Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet.
Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan.
Selesailah sudah.
Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Selanjutnya hanyalah persoalan mengurus legalitas saja. Mendadak lantai tempatnya berpijak bergoyang. Renata seperti berada di atas kapal, mendadak disergap rasa pusing yang membuat mual. Dengan sisa tenaga, wanita muda itu pergi ke kamar mandi dan menumpahkan semua isi perut di kloset. Setelah habis semua dimuntahkan, ia tidak beranjak dari sana, justru terduduk lama di lantai kamar mandi, tidak peduli roknya basah hingga tembus ke dalam.
“Bagastya ….” Rintihan bertubi keluar dari mulutnya. Bermenit – menit ia seperti itu biarpun mualnya telah hilang dan napasnya telah teratur.
Ponsel yang diletakkan di meja makan berdering. Semula Renata tidak berniat menyambut panggilan itu. Akan tetapi, si penelepon tak kenal berhenti, kembali mengulang panggilan beberapa kali. Akhirnya, dengan menguatkan diri, Renata pun bangkit.
“Iya, Nes?” sambut Renata.
“Aiiih, lama benar! Di mana kamu?” tanya wanita muda yang pandai mencari uang itu.
“Di rumah. Kenapa?”
“Aku di depan rumahmu. Kamu udah siap–siap ke kantor?”
Aduh, kantor pula, pikir Renata. Ia teringat harus menemui dua klien penting siang ini. Niat hati ingin mengambil cuti langsung punah.
“Sebentar lagi, masih pagi, kok. Tunggu ya, aku bukain pintu.” Renata bergegas ke depan sembari menghapus bekas air mata. Ia tidak yakin bisa menutupi pelupuk yang sembab dari tetangganya itu.
“Loh, kamu sakit? Kok pucat banget?” tanya Ines setelah melihat mata merah Renata.
“Iya. Mungkin aku salah makan. Perutku perih banget.” Renata malas bercerita tentang muntah-muntahnya.
“Ehhh, hati–hati. Ntar kayak aku kemarin, membocor!” Tanpa dipersilakan, Ines menerobos masuk.
“Aku boleh ambil foto-foto rumahmu, ya? Hmmm, sudah dipak semua barang-barangnya?” Tanpa menunggu jawaban, Ines langsung mengarahkan kamera ponsel ke segala sudut.
“Udah. Itu sisa punya Bagastya aja. Siang nanti aku kirim ke rumah orangtuanya.”
Ines sontak menoleh. Keningnya berkerut dan matanya menelisik wajah Renata sehingga wanita itu langsung sadar bahwa dirinya keceplosan.
“Iya, aku sama Bagastya mau berpisah,” lanjut Renata dengan suara serak. Apa boleh buat. Memang seperti itu adanya. Sampai kapan ia bisa menutupi dari orang lain?
Tanpa terduga, Ines yang biasanya bawel, tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia malah tercenung. Sikap itu justru membuat Renata curiga. Ia cukup dekat dengan Ines setelah membeli laptop di toko milik wanita yang bertubuh ramping tinggi itu. Karena puas dengan pelayanan yang baik, Renata mengarahkan pembelian komputer dan berbagai perangkat pendukung untuk kantor ke toko Ines. Dibandingkan penyedia jasa serupa, layanan yang diberikan Ines lebih murah dan cepat. Bila ada masalah, anak buahnya bisa dipanggil kapan saja.
“Kenapa diam begitu?” cecarnya.
Ines menggeleng. “Enggak. Enggak kenapa-napa kok.” Sesudah berkata begitu ia meninggalkan Renata untuk mengambil foto area dapur dan taman belakang.
“Nes!” panggil Renata karena semakin penasaran.
“Kamu jangan bohong. Ada apa?”
Pemilik hidung mancung dan kulit sawo matang itu menoleh, kemudian menatap dengan pandangan asing. Sungguh bukan perilaku Ines yang Renata kenal selama ini.
“Aku udah lama tahu Bagastya punya wanita lain,” jawab Ines dengan ragu-ragu.
“Oh, ya?” Renata masih berusaha menanggapi dengan santai.
“Iya. Perempuan itu pernah diajak ke toko.”
Dewi pernah diajak ke toko Ines? Pikiran dan hati Renata langsung panas. “Buat apa mereka ke tempatmu?”
“Bagastya membeli laptop buat perempuan itu.”
Renata mendengkus. Dirinya saja tidak pernah dibelikan barang-barang mahal. Ia membayar sendiri semua keperluan pribadinya.
“Mana yang diminta bukan yang sembarangan, Ta,” lanjut Ines.
“Hah?” Renata semakin penasaran.
“Iya. Maunya yang harga di atas segini!” Ines membuat tanda dengan dua jari.
“Dua juta?” tanya Renata.
“Laptop apa yang harganya dua juta, Renata?” cibir Ines. “Tambah nol satu lagi!”
“Dua puluh juta? Bagastya beli laptop buat Dewi yang harganya dua puluh juta?” Mata Renata mendelik seketika. Otaknya langsung mengkalkulasi, berapa bulan gaji Bagastya yang dihamburkan untuk wanita selingkuhan itu.
“Dua puluh lebih, loh!” Ines meringis.
“Isinya apa sih laptop itu sampai lebih mahal dari sepeda motor?” cecar Renata dengan sengit.
Ines meringis semakin lebar. “Ya, fiturnya lengkap, modelnya cantik, beratnya minim, dan tipis banget. Terus mereknya ngetop. Kalau dipakai tuh bergaya banget, pokoknya.”
Renata mengembuskan napas kasar seraya melipat tangan di depan dada.
Ines terbahak. “Makanya, lebih baik cerai! Kalau dimadu, kamu bakalan membiayai dua rumah tangga; rumah tanggamu sendiri, madumu, termasuk anak-anak mereka. Kebayang, enggak?”
Renata diam saja. Ines dengan rasa iba yang kental mengelus bahu tetangganya itu.
“Udah enggak usah nangis. Jodohmu dengan Bagastya mungkin cuma sampai di sini. Oh, ya. Jangan marah. Dia pernah pendekatan ke aku juga, loh. Tapi tenang, aku enggak mau. Masa iya, selingkuh sama tetangga yang cuma selisih tiga rumah? Enggak kreatif banget, ya, suamimu itu?”
“Jadi, jadi? Bagastyaaaaa!” pekik Renata.
“Eh, eh, jangan ngamuk! Itu dulu, waktu dia belum dapat yang sekarang.” Ines terbahak kembali. “Kalau dipikir-pikir, selera Bagastya aneh. Biasanya lelaki selingkuh mencari perempuan yang lebih muda dan lebih cantik. Kamu pasti udah tahu si pelakor itu, kan? Coba, masa kamu digantikan sama dia?”
“Dia nggak peduli wajah. Yang penting si perempuan punya rahim yang bisa memberi anak!” tukas Renata.
Ines kontan terdiam. Ia memahami apa yang dirasakan Renata. Dirinya pun pernah berada dalam situasi yang sama. Yang berbeda adalah suaminya tidak pergi karena selingkuh, melainkan dipanggil Sang Pencipta.
“Sudahlah. Semua udah lewat,” lanjut Renata.
“Nah, begitu dong. Semangat! Selamat datang di dunia para jendes!” seloroh Ines dengan seringai sangat lebar.
“Sial!” tukas Renata tanpa bisa membalas senyum Ines. Bagaimana bisa tersenyum? Dunia para janda? Terdengar menyedihkan sekali.
“Eeeeh, jangan salah!” kata Ines seolah tahu isi kepala temannya. “Itu artinya pangsa pasarmu dibuka kembaliiii! Yeayyyy! Yuk teriak, I’m available noowww!”
Mau tak mau Renata meringis juga mendengar itu. Ines melakukan sesuatu pada ponselnya, lalu memberikannya pada Renata.
Mata Renata membulat memandang berbagai foto dalam galeri Ines. “Apa ini?”
“itu cogan-cogan yang datang ke toko. Kalau ada nasabah beli laptop yang agak mahal dikit, aku minta fotonya buat testimoni, terus di-upload ke medsos. Maklum, promosi. Tuh, keren-keren, kan? Enak buat cuci mata. Kita bebas mau melirik siapa aja sekarang. Nah, kamu punya klien tajir-tajir. Kenapa enggak didaftar mulai sekarang buat pendekatan?”
Cogan, daftar cogan, pendekatan? “Nes, kok berasa balik ke masa SMP atau SMA gitu, ya?”
“Justru itu yang bikin hidup jendes meriah, Ta. Selamat datang di dunia perburuan cogan!” seru Ines lagi.
“Kurang asem. Aku masih trauma, tahu!”
Sudah pasti, Ines mencibir panjang mendengar alasan Renata. Sedangkan Renata sendiri mulai mempertimbangkan saran Ines, menerima kenyataan dan segera memulai hidup baru. Bukankah itu yang ia harapkan dari perceraian? Diam-diam, Renata mulai memantapkan diri untuk bercerai.
Sore hari, sepulang kantor, saat mobil pengangkut yang disewa datang, ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan jiwa yang mantap.
Yap! Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan! hatinya berseru dengan perasaan yang ringan. Seolah bebannya ikut pergi bersama kardus-kardus yang menjauh itu.
===Bersambung===
Selama seminggu menjadi pacar Satria, Renata mengamati bahwa Ines masih setia mengirim makanan ke sebelah melalui pembantunya. Kadang berupa serenteng rantang. Renata menemukan rantang-rantang kotor itu di tempat cuci Satria. Tak jarang berupa makanan yang dipesan secara online. Renata tahu dari bungkus bekas yang dibuang di tempat sampah. Ada sedikit kekecewaan, namun ia tidak berani menuduh sembarangan. Lagi pula, rasanya tidak mungkin Satria menduakan hati saat sedang panas-panasnya menjadi sepasang kekasih.Pagi ini Renata tak mau kalah. Sebelum subuh ia telah sibuk di dapur. Apa lagi kalau bukan membuat lumpia andalan ala Renata itu. Jam enam pagi, ia sudah siap dengan piring bertutup tisu di mana enam batang lumpia yang masih panas tertata rapi, lengkap dengan saus asam pedas.
Bagas membelokkan mobil ke area perkantoran tempat Renata bekerja yang berupa deretan ruko tiga lantai. Ia sudah berusaha datang secepat mungkin agar tidak berselisih jalan dengan istrinya. Ia ingin makan siang berdua, setelah itu menghadap Pak Fahri untuk pemeriksaan.Bagas menyeringai. Biarkan saja Alfian memaksa untuk membuat surat permohonan. Siapa bilang seorang Bagas kehabisan strategi? Tadi pagi, ia sudah menghadap bosnya, yaitu Kepala Bappeda. Dengan segala cara, ia mengiba agar sang atasan bisa membantu untuk memperlambat proses perceraian, bahkan kalau bisa digagalkan. Sebelum menjadi anak buah pria itu, ia sudah tahu bahwa Pak Fahri adalah penganut paham kesetiaan pada keluarga karena kerap berjumpa saat pertemuan di Kantor Pemda.Mata Bagas beredar
Renata tengah menikmati hari-hari yang penuh bunga. Siang itu, ia duduk berdampingan dengan Satria sembari menghadap sebuah layar monitor besar. Menjelang siang, pria itu tiba - tiba muncul tanpa memberitahu sebelumnya. Sebuah kejutan yang menyenangkan.“Ini pergerakan harga saham saat ini, Bang. Kelihatan dari angka – angka dan grafik yang berubah setiap saat,” terang Renata sembari menunjukkan sesuatu di dalam layar monitor.“Hmm, berubah terus. Kapan berhentinya?” tanya Satria seraya mengerutkan kening.“Ya enggak berhenti, Bang, sampai jam transaksi selesai, atau bursanya ditutup,” sahut Renata dengan sabar dan setengah geli. Selalu begini menghadapi orang baru, perlu kesabaran untuk membuat mereka paham. “Makanya ikutan workshop biar tahu dasar – dasarnya.”“Workshop sama kamu aja, ya?” bisik Satria di telinga Renata. “Oh, jangan! Kalau sama kamu aja nanti jadinya lain.&rdq
Renata mengerjap karena kaget. Walau sepanjang jalan tadi sudah bisa menduga perasaan Satria dari perilakunya, tetap saja, ungkapan perasaan yang terdiri atas tiga kata itu membuat otaknya membeku.“Aku enggak salah dengar? Abang enggak sedang mengigau?” mulut Renata mencerocos begitu saja.“Apa aku kelihatan sedang mengigau atau tidak sadar?” ujar Satria.Renata mengerjap kembali. “Tapi ini kan ….”“Tapi kenapa? Kamu tidak suka? Aku minta maaf kalau begitu. Kamu bebas untuk menolak dan urusan selesai.”
Kompleks pemakaman kelas atas di daerah Karawang itu ditata menjadi taman alam yang indah sehingga keseraman sebuah pemakaman terkikis. Walau demikian, tetap saja aura dingin tempat itu membuat Renata merinding. Ditambah perkataan Satria baru saja, Renata serasa ingin menggigil.Tatapan kengerian Renata menyadarkan Satria. Tidak seharusnya membuat wanita itu semakin pilu dengan perkataan tentang kematian. “Tapi benar kan, hidup itu penuh misteri dan singkat?” sanggahnya disertai senyum lebar yang terkembang.Melihat senyum itu, Renata menjadi yakin dirinya tengah digoda. “Iiih! Tapi kalau diomongin di waktu begini nyeremin, Bang,” keluh Renata.“Kamu mem
Bagastya sengaja berangkat lebih pagi. Ia ingin menemui Renata. Kebetulan, dari rumah sakit tempat ibunya dirawat di daerah Lippo Karawaci menuju kantor harus melalui kompleks rumah istrinya. Bagastya memarkir mobil agak jauh, kemudian berjalan kaki ke tujuan. Baru sampai di depan gerbang, ia melihat Renata keluar dari rumah Satria. Hatinya langsung memanas dan nyeri.“Renata!” Ia bergegas menghampiri. Wanita itu terperanjat mengetahui dirinya datang. Bagastya semakin curiga.“Kamu? Ngapain ke sini?” sentak Renata. Kepalanya berdenyut karena bisa menduga maksud suaminya. Pasti Bagastya berusaha membatalkan perceraian mereka.“Ngapain kamu keluar dari rum
Pagi-pagi, Renata ke dapur untuk memanaskan bebek yang dibeli semalam. Rencananya akan diantar ke rumah sebelah. Mata dan hidungnya berair akibat terkena terkena uap sambal level sepuluh. Ia geli sendiri membayangkan reaksi Satria bila memakannya.Pukul enam lewat sedikit, Renata membawa piring berisi bebek keluar rumah. Baru melewati gerbang, matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah berdiri di luar pagar rumah Satria. Siapa lagi kalau bukan Ines!Renata hampir saja memanggil janda cantik itu. Niatnya tertahan saat menyadari bahwa tindak tanduk Ines tidak seperti biasa. Tangan wanita cantik itu menenteng tas plastik hitam. Ia tidak segera membunyikan bel, malah berdiri di ujung pagar, di tanah kosong yang memisahkan rumah Satria dengan rumah ibu Renata. Posisi Ines membelakangi Renata sehingga ia tidak tahu gerak-geriknya tengah di
Sejak semalam, Bagastya memutar kembali peristiwa yang terjadi setahun lalu hingga tiga minggu terakhir. Dua kali sudah ia nyaris menikah dan gagal. Pertama, gagal karena penyakit ibunya. Selama ini, kanker rahim itulah yang mendorong dirinya untuk mencari istri kedua. Bila ternyata penyakit itu pula yang telah menggagalkan ijab kabulnya, pertanda apakah itu? Kegagalan kedua akibat kedatangan Renata. Bagaimana ia bisa menikah saat istrinya nyaris pingsan? Ia masih manusia yang memiliki nurani.Bulu kuduk Bagastya merinding. Tidak ada kejadian yang melulu kebetulan, bukan? Bukankah hati kecilnya memang gamang bila menyangkut pernikahan kedua? Tidakkah semua yang terjadi itu adalah upaya semesta untuk mencegahnya berbuat sesuatu yang melawan hati nurani?Bagastya kembali ke rumah sakit dengan lunglai. Bukan cuma bekas pukulan Dodi yang te
Satria telah menunggu di ruang tamu kantor saat Renata pulang. Wajah rupawan dan tubuh yang atletis, serta kulit yang kuning terang terlihat serasi dengan kemeja hitam bergaris dan celana kain hitam. Agaknya Satria memang gemar mengenakan pakaian serba gelap. Warna – warna serba tua itu bukan membuat penampilan si duda muda menyeramkan, justru semakin menonjolkan aura maskulinnya.“Kita ke mana?” tanyanya.“Abang suka makan apa?” Renata balik bertanya.“Gimana kalau mencoba sesuatu yang lain?”“Apa itu, Bang?”