Darah Renata memanas. Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Bagastya, ia membalikkan badan hendak turun. Ternyata ia tidak bisa pergi begitu saja. Tangannya ditahan dengan kuat oleh suaminya. Bagastya menarik paksa tubuh sang istri yang masih tanpa busana hingga ambruk ke sisinya. Mereka baru saja menikmati momen yang luar biasa. Mengapa harus dirusak dengan pertikaian?
"Ayolah, jangan berdebat. Aku masih ingin memelukmu seperti ini, Renata," mohon pria itu dengan nada memelas.
Renata tidak melawan. Ia balas melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. "Aku juga masih ingin seperti ini. Enggak cuma sebentar, tapi selamanya."
"Renata, aku mohon dengan sangat. Ini bukan cuma demi kesenanganku, tapi demi Mama. Kamu mungkin marah karena merasa tidak adil. Tapi, coba, kalau kamu ada di posisi mama atau ada di posisiku. Apa yang kamu rasa?"
"Kok kamu gitu? Kalau sebaliknya, kamu jadi aku, apa yang kamu rasa?"
"Loh, kalau kita enggak punya anak, kamu mau menyiksa diri selamanya dengan aku?" tanya Bagastya.
Renata mengerutkan kening. "Jadi kamu pikir, kalau kamu mandul, aku bakal ninggalin kamu, gitu?"
"Iya, kan? pernikahan tanpa anak itu hambar, kan? Kamu tahan dengan suami yang nggak bisa kasih kamu keturunan?"
Tubuh Renata menegang. Ia menegakkan tubuh dan menatap suaminya dengan pandangan terluka.
"Bagastya, aku bahkan belum terbukti mandul, tapi sikapmu sudah begini! Kalau tahu hanya untuk mendapat anak kamu menikah, aku enggak akan menikahi kamu!" Tangis keras Renata pun pecah.
Bagastya menatap dengan kebingungan. "Memangnya apa tujuan pernikahan kalau bukan untuk mendapat anak? Kamu pikir cuma buat sahnya hubungan seksual?"
Renata sangat kesal. "Terserah! Aku sudah capek menjelaskan kalau bukan cuma anak yang bisa bikin kita bahagia."
"Saat ini, cuma anak yang bisa bikin aku bahagia, Renata!"
Mata Renata menyala karena amarah. "Terus solusinya cuma menikah lagi, gitu? Jadi fungsi perempuan dalam rumah tangga itu hanya untuk beranak pinak, iya?!"
"Apa kamu punya solusi yang lebih baik?"
"Loh, yang udah kita omongan sejak tadi itu bukan solusi? Ayo ke klinik kesuburan!"
"Enggak akan!"
"Nah, aku sama kalau gitu. Dimadu? Enggak akan!"
Bagastya sontak melengos. Rahangnya terkatup kuat menandakan emosinya tengah merangkak naik. Renata sudah hafal. Itu pertanda mereka akan berdebat sengit tanpa ujung kembali. Ia lelah terus bertengkar. Harapannya adalah semua ini segera berlalu dan ia bisa mendapatkan masa depan baru.
Renata bangkit dan turun dari tempat tidur meninggalkan Bagastya, lalu memunguti baju. Dengan langkah gontai ia berjalan ke kamar mandi. Ia tidak tahu pria itu menatap punggungnya dengan sorot merana.
"Mau ke mana kamu?" sergah Bagastya.
Renata menoleh dan keheranan dengan nada tinggi itu. "Mandi, dong. Nih, cairanmu berleleran."
"Enak aja. Balik lagi ke sini!" perintah absurd itu berkumandang.
"Heh?" Renata mengerutkan kening tak mengerti. Belum sempat berpikir, Bagastya telah bangun lalu meraih tubuhnya ke dalam gendongan.
"Bagaaasss!" pekik Renata. Tubuhnya dihempaskan ke kasur, lalu ditindih.
Bagastya memeluknya erat. Suaranya memohon lirih, penuh rintihan. "Tolong, Renata. Jangan pergi dulu," bisiknya.
Mau tak mau Renata merasa iba mendengar permohonan yang disampaikan dengan perih itu.
"Kamu boleh menggugat aku besok, tapi temani aku malam ini."
Renata memang tengah kesal dan merasa dikhianati. Akan tetapi, hatinya tetaplah hati perempuan yang lemah terhadap rayuan. Ia mengangguk begitu saja, bahkan mengulurkan tangan. "Yuk, kita mandi."
***
Air hangat yang mengguyur tubuh mereka, dan aroma sabun serta sampo yang harum membuat perasaan keduanya segar. Mereka melanjutkan makan malam tanpa suara. Agaknya, keduanya sama-sama menjaga agar suasana damai petang itu terus berlanjut hingga esok hari. Selesai makan, mereka kembali ke kamar dan mengulang apa yang mereka lakukan sore tadi lalu terlelap hingga menjelang subuh. Mereka terbangun dan melakukannya kembali, seperti tidak ingin menyiakan waktu sebelum kiamat datang.
Sebelum mereka berpisah keesokan hari, Bagastya kembali berharap agar Renata membatalkan niat untuk bercerai. Ia sudah melayaninya dengan sangat baik semalam. Tidakkah pengalaman mengesankan mereka cukup untuk menahan wanita itu?
"Kamu jadi pindah hari ini?" tanyanya dengan suara lirih.
Renata enggan menjawab. "Kamu?"
"Jangan pindah, Renata."
Renata menatap pria yang telah mengisi hari-harinya selama empat tahun itu. "Jangan menikah lagi, bisa?"
Mata Bagastya langsung redup. Agaknya, memang tidak ada titik temu bagi mereka berdua. Agaknya, ia harus belajar merelakan Renata. Itu hal terberat dari masalah ini.
Teleponnya berbunyi. Renata langsung melengos. Ia hafal nada dering untuk ibu mertuanya itu.
"Ya, Ma?" Bagastya menjauh. Namun, karena rumah begitu lengang, Renata masih bisa menangkap percakapan mereka.
"Enggak jadi kemarin sore."
....
"Iya, Ma. Hari ini."
....
"Enggak, dong. Aku masih di rumah."
....
"Iya, sama Renata."
....
"Loh, kenapa? Ma? Ma?"
Sepertinya sambungan telepon terputus. Beberapa detik kemudian, telepon Renatalah yang berdering. Renata sudah menduga, pasti ibu mertua. Dugaannya sangat benar. Nama Mama Lastri terpampang di layar.
"Ya, Ma?"
"Kenapa Bagastya tidak jadi pulang?"
Tidak jadi pulang? Memangnya rumah anakmu di mana, Mama? Datang ke rumah istrinya itu bukan pulang?
Sejak pernikahan mereka melewati tahun pertama, Mama Lastri selalu menanyakan kapan Renata hamil. Mula-mula sikapnya masih biasa saja. Memasuki tahun ketiga, ia memberikan alternatif yang membuat Renata syok, Bagastya harus mengambil istri lagi. Semula suaminya menolak dan bertahan dengan mengatakan bahwa usia mereka masih muda. Mama Lastri pun mengendur.
Memasuki tahun keempat, Bagastya menyerah. Semenjak tahu Mama Lastri sakit kanker rahim, Bagastya mulai mencari kekasih. Bertemulah dengan Dewi. Ia mengajak perempuan itu menemui ibunya. Dengan keluwesan bergaul Dewi, sang ibu segera terpikat dan merestui hubungan itu. semenjak itu, Renata ditekan habis-habisan oleh sang mertua.
"Oh, maksud Mama enggak jadi pindah ke rumah Mama? Belum. Baru hari ini rencananya," jawab Renata.
"Bagastya bilang mau pindah kemarin, kenapa tidak jadi?"
"Oh, barang-barang Bagas belum selesai dikemas."
"Ah, alasan kamu pintar sekali! Kalian ngapain aja semalam?" sergah sang ibu mertua.
"Hah?" Renata ternganga. Sungguh pertanyaan yang sangat tidak masuk akal. Apa ia dan Bagastya masih anak TK?
"Kalau mau cerai, ya cerai saja. Anakku jangan ditahan–tahan!"
"Maksudnya ditahan tuh gimana, Ma? Saya memang ingin bercerai. Mama bisa tanya sendiri dengan Bagas."
"Renata, Mama ingatkan sekali lagi. Barangkali jodoh kalian itu memang sampai di sini saja. Kamu masih muda dan cantik. Pasti banyak yang mau sama kamu, yang tidak menuntut anak seperti Bagas. Jadi, tolong, lepaskan anakku."
Dada Renata langsung naik turun dengan cepat karena emosi. Bagastya agaknya memahami situasi. Ia segera merebut ponsel Renata.
"Mama, aku pulang sore ini. Enggak usah ribut sama Renata lagi."
"Awas kalau dia bikin kamu terjerat lagi. Kamu tuh, sudah Mama minta mencari istri lagi dari dulu, tidak mau. Kalau terlanjur lengket begitu, kan, susah pisahnya. Umurmu sudah 31. Mau sampai kapan kamu menunggu dia hamil? Sampai kapan, Bagas? Papa sudah tidak ada. Umur Mama tidak lama lagi. Mama mau lihat kamu punya anak!"
Bagastya hanya menarik napas dalam mendengar itu. "Iya, Mama."
"Kamu tidak mau bikin Mama mati berdiri, kan? Mama bakal tidak tenang di alam kubur kalau kamu tidak dapat keturunan. Kamu mau bikin Mama kecewa selamanya? Mau?"
"Aku tahu, kok. Aku juga nggak mau mengecewakan Mama."
"Kalau enggak mau dimadu, Renata harus melahirkan sebelum Mama meninggal. Kalau tidak bisa, ya, kamu harus mencari istri baru, titik! Tolong tegaskan lagi permintaan Mama ini ke Renata."
"Sudah, deh, Ma. Nanti kita ngobrol lagi di rumah, ya?"
Bagastya mengembalikan ponsel ke pemiliknya. Ia menemukan betapa kelam sorot mata istrinya. Dengan sepenuh hati, dipeluknya wanita yang tengah menggigil karena emosi itu.
"Aku sayang kamu," bisiknya. "Jaga diri baik–baik, ya. Aku berangkat. Nanti langsung pulang ke rumah Mama, enggak ke sini."
Biarpun telah ditahan demi gengsi, tangis Renata tetap pecah tidak karuan. Bagastya menghapus air mata Renata dengan ibu jari, lalu mengecup bibirnya.
"Aku pergi."
=== Bersambung ===
Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.Selesailah sudah.Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Sel
Renata merapikan rumah dan letak perabot yang tersisa agar terlihat menarik untuk ditawarkan kepada calon penyewa. Ia memastikan seluruhnya dapat digunakan dengan baik. Beberapa bagian tembok yang terlihat kusam telah dicat kembali sehingga tampilan rumah itu semakin cerah. Sekarang tinggal menunggu kabar tentang calon penyewa dari Ines.Sudah tiga hari ia dan Bagastya tidak berkomunikasi. Kontak terakhir hanya berupa pesan singkat dari Bagastya yang mengabarkan bahwa barang-barangnya telah sampai dengan selamat. Itu saja. Renata juga tidak berharap lebih. Pasti pria itu semakin fokus dengan calon istrinya. Mungkin mereka tengah sibuk merencanakan pernikahan.Ah, mengapa masih saja ada rasa nyeri di hati bila mengingat itu? bukanlah ia telah memantapkan hati untuk melupakan masa lalu. Bahkan tiga hari yang lalu ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan hati riang. Mengapa tidak mendengar suaranya ia gelisah seperti ini?Lebih parah lagi, Bagastya ternyata b
Renata menyambut uluran tangan Satria dengan berdebar. Tangan itu besar dan genggamannya kokoh. Akan tetapi, rasanya dingin. Mau tak mau Renata mendongak untuk menatap wajahnya dan mendapati sepasang mata tajam bagai mata elang yang terbingkai dalam raut wajah yang tegas."Renata, Pak." Jawaban Renata terdengar parau. Ia tiba - tiba merasa tidak percaya diri di hadapan pria itu."Silakan duduk dulu, Pak," saran Ines seraya memberi isyarat dengan tangan. "Mau minum apa?"Satria menarik kursi, kemudian duduk dengan anggun. "Tidak usah, terima kasih. Jangan panggil, Pak. Kita seumuran, 'kan?"Renata dan Ines mengangguk bersamaan."Emang umur Abang berapa?" tanya Ines tanpa malu.Renata langsung menoleh pada temannya itu. Ia heran mendapati sorot berbinar dalam sepasang mata lebarnya.Satria kembali tersenyum. "Bisa menebak?""Tiga puluh?""Tiga puluh satu?"Ines dan Renata menyahut bersamaan. Pria tampan itu kembal
Renata merasa lega akhirnya rumah itu laku disewa. Uangnya lumayan, begitu pula penghuni baru itu. Sebagai tetangga, Satria begitu menggairahkan. Apakah jalan mereka akan beriringan di masa depan? Renata memang tidak berharap banyak. Akan tetapi, bukan sebuah kebetulan bila pria itulah yang mengontrak rumahnya, bukan?“Abang enggak bawa mobil, kan? Gimana kalau saya antar?” tanya Ines.Lagi-lagi Renata kagum dengankebrangasankecepatan tindakan wanita itu. Barangkali karena pedagang, ia terbiasa menangkap peluang dengan sekejap mata.“Oh, saya pesan taksi online aja. Rumah saya kan jauh. Nanti merepotkan,” tolak Satria secara halus.Ines terlihat kecewa. Namun senyum Satria membuatnya bersemangat kembali, dan itu membuat perut Renata penuh.Ada apakah antara Ines dengan Satria?Seseorang mengetuk pintu.“Nah, si Pinah datang. Sebentar, ya!” Ines melesat ke depan untuk menerima orang itu. Saat kembali ke ruang tengah, di
Renata mandi dengan lesu dan masih terisak-isak. Bagaimana tidak, setelah tadi sore menoreh luka di hati karena jalan dengan Dewi, sekarang Bagastya malah membentak-bentak seolah yang bersalah itu dirinya. Belum cukup hanya dengan tindakan yang membuat cemburu, lelaki itu mulai menggunakan kekerasan.“Renata? Kamu enggak papa di dalam situ?” Bagastya mengetuk pintu beberapa kali. Karena Renata terlalu lama di dalam, ia mulai resah.“Renata? Renata!”“Apa lagi?” Terdengar balasan yang cukup keras. Rupanya yang dipanggil merasa risih. “Kenapa panggil-panggil?”“Enggak, enggak. Aku takut kamu kenapa-napa.”Renata kontan manyun mendengar itu.Apa gunanya menanyakan itu sekarang, Bagastya? Sejak kamu memiliki Dewi, aku enggak pernah baik-baik aja.Tangis Renata pun kembali terburai. Bahkan aroma wangi sabun dan guyuran air hangat tidak mampu membuatnya merasa lebih nyaman.Setelah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan, Renata keluar deng
Setelah drama semalam, Renata bangun kesiangan. Jam dinding menunjukkan pukul enam. Ia menoleh ke sekeliling untuk memindai keberadaan Bagastya. Kamar itu hanya terisi dirinya. Aita bangkit dan mencari ke ruang tengah. Tak ada jejak lelaki itu.“Lea, Pak Bagas ke mana?” tanyanya pada asisten rumah tangga.“Tadi berangkat sewaktu masih gelap. Enggak tahu ke mana, Bu.”Rasa kesal dan kecewa segera menggelembung di hati Renata. Ia kembali ke kamar untuk mencari ponsel. Ternyata ada pesan dari Bagastya tadi pagi.Aku berangkat subuh, soalnya udah janji mengantar Nayla ke Dufan.Napas Renata sontak tersengal. Mereka sekarang tengah piknik ke Dufan! Bayangkan itu! Dibantingnya ponsel ke sembarang arah. Beruntung benda itu terempas di kasur, memantul aqqaasedikit, kemudian mendarat di bantal sehingga Renata tidak perlu kehilangan hak milik lagi.Tetap sayang? Tetap milikku? Semuanya akan baik-baik saja? Aku bahkan akan menikmatinya? Preeettt!Renata ingin menangis. Apa
Renata dan Ines kembali ke rumah dengan setengah berlari. Duda tampan di seberang itu bagai magnet bagi keduanya. Saat sampai di depan rumah Renata, pria itu tengah duduk di bangku kayu di bawah pohon."Bang, sudah lama datang?" tanya Ines dengan terengah."Baru aja." Satria berdiri, kemudian menyalami keduanya."Kok enggak masuk, nunggu di rumah saya?" tanya Renata."Ah, sungkan. Saya lebih senang duduk di pinggir sungai ini sambil melihat orang olahraga di hutan kota.""Mana barangnya, Bang?" tanya Ines lagi.Satria menunjuk dua koper besar yang diletakkan di depan pintu gerbang.
Renata menyetir dengan berdebar. Sosok jangkung di sampingnya membuat jantung bergetar. Semakin diamati, pria itu semakin mengundang rasa ingin tahu. Selain postur tubuh dan wajah yang rupawan, raut wajah itu begitu unik karena memancarkan sesuatu yang asing.Renata banyak berjumpa dengan klien dari berbagai kalangan. Ia terbiasa untuk mengenali kepribadian orang. Dari yang paling pendiam hingga yang senang berbicara berember-ember banyaknya. Dari yang mudah dimengerti hingga yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk mendekati. Dari semua jenis kepribadian itu, tidak ada yang seperti pria di sampingnya ini. Walau mudah tersenyum dan cukup banyak berbicara, auranya dingin, seperti terdapat semacam benteng yang membatasi mereka.“Kita mencari panggan