Tubuh Renata menegang. Ia menegakkan tubuh dan menatap suaminya dengan pandangan terluka. 

"Bagastya, aku bahkan belum terbukti mandul, tapi sikapmu sudah begini! Kalau tahu hanya untuk mendapat anak kamu menikah, aku enggak akan menikahi kamu!" Tangis keras Renata pun pecah.

Bagastya menatap dengan kebingungan. "Memangnya apa tujuan pernikahan kalau bukan untuk mendapat anak? Kamu pikir cuma buat sahnya hubungan seksual?"

Renata sangat kesal. "Terserah! Aku sudah capek menjelaskan kalau bukan cuma anak yang bisa bikin kita bahagia."

"Saat ini, cuma anak yang bisa bikin aku bahagia, Renata!"

Mata Renata menyala karena amarah. "Terus solusinya cuma menikah lagi, gitu? Jadi fungsi perempuan dalam rumah tangga itu hanya untuk beranak pinak, iya?!"

"Apa kamu punya solusi yang lebih baik?"

"Loh, yang udah kita omongan sejak tadi itu bukan solusi? Ayo ke klinik kesuburan!"

"Enggak akan!"

"Nah, aku sama kalau gitu. Dimadu? Enggak akan!"

Bagastya sontak melengos. Rahangnya terkatup kuat menandakan emosinya tengah merangkak naik. Renata sudah hafal. Itu pertanda mereka akan berdebat sengit tanpa ujung kembali. Ia lelah terus bertengkar. Harapannya adalah semua ini segera berlalu dan ia bisa mendapatkan masa depan baru. 

Renata bangkit dan turun dari tempat tidur meninggalkan Bagastya, lalu memunguti baju. Dengan langkah gontai ia berjalan ke kamar mandi. Ia tidak tahu pria itu menatap punggungnya dengan sorot merana. 

"Mau ke mana kamu?" sergah Bagastya.

Renata menoleh dan keheranan dengan nada tinggi itu. "Mandi, dong. Nih, cairanmu berleleran."

"Enak aja. Balik lagi ke sini!" perintah absurd itu berkumandang.

"Heh?" Renata mengerutkan kening tak mengerti. Belum sempat berpikir, Bagastya telah bangun lalu meraih tubuhnya ke dalam gendongan.

"Bagaaasss!" pekik Renata. Tubuhnya dihempaskan ke kasur, lalu ditindih.

Bagastya memeluknya erat. Suaranya memohon lirih, penuh rintihan. "Tolong, Renata. Jangan pergi dulu," bisiknya.

Mau tak mau Renata merasa iba mendengar permohonan yang disampaikan dengan perih itu.

"Kamu boleh menggugat aku besok, tapi temani aku malam ini."

Renata memang tengah kesal dan merasa dikhianati. Akan tetapi, hatinya tetaplah hati perempuan yang lemah terhadap rayuan. Ia mengangguk begitu saja, bahkan mengulurkan tangan. "Yuk, kita mandi."

***

Air hangat yang mengguyur tubuh mereka, dan aroma sabun serta sampo yang harum membuat perasaan keduanya segar. Mereka melanjutkan makan malam tanpa suara. Agaknya, keduanya sama-sama menjaga agar suasana damai petang itu terus berlanjut hingga esok hari. Selesai makan, mereka kembali ke kamar dan mengulang apa yang mereka lakukan sore tadi lalu terlelap hingga menjelang subuh. Mereka terbangun dan melakukannya kembali, seperti tidak ingin menyiakan waktu sebelum kiamat datang.

Sebelum mereka berpisah keesokan hari, Bagastya kembali berharap agar Renata membatalkan niat untuk bercerai. Ia sudah melayaninya dengan sangat baik semalam. Tidakkah pengalaman mengesankan mereka cukup untuk menahan wanita itu?

"Kamu jadi pindah hari ini?" tanyanya dengan suara lirih.

Renata enggan menjawab. "Kamu?"

"Jangan pindah, Renata."

Renata menatap pria yang telah mengisi hari-harinya selama empat tahun itu. "Jangan menikah lagi, bisa?"

Mata Bagastya langsung redup. Agaknya, memang tidak ada titik temu bagi mereka berdua. Agaknya, ia harus belajar merelakan Renata. Itu hal terberat dari masalah ini. 

Teleponnya berbunyi. Renata langsung melengos. Ia hafal nada dering untuk ibu mertuanya itu.

"Ya, Ma?" Bagastya menjauh. Namun, karena rumah begitu lengang, Renata masih bisa menangkap percakapan mereka.

"Enggak jadi kemarin sore."

....

"Iya, Ma. Hari ini."

....

"Enggak, dong. Aku masih di rumah."

....

"Iya, sama Renata."

....

"Loh, kenapa? Ma? Ma?"

Sepertinya sambungan telepon terputus. Beberapa detik kemudian, telepon Renatalah yang berdering. Renata sudah menduga, pasti ibu mertua. Dugaannya sangat benar. Nama Mama Lastri terpampang di layar.

"Ya, Ma?"

"Kenapa Bagastya tidak jadi pulang?"

Tidak jadi pulang? Memangnya rumah anakmu di mana, Mama? Datang ke rumah istrinya itu bukan pulang? 

Sejak pernikahan mereka melewati tahun pertama, Mama Lastri selalu menanyakan kapan Renata hamil. Mula-mula sikapnya masih biasa saja. Memasuki tahun ketiga, ia memberikan alternatif yang membuat Renata syok, Bagastya harus mengambil istri lagi. Semula suaminya menolak dan bertahan dengan mengatakan bahwa usia mereka masih muda. Mama Lastri pun mengendur.

Memasuki tahun keempat, Bagastya menyerah. Semenjak tahu Mama Lastri sakit kanker rahim, Bagastya mulai mencari kekasih. Bertemulah dengan Dewi. Ia mengajak perempuan itu menemui ibunya. Dengan keluwesan bergaul Dewi, sang ibu segera terpikat dan merestui hubungan itu. semenjak itu, Renata ditekan habis-habisan oleh sang mertua.

"Oh, maksud Mama enggak jadi pindah ke rumah Mama? Belum. Baru hari ini rencananya," jawab Renata.

"Bagastya bilang mau pindah kemarin, kenapa tidak jadi?"

"Oh, barang-barang Bagas belum selesai dikemas."

"Ah, alasan kamu pintar sekali! Kalian ngapain aja semalam?" sergah sang ibu mertua.

"Hah?" Renata ternganga. Sungguh pertanyaan yang sangat tidak masuk akal. Apa ia dan Bagastya masih anak TK?

"Kalau mau cerai, ya cerai saja. Anakku jangan ditahan–tahan!"

"Maksudnya ditahan tuh gimana, Ma? Saya memang ingin bercerai. Mama bisa tanya sendiri dengan Bagas."

"Renata, Mama ingatkan sekali lagi. Barangkali jodoh kalian itu memang sampai di sini saja. Kamu masih muda dan cantik. Pasti banyak yang mau sama kamu, yang tidak menuntut anak seperti Bagas. Jadi, tolong, lepaskan anakku." 

Dada Renata langsung naik turun dengan cepat karena emosi. Bagastya agaknya memahami situasi. Ia segera merebut ponsel Renata. 

"Mama, aku pulang sore ini. Enggak usah ribut sama Renata lagi."

"Awas kalau dia bikin kamu terjerat lagi. Kamu tuh, sudah Mama minta mencari istri lagi dari dulu, tidak mau. Kalau terlanjur lengket begitu, kan, susah pisahnya. Umurmu sudah 31. Mau sampai kapan kamu menunggu dia hamil? Sampai kapan, Bagas? Papa sudah tidak ada. Umur Mama tidak lama lagi. Mama mau lihat kamu punya anak!"

Bagastya hanya menarik napas dalam mendengar itu. "Iya, Mama."

"Kamu tidak mau bikin Mama mati berdiri, kan? Mama bakal tidak tenang di alam kubur kalau kamu tidak dapat keturunan. Kamu mau bikin Mama kecewa selamanya? Mau?"

"Aku tahu, kok. Aku juga nggak mau mengecewakan Mama."

"Kalau enggak mau dimadu, Renata harus melahirkan sebelum Mama meninggal. Kalau tidak bisa, ya, kamu harus mencari istri baru, titik! Tolong tegaskan lagi permintaan Mama ini ke Renata."

"Sudah, deh, Ma. Nanti kita ngobrol lagi di rumah, ya?"

Bagastya mengembalikan ponsel ke pemiliknya. Ia menemukan betapa kelam sorot mata istrinya. Dengan sepenuh hati, dipeluknya wanita yang tengah menggigil karena emosi itu. 

"Aku sayang kamu," bisiknya. "Jaga diri baik–baik, ya. Aku berangkat. Nanti langsung pulang ke rumah Mama, enggak ke sini."

Biarpun telah ditahan demi gengsi, tangis Renata tetap pecah tidak karuan. Bagastya menghapus air mata Renata dengan ibu jari, lalu mengecup bibirnya. 

"Aku pergi."

=== Bersambung ===

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nietha
gerem nya q yg baca, anjiir emang, renata kok thn lh, klo q udh bercerai dri mertuanya ngoceh2 gaje...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status