Aku, Shabina, dan Mentari memang sudah bersahabat semenjak kami di duduk bangku SD. Kami berada di sekolah yang sama sejak SD, SMP, hingga SMA. Kami merupakan murid di salah satu group sekolah internasional elit di Jakarta.
Shabina dan Mentari berasal dari keluarga kelas atas negeri ini. Jadi wajar mereka bisa sekolah di group sekolah dengan SPP bulanan mencapai belasan juta rupiah itu. Namun keduanya tidak pernah mengucilkanku yang hanya anak seorang pegawai di sekolah elit tersebut.
Shabina berasal dari keluarga dengan latar belakang dokter. Sang papa adalah dokter spesialis Obgyn dan sang mama adalah seorang dokter gigi spesialis Gigi Anak. Kakak perempuannya adalah seorang dokter spesialis mata yang menikah dengan seorang dokter spesialis bedah saraf. Keluarganya memiliki beberapa rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Sedangkan Mentari, dia berasal dari keluarga pengusaha. Keluarganya adalah pemilik beberapa Mall besar di Jakarta dan Bali. Saat ini Mentari baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu kampus bergengsi di London.
Sedangkan aku?
Aku hanya seorang anak blasteran Amerika - indonesia yang beruntung. Aku bisa menjadi murid di sekolah itu karena mendapatkan beasiswa sebagai murid berprestasi dengan beberapa medali emas di bidang matematika. Selain itu status mama yang bekerja sebagai penanggung jawab di kantin sekolah itu juga membuatku semakin mudah mendapatkan akses beasiswa di sekolah internasional ternama tersebut.
Pekerjaan itu masih mama kerjakan hingga saat ini. Namun bedanya, sejak empat tahun terakhir mama tidak setiap hari datang ke sekolah itu, melainkan seminggu tiga atau empat kali, tergantung kebutuhan. Kini mama sudah memliki tim sendiri yang mama tugaskan untuk menyiapkan semua makanan dan minuman di kantin sekolah langganan anak konglomerat dan selebritas itu.
"Astaga! Gue sampai lupa," gumam Mentari. "Gue bawa ice cream kesukaan Lo," tambahnya seraya menyodorkan paperbag yang dia bawa.
Akupun segera mengambil paper bag itu dari tangan Mentari. Tapi baru saja aku menggapainya, tiba-tiba Mentari menariknya kembali. "Eitsss, ceritain dulu dong gimana rasanya digendong CEO Adinata Group, Bapak Gibran Maharsa Adinata!" goda Mentari seraya menaik turunkan alisnya.
"Di-digendong? Kata siapa gue digendong Pak Gibran?" balasku gugup.
"Lo gak usah ngelak deh!" timpal Shabina.
"Yuhu! Semalam Mbak Ijah melihat dengan mata kepala sendiri adegan romantis antara Om Tampan dan Tante Bule," ledek Mentari.
Mbak Ijah adalah salah satu pegawai Alina Gump. Kebetulan dia bersal dari luar kota. Jadi dia ikut tinggal bersamaku dan mama di rumah ini.
Sial! Pasti mama juga tau kalau semalam aku figendong Pak Gibran. Secara slogan antara Mama dan Mbak Ijah 'tidak ada dusta diantara kita'. Pantas saja mama pikir kami berkencan.
"Jangan-jangan Elo sengaja ngebuat kaki Lo terkilir biar digendong si Om Tampan?" tuduh Mentari.
"Wah, terkilir yang membawa berkah berarti," goda Shabina. Kedua sahabatku itu memang klop banget untuk urusan ledek-meledek dan goda-menggoda. Mereka selalu sukses membuat orang jengkel dengan bakat mereka itu
Hampir saja aku mati kutu dengan godaan-godaan mereka. Untung saja mama segera menawarkan nasi goreng keju buatannya untuk sarapan dua sahabat gesrekku itu. Tentu tidak ada penolakan dari keduanya. Karena mereka semua penggemar masakan mama, apapun masakannya.
Syukurlah! Aku tidak dikuliti habis-habisan dengan ledekan gesrek mereka berdua.
Mereka bergegas ke meja makan, meninggalkanku tergeletak di atas kasur sendirian. Baguslah! Energiku sudah sangat terkuras ketika tadi harus menahan nyeri karena pijatan maut Mpok Tima. Rasanya kali ini badanku sudah benar-benar tidak bertenaga. Akupun memilih memejamkan mata untuk segera mengistirahatkan jiwa ragaku.
Kurang lebih lima belas menit setelah aku terlelap, tiba-tiba ponselku berdering. Akupun terbangun dan segera mengambilnya di nakas sebelah ranjangku. Mataku mengerjab beberapa kali membaca nama yang keluar di notifikasi ponselku.
- Video Call from Pak Gibran -
Lah, ngapain Om Tampan video call? Akupun segera duduk bersandar di kepala ranjang dan menerima panggilan video call itu.
"Baru bangun tidur?" tanya Pak Gibran di sambungan video call kami.
"I-iya," jawabku gugup. Masyaalloh, gantengnya Pak Gibran dengan kemeja hitam yang dia pakai hari ini.
"Apa kakimu masih sakit?"
"Sudah mendingan," jawabku sambil sedikit menjauhkan layar ponselku agar wajah bantalku tidak memenuhi layar video call kami. Namun entah mengapa tiba-tiba Pak Gibran tersenyum geli seraya menaikkan salah satu alisnya, seketika membuatku insecure.
"Ke-kenapa Pak?" tanyaku penasaran.
"Cantik," puji Pak Gibran yang sontak membuat pipiku merah merona. Haduh ... pakai daster aja aku terlihat cantik di mata Bapak, apalagi pakai kebaya nikahan, hehehe.
Sebelum mengakhiri sambungan video call ini, Pak Gibran kembali mengingatkanku bahwa dia akan menjemputku sore ini. Duh, gak sabar deh ketemu Om Tampannya Audrey. Cihir ...
"Ciyeee ... yang baru aja video call sama Om Tamvan. Cengar-cengir mulu dari tadi!" goda Mentari. Tanpa aku sadari ternyata Shabina, Mentari, dan mama sudah berdiri di depan pintu kamarku sejak awal aku menerima sambungan video call dari Pak Gibran.
"Cih, pipi Lo kenapa merah merona kayak tomat busuk?" timpal Shabina. "Kayaknya bentar lagi Mama Alin punya mantu deh," tambahnya.
"Bakal sering ditinggal kencan nih Mama Alin," timpal Mentari.
"Kayaknya sih gitu. Nanti sore aja mereka mau kencan. Makanya Mama dari tadi sibuk pilih outfit untuk kencan pertamanya. Kalian tau sendiri 'kan Audrey belum pernah berkencan sebelumnya," seloroh Mama. "Umur sudah 22 tahun tapi pacar sebiji aja belum punya. Mama umur segitu sudah banyak yang antri ngawinin dulu," tambah mama yang diikuti tawanya bersama Shabina dan Mentari.
Dih, mama gak tau aja kalau banyak cowok yang naksir aku. Dengan wajah blasteran ala Dakot* Jhons*n dan otak yang lumayan cemerlang tentu aku bukan katagori gadis nerd yang tidak dilirik satupun pria. Aku aja yang belum mau pacaran, kecuali sama Pak Gibran, hehehe.
Tak lama mama meninggalkan Kami bertiga. Mama bergegas pergi ke dapur karena Mbak Ijah baru saja tiba dari pasar, membeli semua bahan makanan untuk acara makan malam Kami bersama Pak Gibran. Sesuai janji mama pada Pak Gibran, wanita paruh baya kesayanganku itu akan memasak sendiri semua makanan pesanan Pak Gibran. Mulai dari makanan pembukan, makanan utama, dan makanan penutup.
"Lo beneran mau kencan sama si Om Tamvan hari ini?" tanya Mentari. "Takjub gue sama bule kesayangan kita ini. Gak ada basa-basi, tiba-tiba aja sudah mau kencan sama om Tamvan idolanya. Benar-benar Otw Ny. Boss nih kayaknya," timpal Shabina. Akupun memutar mataku malas. Okeh! Setelah Mama, sekarang giliran Mentari dan Shabina yang menduga ada hubungan khusus antara aku dan Pak Gibran. Aku aminin aja ya, hehehe. "Mana ada kencan! Pak Gibran jemput gue buat ngajar Gea dan Luna," elakku. "Ah, itu sih modus dia aja!" gumam Mentari. "Kalau cuma antar jemput Lo buat ngajar keponakannya, dia bisa suruh sopirnya aja kali," imbuhnya. "Pak Gibran itu bukan pengangguran yang punya banyak waktu luang, Audrey! Kalau Elo gak penting buat dia, ngapain dia repot-repot mau jemput Lo demi ngajar ponakannya? Apalagi kantor dia di Jaksel, rumah Lo di Jakut, dan rumah dia di Menteng," cerocos Shabina. "Fix! DIA LAGI MODUS KE ELO, Audrey Liliana White!" imbuhnya. Modus? Em ... semoga saja ya! Siapa ju
"Selamat sore," terdengar suara bariton dari arah teras depan rumahku. Tampak Pak Gibran datang dan disambut dengan senyum merekah khas mamaku.Mereka mengobrol di teras depan, menungguku yang baru saja selesai mandi. Sejujurnya mengingat kemungkinan teman Pak Gibran yang aku bantu membuat skripsi adalah Clara, membuat hatiku enggan melihat wajah tampan Pak Gibran untuk saat ini. Namun mengingat antusiasme mama, rasanya aku tidak sampai hati membatalkan agendaku hari ini dengan CEO Adinata Group itu.Benar kata Mentari dan Shabina, "Jangan Lo cancel acara siang dan malam ini! Kasihan Mama Alin," titah Mentari sebelum dia dan Shabina pamit pulang tepat 30 menit sebelum kedatangan Pak Gibran. "Jangan buat Mama Alin kecewa!" tambahnya. "Iya! Mama Alin sudah antusias banget nyiapin outfit Lo hari ini. Mama Alin juga sudah susah payah masak makanan-makanan kesukaan Pak Gibran untuk makam malam kalian hari ini," timpal Shabina. "Lagian belum tentu juga 'kan orang yang Lo bantu menyusun skr
Sebelum turun dari mobil mewah Pak Gibran, aku kembali menanyakan hal yang sama. "Jadi benar Clara adalah teman Bapak yang harus Saya bantu mengerjakan skripsinya?" tanyaku untuk ke sekian kalinya.Pak Gibran menatapku lekat, kemudian pria tampan itu menghebuskan nafasnya kasar. Perlahan dia menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Yes she is."Akupun terdiam. Rasanya ... seperti ada luka di lutut yang tersiram air lemon. Ngilu!"Apa Kamu keberatan?" tanya Pak Gibran.Em ... sejujurnya aku memang keberatan. Tapi tawaran 200 juta yang diajukan Pak Gibran rasanya sangat menggiurkan, bahkan mengalahkan rasa keberatanku itu. Apalagi mengingat keingananku membantu mama untuk segera mewujudkan kedai pertama Alina Gump, sepertinya aku memang harus menyingkarkan rasa keberatanku itu."Saya tidak punya hak untuk keberatan. Apalagi Saya sudah menyetujui kesepakatan Kita. Uangnya juga sudah saya terima 50%," jawabku lugas. "Saya juga tidak mau mengembalikan uang itu karena Saya sudah merencanak
Setelah 60 menit berselang, kamipun sudah menyelesaikan sesi belajar sore ini. Seraya membantu membawa perlengkapan belajar Gea, aku menggandeng tangan gadis cantik itu menyusuri taman menuju teras belakang rumah mewah keluarga Adinata. Tampak Oma Elma dan Ibu Livy masih duduk di sofa teras tersebut. Selain mereka berdua, kali ini juga tampak Pak Nathan yang duduk di sebelah sang istri dan Pak Gibran yang duduk di sebalah Oma Elma.Gea yang baru saja tiba denganku, langsung duduk diantara kedua orang tuanya. Bermanja-manja dengan sang papa. Gea memang dasarnya juga manja seperti Luna. Hanya saja jika ada sang adik, sikap manjanya akan lebih teredam."Papa, Gea mau dipeluk!" pintanya dengan nada manja. Pak Nathan memeluk puteri sulungnya itu sambil mencium wajahnya berkali-kali sampai-sampai Gea memekik geli."Duduklah, Audrey!" pinta Oma Elma seraya menepuk bantalan sofa di sebelahnya. Akupun mengangguk dan langsung duduk di sebelah Oma Elma. "Bagaimana kakimu?" tanya Oma Olma sambil
"Pak, Saya turun di sini saja. Makan malam Kita batal! Nanti Saya akan bilang ke Mama kalau Bapak ada urusan penting mendadak," ucapku tergesa-gesa seraya mendorong dada Pak Gibran agar segera menjauh dariku."Kenapa Kamu ketakutan, Audrey?" goda Pak Gibran sambil tertawa geli melihat rasa takut dan gelisah yang terpampang nyata di raut wajahku.YA GIMANA AKU GAK KETAKUTAN! Jelas-jelas dia tadi mengajakku melakukan 'sesuatu' seperti di red room trilogi Fifty Shad*s.Lagipula film si Dakota Jhons*n 'kan banyak, kenapa juga Pak Gibran malah memilih film itu? Wajar 'kan kalau aku berfikir yang tidak-tidak!"Saya tidak mau jadi Anast*sia Bapak!" pekikku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. "I would never want to doing something like in his red room!" tambahku masih dalam mode berapi-api.Pak Gibran semakin terkekeh mendengar tanggapanku. Menurutnya, penolakanku itu terdengar seperti orasi emak-emak yang menolak kenaikan harga BBM."Saya hanya bercanda, Audrey!" gumam Pak Gibran yang masi
"Mungkin benar kata Kak Livy dan Aksa," gumam Pak Gibran. "I'm falling in love with you."DEGH!Hati apa kabar hati? Jantung apa kabar Jantung? Jangankan hati dan jantung, bahkan otak, paru, ginjal, dan usus dua belas jariku koprol mendengar kalimat cinta dari Pak Gibran barusan.Sambil terus menatap mataku lekat, jemari besar Pak Gibran mengusap pipiku dengan lembut. Perlahan sentuhannya bergerak ke arah bibirku. Mengusap bibirku dengan ibu jarinya.Aku hanya terdiam. Badanku rasanya layu. Lidahku rasanya kelu.Aku hanya bisa menatap wajah tampannya tanpa membalas apapun. Menikmati setiap gerakan jarinya di atas permukaan bibirku. Menikmati hangat hembusan nafasnya yang mulai terasa kembali menyapu area wajahku.Kami sudah semakin dekat ... sangat dekat ... dan akhirnya ... CUP! Bibir kami saling bersentuhan.Perlahan Pak Gibran melahap bibirku dengan lembut, mencicipi permukaaan bibirku dengan sangat hati-hati. Menciptakan rasa nyaman sekaligus penasaran dalam diriku. Membuatku spon
Tepat pukul 20.10 Kami tiba di rumah. Tampak mama sudah menunggu di meja makan dengan segala hidangan kesukaan Pak Gibran."Maaf Ma, Kami datang terlalu malam," sesalku seraya mencium pipi kanan dan kiri mama."Doesn,t matter," balas mama dengan senyum cantiknya. "Ayo, Kita mulai makan malam. Kasian lambung kalian! Maaf ya, Nak Gibran. Makanan dan tempatnya sederhana," tambah mama seraya mempersilahkan Pak Gibran duduk di sebelahku."Mas mau makan apa? Biar Aku ambilkan." Mas? Iya, Mas Gibran.Setelah aktivitas bercumbu yang yang cukup menggairahkan di mobil, Pak Gibran melarangku memanggilnya Bapak. Dia memintaku memanggilnya 'Mas Gibran'.Selain itu kami harus menggunakan kata 'aku' bukan 'saya'. Karena Mas Gibran merasa seperti sedang berbicara dengan karyawan atau rekan bisnisnya setiap kami saling menyebut diri kami dengan kata 'saya'.Mas Gibran juga mengganti panggilannya pada Mama Alin. Dengan nyaman CEO Adinata Group itu memanggil Mama Alin dengan panggilan 'mama'. Sontak me
Malam ini kami saling mengakui perasaan kami satu sama lain. Perasaan kagum yang berkembang menjadi rasa sayang dan perlahan bermetamorfosa menjadi rasa cinta. Entah sejak kapan perasaan ini mulai bermetamorfosa, yang aku tau hanya sejak awal pertemuan kami, aku memang sudah mengagumi seorang Gibran Maharsa Adinata."I can remember when I first saw you," ungkapku.Ya, aku akan selalu mengingat hari itu. Hari dimana aku bertemu Mas Gibran untuk pertama kalinya. Tepat di hari pertama aku menjadi guru les privat Gea dan Luna dua tahun lalu. Di hari itulah aku mulai mengagumi sosok tampan yang kini menjadi kekasih pertamaku sekaligus cinta pertamaku dan ciuman pertamaku.Sejak saat itu hanya sosoknya yang menjadi visual pria idamanku. Wajah tampan, tubuh maskulin, suara bariton, dan sikap beton yang terkesan sulit terjamah khas Mas Gibran selalu berhasil menghipnotisku. Walau aku sadar, ada perbedaan status sosial yang terlalu jauh diantara kami berdua. Aku selalu beranggapan, orang kaya