Pak Gibran kekeh tidak mau melepaskan pelukannya. Dia beralibi kakiku sedang cidera sehingga dia tidak tega melepas lengannya yang melingkar di pinggangku. Dia takut nanti aku terjatuh lagi. Lebay banget 'kan dia?
"Bapak ... ih!" protesku dengan nada manja. "Jangan berlebihan deh, Pak! Saya 'kan cuma terpleset!" imbuhku.
"Terpleset?" Oma Elma, Gea, Luna, dan Kak Dina sontak kompak membeo.
Oma Elma segera mendekat ke arahku. "Apa ada yang sakit, Audrey?" Oma Elma tampak khawatir.
Aku menggelengkan kepalaku. Walau sejujurnya pergelangan kakiku memang terasa sangat nyeri, namun aku tidak mau membuat drama di depan mereka.
Dengan lembut kulepaskan lengan Pak Gibran di pinggangku. Kemudian perlahan aku berusaha kembali melangkahkan kakiku. Namun baru di langkah pertama, aku sudah mengibarkan bendera putih. Pergelangan kakiku terasa sangat nyeri ketika digerakkan. Akupun meringis kesakitan menahan rasa nyeri itu.
"Aku rasa kakimu terkilir," lirih Pak Gibran yang tiba-tiba berlutut di hadapanku. Pria tampan itu meraba pergelangan kakiku dan memeriksanya dengan seksama.
"Terkilir?" timpal Oma Elma yang kemudian juga memeriksa pergelangan kakiku. "Ya Tuhan, pergelangan kakinya bengkak. Bantu Audrey duduk di sofa, Gibran!" seru Oma Elma.
Pak Gibran segera membantuku berjalan ke arah sofa, sedangkan Oma Elma meminta Kak Dina untuk segera mengambil ice pack untuk mengompres pergelangan kakiku yang tampak bengkak dan merah.
Melihatku meringis kesakitan, Gea dan Luna terlihat panik. Mereka segera berhamburan ke arahku. Wajah mereka menununjukkan mimik khawatir. Seketika menimbulkan sensasi hangat di dadaku. Akupun berusaha tetap tersenyum di depan dua gadis cantik itu. Namun nyeri di pergelangan kakiku terasa semakin menjadi-jadi. Alhasil beberapa kali akupun tidak bisa menyembunyikan wajahku ketika meringis kesakitan.
"Om Gibran, panggilkan dokter! Kasihan Kak Audrey kesakitan." Gea tampak panik. Wajah jahilnya hilang seketika. Berubah menjadi mimik wajah khawatir yang menggemaskan. "Cepat hubungi dr Leo, Om!" seru Gea.
Luna tak kalah panik dengan sang kakak. Dia mengusap lembut lenganku sambil meminta Pak Gibran untuk segera menjalankan perintah Gea untuk menghubungi dr Leo, dokter keluarga mereka. Menurut Luna, dr Leo pasti bisa membantu mengatasi rasa nyeri di pergelangan kakiku. Akupun terharu dengan perhatian Gea dan Luna padaku.
"Tidak perlu memanggil dokter, Sayang" tolakku dengan lembut. "Kak Audrey hanya terkilir. Dikompres dingin sebentar pasti sudah hilang rasa nyerinya," lanjutku.
"Kamu yakin?" kini giliran Om Tampan yang mengeluarkan suaranya. Akupun hanya mengangguk sebagai jawaban.
Tak lama, Kak Dina sudah datang membawa ice pack dan segera menyerahkannya padaku. Namun Pak Gibran tiba-tiba merebut ice pack itu. Pria tampan itu segera membantu mengompres pergelangan kakiku. Awalnya aku menolak, namun Pak Gibran tidak menggubris penolakanku. Dia tetap mengompres pergelangan kakiku. Gerakan tangannya begitu cekatan namun tetap terasa lembut. Pria tampan itu dengan telaten menempelkan ice pack ke seluruh sisi pergelangan kakiku.
"Apa terasa sangat sakit?" tanya Pak Gibran. Nada suaranya terdengar begitu mengkhawatirkan kondisiku, namun wajahnya tetap saja datar! Huh, dasar wajah beton! Tapi tak apalah, cara dia memperlakukanku sudah sangat membuatku bahagia. Masa bodoh dengan ekspresi wajahnya yang tetap datar. Bawaan dari orok kayaknya!
"Kamu tidak bisa mengendarai motor dengan kaki seperti ini. Jadi biar Saya antar Kamu pulang!" titah Pak Gibran.
Hah? Mengantar pulang? Apa aku gak salah dengar? Seorang Gibran Maharsa Adinata rela mengantar pulang guru privat keponakannya? Apalah aku si rakyat jelata ini sampai sekelas CEO Adinata Grop melakukan itu!
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
"Motormu biar diantar Pak Udin besok pagi. Sekarang biar Gibran yang mengantarmu pulang. Tidak ada penolakan, Audrey!" timpal Oma Elma. Akupun tidak bisa membantah. Apalagi tiba-tiba Pak Nathan dan Ibu Livy datang ke arah Kami. Mereka diberi tau Bu Mina, kepala pelayan rumah mewah ini. Dia mengatakan bahwa kakiku terkilir dan saat ini sedang dikompres dengan sangat mesra oleh Pak Gibran!
Astaga! Selain Kak Dina, ternyata Bu Mina lemes juga mulutnya!
"Sebelum pulang oleskan ini dulu!" seru Bu Livy sambil memberikan paperbag berisi obat oles untuk pergelangan kakiku. Dengan telaten Pak Gibran membantuku mengoleskan obat itu di pergelangan kakiku.
Allohurobbi, obat apa ini? Kenapa rasanya panas banget? Akupun mengernyitkan dahiku. Sesekali menggigit bibir bawahku menahan rasa nyeri yang semakin terasa.
"Apa sangat sakit?" lirih Pak Gibran sambil mengusap air mataku. Tentu sebelumnya tangannya sudah dia bersihkan dengan tissue basah, ya! Secara bekas obat oles yang luar biasa panas itu 'kan! Bisa-bisa mataku juga ikut panas.
"Ayo, Aku antar Kamu pulang!" ucap Pak Gibran. Akupun menganggukkan keplaku seraya berusaha berdiri. "Apa perlu Aku gendong?" tanya Pak Gibran. Tampak Oma Elma dan Ibu Livy tersenyum dan saling mengedipkan mata. Entah apa yang ada di benak mereka berdua.
"Ti-tidak usah, Pak!" jawabku segera.
Akupun bergegas pamit pada keluarga konglomerat ini. Namun ... baru saja aku melangkahkan kakiku, lagi-lagi aku harus mengibarkan bendera putih. Aku kembali merintih menahan nyeri di pergelangan kakiku. Tanpa sadar air mataku kembali merembes dari sudut mataku.
Tiba-tiba ...
"Ba-bapak!" pekikku yang terkejut karena tanpa memberi aba-aba Pak Gibran menggendongku ala Bridal Style. Akupun spontan mengalungkan lenganku di lehernya. Ya Tuhan, seorang Gibran Maharsa Adinata menggendongku! Di depan anggota keluarganya pula. Kerasukan Jin dari Provinsi mana sih Om Tampan ini?
"A-apa yang Bapak lakukan?" lirihku.
"Kakimu semakin sakit kalau kamu paksa berjalan," balas Pak Gibran dengan santainya. Tampak Oma Elma, Bu Livy, Kak Dina, Gea, bahkan Pak Nathan tersenyum melihat tingkah Pak Gibran. Hanya Luna yang tampak kebingungan melihat tingkah om tampannya ini.
"Apa Bapak gak malu?" Pak Gibran tidak menggubris pertanyaanku. Dengan santainya dia tetap menggendongku. Membawaku menuju sebuah mobil mewah yang sudah disiapkan sopirnya.
Pak Gibran sama sekali tidak terganggu dengan tatapan anggota keluarganya dan para pegawai rumah mewah ini. Akupun menyembunyikan wajahku di dada Pak Gibran. Menahan malu dan menyembunyikan pipiku yang terasa hangat. Aku yakin pipiku sudah merona saat ini.
"Kamu kenapa?" tanya Pak Gibran sambil menunggu sopirnya membuka pintu mobil untuk kami.
"Saya malu, Pak" jawabku malu-malu kucing.
"Malu kenapa?"
"Kita dilihat sama semua orang di rumah ini gara-gara Bapak menggendong Saya!" gerutuku. Pak Gibran tidak menggubris. Pria tampan itu masih setia dengan wajah betonnya.
Setelah sopirnya membuka pintu mobil untuk kami, Pak Gibran mendudukkanku dengan lembut di kursi depan mobil mewahnya. Kemudian pria tampan itu memasangkan seat belt untukku seraya berbisik, "Jangankan hanya menggendongmu, bahkan menciummu di depan keluarga besar Adinatapun Saya tidak keberatan."
DEGH!
Hati apa kabar hati? Jangankan hati, bahkan paru-paru, jantung, lambung, usus dua belas jari, ginjal, dan pankreasku bersorak mendengar ucapan Pak Gibran barusan.
Selama perjalanan pulang, kami lebih banyak dalam mode diam. Pak Gibran tampak fokus menyetir, sedangkan aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri.Aku belum bisa sepenuhnya move on dari kelakuan manis Pak Gibran malam ini. Bagaimana bisa dia tanpa ragu menggendongku di depan anggota keluarganya dan para pelayan di rumah keluarga Adinata? Belum lagi ketika Pak Gibran membisikkan kalimat, "Jangankan hanya menggendongmu, menciummu di depan keluarga besar Adinatapun, Saya juga tidak masalah."Ya ampun, Hati jangan jumpalitan terus dong digombalin Om Tampan! Jantung juga yang santai dong berdetaknya!"Apa Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit untuk memastikan kondisi pergelangan kakimu?" terdengar suara bariton Pak Gibran memecah keheningan diantara kami."Tidak perlu, Pak. Besok pasti sudah membaik," jawabku seraya senyum malu-malu layaknya anak SMA yang baru jatuh cinta.Tak lama berselang, mobil Pak Gibran menepi di depan sebuah minimarket. Dia memintaku menunggu di mobil, sedangkan
Perlahan mataku mulai terasa berat. Satu detik, sepuluh detik, seratus detik, dan akhirnya akupun terlelap di tengah gelapnya suasana malam di mobil dengan ditemani musik yang diputar Pak Gibran. Hingga tak terasa Kami sudah berada di depan rumahku."Audrey, Kita sudah sampai," terdengar suara Pak Gibran membangunkanku.Akupun terbangun. Menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Lah? Ini ternyata beneran rumahku. Tapi darimana Pak Gibran tau alamat rumahku? Sepanjang jalan rasanya aku tertidur pulas, deh. Pak Gibran bahkan tidak membangunkanku sama sekali."Ti-tidak usah, Pak" tolakku ketika Pak Gibran hendak membantuku turun dari mobil. Namun sudah bisa diduga, baru saja aku menapakkan kaki di aspal, nyeri di pergelangan kaki kiriku sudah sangat menyiksaku. Akupun merintih kesakitan."Mangkanya jangan keras kepala!" ketus Pak Gibran yang tanpa basa-basi segera meletakkan salah satu tangannya di bawah kedua lututku dan satu lagi di belakang punggungku. Dengan santainya dia
Melihatku hanya terdiam, Pak Gibran mengulangi pertanyaannya lagi, "Apa ada yang keberatan karena Saya mengantarmu pulang malam ini?"Belum sempat aku menjawab, mama sudah lebih dulu muncul dari balik pintu. Mama mempersilahkan Pak Gibran untuk menikmati kopi dan lemon cake yang disajikan. Tak lama mama kembali pamit meninggalkanku dan Pak Gibran berdua saja di teras depan."Bapak tidak apa-apa minum kopi semalam ini?" timpalku seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.00 WIB. Pria tampan itu tampak menikmati secangkir kopi buatan mama tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Padahal ini sudah menjelang tengah malam. Apa toleransinya terhadap kafein sangat baik? "Tidak apa-apa, setelah ini Saya memang akan lembur mengerjakan beberapa dokumen perusahaan," jawab Pak Gibran. Wah, benar-benar pekerja keras! Tidak heran jika CEO Tampan ini mampu membawa Adinata Group semakin berkibar. Gurita bisnisnya juga semakin melebar ke banyak sektor."This tastes great!" puji Pak Gibran terha
Melihat tingkah manis Pak Gibran padaku, mama terus saja tersenyum lebar. Menatap kami berdua dengan pandangan penuh damba, seperti sedang menonton sepasang kekasih yang sedang melakukan adegan romantis.Mama menyetujui ide Pak Gibran tentang aku yang sebaiknya tidak masuk kuliah besok. Mama juga amat sangat setuju dengan gagasan tentang Pak Gibran yang akan menjemputku besok. RALAT! Bukan lagi amat sangat setuju, tetapi amat sangat bersemangat untuk gagasan terkahir itu. Bahkan mama sok ngide untuk mengundang Pak Gibran makan malam bersama kami besok."Ma, Pak Gibran itu orang yang super sibuk. Gak bisa Kita undang Pak Gibran makan malam bersama mendadak seperti itu. Lebih baik Kita membuatkan cake kesukaan Pak Gibran. Tidak perlu mengundang beliau makan malam. Lagipula siapa Kita sampai berani mengundang seorang Gibran Maharsa Adinata untuk makan malam di rumah Kita? Pak Gibran itu CEO perusahan besar, Ma! Jadwalnya pasti padat merayap. Kita gak bisa asal mengundang Pak Gib---," bel
Matahari sudah mulai terik, tapi aku masih saja bergelut dengan bantal dan selimutku. Sesuai titah mama dan Pak Gibran, hari ini aku tidak masuk kuliah. Akupun menikmati aktivitas hibernasiku di atas kasur seraya sayup-sayup mendengar penuturan mama tentang kehebatan Mpok Tima, tukang pijat langganannya.Awalnya aku menolak ide mama untuk menggunakan jasa Mpok Tima. Aku takut pergelangan kakiku semakin nyeri jika tidak berkonsultasi ke dokter terlebih dulu sebelum sesi terapi pijat tradisional dengan tukang pijat hits di area sekitar rumah kami ini. Namun mama tetap bersikeras memintaku untuk mengizinkan Mpok Tima menjalankan misi mulianya, menyembuhkan kakiku yang terkilir. Menurutnya kasus terkilir seperti kakiku ini makanan sehari-hari Mpok Tima. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk hasilnya."Ayo, sekarang makan dulu! Sebentar lagi Mpok Tima datang," titah mama seraya menyodorkan sesendok nasi goreng padaku. Akupun segera duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mengambil sendok dan
Aku, Shabina, dan Mentari memang sudah bersahabat semenjak kami di duduk bangku SD. Kami berada di sekolah yang sama sejak SD, SMP, hingga SMA. Kami merupakan murid di salah satu group sekolah internasional elit di Jakarta. Shabina dan Mentari berasal dari keluarga kelas atas negeri ini. Jadi wajar mereka bisa sekolah di group sekolah dengan SPP bulanan mencapai belasan juta rupiah itu. Namun keduanya tidak pernah mengucilkanku yang hanya anak seorang pegawai di sekolah elit tersebut. Shabina berasal dari keluarga dengan latar belakang dokter. Sang papa adalah dokter spesialis Obgyn dan sang mama adalah seorang dokter gigi spesialis Gigi Anak. Kakak perempuannya adalah seorang dokter spesialis mata yang menikah dengan seorang dokter spesialis bedah saraf. Keluarganya memiliki beberapa rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sedangkan Mentari, dia berasal dari keluarga pengusaha. Keluarganya adalah pemilik beberapa Mall besar di Jakarta dan Bali. Saat i
"Lo beneran mau kencan sama si Om Tamvan hari ini?" tanya Mentari. "Takjub gue sama bule kesayangan kita ini. Gak ada basa-basi, tiba-tiba aja sudah mau kencan sama om Tamvan idolanya. Benar-benar Otw Ny. Boss nih kayaknya," timpal Shabina. Akupun memutar mataku malas. Okeh! Setelah Mama, sekarang giliran Mentari dan Shabina yang menduga ada hubungan khusus antara aku dan Pak Gibran. Aku aminin aja ya, hehehe. "Mana ada kencan! Pak Gibran jemput gue buat ngajar Gea dan Luna," elakku. "Ah, itu sih modus dia aja!" gumam Mentari. "Kalau cuma antar jemput Lo buat ngajar keponakannya, dia bisa suruh sopirnya aja kali," imbuhnya. "Pak Gibran itu bukan pengangguran yang punya banyak waktu luang, Audrey! Kalau Elo gak penting buat dia, ngapain dia repot-repot mau jemput Lo demi ngajar ponakannya? Apalagi kantor dia di Jaksel, rumah Lo di Jakut, dan rumah dia di Menteng," cerocos Shabina. "Fix! DIA LAGI MODUS KE ELO, Audrey Liliana White!" imbuhnya. Modus? Em ... semoga saja ya! Siapa ju
"Selamat sore," terdengar suara bariton dari arah teras depan rumahku. Tampak Pak Gibran datang dan disambut dengan senyum merekah khas mamaku.Mereka mengobrol di teras depan, menungguku yang baru saja selesai mandi. Sejujurnya mengingat kemungkinan teman Pak Gibran yang aku bantu membuat skripsi adalah Clara, membuat hatiku enggan melihat wajah tampan Pak Gibran untuk saat ini. Namun mengingat antusiasme mama, rasanya aku tidak sampai hati membatalkan agendaku hari ini dengan CEO Adinata Group itu.Benar kata Mentari dan Shabina, "Jangan Lo cancel acara siang dan malam ini! Kasihan Mama Alin," titah Mentari sebelum dia dan Shabina pamit pulang tepat 30 menit sebelum kedatangan Pak Gibran. "Jangan buat Mama Alin kecewa!" tambahnya. "Iya! Mama Alin sudah antusias banget nyiapin outfit Lo hari ini. Mama Alin juga sudah susah payah masak makanan-makanan kesukaan Pak Gibran untuk makam malam kalian hari ini," timpal Shabina. "Lagian belum tentu juga 'kan orang yang Lo bantu menyusun skr