Setelah seharian menemani Mas Gibran dan bonus makan siang bersama Clara, akhirnya kini aku sudah di dalam mobil berdua bersama Mas Gibran menuju rumahku. "Mas ... ""Hem ... "Aku memberanikan diri menanyakan apa Mas Gibran masih sering bertemu Clara sampai-sampai dia tau bahwa Mas Gibran akan pergi ke London dalam minggu ini?"Mungkin dia tau dari Revan. Aku akan ke London bersamanya.""Revan sepupu Kalian?"Mas Gibran menjawab dengan sebuah anggukan."Mas ... ""Hem ... ""Apa aku boleh tanya sesuatu yg sifatnya sangat pribadi?""Apa?" Mas Gibran langsung melirikku.Aku sebenarnya sangat penasaran dengan perkataan Clara tadi ketika makan siang. Penyanyi semok itu bilang, bulan lalu Mas Gibran masih menginap di apartemennya, em ... apa mereka memang seintim itu? Tapi aku takut Mas Gibran tersinggung. Lagipula kejadian terakhir juga bulan lalu, artinya di saat Mas Gibran belum menjadi kekasihku."Kok malah diam? Katanya mau tanya sesuatu yang pribadi?""Ah, tidak. Aku hanya ingin ta
'Sesuatu yang membuat Kami harus di jalan yang berbeda.'Kalimat itu terus berdengung di pikiranku. Satu detik, satu menit, dan ... Mas Gibran tetap saja bungkam. Tidak ada lagi kelanjutan dari kalimatnya.Ah ... ya sudahlah! Kalau Mas Gibran tidak mau menceritakannya, mungkin dia merasa belum saatnya Aku tau. OK! Yang penting sekarang Aku segalanya 'kan bagi Mas Gibran? Jadi tetap lebih istimewa dari yang istimewa 'kan? Ya ... semoga saja. Amin!Aku memilih kembali melanjutkan menikmati sajian ice cream di hadapanku. Betul kata Mas Gibran, perempuan itu tidak akan pernah membenci ice cream, kecuali dia lagi diet, hehehe."Audrey ... Aku sulit mengungkapkan perasaanku pada seseorang. Tapi kalau sampai Aku berani menyatakan perasaan itu, artinya Aku sungguh-sungguh. Kamu bisa pegang omonganku," ujar Mas Gibran seraya menggenggam tanganku.Akupun mengangguk dan membalas genggamannya. Kutatap manik mata hitamnya. Mencoba mencari kebohongan di sana.Tapi ... entah lah, sorot mata Mas Gibr
Sepanjang perjalanan pulang dari kedai ice cream Bobby menuju rumah, aku terus saja berpikir tentang dugaan kak Mina tentang orientasi sexual Clara. Apalagi ditambah dengan keanehan Mas Gibran yang tiba-tiba memborbardirku dengan banyak pertanyaan mengenai perasaanku terhadap kedua sahabat gesrekku, Shabina dan Mentari. Seakan memastikan bahwa aku tidak memiliki ketertarikan ke sesama jenis.Sontak hal tersebut membuat sel-sel otakku berusaha merangkai puzzle yang ada untuk menemukan jawaban dari kekepoanku ini. Apa memang betul si Clara bisexual? Apa Mas Gibran mengetahui itu? Oleh karenanya hubungan mereka berakhir? Karena walau bagaimanapun rasanya aku belum menemukan alasan yang tepat mengapa mereka mengakhiri hubungan asmara.Seperti yang aku bilang, Clara itu bibit unggul, bobot excellent, dan bebet istimewa. Ditambah lagi cerita masa lalu mereka berdua. 12 tahun, gaes! 12 tahun jelas bukan waktu yang singkat bagi sepasang kekasih menjalin kisah kasih asmara. Pasti banyak kenang
Hari ini adalah hari terakhir Mas Gibran di London. Selama di sana, pria tampan itu selalu menyempatkan waktu itu melakukan facetime denganku walau hanya satu atau dua menit. Kecuali kemarin, Mas Gibran bilang, kemarin dia sedang super sibuk, sehingga tidak bisa walau hanya sekedar sekian detikpun facetime denganku.Okelah, sebagai kekasih yang pengertian, aku tidak mau banyak protes. Kasihan juga Mas Gibran pasti sudah lelah dengan urusan bisnisnya, jadi aku tidak mau menambah level kelelahannya hanya karena rengekan manjaku.Walau sejujurnya rasa rinduku sudah semakin memuncak. Ya namanya juga pasangan kekasih baru yang masih anget-anget kuku. Eh, malah harus berpisah 10 hari. Kemput-kemput rasanya hati ini 'kan!"8,5 dari 10 untuk kopi caramel ini," terdengar suara Shabina di salah satu sudut meja makan rumahku. Aku dan mama sedang mengundang dua komentator terbaik, Shabina dan Mentari, untuk menilai 2 menu kopi dan 1 menu cake terbaru kreasi mama dan Tim Alina Gump."9 dari 10 unt
Seperti biasa, soreku di hari Senin adalah mengajar Gea dan Luna. Dengan motor matik kesayanganku aku bergerak dari kampus ke rumah mewah keluarga kekasihku itu."Sore, Audrey," sapa Mama Elma ketika melihatku berjalan menuju kamar belajar Gea dan Luna."Sore, Ma.""Nanti makan malam di sini ya. Mama masak rendang kesukannmu. Gibran juga sebentar lagi pulang."Akupun mengangguk untuk mengiyakan permintaan Mama Elma. Walau sebenarnya aku masih malas bertemu Mas Gibran, tapi Aku tidak sampai hati menolak permintaan sang mama.Jujur, aku masih kesal mengingat tulisan di situs berita online kemarin terkait kebersamaannya dengan Clara. Apalagi mengingat foto-foto mesra mereka berdua, beh ... rasanya ingin aku cocolin sambal kecombrang buatan Mama ke wajah Mas Gobran dan mantan terindahnya itu!"Tante Audrey ... " terdengar suara cempreng khas anak-anak dari arah ruang belajar Gea dan Luna. Bisa dipastikan dua kakak beradik itu sudah tidak sabar bertemu denganku. Karena hari ini kami akan m
"Aku tidak tau jika Clara juga sedang di London. Tiba-tiba dia menghubungiku. Hari itu dia bilang sedang free dan tidak ada teman jadi dia memutuskan untuk menemaniku bekerja seharian."Jangan bilang Clara sengaja menyusul Mas Gibran ke London? Dan ... Kenapa juga dia harus menemani Mas Gibran seharian? Mau jadi baby sitter Mas Gibran? Huft!"Kebetulan hari itu jadwal pekerjaan Kami memang padat. Maka dari itu Aku tidak bisa menghubungimu."Oya? Sepadat itu?"Ooo ... karena jadwal pekerjaan yang padat ya? Bukan karena jadwal berdua bersama Mantan Terindah yang padat?""Audrey ... " lirih Mas Gibran. Matanya menatap manik coklat mataku dengan sangat lekat. "Saat itu Kami tidak hanya berdua. Ada Tian, Revan, dan asisten Revan."Aku coba selami tatapan Mas Gibran. Mencari titik kebohongan si sorot matanya. Namun tidak aku temukan sedikitpun titik itu.Akupun mengehela nafas panjang. Mencoba tetap berpikir sejernih mungkin. Tapi apa daya, visual foto-foto Clara dan Mas Gibran yang ditampi
Hujan deras mengguyur Jakarta pagi ini. Audrey yang baru saja akan menuju kampus segera menepi di sebuah halte untuk memakai jas hujannya. Tanpa dia sadari, ada dua pasang mata sedang mengawasi gerak geriknya.Dua pasang mata tersebut sedang berada di dalam sebuah mobil mewah yang terparkir 100 meter dari posisi Audrey. Keduanya adalah wanita. Yang satu berambut panjang, sedangkan satu lagi berambut pendek.Keduanya sudah mengikuti Audrey sejak dari rumahnya. Dengan sengaja mereka ingin melihat lebih dekat seperti apa rupa kekasih Gibran Maharsa Adinata itu.Keduanya menatap lekat setiap garis wajah Audrey. Memperhatikan setiap air muka Audrey ketika menggunkan jas hujannya. Ada kekaguman yang tersirat di ekspresi dua wanita itu."Dia memang cantik. Selera Gibran memang yang seperti ini. Wajah blasteran, dan ... cerdas. Seperti Marry, selingkuhan Gibran ketika aku mengandung anaknya," ujar salah satu dari dua orang di mobil itu, yaitu si wanita berambut panjang.Wanita itu menatap nan
Setibanya di kampus, aku bergegas ke Toilet, merapikan penampilanku yang sedikit acakadut karena menerjang hujan pagi ini. "Pagi, Mbak Audrey," sapa Pak Widi, salah satu satpam kampusku. Bukannya aku famous alias mahasiswa beken sampai satpam saja mengenaliku. Hanya saja istri pak Widi kebetulan salah satu pegawai Alina Gump. "Pagi, Pak. Bu Sinta sudah datang belum ya" "Baru saja datang, Mbak." Baguslah, aku bisa langsung menemuinya. Hari ini aku sudah membuat janji dengan dosen cantik kesayangan banyak mahasiswa itu. Kebetulan Bu Sinta adalah dosen pembimbing skripsiku. Rencananya hari ini aku akan bimbingan skripsi untuk yang terakhir, sebelum aku harus masuk ke proses sidang. Bismillah, semoga lancar, amin. Setelah itu ... Kawin! Eh, kerja maksduku, hehehe. 60 menit berselang, aku sudah keluar dari ruangan dosen pembimbingku. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Cuaca sudah mulai cerah, akupun menuju taman di kampusku. Rencananya aku akan menghabiskan waktu di taman yang begitu nyam