Matahari sudah mulai terik, tapi aku masih saja bergelut dengan bantal dan selimutku. Sesuai titah mama dan Pak Gibran, hari ini aku tidak masuk kuliah. Akupun menikmati aktivitas hibernasiku di atas kasur seraya sayup-sayup mendengar penuturan mama tentang kehebatan Mpok Tima, tukang pijat langganannya.
Awalnya aku menolak ide mama untuk menggunakan jasa Mpok Tima. Aku takut pergelangan kakiku semakin nyeri jika tidak berkonsultasi ke dokter terlebih dulu sebelum sesi terapi pijat tradisional dengan tukang pijat hits di area sekitar rumah kami ini. Namun mama tetap bersikeras memintaku untuk mengizinkan Mpok Tima menjalankan misi mulianya, menyembuhkan kakiku yang terkilir. Menurutnya kasus terkilir seperti kakiku ini makanan sehari-hari Mpok Tima. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk hasilnya.
"Ayo, sekarang makan dulu! Sebentar lagi Mpok Tima datang," titah mama seraya menyodorkan sesendok nasi goreng padaku. Akupun segera duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mengambil sendok dan piring yang mama pegang. Namun mama menolaknya. Dia kekeh menyuruhku duduk cantik saja seraya menerima suapan darinya.
Dengan telaten mama menyuapiku hingga sepiring nasi goreng kuhabiskan tanpa tersisa. Ya begitulah orang tua. Berapapun usia kita, sampai kapanpun kita adalah gadis kecilnya.
Tak lama, Mpok Tima datang dan mulai menjalankan tugas mulianya untuk mengurut kakiku. Beberapa kali aku berteriak karena nyeri yang super dahsyat akibat pijatan Mpok Tima.
"MAMA, INI SAKIT BANGEEET!" terikakku untuk kesekian kalinya.
"Tahan! Demi kesembuhanmu, Audrey!" bentak Mama.
"Kenapa Audrey gak dibius aja sih, Ma!" protesku.
"Mana ada tukang pijat pakai bius membius!" gerutu mama.
"AUDREY GAK KUAT, MAAAA!" teriakku lagi saat Mpok Tima kembali menekan pergelangan kakiku.
Entah sudah berapa kali aku berteriak, namun mama meminta Mpok Tima tetap menyelesaikan misi mulainya ini. Walaupun sesekali aku reflek menendang Mpok Tima, tapi entahlah, mungkin karena Mpok Tima sudah terbiasa menghadapi banyak pasien, dia tetap dengan sabar menghadapi kebar-baranku di sesi urut-mengurut ini.
"Sudah enakan toh?" tanya Mpok Tima. Setelah diurut oleh tangan ajaib Mpok Tima, kakiku memang sudah tidak sesakit sebelumnya. Pergerakan kakiku juga sudah semakin membaik.
"Ajaib juga tangan Mpok Tima," gumamku.
"Pastilah! Pilihan Mama gak pernah meleset," timpal mama dengan jumawa.
Aku hanya memutar bola mataku malas. Rasanya aku sudah kehabisan tenaga untuk menyauti perkataan mama. Sesi urut-mengurut bersama Mpok Tima benar-benar menguras energiku. Belum lagi melihat tingkah ajaib mama sesaat setelah Mpok Tima selesai melakukan terapi ngurut-mengurut pergelangan kakiku. Mama tampak sibuk membongkar isi lemari pakaianku seraya mengomel karena menurutnya pilihan bajuku kurang feminim untuk gadis seusiaku.
Mamapun menuju ke kamarnya. Tak lama dia kembali dengan membawa dress miliknya. Menurut cerita mama, dress itu adalah dress yang dia pakai ketika kencan pertama kali dengan almarhum papapku.
Dress yang sederhana namun terlihat cantik. Dress selutut berwarna navy dengan potongan cukup rendah di area dada. Terdapat sedikit aksen brokat di area lengannya, menciptakan tampilan classy dari dress yang sudah berumur puluhan tahun ini.
Mama memaksaku memakai dress itu hari ini. Tentu aku menolaknya. Aku 'kan cuma akan mengajar Gea dan Luna, bukan pergi berkencan. Lagipula bagian dada dress itu rendah banget! Aku menunduk dikit aja sudah pasti kelihatan belahan buah dadaku.
"Anggap aja sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui," balas mama dengan santainya.
"Maksudnya?" tanyaku kebingungan. Mamapun sontak mengetuk dahiku dengan jari telunjuknya. "Sakit, Ma!" protesku.
"Kamu kadang lemot sih! Padahal langganan menang lomba olimpiade matematika. Heran Mama kadang sama Kamu!" gerutu mama.
"Ya Mama ambigu sih. Audrey jadi bingung 'kan mengartikan ucapan Mama tadi," protesku.
"Astaga, Audrey! Anggap aja Kamu mengajar Gea dan Luna sekaligus berkencan dengan Om mereka. Itu maksud ucapan Mama tadi," kesal mama.
What? Mengajar sekaligus berkencan? Allohurobbi, kenapa semua mengira aku dan Pak Gibran memiliki hubungan spesial?
Bukannya aku tidak senang, tapi takutnya ternyata kami salah mengartikan sikap manis Pak Gibran padaku. Walaupun rasanya hampir tidak mungkin Pak Gibran tidak ada perasaan spesial padaku jika melihat tindak tanduknya kemarin. Tapi 'kan bisa saja dia cuma iseng! Atau jangan-jangan ...
Tiba-tiba aku teringat kesepakatanku dengan Pak Gibran untuk membantu menyelesaikan skripsi salah satu temannya. Jangan-jangan sikap manis Pak Gibran malam ini hanya karena takut aku kenapa-kenapa sehingga tidak bisa menyelesaikan skripsi temannya? Secara dia sudah membayarku DP 100 juta 'kan! Atau ...
Tunggu dulu! Aku kembali teringat sesuatu. CLARA! Ya, Clara!
Apa karena Clara? Apa aku hanya dijadikan pelarian dari kisahnya dengan Clara? Secara di video yang diupload akun lambe*-lamb*an 6 bulan lalu, mereka berdua romantis banget. Eh, tiba-tiba semalam Pak Gibran bilang, "She is my friend."
Baru putus kali ya mereka? Tapi kenapa mereka putus? Apa Clara selingkuh? Maka dari itu Pak Gibran segera mendekatiku untuk menjadikan pelariannya sehingga dia bisa melupakan Clara?
"Mama rasa flat shoes silver cocok dengan baju ini," suara mama tiba-tiba membubarkan lamunanku tentang hubungan Pak Gibran dan Clara. Dengan semangat mama menunjuk salah satu sepatu milikku dan menyandingkannya dengan dress navy pilihannya tadi.
"Nanti rambutmu jangan lupa Kamu ikat tinggi. Supaya leher jenjangmu semakin terlihat. Kamu pasti terlihat sangat cantik. Apalagi Kamu akan menggunakan dress model V-Neck. Gibran pasti menyukainya," tambah mama. Astaga! Berasa lagi dijual sama mama sendiri aku tuh.
Tak lama, terdengar suara mobil berhenti di halaman depan rumah kami. Tampak Shabina melenggang keluar dari mobil Mini Coop*r berwarna merah. Sahabatku yang saat ini sedang berstatus sebagai dokter muda itu dengan santai melewati halaman depan kemudian segera menuju ke kamarku. "Assalamualaikum, Mama Alin," sapa Shabina seraya mencium tangan mama.
"Waalaikumsalam, dokter cantik Mama," jawab mama sumringah.
Kamipun mengobrol sejenak. Sebelum akhirnya sebuah mobil Range Rov*r putih teraparkir di depan rumahku. Tampak sahabatku yang lain, Mentari, datang dengan membawa sebuah paperbag keluar dari mobil itu. Sama halnya dengan Shabina, tanpa basa-basi gadis cantik itu masuk ke kamarku, bergabung bersamaku, mama, dan Shabina.
Rencananya minggu depan kami akan membantu shabina membuat kue untuk Axel, kekasihnya. Pria blasteran Indonesia - Jerman itu akan ulang tahun minggu depan. Menurut Shabina, akan lebih romantis jika dia membuat kuenya dengan tangannya sendiri daripada harus membeli kue di luaran. "Cih, dasar bucin!" gerutuku.
"Astaga, calon menantu keluarga Adinata kenapa sewot sih?" goda Shabina.
"Iya ih. Galak amat sekarang si OTW Ny. Boss," timpal Mentari.
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb