Share

Keberatan

Perlahan mataku mulai terasa berat. Satu detik, sepuluh detik, seratus detik, dan akhirnya akupun terlelap di tengah gelapnya suasana malam di mobil dengan ditemani musik yang diputar Pak Gibran. Hingga tak terasa Kami sudah berada di depan rumahku.

"Audrey, Kita sudah sampai," terdengar suara Pak Gibran membangunkanku.

Akupun terbangun. Menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Lah? Ini ternyata beneran rumahku. Tapi darimana Pak Gibran tau alamat rumahku? Sepanjang jalan rasanya aku tertidur pulas, deh. Pak Gibran bahkan tidak membangunkanku sama sekali.

"Ti-tidak usah, Pak" tolakku ketika Pak Gibran hendak membantuku turun dari mobil. Namun sudah bisa diduga, baru saja aku menapakkan kaki di aspal, nyeri di pergelangan kaki kiriku sudah sangat menyiksaku. Akupun merintih kesakitan.

"Mangkanya jangan keras kepala!" ketus Pak Gibran yang tanpa basa-basi segera meletakkan salah satu tangannya di bawah kedua lututku dan satu lagi di belakang punggungku. Dengan santainya dia kembali menggendongku. Membawaku ke teras depan rumah, kemudian dengan lembut dia mendudukkanku di sebuah kursi kayu. Setelah itu dia kembali ke mobilnya untuk mengambil tas dan semua barangku.

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Tampak sosok wanita 49 tahun yang masih sangat cantik di usianya, Ny. Alina Dewanti White alias mamaku tercinta. Dengan senyum masamnya dia menyambut kehadiran anak tunggalnya yang baru saja pulang lebih dari jam malam yang sudah kami sepakati.

"Kenapa Kamu baru pu---?" terdengar kalimat mama menggantung di udara. Seketika wajah masamnya berubah menjadi panik melihatku meringis kesakitan memegang telapak kaki kiriku. "Kamu kenapa?" tanya mama.

"Kakiku terkilir, Ma" lirihku.

"TERKILIR? Ya Tuhan, Kakimu bengkak, Audrey!" Mama segera memeriksa kondisi pergelangan kakiku dengan seksama. Menelusuri area kemerahan di kaki kiriku dengan lembut dan memastikan pergelangan kaki kananku tidak senasib dengan pergelangan kaki kiriku.

Namun tak berapa lama pergerakan tangan mama terhenti karena derap langkah Pak Gibran yang berjalan ke arah kami. Pria tampan itu membawa semua barang bawaanku yang masih berada di mobilnya.

Pak Gibran memperkenalkan dirinya pada mama. CEO tampan itu mencium punggung tangan mama dengan sopan. Mamapun terdiam sejenak. Mungkin mama bingung tiba-tiba ada seorang pria mengantarku pulang. Apalagi selama ini aku belum pernah dekat dengan pria manapun.

Itulah juga yang mendasari mengapa aku selalu antusias setiap Shabina dan Mentari menceritakan aktivitas kencan mereka. Sejujurnya aku juga ingin tau bagaiman sensasi gelombang kenikmatan ketika bercumbu dengan seorang pria seperti yang diceritakan kedua sahabat gesrekku itu.

Tak jarang Shabina dan Mentari mengajakku melihat film atau konten dewasa dengan alibi s*x education. Menurut mereka berdua, hal tersebut penting supaya sebagai seorang perempuan kita tidak gampang dibodohi kaum pria. Kita bisa paham kalau seandainya kelakuan mereka mulai di luar batas.

"Walau bagaimanapun sebisa mungkin keperawanan Kita harus tetap terjaga hingga malam pertama Kita dengan pasangan halal Kita," pesan Mentari. 

Namun layaknya dua sisi mata uang, s*x education ini memberi dampak positif dan negatif dalam kehidupanku. Selain memberi kewaspadaan dalam menghadapai kemesuman kaum pria, sayangnya ide gesrek tentang se*x education ini juga melahirkan fantasi nakal di pikiranku. Tapi herannya, fantasi itu hanya memunculkan wajah Pak Gibran. Bayangan tentang kenikmatan bercumbu dengan seorang pria di benakku hanya memunculkan sosok CEO Adinata Group itu.

"Silahkan duduk, Pak" ucap mama seraya menuntun Pak Gibran untuk duduk di kursi sebelahku. "Would you like some coffee or tea?" tanya mama dengan senyum cantiknya.

"Tidak usah Ibu, nanti merepotkan Ibu" tolak Pak Gibran. 

"Tentu tidak sama sekali. Malah Kami yang sudah merepotkan Pak Gibran," balas mama. "Black Coffee? Latte? Cappucino? Americano? Espresso? Jasmine tea? or Teh tarik?" cecar mama.

"Espresso," jawab Pak Gibran kikuk. Mama hanya mengangguk seraya tersenyum lebar. Kemudian dia segera masuk ke dalam rumah, meninggalkan kami yang hanya berdua di teras depan.

"Apa bertambah sakit?" tanya Pak Gibran seraya memeriksa pergelangan kakiku untuk ke sekian kalinya. Aku hanya mengangguk untuk mengiyakan. Jujur saja, pergelangan kakiku memang terasa semakin nyeri.

Pak Gibran segera mengambil obat oles yang tadi diberikan Ibu Livy. Kemudian dia kembali mengoleskannya di pergelangan kaki kiriku. Aku sempat menolak, namun Pak Gibran tidak menggubris penolakanku. Dia tetap dengan telaten mengoleskan obat itu.

"Jangan lupa besok Kamu olesi lagi obat ini. Rasanya memang agak panas, tapi ini akan membantumu lekas pulih," titah Pak Gibran. "Aku tidak mau melihat Luna sedih karena Kamu tidak bisa datang ke pesta ulang tahunnya dan---," Pak Gibran menggantungkan kalimatnya.

Matanya beranjak dari pergelangan kakiku menuju mata coklatku. Menatap kedua mataku lekat. Satu detik, sepuluh detik, seratus detik, namun Pak Gibran tak kunjung menyelesaikan kalimatnya yang menggantung.

"Dan apa, Pak?" tanyaku penasaran.  

"Dan... " sejenak kalimatnya terhenti. "Saya juga tidak mau melihatmu meringis kesakitan lagi."

Mataku mengerjab beberapa kali. Mencoba memahami ucapan Om Tampan ini.

Tidak mau melihatku menangis kesakitan? Kenapa? Naluri iba sesama manusia? Naluri iba seorang pria ke wanitanya? Atau ...

Aku pandangi mata Pak Gibran dengan seksama. Mencoba mencari jawaban dari sorot matanya yang sedari tadi juga menatapku lekat. Seolah ingin mengatakan sesuatu, namun entah mengapa seperti tertahan di tenggorokannya.

Bukan aku sok jadi cenayang, ya! Ini hanya berdasarkan ilmu ala Mentari Lestari Lukman alias Tari, salah satu sahabatku selain Shabina Elvira Permadi alias Shabina. Menurut Tari, seorang laki-laki yang menatap kita lekat, kemudian dia hanya terdiam namun jakunnya naik-turun, artinya dia sedang inging mengatakan sesuatu namun tidak bisa. Ilmu psikologi ala Tari itu aku kolaborasikan dengan ilmu cocoklogi ala aku. Hasilnya memang Pak Gibran tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi entah apa

Tak lama, Pak Gibran mengalihkan pandangannya dari mata coklatku seraya menghela nafas kasar. "Sudah lama Kamu tinggal di sini?" Pria tampan itu berdiri dari duduknya. Dia memandangi taman depan rumah peninggalan kakek dan nenekku ini dengan seksama. 

"Emm ... sejak usia Saya 5 tahun."

"Sebelumnya Kamu tinggal dimana?"

"New York." 

Pak Gibran hanya mengangguk. Matanya kembali menjelajahi halaman depan rumah kami. Tampak ada kekaguman tersirat. Entah kagum karena apa?

Menurutku rumahku ini tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah mewah Keluarga Adinata yang ukurannya saja 15x rumahku ini. Bahkan saking luasnya, di hari pertama aku bekerja sebagai guru privat Gea dan Luna, aku sempat tersesat ketika berjalan dari ruang belajar Gea menuju pintu utama rumah itu.

Di saat itulah aku melihat sosok Gibran Maharsa Adinata untuk pertama kalinya. Tapi jangankan menyapa, Om Tampan ini hanya menoleh sejenak ke arahku. Kemudian dia kembali berbincang dengan salah satu sahabatnya, Aska Wahyu Sukmaja.

"Lingkungan rumah yang nyaman," gumam Pak Gibran. 

Rumah peninggalan kakek dan nenekku memang tidak sebesar dan semewah rumah keluarga Adinata. Namun rumah ini lumayan asri. Halaman belakang rumah ini beralih fungsi menjadi dapur khusus tempat mama dan para pegawai Alina Gump berkreasi. Di samping dapur itu terdapat gazebo sederhana tempatku dan mama sering menghabiskan malam dan menikmati secangkir wedang jahe sambil berbagi cerita. Di sekitar gazebo terdapat banyak jenis tanaman herbal dan bahan rempah yang sering dimanfaatkan mama untuk memasak.

Sedangkan untuk halaman depan masih dibiarkan tetap asri dengan keberadaan banyak jenis tanaman. Terdapat pohon mangga, pohon jambu air, bahkan pohon belimbing. Belum lagi aneka bunga kesayangan mama, mulai dari segala mawar berbagai warna, anggrek, dan melati juga menghiasi halaman depan rumah ini.

"Audrey ... " panggil Pak Gibran. "Apa ada yang keberatan karena Saya mengantarmu pulang malam ini?" tanya Pak Gibran seraya kembali duduk di sebelahku. Matanya kembali menatapku lekat, seakan mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status