Share

OTW 7

Renata memang selalu melepas Bagastya berangkat di pagi hari. Jarak tempuh kantor suaminya serta jalur yang kerap macet, mengharuskan Bagastya berangkat lebih pagi. Ia sendiri lebih santai, karena kantornya bisa dijangkau tidak lebih dari lima belas menit dan ketika tiba saat berangkat, daerah tersebut bebas macet. 

Keberangkatan Bagastya kali ini berbeda, karena pria itu tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Napas Renata tersengal saat Bagastya mengambil tas selempang, menggantungnya di bahu, kemudian membalikkan tubuh. Matanya kabur menatap punggung yang mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam itu berjalan perlahan menuju pintu. Langkah demi langkah lelaki itu seolah meruntuhkan keping demi keping bahtera mereka yang tersisa. Harapan pun luruh. Begitu Bagastya tidak terlihat, Renata menghambur ke jendela depan, menyaksikan suaminya memasuki mobil dan menghilang dari pandangan. 

Selesailah sudah.

Pernikahan empat tahun berakhir pada hari ini. Selanjutnya hanyalah persoalan mengurus legalitas saja. Mendadak lantai tempatnya berpijak bergoyang. Renata seperti berada di atas kapal, mendadak disergap rasa pusing yang membuat mual. Dengan sisa tenaga, wanita muda itu pergi ke kamar mandi dan menumpahkan semua isi perut di kloset. Setelah habis semua dimuntahkan, ia tidak beranjak dari sana, justru terduduk lama di lantai kamar mandi, tidak peduli roknya basah hingga tembus ke dalam.

“Bagastya ….” Rintihan bertubi keluar dari mulutnya. Bermenit – menit ia seperti itu biarpun mualnya telah hilang dan napasnya telah teratur. 

Ponsel yang diletakkan di meja makan berdering. Semula Renata tidak berniat menyambut panggilan itu. Akan tetapi, si penelepon tak kenal berhenti, kembali mengulang panggilan beberapa kali. Akhirnya, dengan menguatkan diri, Renata pun bangkit.

“Iya, Nes?” sambut Renata.

“Aiiih, lama benar! Di mana kamu?” tanya wanita muda yang pandai mencari uang itu.

“Di rumah. Kenapa?”

“Aku di depan rumahmu. Kamu udah siap–siap ke kantor?”

Aduh, kantor pula, pikir Renata. Ia teringat harus menemui dua klien penting siang ini. Niat hati ingin mengambil cuti langsung punah.

“Sebentar lagi, masih pagi, kok. Tunggu ya, aku bukain pintu.” Renata bergegas ke depan sembari menghapus bekas air mata. Ia tidak yakin bisa menutupi pelupuk yang sembab dari tetangganya itu.

“Loh, kamu sakit? Kok pucat banget?” tanya Ines setelah melihat mata merah Renata.

“Iya. Mungkin aku salah makan. Perutku perih banget.” Renata malas bercerita tentang muntah-muntahnya.

“Ehhh, hati–hati. Ntar kayak aku kemarin, membocor!” Tanpa dipersilakan, Ines menerobos masuk.

“Aku boleh ambil foto-foto rumahmu, ya? Hmmm, sudah dipak semua barang-barangnya?” Tanpa menunggu jawaban, Ines langsung mengarahkan kamera ponsel ke segala sudut.

“Udah. Itu sisa punya Bagastya aja. Siang nanti aku kirim ke rumah orangtuanya.”

Ines sontak menoleh. Keningnya berkerut dan matanya menelisik wajah Renata sehingga wanita itu langsung sadar bahwa dirinya keceplosan.

“Iya, aku sama Bagastya mau berpisah,” lanjut Renata dengan suara serak. Apa boleh buat. Memang seperti itu adanya. Sampai kapan ia bisa menutupi dari orang lain?

Tanpa terduga, Ines yang biasanya bawel, tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia malah tercenung. Sikap itu justru membuat Renata curiga. Ia cukup dekat dengan Ines setelah membeli laptop di toko milik wanita yang bertubuh ramping tinggi itu. Karena puas dengan pelayanan yang baik, Renata mengarahkan pembelian komputer dan berbagai perangkat pendukung untuk kantor ke toko Ines. Dibandingkan penyedia jasa serupa, layanan yang diberikan Ines lebih murah dan cepat. Bila ada masalah, anak buahnya bisa dipanggil kapan saja.

“Kenapa diam begitu?” cecarnya.

Ines menggeleng. “Enggak. Enggak kenapa-napa kok.” Sesudah berkata begitu ia meninggalkan Renata untuk mengambil foto area dapur dan taman belakang. 

“Nes!” panggil Renata karena semakin penasaran. 

“Kamu jangan bohong. Ada apa?”

Pemilik hidung mancung dan kulit sawo matang itu menoleh, kemudian menatap dengan pandangan asing. Sungguh bukan perilaku Ines yang Renata kenal selama ini.

“Aku udah lama tahu Bagastya punya wanita lain,” jawab Ines dengan ragu-ragu.

“Oh, ya?” Renata masih berusaha menanggapi dengan santai.

“Iya. Perempuan itu pernah diajak ke toko.”

Dewi pernah diajak ke toko Ines? Pikiran dan hati Renata langsung panas. “Buat apa mereka ke tempatmu?”

“Bagastya membeli laptop buat perempuan itu.”

Renata mendengkus. Dirinya saja tidak pernah dibelikan barang-barang mahal. Ia membayar sendiri semua keperluan pribadinya.

“Mana yang diminta bukan yang sembarangan, Ta,” lanjut Ines.

“Hah?” Renata semakin penasaran.

“Iya. Maunya yang harga di atas segini!” Ines membuat tanda dengan dua jari.

“Dua juta?” tanya Renata.

“Laptop apa yang harganya dua juta, Renata?” cibir Ines. “Tambah nol satu lagi!”

“Dua puluh juta? Bagastya beli laptop buat Dewi yang harganya dua puluh juta?” Mata Renata mendelik seketika. Otaknya langsung mengkalkulasi, berapa bulan gaji Bagastya yang dihamburkan untuk wanita selingkuhan itu.

“Dua puluh lebih, loh!” Ines meringis. 

“Isinya apa sih laptop itu sampai lebih mahal dari sepeda motor?” cecar Renata dengan sengit.

Ines meringis semakin lebar. “Ya, fiturnya lengkap, modelnya cantik, beratnya minim, dan tipis banget. Terus mereknya ngetop.  Kalau dipakai tuh bergaya banget, pokoknya.”

Renata mengembuskan napas kasar seraya melipat tangan di depan dada.

Ines terbahak. “Makanya, lebih baik cerai! Kalau dimadu, kamu bakalan membiayai dua rumah tangga; rumah tanggamu sendiri, madumu, termasuk anak-anak mereka. Kebayang, enggak?”

Renata diam saja. Ines dengan rasa iba yang kental mengelus bahu tetangganya itu. 

“Udah enggak usah nangis. Jodohmu dengan Bagastya mungkin cuma sampai di sini. Oh, ya. Jangan marah. Dia pernah pendekatan ke aku juga, loh. Tapi tenang, aku enggak mau. Masa iya, selingkuh sama tetangga yang cuma selisih tiga rumah? Enggak kreatif banget, ya, suamimu itu?”

“Jadi, jadi? Bagastyaaaaa!” pekik Renata.

“Eh, eh, jangan ngamuk! Itu dulu, waktu dia belum dapat yang sekarang.” Ines terbahak kembali. “Kalau dipikir-pikir, selera Bagastya aneh. Biasanya lelaki selingkuh mencari perempuan yang lebih muda dan lebih cantik. Kamu pasti udah tahu si pelakor itu, kan? Coba, masa kamu digantikan sama dia?”

“Dia nggak peduli wajah. Yang penting si perempuan punya rahim yang bisa memberi anak!” tukas Renata.

Ines kontan terdiam. Ia memahami apa yang dirasakan Renata. Dirinya pun pernah berada dalam situasi yang sama. Yang berbeda adalah suaminya tidak pergi karena selingkuh, melainkan dipanggil Sang Pencipta.

“Sudahlah. Semua udah lewat,” lanjut Renata.

“Nah, begitu dong. Semangat! Selamat datang di dunia para jendes!” seloroh Ines dengan seringai sangat lebar.

“Sial!” tukas Renata tanpa bisa membalas senyum Ines. Bagaimana bisa tersenyum? Dunia para janda? Terdengar menyedihkan sekali. 

“Eeeeh, jangan salah!” kata Ines seolah tahu isi kepala temannya. “Itu artinya pangsa pasarmu dibuka kembaliiii! Yeayyyy! Yuk teriak, I’m available noowww!”

Mau tak mau Renata meringis juga mendengar itu. Ines melakukan sesuatu pada ponselnya, lalu memberikannya pada Renata.

Mata Renata membulat memandang berbagai foto dalam galeri Ines. “Apa ini?” 

“itu cogan-cogan yang datang ke toko. Kalau ada nasabah beli laptop yang agak mahal dikit, aku minta fotonya buat testimoni, terus di-upload ke medsos. Maklum, promosi. Tuh, keren-keren, kan? Enak buat cuci mata. Kita bebas mau melirik siapa aja sekarang. Nah, kamu punya klien tajir-tajir. Kenapa enggak didaftar mulai sekarang buat pendekatan?”

Cogan, daftar cogan, pendekatan? “Nes, kok berasa balik ke masa SMP atau SMA gitu, ya?”

“Justru itu yang bikin hidup jendes meriah, Ta. Selamat datang di dunia perburuan cogan!” seru Ines lagi.

“Kurang asem. Aku masih trauma, tahu!”

Sudah pasti, Ines mencibir panjang mendengar alasan Renata. Sedangkan Renata sendiri mulai mempertimbangkan saran Ines, menerima kenyataan dan segera memulai hidup baru. Bukankah itu yang ia harapkan dari perceraian? Diam-diam, Renata mulai memantapkan diri untuk bercerai.

Sore hari, sepulang kantor, saat mobil pengangkut yang disewa datang, ia memasukkan barang-barang Bagastya dengan jiwa yang mantap. 

Yap! Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan! hatinya berseru dengan perasaan yang ringan. Seolah bebannya ikut pergi bersama kardus-kardus yang menjauh itu.

===Bersambung===

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nietha
nah gitu dong ta, apalgi lo tajir, dh lh gk perlu sedih lama2,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status