Share

Terkilir

Akupun sibuk dengan pikiranku sendiri. Menerka-nerka siapa kiranya teman Pak Gibran yang akan aku bantu mengerjakan skripsinya itu. Sampai-sampai aku lupa kalau sedari tadi Pak Gibran menunggu jawabanku.

"Audrey?" Suara baritonnya menyadarkanku. "Kenapa Kamu diam saja? Apa terlalu sedikit nominal yang Saya ajukan?" tanya Pak Gibran sambil menatap mataku lekat.

Belum juga aku menjawab pertanyaan Pak Gibran, eh ... pria tampan itu sudah kembali memberi penawaran. "Baiklah. 100 juta di awal dan 100 juta di akhir. Jadi total 200 juta. Bagaimana?"

"APA? Du-dua ratus juta?" pekikku.

Astaga! Penawaran 100 juta saja aku terperanga, apalagi penawaran 200 juta! Tentu saja aku tidak keberatan. Siapa yang bisa menolak 200 juta hanya untuk membantu mengerjakan satu skripsi! Sontak jiwa matreku meronta-ronta. Bola mataku yang berwarna coklat mungkin saat ini sudah berubah warna menjadi hijau.

Ya Tuhan, 200 juta tentu bisa aku pakai untuk membangun kedai Alina Gump seperti yang diinginkan mama selama ini. Setidaknya bisa untuk sewa toko dan membeli beberapa furniture yang diperlukan untuk mengisi kedai itu.

Sebelum Pak Gibran berubah pikiran, akupun dengan yakin, tegas, dan lugas segera mengiyakan penawaran dari pria tampan itu. "OK, 200 juta. DEAL!" jawabku dalam satu tarikan nafas, tidak kalah dengan mas-mas yang sedang ijab qabul.

"Good. Segera Saya jadwalkan pertemuanmu dengan teman Saya, jadi kalian bisa berdiskusi tentang tema dan judul skripsinya." Akupun mengangguk seraya memberikan senyum terbaikku.

Membayangkan uang 200 juta segera masuk ke rekeningku, seketika terbesit wajah cantik mama yang sedang tersenyum karena keinginannya untuk memiliki kedai Alina Gump bisa terwujud. Tanpa aku sadari, mataku berkaca-kaca. Ah, melow banget aku setiap teringat tekadku untuk selalu bisa mewujudkan keinginan mama, sosok cantik yang selama ini selalu mengusahakan kebahagianku.

Tak lama, masuk notifikasi di ponselku. Mataku terbelalak membaca pesan yang masuk. SMS Banking berisi info bahwa ada uang masuk ke rekeningku sebesar 100 juta dengan nama pengirim Gibran Maharsa Adinata. "Ba-bapak sudah mentransfer 100 juta itu?" tanyaku yang masih syok. 

"Karena Kamu sudah setuju, jadi Saya tunaikan janji Saya."

"Tapi darimana Bapak tau no rekening Saya?" tanyaku penasaran.

"Kak Livy." 

Wah, gerak cepat juga si Om Tampan ini. Gak kaleng-kaleng memang! Pantas saja dia masuk dalam daftar 10 CEO muda berpengaruh di Indonesia versi Forb*s.

Otakku mulai merangkai jadwal harianku. Semakin cepat aku menyelesaikan tugas pembuatan skripsi teman Pak Gibran, semakin cepat pula 100 juta sisanya aku dapatkan. Untung saja skripsiku hanya tinggal Bab Kesimpulan dan Saran. Mungkin minggu depan sudah bisa aku selesaikan skripsiku sendiri. Lanjut maju sidang dua minggu lagi, revisi akhir post sidang tiga minggu lagi, sehingga bulan depan aku sudah bisa fokus membantu teman Pak Gibran menyelesaikan skripsinya. 

"Apa ada yang harus didiskusikan lagi untuk saat ini, Pak?" tanyaku sopan.

"Tidak ada."

"Baiklah. Kalau begitu Saya pamit pulang dulu," ucapku pada Pak Gibran. Dia hanya menggangguk dengan senyum amat sangat tipis sebagai respon pamitku.

Akupun melangkahkan kaki jenjangku meninggalkan teras belakang rumah mewah ini. Namun malangnya, karena aku terlalu terburu-buru ... BRUUUKKK!

Di langkah ketigaku, kakiku tersandung mainan Luna yang berserakan di lantai. Buku-buku yang kubawa meluncur sempurna ke lantai marmer rumah mewah ini. Menimbulkan bunyi Bruk yang menggema di telinga.

Hampir saja wajahku bernasib sama dengan buku-buku itu. Namun untungnya Pak Gibran dengan sigap menarik pinggangku. Sehingga wajah blasteranku tidak sampai mencium marmer teras belakang rumah ini.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Pak Gibran.

"Sa-saya tidak apa-apa," jawabku gelagapan. Tubuhku memang tidak apa-apa, tapi hatiku yang kenapa-kenapa, cuy!

Gimana hati ini gak kenapa-kenapa! Tarikan Pak Gibran di pinggangku membuat tubuhku menempel sempurna di tubuh kokoh Pak Gibran. Rasanya ... deg deg seeerrr!

"Kamu beneran gak apa-apa?" Pak Gibran kembali memastikan.

Baru saja Aku mau menjawab, eh terdengar suara cempreng si gesrek Gea yang baru saja datang ke arah kami. Tentu saja anak sulung Pak Nathan dan Bu Livy itu tampak terkejut melihat poseku dan Pak Gibran yang 'seakan' sedang berpelukan.

"MAMAAAAA, OMAAAAA, CEPATAAAN KE SINI!" teriak Gea seraya menatap lekat poseku dan Pak Gibran.

Mendengar teriakan Gea, Oma Elma tergesa-gesa berjalan ke arah Kami. Pasti Nyonya Besar Keluarga Adinata itu khawatir terjadi sesuatu pada cucu pertamanya itu. "Gea, ada apa? Kenapa Kamu ter---?" Oma Elma menggantungkan kalimatnya. Mengerjab beberapa kali dengan pandangan mata ke arahku dan Pak Gibran.

Wanita 60 tahun yang masih cantik di usianya itu terkejut melihat posisiku dan Pak Gibran yang tampak 'seperti' berpelukan. Apalagi Oma Elma tidak melihat tragedi terplesetku tadi. Ditambah lagi dengan provokasi Gea, alhasil Oma Elma berasumsi bahwa Kami berdua memang sedang saling berpelukan seperti adegan Lala dan Dipsy di kartun teletubbies.

"Wah, sudah di tahap peluk-pelukan nih!" provokasi Gea.

"Gea!" hardikku dan Pak Gibran bersamaan.

"Dih, kompak banget!" goda Gea yang tidak menggubris hardikanku dan Pak Gibran. "Kayaknya sebentar lagi Aku dan Luna resmi ganti panggilan menjadi Tante Audrey deh," goda Gea lagi.

Belum juga aku dan Pak Gibran menimpali godaan Gea, terdengar suara Luna yang baru saja datang ke arah kami bersama Kak Dina. Wanita 30 tahun itu tampak terkejut dengan poseku dan Pak Gibran. Dia menatap lekat kami berdua. Mulutnya menganga sempurna. Menujukkan betapa terkejutnya baby sitter kesayangan Luna itu.

Matilah aku! Mana mulut Kak Dina lemes lagi. Bisa dipastikan aku akan menjadi bahan gibahan para pekerja rumah mewah ini.

"Om Gibran dan Kak Audrey pacaran ya, ncus?" tanya Luna dengan wajah polosnya.

"Emm, maybe" jawab Kak Dina yang masih terpaku dengan poseku dan Pak Gibran. Perlahan dia mengalihkan pandangannya ke arah Oma Elma. Keduanya tampak saling memberi kode melalui tatapan mereka. Entah kode apa, yang pasti setelah itu mereka berdua tersenyum sumringah.

"Ayo, Kita pergi! Jangan ganggu Om Gibran dan Kak--- Eh, Tante Audrey maksud Oma," goda Oma Elma yang masih bertahan dengan senyum sumringahnya. Gea, Luna, dan Kak Dina menganggukkan kepala mereka dengan kompak. Merekapun bergegas berbalik meninggalkan kami berdua. Namun bukan Gea namanya jika tidak meninggalkan jejak kegesrekan.

Sebelum dia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan kami yang masih saja dengan pose saling berpelukan, dia menyempatkan sekali lagi menggodaku dan Om Tampannya. "Maaf ya, sudah mengganggu kencan Om Tampan dan Tante Audrey," goda Gea seraya mengedipkan matanya beberapa kali. "Silahkan bisa dilanjutkan kencannya. Anggap saja dunia hanya milik berdua."

Allohurobbi, anak 12 tahun kenapa bisa memiliki kosa kata macam itu! Tidak hanya aku dan Pak Gibran, bahkan Oma Elma dan Kak Dina terperanga mendengar kalimat-kalimat Gea.

"Kamu kebanyakaan nonton sinetron ya, Ge?" gerutu Pak Gibran. "Darimana Kamu dapat kosa kata 'dunia hanya milik berdua'?" ketusnya.

"Ih, kalimat gitu doang!" gumam Gea. Kemudian tatapannya mengarah ke mata coklatku. Dengan santainya dia berkata "Silahkan dilanjutkan lagi kencannya, Tante Audrey."

ASTAGA! GEA! Akupun segera bersuara untuk meluruskan kesalahpahaman ini. "Kami tidak sedang berkencan!" terangku. 

"Dih, terus ngapain pelukan daritadi kayak gitu?" sanggah Gea seraya memandangi poseku dan Pak Gibran yang sialnya memang masih dalam mode berpelukan.

Ih, lagian Om Tampan kenapa sih masih saja melingkarkan lengannya di pingganggku? Keenakan meluk pinggang rampingku kayaknya! Ugh ... di tempat sepi aja kalau peluk-peluk gini dong, Om Tampan! Audrey malu sama Oma Elma dan Kak Dina!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status