Melihat tingkah manis Pak Gibran padaku, mama terus saja tersenyum lebar. Menatap kami berdua dengan pandangan penuh damba, seperti sedang menonton sepasang kekasih yang sedang melakukan adegan romantis.
Mama menyetujui ide Pak Gibran tentang aku yang sebaiknya tidak masuk kuliah besok. Mama juga amat sangat setuju dengan gagasan tentang Pak Gibran yang akan menjemputku besok. RALAT! Bukan lagi amat sangat setuju, tetapi amat sangat bersemangat untuk gagasan terkahir itu. Bahkan mama sok ngide untuk mengundang Pak Gibran makan malam bersama kami besok.
"Ma, Pak Gibran itu orang yang super sibuk. Gak bisa Kita undang Pak Gibran makan malam bersama mendadak seperti itu. Lebih baik Kita membuatkan cake kesukaan Pak Gibran. Tidak perlu mengundang beliau makan malam. Lagipula siapa Kita sampai berani mengundang seorang Gibran Maharsa Adinata untuk makan malam di rumah Kita? Pak Gibran itu CEO perusahan besar, Ma! Jadwalnya pasti padat merayap. Kita gak bisa asal mengundang Pak Gib---," belum juga aku menyelesaikan cerocosanku, Pak Gibran sudah memotongnya.
"Wah, makan malam bersama Audrey dan Ibu? Undangan yang tentu tidak mungkin Saya lewatkan," potong Pak Gibran.
"Tapi Pak---," kembali kalimatku melayang di udara karena Om Tampan ini kembali memotongnya.
"Besok Saya tidak ada agenda apapun dari sore hingga malam. Jadi Kita bisa makan malam bersama," ucap Pak Gibran seraya kembali mengusap puncak kepalaku. Lah, kenapa sekarang Pak Gibran hobi banget mengusap puncak kepalaku?
"Binggo! Kalau gitu mama akan siapkan semua makanan yang diinginkan Pak Gibran untuk makan malam besok," seloroh mama sambil tersenyum penuh kemenangan. Dengan semangat 45 mama menanyakan menu makan malam apa yang diinginkan Pak Gibran. Dia berjanji akan memasak sendiri semua makanan yang diinginkan Pak Gibran untuk makan malam besok.
"Em ... sejujurnya saya rindu sup merah buatan Anda, Bu" ucap Pak Gibran.
Sup Merah buatan mama? Astaga, ternyata selama ini Pak Gibran juga mencicipi sup merah buatan mama jika aku membawakannya untuk Oma Elma?
"Sup merah kacang polong yang biasa Audrey bawa untuk Nyonya Elma?" mama kembali memastikan. Pak Gibran hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya untuk mengiyakan.
"Baiklah, besok Saya akan masak sup merah kacang polong spesial untuk Pak Gibran. Lalu Bapak request makanan apalagi?" tanya mama penuh semangat.
Mama dan Pak Gibran asik merancang menu makan malam untuk besok. Mereka berdua tampak antusias menentukan pilihan hidangan mulai dari makanan pembuka, makanan utama, hingga makanan penutup.
Di tengah perbincangan hangat mereka, Pak Gibran meminta mama untuk tidak memanggilnya bapak. Mama mengangguk setuju. Mamapun mengganti panggilannya menjadi 'Nak Gibran'. Astaga!
Mama dan Pak Gibran tampak begitu akrab. Mereka berdua seakan sudah sering bertemu. Padahal ini adalah pertemuan pertama mereka, tapi Pak Gibran tampak nyaman berbincang dengan mama. Dia bahkan tertawa beberapa kali menanggapi candaan receh mama tentang filosofi beberapa makanan.
Lelucon receh mama terus saja ditanggapi antusias oleh Pak Gibran. Heran deh, biasanya Pak Gibran bisa tertawa dan tersenyum lepas seperti ini jika bersama keluarga atau sahabatnya. Jago juga ternyata mama, bisa membuat Pak Gibran senyaman ini. Aku saja butuh waktu dua tahun untuk bisa berbicara akrab dengan Pak Gibran. Mana harus pakai acara terkilir dulu!
Pemandangan yang menyenangkan pastinya bisa melihat senyum dan tawa Om Tampan idolaku ini. Ketampanannya meningkat berkali-kali lipat setiap dia tersenyum ataupun tertawa. Namun sayangnya tubuhku sudah sangat lelah saat ini. Belum lagi pergelangan kakiku yang terasa begitu nyeri, rasanya aku ingin segera berbaring di kasur.
Alhasil aku tidak bisa membiarkan pemandangan indah ini terlalu lama bertengger di hadapanku. Akupun berdeham untuk mengalihkan fokus mereka ke diriku. "Ehem," dehamku. Alhamdulillah berhasil mengalihkan tatapan mereka padaku. "Apa Bapak tidak berencana untuk segera pulang? Ini sudah pukul 22.57 Waktu Indonesia Bagian Barat," gumamku menyindir Pak Gibran.
"Audrey!" tegor mama.
"Ini sudah larut malam, Ma. Kita bisa digerebek hansip yang sedang ronda malam!"
"Gak mungkinlah! Kecuali hanya tinggal kalian berdua. 'Kan ada Mama juga di sini!" geram mama.
Pak Gibran segera menengahi, "Ah, iya. Ini sudah terlalu larut. Audrey dan Ibu juga harus segera istirahat," timpal Pak Gibran. "Kalau begitu Saya pamit dulu," lanjutnya.
Baguslah dia sadar! Walau mataku sangat dimanjakan dengan wajah tampannya, telingaku dimanjakan dengan suara baritonnya yang terkesan seksi, namun sayangnya aku sudah terlalu lelah untuk menikmati semua itu karena aktivitasku yang cukup padat hari ini.
Sebelum pulang, Pak Gibran berpesan padaku untuk segera menghubunginya jika nyeri di kakiku semakin menyiksa. Dengan manis dia mengatakan bahwa dia siap 24 jam menerima panggilan emergency dariku. Haduh, meleleh terus hati Audrey hari ini, Om! Apalagi Om Tampan mengatakannya seraya membelai puncak kepalaku dengan lembut. Alhasil akupun makin termehek-mehek!
"Terima kasih banyak, Nak Gibran. Maaf Audrey sudah sangat merepotkan hari ini," ucap mama seraya berjalan mengantar Pak Gibran ke mobilnya. Mereka sempat berbincang sejenak sebelum akhirnya mobil Pak Gibran tampak meninggalkan rumah kami.
Akupun meminta mama segera membantuku berjalan untuk masuk ke dalam rumah. Badanku sudah lelah, aku sudah sangat rindu dengan kasurku. Belum lagi kakiku yang ingin segera aku istirahatkan.
Dengan tertatih aku berjalan memasuki rumah seraya dibantu oleh mama. Perlahan kami menuju ke kamar mandi sebelum ke kamar tidurku. Akupun membersihkan badanku yang terasa lengket. Dengan lembut mama membantu mengusap sekujur tubuhku menggunakan washlap hangat, kemudian mengganti pakaianku dengan daster motif floral ala emak-emak.
Akupun bersiap untuk tidur. Membaringkan badanku yang begitu letih dan mengistirahatkan kakiku yang terasa semakin nyeri. Namun ... baru saja aku akan memejamkan mata, tiba-tiba ponselku berdering. Tampak nama Pak Gibran muncul di layar ponselku.
Lah, ngapain Om Tampan telepon? Apa ada barangnya yang ketinggalan?
"Hallo!" sapaku di sambungan telepon.
"Besok bersiaplah pukul 15.00 Waktu indonesia Bagian Barat!" balas Pak Gibran.
Astaga! Jangan bilang dia telepon cuma mau bilang ini!
"Saya bisa berangkat sendiri, Pak. Nanti malah merepotkan Bapak."
"Jangan membantah! Sekarang segera istirahatlah! Sudah sangat larut."
Dih, 'kan dia yang telepon! Jadi dia yang malah ganggu jam istirahatku. Lagian belum juga jadi kekasih sudah asal aja kasih perintah. Dasar pria dominan!
Akupun mendengus kasar sebelum melontarkan kalimat penutup untuk mengakhiri sambungan telepon kami dan segera menjalankan perintahnya, segera tidur cantik! Namun belum sempat aku melontarkan kalimat penutup itu, kembali terdengar suara bariton Om Tampan, "Good night and hope you are having a sweet dream, Audrey."
Degh!
Ya Tuhan, kenapa manis banget sih Om Tampan malam ini? Besok sepertinya aku harus meminta Shabina mengecek kadar gula darahku, deh. Aku takut tiba-tiba terkena diabetes gara-gara perkataan dan kelakuan manis Pak Gibran malam ini, hehehe.
Matahari sudah mulai terik, tapi aku masih saja bergelut dengan bantal dan selimutku. Sesuai titah mama dan Pak Gibran, hari ini aku tidak masuk kuliah. Akupun menikmati aktivitas hibernasiku di atas kasur seraya sayup-sayup mendengar penuturan mama tentang kehebatan Mpok Tima, tukang pijat langganannya.Awalnya aku menolak ide mama untuk menggunakan jasa Mpok Tima. Aku takut pergelangan kakiku semakin nyeri jika tidak berkonsultasi ke dokter terlebih dulu sebelum sesi terapi pijat tradisional dengan tukang pijat hits di area sekitar rumah kami ini. Namun mama tetap bersikeras memintaku untuk mengizinkan Mpok Tima menjalankan misi mulianya, menyembuhkan kakiku yang terkilir. Menurutnya kasus terkilir seperti kakiku ini makanan sehari-hari Mpok Tima. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk hasilnya."Ayo, sekarang makan dulu! Sebentar lagi Mpok Tima datang," titah mama seraya menyodorkan sesendok nasi goreng padaku. Akupun segera duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mengambil sendok dan
Aku, Shabina, dan Mentari memang sudah bersahabat semenjak kami di duduk bangku SD. Kami berada di sekolah yang sama sejak SD, SMP, hingga SMA. Kami merupakan murid di salah satu group sekolah internasional elit di Jakarta. Shabina dan Mentari berasal dari keluarga kelas atas negeri ini. Jadi wajar mereka bisa sekolah di group sekolah dengan SPP bulanan mencapai belasan juta rupiah itu. Namun keduanya tidak pernah mengucilkanku yang hanya anak seorang pegawai di sekolah elit tersebut. Shabina berasal dari keluarga dengan latar belakang dokter. Sang papa adalah dokter spesialis Obgyn dan sang mama adalah seorang dokter gigi spesialis Gigi Anak. Kakak perempuannya adalah seorang dokter spesialis mata yang menikah dengan seorang dokter spesialis bedah saraf. Keluarganya memiliki beberapa rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sedangkan Mentari, dia berasal dari keluarga pengusaha. Keluarganya adalah pemilik beberapa Mall besar di Jakarta dan Bali. Saat i
"Lo beneran mau kencan sama si Om Tamvan hari ini?" tanya Mentari. "Takjub gue sama bule kesayangan kita ini. Gak ada basa-basi, tiba-tiba aja sudah mau kencan sama om Tamvan idolanya. Benar-benar Otw Ny. Boss nih kayaknya," timpal Shabina. Akupun memutar mataku malas. Okeh! Setelah Mama, sekarang giliran Mentari dan Shabina yang menduga ada hubungan khusus antara aku dan Pak Gibran. Aku aminin aja ya, hehehe. "Mana ada kencan! Pak Gibran jemput gue buat ngajar Gea dan Luna," elakku. "Ah, itu sih modus dia aja!" gumam Mentari. "Kalau cuma antar jemput Lo buat ngajar keponakannya, dia bisa suruh sopirnya aja kali," imbuhnya. "Pak Gibran itu bukan pengangguran yang punya banyak waktu luang, Audrey! Kalau Elo gak penting buat dia, ngapain dia repot-repot mau jemput Lo demi ngajar ponakannya? Apalagi kantor dia di Jaksel, rumah Lo di Jakut, dan rumah dia di Menteng," cerocos Shabina. "Fix! DIA LAGI MODUS KE ELO, Audrey Liliana White!" imbuhnya. Modus? Em ... semoga saja ya! Siapa ju
"Selamat sore," terdengar suara bariton dari arah teras depan rumahku. Tampak Pak Gibran datang dan disambut dengan senyum merekah khas mamaku.Mereka mengobrol di teras depan, menungguku yang baru saja selesai mandi. Sejujurnya mengingat kemungkinan teman Pak Gibran yang aku bantu membuat skripsi adalah Clara, membuat hatiku enggan melihat wajah tampan Pak Gibran untuk saat ini. Namun mengingat antusiasme mama, rasanya aku tidak sampai hati membatalkan agendaku hari ini dengan CEO Adinata Group itu.Benar kata Mentari dan Shabina, "Jangan Lo cancel acara siang dan malam ini! Kasihan Mama Alin," titah Mentari sebelum dia dan Shabina pamit pulang tepat 30 menit sebelum kedatangan Pak Gibran. "Jangan buat Mama Alin kecewa!" tambahnya. "Iya! Mama Alin sudah antusias banget nyiapin outfit Lo hari ini. Mama Alin juga sudah susah payah masak makanan-makanan kesukaan Pak Gibran untuk makam malam kalian hari ini," timpal Shabina. "Lagian belum tentu juga 'kan orang yang Lo bantu menyusun skr
Sebelum turun dari mobil mewah Pak Gibran, aku kembali menanyakan hal yang sama. "Jadi benar Clara adalah teman Bapak yang harus Saya bantu mengerjakan skripsinya?" tanyaku untuk ke sekian kalinya.Pak Gibran menatapku lekat, kemudian pria tampan itu menghebuskan nafasnya kasar. Perlahan dia menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Yes she is."Akupun terdiam. Rasanya ... seperti ada luka di lutut yang tersiram air lemon. Ngilu!"Apa Kamu keberatan?" tanya Pak Gibran.Em ... sejujurnya aku memang keberatan. Tapi tawaran 200 juta yang diajukan Pak Gibran rasanya sangat menggiurkan, bahkan mengalahkan rasa keberatanku itu. Apalagi mengingat keingananku membantu mama untuk segera mewujudkan kedai pertama Alina Gump, sepertinya aku memang harus menyingkarkan rasa keberatanku itu."Saya tidak punya hak untuk keberatan. Apalagi Saya sudah menyetujui kesepakatan Kita. Uangnya juga sudah saya terima 50%," jawabku lugas. "Saya juga tidak mau mengembalikan uang itu karena Saya sudah merencanak
Setelah 60 menit berselang, kamipun sudah menyelesaikan sesi belajar sore ini. Seraya membantu membawa perlengkapan belajar Gea, aku menggandeng tangan gadis cantik itu menyusuri taman menuju teras belakang rumah mewah keluarga Adinata. Tampak Oma Elma dan Ibu Livy masih duduk di sofa teras tersebut. Selain mereka berdua, kali ini juga tampak Pak Nathan yang duduk di sebelah sang istri dan Pak Gibran yang duduk di sebalah Oma Elma.Gea yang baru saja tiba denganku, langsung duduk diantara kedua orang tuanya. Bermanja-manja dengan sang papa. Gea memang dasarnya juga manja seperti Luna. Hanya saja jika ada sang adik, sikap manjanya akan lebih teredam."Papa, Gea mau dipeluk!" pintanya dengan nada manja. Pak Nathan memeluk puteri sulungnya itu sambil mencium wajahnya berkali-kali sampai-sampai Gea memekik geli."Duduklah, Audrey!" pinta Oma Elma seraya menepuk bantalan sofa di sebelahnya. Akupun mengangguk dan langsung duduk di sebelah Oma Elma. "Bagaimana kakimu?" tanya Oma Olma sambil
"Pak, Saya turun di sini saja. Makan malam Kita batal! Nanti Saya akan bilang ke Mama kalau Bapak ada urusan penting mendadak," ucapku tergesa-gesa seraya mendorong dada Pak Gibran agar segera menjauh dariku."Kenapa Kamu ketakutan, Audrey?" goda Pak Gibran sambil tertawa geli melihat rasa takut dan gelisah yang terpampang nyata di raut wajahku.YA GIMANA AKU GAK KETAKUTAN! Jelas-jelas dia tadi mengajakku melakukan 'sesuatu' seperti di red room trilogi Fifty Shad*s.Lagipula film si Dakota Jhons*n 'kan banyak, kenapa juga Pak Gibran malah memilih film itu? Wajar 'kan kalau aku berfikir yang tidak-tidak!"Saya tidak mau jadi Anast*sia Bapak!" pekikku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. "I would never want to doing something like in his red room!" tambahku masih dalam mode berapi-api.Pak Gibran semakin terkekeh mendengar tanggapanku. Menurutnya, penolakanku itu terdengar seperti orasi emak-emak yang menolak kenaikan harga BBM."Saya hanya bercanda, Audrey!" gumam Pak Gibran yang masi
"Mungkin benar kata Kak Livy dan Aksa," gumam Pak Gibran. "I'm falling in love with you."DEGH!Hati apa kabar hati? Jantung apa kabar Jantung? Jangankan hati dan jantung, bahkan otak, paru, ginjal, dan usus dua belas jariku koprol mendengar kalimat cinta dari Pak Gibran barusan.Sambil terus menatap mataku lekat, jemari besar Pak Gibran mengusap pipiku dengan lembut. Perlahan sentuhannya bergerak ke arah bibirku. Mengusap bibirku dengan ibu jarinya.Aku hanya terdiam. Badanku rasanya layu. Lidahku rasanya kelu.Aku hanya bisa menatap wajah tampannya tanpa membalas apapun. Menikmati setiap gerakan jarinya di atas permukaan bibirku. Menikmati hangat hembusan nafasnya yang mulai terasa kembali menyapu area wajahku.Kami sudah semakin dekat ... sangat dekat ... dan akhirnya ... CUP! Bibir kami saling bersentuhan.Perlahan Pak Gibran melahap bibirku dengan lembut, mencicipi permukaaan bibirku dengan sangat hati-hati. Menciptakan rasa nyaman sekaligus penasaran dalam diriku. Membuatku spon