Kini Mas Gibran juga berada di atas bed pasien tempat aku dirawat. Dia memelukku dari arah belakang seraya menikmati aroma parfum yang tadi aku gunakan. Untung saja tadi Mama membantuku membersihkan diri. Tak lupa mama menyemprotkan parfum di rambut dan beberapa titik di tubuhku. Jika tidak, beh .... bisa-bisa aroma tidak sedap yang tercium Mas Gibran saat ini. "Mas ... " "Hem ... " Aku perlahan mulai kembali mengorek kisah masa lalu Mas Gibran. Aku masih penasaran dengan alasan berakhirnya hubungan Mas Gibran dengan Clara. "Siapa perempuan berwajah blasteran yang tadi dikatakan Clara pernah dekat dengan Mas?" Ok, pertama, aku memastikan bukan wanita blsateran berotak cerdas yang disebut Clara tadi sore sebagai alasan berpisahnya mereka. "Teman SMP Kami berdua." "Memangnya kapan Mas dekat dengan wanita itu?" "Ketika Kami sama-sama kuliah di Amerika." "Sampai kapan?" Dengusan keluar dari mulut Mas Gibran. "Kamu sedang berlatih menjadi wartawan?" Iya, wartawan pribadi Anda, G
"Morning," sapa Mas Gibran. Ah ... indah sekali pagiku. Seketika setelah mataku terbuka, aku langsung bisa melihat sosok tampan itu sedang duduk di kursi sebelah bed rawat inapku.Emmuach!Kecupan selamat pagi didaratkan Mas Gibran di bibirku. Seketika aku membenamkan wajahku di dadanya. "Malu ah, Mas," rajukku dengan gaya sok imut.Kedua alis Mas Gibranpun saling bertaut. "Dih, malu kenapa?" ledek Mas Gibran. "Toh ini bukan ciuman pertama kita. Kenapa kamu tiba-tiba malu-malu mau?"Mas Gibran mengangkat daguku dengan jemarinya. Kemudian dia kembali mencium bibirku sekali lagi. Emmuach!"Cantik sekali Tante Bule kalau bangun tidur gini."Dih, gombal! Mana ada cantik-cantiknya? Secara aku ngileran kalau lagi tidur. Pasti di pipiku sedang terpapang jelas jejas ilerku, huft!"Aku panggilkan perawat untuk membantumu membersihkan diri. Mama dan para sekutunya sudah on the way ke sini.""Sekutunya?""Gea dan Luna."Hoalah, iya sih, sekutu Mama Elma banget mereka berdua. Sekutu pembuat keheb
Gibran, Livy, dan Nathan sudah berada di salah satu meja cafetaria rumah sakit tempat Audrey dirawat. Secangkir teh hijau sudah bertengger di hadapan Livy, secangkir americano bertengger di hadapan Gibran, dan secangkir espresso bertengger di hadapan Nathan. "Kakak sudah dengar semuanya tentang kejadian kemarin. Mama juga sudah tau." Livy membuka percakapan mereka. Semalam Mama Elma sudah berdiskusi dengan Livy dan Nathan mengenai apa yang sudah terjadi pada Audrey. Mereka bertiga sepakat untuk sedikit mengintervensi hubungan tuan muda dan calon nyonya muda keluarga Adinata tersebut. "Ini sudah kedua kalinya Clara berbuat hal yang tidak menyenangkan pada calon istrimu. Setelah dia membuat Audrey koma, kemarin dia menjambak rambut Audrey hingga kulit kepala Audrey terluka bahkan dia sampai pingsan. Ini tidak bisa dibiarkan, Gibran!" Livy kembali memberikan pendapatnya. Livy, Nathan, dan Mama Elma memang mengetahui semua yang terjadi diantara Gibran, Clara, dan Audrey. Mereka bertig
"Bagaimana? Apa Kamu setuju untuk menikah dengan Audrey bulan depan? Masalah persiapan pernikahan serahkan semua pada kami." Sebagai owner sebuah EO ternama, tentu bukan masalah sulit bagi Livy menyiapkan pernikahan sang adik walau hanya satu bulan.Masalah gedung dia tinggal menggunakan salah satu hotel mewah keluarga Adinata ataupun keluarga Kiswoyo. Masalah catering bisa menggunakan catering milik adik iparnya, Amira Kiswoyo. Baju pernikahan tinggal menghubungi mama mertuanya, Jenar Kiswoyo. Undangan tinggal membuat di percetakannya sendiri.Ya ... bisa dibilang persiapan pernikahan Gibran dan Audrey ini hanya tinggal persetujuan dari mempelai pria dan wanita saja. Setuju tidak mereka menikah bulan depan?Gibran mengangguk. Dia rasa ini adalah solusi terbaik untuk menjamin keselamatan Audrey. Lagipula dia memang ingin menikahi pujaan hatinya itu. Tentu lebih cepat lebih baik.Sidang skripsi Audrey 'kan sudah selesai. Audrey sudah dinyatakan lulus, tinggal menunggu wisudanya dua bul
"Aku mau menikah bulan depan, tapi ... dengan satu syarat," ujarku seraya menatap manik mata Mas Gibran."Apa?" tanya Mas Gibran dengan lembut seraya mengusap puncak kepalaku."Mas harus berjanji padaku satu hal.""Berjanji apa?""Mas tidak boleh lagi menemui Clara tanpa sepengetahuanku. Apapun alasannya." Bukannya aku over protektif. Ini namanya jaga-jaga alias salah satu bentuk preventif! Bagaimanapun jelas Clara masih mencintai Mas Gibran. Dan namanya laki-laki kalau sering disuguhkan hal-hal yang membuat panas dingin ya jelas akan tergoda juga!Mas Gibran menggangguk setuju. "Aku berjanji. Apapun bentuk komunikasi Kami berdua semua atas sepengetahuanmu."Ok! Bismillah ya semoga Om Tampanku ini tepat janji. Tidak hanya OMDO alias Omong Doang!Dret ... dret ... dret ...Ponsel Mas Gibran berbunyi. Dan ... tampil nama Clara di layar ponselnya. Aelah ... baru juga diomongin, langsung aja si penyanyi dengan jutaan fans ini menelpon calon suamiku. "Angkat aja, Mas. Tapi buat loudspea
Kini tepat tiga minggu semenjak aku diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit. Pertemuan Keluarga juga sudah diselenggarakan guna membicarakan rencana pernikahanku bersama Gibran.Seminggu lagi adalah hari pernikahan Kami. Segala persiapan sudah rampung 90%. Itu semua berkat kerja keras Kak Livy dan tim EO nya.Hari ini Aku sedang bersama Kak Livy di butik kebaya mertuanya. Aku sedang mencoba kebaya yang sudah dirancang khusus oleh Ibu mertua Kak Livy."Cantik sekali," puji Kak Livy ketika melihat calon adik iparnya ini menggunakan kebaya berwarna putih gading dengan aksen payet di banyak sisi. Kak Livy membayangkan terpukaunya Mas Gibran melihat wanita pujaannya ini di hari akad pernikahannya nanti, hehehe.Usai menyelesaikan fitting kebaya akad nikah, Aku bersama Livy menuju butik gaun pesta salah satu sahabat Kak Livy, Kak Thabita.Sebuah gaun semata kaki tanpa ekor berwarna peach tampak sudah siap untuk acara resepsiku. Gaun itu tampak sangat indah di tubuhku. Lagi-lagi membuat Kak Li
"Sore, Sayang," sapa Mas Gibran yang baru saja datang dari kantor. Setelah makan siang bersama kak Livy, aku memang langsung menuju kediaman keluarga Adinata. Aku harus mengajar Gea dan Luna sore ini. Bagaimanapun Aku tetap menjadi guru les privat mereka berdua. "Sore, Mas." "Bagaimana fittingnya tadi?" "Good. Mas sendiri bagaiamana pekerjaan hari ini?" "Good." Sambil menunggu Gea dan Luna bersiap untuk belajar bersamaku, aku memilih untuk segera mengkonfirmasi segala pertanyaan yang melayang di pikiranku sejak pertemuanku dengan Clara siang tadi. "Mas, Kita ke teras belakang yuk! Ada hal yang ingin Aku tanyakan." Mas Gibran menganggukkan kepalanya sebagai bentuk persetujuannya atas permintaanku tersebut. Kamipun bergegas ke teras belakang rumah mewah ini. "Ada apa?" tanya Mas Gibran dengan lembut. Kini kami sudah duduk di sofa teras belakang rumah mewah ini. "Tadi Aku bertemu Clara." "Lalu?" Akupun menceritakan semua yang aku dengar dari mulut Clara tanpa pengecualian. Bag
Gibran menggelengkan kepalanya. Dia tidak setuju dengan praduga Audrey tentang perasaannya pada Audrey dan Clara."Semua pradugamu tidak benar." Gibran kembali meraih tangan Audrey. Menggenggamnya seraya menatap manik mata coklat Audrey. Mencoba kembali menjelaskan alasannya, mengapa selama ini tidak menceritakan fakta mengenai kecelakaan yang menimpa Audrey.Bagi Gibran, Clara hanya kisah masa lalunya. Selama ini dia berusaha mendamaikan Audrey dan Clara bukan karena seperti yang Audrey tuduhkan tadi yaitu karena masih tersisa rasa untuk Clara di hati Gibran sehingga dia ingin tetap melihat Clara dalam lingkaran hidupnya tanpa rasa bersalah, BUKAN!Ini semata demi keselamatan Audrey. Gibran tau betul bagaimana kebringasan Papa Mama Clara jika terobsesi sesuatu. Tidak jauh berbeda dengan sikap Clara. Menghalalkan berbagai cara untuk obsesinya itu.Gibran bukannya tidak punya kekuatan untuk melawan. Dia hanya saja takut suatu waktu pertahanannya longgar sehingga membuka kesempatan untu