Selama perjalanan pulang, kami lebih banyak dalam mode diam. Pak Gibran tampak fokus menyetir, sedangkan aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri.
Aku belum bisa sepenuhnya move on dari kelakuan manis Pak Gibran malam ini. Bagaimana bisa dia tanpa ragu menggendongku di depan anggota keluarganya dan para pelayan di rumah keluarga Adinata? Belum lagi ketika Pak Gibran membisikkan kalimat, "Jangankan hanya menggendongmu, menciummu di depan keluarga besar Adinatapun, Saya juga tidak masalah."
Ya ampun, Hati jangan jumpalitan terus dong digombalin Om Tampan! Jantung juga yang santai dong berdetaknya!
"Apa Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit untuk memastikan kondisi pergelangan kakimu?" terdengar suara bariton Pak Gibran memecah keheningan diantara kami.
"Tidak perlu, Pak. Besok pasti sudah membaik," jawabku seraya senyum malu-malu layaknya anak SMA yang baru jatuh cinta.
Tak lama berselang, mobil Pak Gibran menepi di depan sebuah minimarket. Dia memintaku menunggu di mobil, sedangkan dia sendiri masuk ke minimarket tersebut, entah untuk membeli apa.
Tiba-tiba aku teringat janjiku pada Shabina, salah satu sahabatku. Aku berjanji besok akan menemaninya berbelanja. Akupun segera menelpon Dokter Muda itu, mengabarinya tentang kondisi kakiku karena kemungkinan besok aku tidak bisa menemaninya berbelanja.
"Lagian Lo kenapa pakai acara terkilir segala sih?" protes Shabina di sambungan telepon.
"Linglung kayaknya gue tadi."
"Linglung? Linglung kenapa? Lo kekurangan glukosa gegara lagi diet?"
"Cih, gak lah! Kecapean aja palingan gue," jawabku datar.
"Lo sih cari duit mulu!" gerutu Shabina. "BTW, gimana Lo pulang dari rumah itu? Apa perlu gue jemput?"
"Gak perlu, Na. Gue diantar Pak Gibran."
"WHAT?" suara Shabina menggelegar di sambungan telepon. Refleks akupun menjauhkan ponselku dari telinga. Untung saja gendang telingaku tidak jebol mendengar pekikannya.
Akupun menghardiknya. Namun tampaknya hal tersebut tidak terlalu berpengaruh, Shabina masih saja bertahan dengan suara menggelegarnya. Dia memborbardirku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian hari ini yang menimpaku. Shabina juga masih tidak percaya seorang Gibran Maharsa Adinata si wajah beton yang sulit terjamah mengantarku pulang malam ini. Dih, dia belum tau aja kalau tadi Pak Gibran menggendongku ala pengantin baru mau belah duren!
Dua sahabatku, Shabina dan Mentari sudah sering mendengar cerita kekagumanku pada Pak Gibran. Bahkan sebenarnya panggilan Om Tampan juga tercetus dari mulut si Shabina, kemudian disempurnakan oleh Mentari menjadi 'Om Tampannya Audrey', hehehe.
Kami bertiga sudah menjadi follower Instagr*m Pak Gibran sejak dua tahun silam, tepat dua hari setelah pertemuan pertamaku dengan pria tampan itu di rumah mewah keluarga Adinata. Mentari yang sangat melek dunia sosial, dengan cekatan memainkan perannya. Dia segera menemukan akun instgr*m adik kandung Bu Livy itu.
Walau Pak Gibran tidak pernah membuat instagr*m story dan hanya beberapa foto yang pernah diposting di feed instagr*mnya, namun sudah sangat menunjukkan betapa mempesonanya CEO Adinata Group itu. Tampannya memang gak kaleng-kaleng, cuy!
Melihat Pak Gibran sudah keluar dari minimarket, akupun bergegas mengakhiri sambungan teleponku dengan Shabina. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah kesal Shabina di ujung telepon. Pasti banyak umpatan keluar dari mulut sahabat gesrekku itu.
Tak lama berselang, Pak Gibran sudah duduk di kursi pengemudi dan menyodorkan kantong plastik yang dia tenteng. "Ice cream?" Aku masih melongo melihat isi kantong plastik tersebut.
"Jangan hanya melongo, makanlah! Nanti keburu mencair."
Akupun mengikuti titah Pak Gibran. Segera menikmati ice cream Heag*n da*h yang dia belikan. Lagipula siapa yang tidak suka makanan dingin dengan rasa manis ini. Sama seperti Pak Gibran, pria dingin namun ternyata sikapnya manis. Aselole!
Sambil menikmati ice cream, sesekali aku melirik ke arah Pak Gibran yang tampak fokus menyetir. Suasana gelap di mobil tentu membuatku dengan leluasa mencuri pandang ke arahnya.
Ya Tuhan, tampannya manusia sebelahku ini. Boleh gak sih ngarep lebih? Audrey baper nih sama kelakuan Om Tampannya Audrey hari ini, Tuhan. Boleh gak sih cium dikit pipinya? Atau kecup sebentar bibirnya? Atau boleh gak main pangku-pangkuan di mobil?
God damn it!
Tiba-tiba Pak Gibran kembali menepikan mobilnya. Namun kini tidak di sekitar area minimarket seperti sebelumnya, hanya tampak deretan ruko yang sudah tutup karena memang saat ini sudah pukul 22.00 WIB.
Lah, mau ngapain si Om Tampan ini?
Keningku mengerut melihat Pak Gibran sibuk mencari sesuatu ke arah kursi belakang. "Aku rasa tissue di mobil ini habis," gumam Pak Gibran. Tissue? Untuk apa dia mencari tissue?
Tanpa memberi aba-aba, tiba-tiba ...
DEGH!
"Bagaimana bisa gadis seusiamu masih blepotan ketika memakan ice cream!" gerutu Pak Gibran sambil dengan lembut menyapukan ibu jarinya ke bibirku. Sontak hal tersebut membuat rambut-rambut halus di sekujur tubuhku merinding. Darahku berdesir kuat dari jantung menuju seluruh organ tubuhku.
Pak Gibran semakin mendekatkan kepalanya ke arahku, mengikis jarak di antara kami. Menatap bibirku dengan sangat lekat, sambil terus menyapukan ibu jarinya ke bibirku. Seketika level kewarasanku semakin menurun. "Ba-bapak---," belum juga Aku menyelesaikan kalimatku, Pak Gibran sudah menginterupsi.
"Sssttt!" desis Pak Gibran memberi kode untukku berhenti berbicara.
Sambil terus menyapukan ibu jarinya ke permukaan bibirku, matanya terus menatap lekat benih mata coklatku. Dia semakin mendekatkan wajahnya, bahkan hembusan nafasnya kini bisa kurasakan menyapu permukaan wajahku. ASTAGA! Om Tampan kayaknya mau cipok Aku deh!
Rasanya nafasku terhenti seketika membayangkan apa yang akan Pak Gibran lakukan padaku. Sedetik, dua detik, tiga detik, dan ...
"Jangan lupa bernafas!" lirih Pak Gibran yang kemudian menjauhkan wajahnya.
What? Jangan lupa bernafas? Lah, gak jadi ciuman? Terus kenapa tadi dia mendekatkan wajah tampannya ke wajah blasteranku? Bibirku juga diusap-usap berkali-kali dengan ibu jarinya! Tapi kok gak ada adegan cipokannya sih?
"Bapak!" panggilku dengan nada kesal. "Bapak mau ngapain sebenarnya tadi?"
"Saya mau ngapain memangnya?" Dih, malah balik tanya! Ngeselin banget 'kan si Om Tampan ini! Aku 'kan sudah mengharap dicipok. Eh, malah hanya memintaku jangan lupa bernafas. Dasar lelaki wajah beton!
"Ngapain wajah Bapak didekatkan ke wajah Saya?" kesalku.
"Saya hanya ingin melihat wajahmu dari jarak dekat." Mataku melotot tak percaya dengan jawaban CEO Adinata Group itu. "Memangnya Kamu pikir Saya mau ngapain?" bisik Pak Gibran seraya mengarahkan bibirnya ke telinga kananku.
Astaga! Hembusan nafasnya terasa begitu menggelitik fantasiku. Kuatkan iman hamba dalam menghadapi Om Tampan satu ini, Ya Tuhan.
Akupun memilih memalingkan tatapanku ke jendela samping kursiku. Daripada aku memandangi wajah tampan Pak Gibran malah membuatku semakin mupeng, lebih baik aku memandangi jalanan Jakarta yang tampak begitu lengang malam ini! Menikmati heningnya jalan di sepanjang perjalanan menuju rumahku.
Pak Gibran hanya tersenyum melihat kelakuanku. Kemudian dia kembali melajukan mobilnya. Membelah jalanan Jakarta yang cukup tenang malam ini.
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb