Melihatku hanya terdiam, Pak Gibran mengulangi pertanyaannya lagi, "Apa ada yang keberatan karena Saya mengantarmu pulang malam ini?"
Belum sempat aku menjawab, mama sudah lebih dulu muncul dari balik pintu. Mama mempersilahkan Pak Gibran untuk menikmati kopi dan lemon cake yang disajikan. Tak lama mama kembali pamit meninggalkanku dan Pak Gibran berdua saja di teras depan.
"Bapak tidak apa-apa minum kopi semalam ini?" timpalku seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.00 WIB. Pria tampan itu tampak menikmati secangkir kopi buatan mama tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Padahal ini sudah menjelang tengah malam. Apa toleransinya terhadap kafein sangat baik?
"Tidak apa-apa, setelah ini Saya memang akan lembur mengerjakan beberapa dokumen perusahaan," jawab Pak Gibran. Wah, benar-benar pekerja keras! Tidak heran jika CEO Tampan ini mampu membawa Adinata Group semakin berkibar. Gurita bisnisnya juga semakin melebar ke banyak sektor.
"This tastes great!" puji Pak Gibran terhadap kopi buatan mama. Akupun memintanya mencoba juga lemon cake buatan mama. "So yummy!" Seketika wajah Pak Gibran sumringah menikmati cake best seller di Alina Gump itu. Bahkan lemon cake yang disajikan habis dalam sekejab. Doyan apa lapar sih Om Tampan satu ini?
"Cake ini salah satu cake best seller yang dijual Mama." ucapku seraya menatap lekat wajah tampan Pak Gibran. Ya Tuhan, ganteng amat sih. Kenapa minum kopi aja bisa kelihatan sexy banget gitu? Wah, kalau jadi model Alina Gump pasti bakal lebih laris lagi dagangan mama, hehehe.
"Mamamu berjualan kue?"
Akupun mengangguk untuk mengiyakan. Sudah lima tahun terakhir mama merintis Alina Gump. Usaha rumahan yang ternyata membawa banyak dampak positif bagi kami. Dari usaha itu ekonomi keluarga kecil kami mulai merangkak naik.
Alina Gump menjual aneka cake, kopi, dan olahan teh yang dipadukan dengan banyak bahan minuman lainnya. Kami menjual dan memasarkannya secara online. Dalam satu hari bisa puluhan gelas minuman dan puluhan potong kue terjual. Kini bahkan Alina Gump sudah memiliki 4 pegawai yang bertugas membantu mama menyiapkan pesanan aneka cake dan minuman setiap harinya dan 1 pegawai khusus sebagai admin untuk pemesanan dan pemasaran online.
Bisa dibayangkan jika Alina Gump juga memilki kedai untuk penjualan offline, pasti lebih meningkatkan angka penjualan cake dan aneka minuman racikan mama dan timnya. Apalagi jika lokasinya strategis, tentu akan sangat baik untuk prospek Alina Gump ke depannya.
Setelah dua bulan aku dan mama mencari lokasi yang bisa kami pilih sebagai kedai pertama Alina Gump, akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang sesuai dengan keinginan kami. Sebuah tempat yang cozy walau tidak terlalu besar, sangat cocok dengan impian kami. Namun harga sewa yang cukup mahal membuat kami harus menunda terlebih dulu rencana itu. Hal itulah yang mendasariku semangat 45 menerima tawaran Pak Gibran untuk mengerjakan skripsi temannya.
"Audrey, Kamu belum menjawab pertanyaan Saya tadi," ucap Pak Gibran tiba-tiba.
"Pertanyaan apa, Pak?" tanyaku sambil mengingat kembali kiranya apa pertanyaannya yang belum aku jawab.
"Apa ada yang marah karena Saya mengantarmu pulang malam ini?"
Astaga, pertanyaan itu. Akupun berpikir sejenak. Mencoba memahami makna tersurat dan tersirat dari pertanyaan Pak Gibran.
"Pria atau wanita?" pancingku. Pak Gibran tampak bingung dengan pertanyaanku. "Yang Bapak maksud seseorang yang marah jika mengetahui Bapak mengantar Saya pulang itu Pria atau Wanita?" jelasku.
Pak Gibran terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Matanya kembali menatap lekat mata coklatku, kemudian alisnya saling bertaut. "Pria dan Wanita," jawab Pak Gibran.
"Untuk pria tidak ada. Saya sudah tidak punya Papa dan kebetulan Saya memang belum pernah punya kekasih. Kalau untuk wanita, em ... Mama kayaknya aman aja, sih!" jawabku.
Tiba-tiba aku teringat sebuah postingan di akun lamb* tur*h. Ada sebuah video yang menunjukkan kemesraan Pak Gibran dengan salah satu penyanyi terkenal di Indonesia, Clara Pratiwi Brahma. Disebutkan di postingan itu bahwa mereka memiliki hubungan asmara dengan Pak Gibran. Konon mereka berdua sudah saling mengenal sejak masih kecil.
Sontak mimik wajahku langsung berubah. Wajahku tampak sebal teringat penyanyi dengan jutaan fans itu. "Kalau wanita yang lain ... em, mungkin Clara!" ketusku.
Pak Gibran tampak mengerutkan dahinya. Apalagi ketika melihat wajahku tiba-tiba tertekuk sebal hanya karena menyebutkan nama penyanyi cantik itu. "Clara?"
"Ya, kekasih Anda!" gumamku kesal. Lah, kenapa juga aku harus kesal?
Senyum menawan tiba-tiba muncul di wajah tampan Pak Gibran. "Tampaknya Saya harus berterima kasih pada akun itu," ucapnya jumawa.
"Why?" tanyaku penasaran.
"Karena postingan akun itu, Saya jadi tau perasaan Audrey Liliana White pada Gibran Maharsa Adinata."
DEGH!
Perasaanku? Apa ucapan dan mimik wajahku barusan menunjukkan perasaanku pada Om Tampan?
Pak Gibran tersenyum seraya menatapku lekat. Kemudian perlahan wajahnya mendekat ke wajahku, memangkas jarak antara kami. Hangat dari hembusan nafasnya kini terasa menyapu wajahku. Kemudian pria tampan itu menempelkan ujung hidungnya ke ujung hidungku, menggesekkannya beberapa kali.
Seketika ada perasaan yang belum pernah aku rasakan di sepanjang hidupku. Perasaan yang terasa asing, namun sangat menyenangkan. Rasanya seperti ... ada kupu-kupu terbang di perutku.
"She is my friend," lirih Pak Gibran.
She? Who is she? Clara?
Nafasku menjadi tidak beraturan. Jarak yang begitu minim antara wajahku dan wajah Pak Gibran benar-benar membuat level kewarasanku terjun bebas. Apalagi setelah itu dengan lembut Pak Gibran mencium keningku. Sambil menutup matanya, dia membiarkan bibirnya menempel cukup lama di area itu.
Hati apa kabar Hati? Baper mulu nih kayaknya hari ini!
"Sudah malam, Saya pamit dulu. Tidak enak jika dilihat tetanggamu," ucap Pak Gibran. "Kabari Saya jika Kamu ingin memeriksakan kakimu ke dokter," tambahnya sambil membelai puncak kepalaku.
Aduh aduh aduh, sepertinya aku tidak akan keramas seminggu penuh supaya bekas belaian Pak Gibran tidak hilang, hehehe.
Pak Gibran memintaku untuk memanggil mama. Dia hendak berpamitan untuk pulang. Akupun segera menelpon mama, secara kakiku tidak sanggup kalau harus berjalan memanggil mama yang sedang berada di dalam rumah. Sakit banget, cuy!
"Terima kasih banyak untuk kopi dan lemon cakenya," ucap Pak Gibran sesaat setelah mama datang menghampiri kami. "Besok sopir Saya akan mengantar motor Audrey. Dan Saya rasa besok Audrey tidak perlu mengajar Gea dan Luna sampai kakinya sembuh. Nanti Saya yang sampaikan ke Kak Livy dan Bang Nathan," tambahnya.
Aku menolak ide Pak Gibran untuk tidak mengajar Gea dan Luna besok. Aku rasa kakiku besok sudah tidak akan terkaku nyeri, jadi aku bisa menjalankan kewajibanku mengajar mereka berdua.
"Kalau begitu besok biar Saya yang menjemputmu," ucap Pak Gibran.
"Me-menjemput?" Mataku membola. "Tidak usah, Pak. Nanti Saya malah merepotkan Bapak," tolakku.
"Sama sekali tidak merepotkan." Pak Gibran kembali menyapukan telapak tangannya di puncak kepalaku dengan sangat lembut.
Ya ampun, kenapa Pak Gibran manis banget sih kelakuannya hari ini? Kesambet Jin dari Provinsi mana sih dia?
2 tahun mengenal Pak Gibran, jangankan memainkan ujung hidungnya ke ujung hidungku, membelai puncak kepalaku, atau mencium keningku seperti tadi, menyapaku saja ketika berpapasan tidak pernah dia lakukan. Palingan Om Tampan ini hanya mengangguk membalas sapaanku.
Melihat tingkah manis Pak Gibran padaku, mama terus saja tersenyum lebar. Menatap kami berdua dengan pandangan penuh damba, seperti sedang menonton sepasang kekasih yang sedang melakukan adegan romantis.Mama menyetujui ide Pak Gibran tentang aku yang sebaiknya tidak masuk kuliah besok. Mama juga amat sangat setuju dengan gagasan tentang Pak Gibran yang akan menjemputku besok. RALAT! Bukan lagi amat sangat setuju, tetapi amat sangat bersemangat untuk gagasan terkahir itu. Bahkan mama sok ngide untuk mengundang Pak Gibran makan malam bersama kami besok."Ma, Pak Gibran itu orang yang super sibuk. Gak bisa Kita undang Pak Gibran makan malam bersama mendadak seperti itu. Lebih baik Kita membuatkan cake kesukaan Pak Gibran. Tidak perlu mengundang beliau makan malam. Lagipula siapa Kita sampai berani mengundang seorang Gibran Maharsa Adinata untuk makan malam di rumah Kita? Pak Gibran itu CEO perusahan besar, Ma! Jadwalnya pasti padat merayap. Kita gak bisa asal mengundang Pak Gib---," bel
Matahari sudah mulai terik, tapi aku masih saja bergelut dengan bantal dan selimutku. Sesuai titah mama dan Pak Gibran, hari ini aku tidak masuk kuliah. Akupun menikmati aktivitas hibernasiku di atas kasur seraya sayup-sayup mendengar penuturan mama tentang kehebatan Mpok Tima, tukang pijat langganannya.Awalnya aku menolak ide mama untuk menggunakan jasa Mpok Tima. Aku takut pergelangan kakiku semakin nyeri jika tidak berkonsultasi ke dokter terlebih dulu sebelum sesi terapi pijat tradisional dengan tukang pijat hits di area sekitar rumah kami ini. Namun mama tetap bersikeras memintaku untuk mengizinkan Mpok Tima menjalankan misi mulianya, menyembuhkan kakiku yang terkilir. Menurutnya kasus terkilir seperti kakiku ini makanan sehari-hari Mpok Tima. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk hasilnya."Ayo, sekarang makan dulu! Sebentar lagi Mpok Tima datang," titah mama seraya menyodorkan sesendok nasi goreng padaku. Akupun segera duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mengambil sendok dan
Aku, Shabina, dan Mentari memang sudah bersahabat semenjak kami di duduk bangku SD. Kami berada di sekolah yang sama sejak SD, SMP, hingga SMA. Kami merupakan murid di salah satu group sekolah internasional elit di Jakarta. Shabina dan Mentari berasal dari keluarga kelas atas negeri ini. Jadi wajar mereka bisa sekolah di group sekolah dengan SPP bulanan mencapai belasan juta rupiah itu. Namun keduanya tidak pernah mengucilkanku yang hanya anak seorang pegawai di sekolah elit tersebut. Shabina berasal dari keluarga dengan latar belakang dokter. Sang papa adalah dokter spesialis Obgyn dan sang mama adalah seorang dokter gigi spesialis Gigi Anak. Kakak perempuannya adalah seorang dokter spesialis mata yang menikah dengan seorang dokter spesialis bedah saraf. Keluarganya memiliki beberapa rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sedangkan Mentari, dia berasal dari keluarga pengusaha. Keluarganya adalah pemilik beberapa Mall besar di Jakarta dan Bali. Saat i
"Lo beneran mau kencan sama si Om Tamvan hari ini?" tanya Mentari. "Takjub gue sama bule kesayangan kita ini. Gak ada basa-basi, tiba-tiba aja sudah mau kencan sama om Tamvan idolanya. Benar-benar Otw Ny. Boss nih kayaknya," timpal Shabina. Akupun memutar mataku malas. Okeh! Setelah Mama, sekarang giliran Mentari dan Shabina yang menduga ada hubungan khusus antara aku dan Pak Gibran. Aku aminin aja ya, hehehe. "Mana ada kencan! Pak Gibran jemput gue buat ngajar Gea dan Luna," elakku. "Ah, itu sih modus dia aja!" gumam Mentari. "Kalau cuma antar jemput Lo buat ngajar keponakannya, dia bisa suruh sopirnya aja kali," imbuhnya. "Pak Gibran itu bukan pengangguran yang punya banyak waktu luang, Audrey! Kalau Elo gak penting buat dia, ngapain dia repot-repot mau jemput Lo demi ngajar ponakannya? Apalagi kantor dia di Jaksel, rumah Lo di Jakut, dan rumah dia di Menteng," cerocos Shabina. "Fix! DIA LAGI MODUS KE ELO, Audrey Liliana White!" imbuhnya. Modus? Em ... semoga saja ya! Siapa ju
"Selamat sore," terdengar suara bariton dari arah teras depan rumahku. Tampak Pak Gibran datang dan disambut dengan senyum merekah khas mamaku.Mereka mengobrol di teras depan, menungguku yang baru saja selesai mandi. Sejujurnya mengingat kemungkinan teman Pak Gibran yang aku bantu membuat skripsi adalah Clara, membuat hatiku enggan melihat wajah tampan Pak Gibran untuk saat ini. Namun mengingat antusiasme mama, rasanya aku tidak sampai hati membatalkan agendaku hari ini dengan CEO Adinata Group itu.Benar kata Mentari dan Shabina, "Jangan Lo cancel acara siang dan malam ini! Kasihan Mama Alin," titah Mentari sebelum dia dan Shabina pamit pulang tepat 30 menit sebelum kedatangan Pak Gibran. "Jangan buat Mama Alin kecewa!" tambahnya. "Iya! Mama Alin sudah antusias banget nyiapin outfit Lo hari ini. Mama Alin juga sudah susah payah masak makanan-makanan kesukaan Pak Gibran untuk makam malam kalian hari ini," timpal Shabina. "Lagian belum tentu juga 'kan orang yang Lo bantu menyusun skr
Sebelum turun dari mobil mewah Pak Gibran, aku kembali menanyakan hal yang sama. "Jadi benar Clara adalah teman Bapak yang harus Saya bantu mengerjakan skripsinya?" tanyaku untuk ke sekian kalinya.Pak Gibran menatapku lekat, kemudian pria tampan itu menghebuskan nafasnya kasar. Perlahan dia menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Yes she is."Akupun terdiam. Rasanya ... seperti ada luka di lutut yang tersiram air lemon. Ngilu!"Apa Kamu keberatan?" tanya Pak Gibran.Em ... sejujurnya aku memang keberatan. Tapi tawaran 200 juta yang diajukan Pak Gibran rasanya sangat menggiurkan, bahkan mengalahkan rasa keberatanku itu. Apalagi mengingat keingananku membantu mama untuk segera mewujudkan kedai pertama Alina Gump, sepertinya aku memang harus menyingkarkan rasa keberatanku itu."Saya tidak punya hak untuk keberatan. Apalagi Saya sudah menyetujui kesepakatan Kita. Uangnya juga sudah saya terima 50%," jawabku lugas. "Saya juga tidak mau mengembalikan uang itu karena Saya sudah merencanak
Setelah 60 menit berselang, kamipun sudah menyelesaikan sesi belajar sore ini. Seraya membantu membawa perlengkapan belajar Gea, aku menggandeng tangan gadis cantik itu menyusuri taman menuju teras belakang rumah mewah keluarga Adinata. Tampak Oma Elma dan Ibu Livy masih duduk di sofa teras tersebut. Selain mereka berdua, kali ini juga tampak Pak Nathan yang duduk di sebelah sang istri dan Pak Gibran yang duduk di sebalah Oma Elma.Gea yang baru saja tiba denganku, langsung duduk diantara kedua orang tuanya. Bermanja-manja dengan sang papa. Gea memang dasarnya juga manja seperti Luna. Hanya saja jika ada sang adik, sikap manjanya akan lebih teredam."Papa, Gea mau dipeluk!" pintanya dengan nada manja. Pak Nathan memeluk puteri sulungnya itu sambil mencium wajahnya berkali-kali sampai-sampai Gea memekik geli."Duduklah, Audrey!" pinta Oma Elma seraya menepuk bantalan sofa di sebelahnya. Akupun mengangguk dan langsung duduk di sebelah Oma Elma. "Bagaimana kakimu?" tanya Oma Olma sambil
"Pak, Saya turun di sini saja. Makan malam Kita batal! Nanti Saya akan bilang ke Mama kalau Bapak ada urusan penting mendadak," ucapku tergesa-gesa seraya mendorong dada Pak Gibran agar segera menjauh dariku."Kenapa Kamu ketakutan, Audrey?" goda Pak Gibran sambil tertawa geli melihat rasa takut dan gelisah yang terpampang nyata di raut wajahku.YA GIMANA AKU GAK KETAKUTAN! Jelas-jelas dia tadi mengajakku melakukan 'sesuatu' seperti di red room trilogi Fifty Shad*s.Lagipula film si Dakota Jhons*n 'kan banyak, kenapa juga Pak Gibran malah memilih film itu? Wajar 'kan kalau aku berfikir yang tidak-tidak!"Saya tidak mau jadi Anast*sia Bapak!" pekikku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. "I would never want to doing something like in his red room!" tambahku masih dalam mode berapi-api.Pak Gibran semakin terkekeh mendengar tanggapanku. Menurutnya, penolakanku itu terdengar seperti orasi emak-emak yang menolak kenaikan harga BBM."Saya hanya bercanda, Audrey!" gumam Pak Gibran yang masi