Sesaat setelah Mas Gibran mengakhiri panggilan telepon dari Clara, dia memintaku untuk segera merapikan diri. "Rapakan dirimu. Setelah ini Kita makan siang, kemudian Kamu ikut Aku menemui Clara." What? Kenapa aku harus menemui mantan kekasih Mas Gibran itu. "Apa dia sedang sakit?" tanyaku hati-hati. Mas Gibran hanya tersenyum seraya mengusap puncak kepalaku. Dia kemudian membantuku merapikan diri. Mulai dari memakaikan kembali penutup dadaku, menggunakan kembali kemejaku, bahkan sampai membantuku merapikan rambutku. "Tidak usah, Mas. Aku bisa sendiri." "Gak apa, sesekali biar Aku yang menyisir rambut calon istriku." Ehem, calon istri? Haduh ... adem banget hati ini mendengar kata calon istri dari calon imamku, hehehe. Tak lama, kami sudah berada di meja makan ruang kerja Mas Gibran. Menikmati nasi padang kesukaanku yang sudah disediakan Diana. "Audrey ... " "Ya ... " "Duduk sini!" titah Mas Gibran sambil menepuk paha kirinya. Dih, mau ngapain sih? 'Kan Kita mau makan siang.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Walau rasanya hati ini tiba-tiba remuk mendengar kata 'anak kita, darah daging kita' keluar berkali-kali dari mulut Clara. Mas Gibran yang berhasil mengurai pelukan Clara tampaknya paham apa yang aku rasakan. Dia segera menggenggam tanganku dengan lembut seraya menatap kedua benih mataku, seakan mengatakan bahwa dia akan menjelaskan semuanya nanti. "Gibran, mengapa Kau terus saja menolak pelukanku?" gerutu Clara. "Clara, Aku mohon jangan seperti ini," timpal Mas Gibran yang masih terus menggenggam tanganku. "Kenapa? Karena Dia?" Clara mengarahkan telunjuknya ke wajahku. "Clara!" tegur Mas Gibran seraya menatap tajam ke arah Clara. "Bersikaplah baik pada Audrey! Dia calon istriku!" WAHAHAHAHA. Tawa Clara tiba-tiba menggelegar. "OK! Aku harus bersikap baik yang seperti bagaimana kepada CALON ISTRIMU?" Dengusan nafas dihembuskan secara kasar oleh Mas Gibran. "Clara, Aku sudah peringatkan berkali-kali padamu. Berdamailah dengan keberad
"Audrey, Kamu sudah bangun?" terdengar suara Mas Gibran yang tampak khawatir. Kini aku sedang berbaring di salah satu bed IGD rumah sakit milik keluarga Shabina.Sesaat setelah kejadian jambakan maut Clara, mendadak kepalaku terasa sangat nyeri. Dan tiba-tiba saja Aku kehilangan kesadaranku. Mas Gibranpun segera membawaku ke Rumah Sakit milik keluarga Shabina.Bagaimanapun aku baru saja pulih dari koma yang aku alamai beberapa bulan lalu. Wajar Mas Gibran begitu khawatir dengan kondisiku."Jambakannya pasti sangat kuat. Buktinya kulit kepalanya sampai luka seperti ini," ujar dokter jaga IGD yang menanganiku. "Bagaimanapun pasien baru saja mengalami koma beberapa bulan lalu. Diharapkan pasien tidak mengalami kelelahan secara fisik dan psikis. Saya sudah menghubungi tim dokter yang memang khusus menangani pasien selama koma beberapa bulan lalu."Lima belas menit lagi rencananya dokter Rio, cemceman Shabina sekaligus dokter bedah saraf yang menanganiku akan datang bersama timnya untuk me
Jangan-jangan Mas Gibran duda seperti dokter Rio? Karena Aku rasa sangat tidak mungkin keluarga Clara membiarkan penyanyi cantik itu hamil tanpa ikatan pernikahan. Apalagi kalau Tante Ziya juga tau, beeh ... aku yakin 100% dia akan mencak-mencak menuntut Mas Gibran untuk segera menikahi keponakaan kesayangannya itu.Selain itu ada Mama Elma, tentu dia tidak sampai hati melihat cucunya hadir tanpa status yang jelas."Mas ... Apa kalian dulu pernah menikah dan saat ini sudah bercerai?" tanyaku hati-hati.Seketika Mas Gibran menggelengkan kepalanya. "Kami tidak pernah menikah, Audrey."Hah? Bukannya di usia kehamilan 7 bulan pastinya perut Clara sudah membuncit? Dan mereka tetap tidak dalam ikatan pernikahan? Bagaimana orang di sekitar mereka menyikapi itu?"Jadi Kalian belum pernah menikah walau Clara hamil, bahkan sampai kehamilan 7 bulan?" tanyaku penasaran. Mas Gibran menganggukkan kepalanya. "Aku tidak tau bahwa kehamilannya bisa sampai berusia 7 bulan. Yang Aku tau kehamilannya be
- FLASHBACK ON -"Gue hamil, Ra," ujar Clara dengan wajah frustasinya."What? Anak Gibran?" Aurora, sang manager, memastikan."Ya siapa lagi! Gue cuma pernah tidur dengan Gibran."Dengusan kasar terdengar dari sang manager. "Lagian kenapa bisa sih Lo sampai hamil? Dia gak pakai pengaman?"Clara hanya menunduk lesu. "Gue gak mau ada yang tau tentang kehamilan ini! Termasuk Gibran."Jelas permintaan absurd Clara ditolak mentah-mentah oleh Aurora. Bagaimana bisa dia mau menyembunyikan kehamilannya ini dari semua orang, apalagi Gibran. Jelas dia harus bertanggung jawab atas kehamilannya ini."Lo gila! Jangan bilang Lo mau gugurin anak ini."Clara menggeleng tegas. Dia sama sekali tidak ada niat untuk menggugurkan anak di kandungannya. Melainkan dia berencana akan vakum sementara dari dunia tarik suara yang saat itu sedang dia jalani. Dia akan beralibi sedang sekolah di luar negeri. Setelah anak ini lahir, dia akan kembali ke Indonesia."Jangan ada kontrak pekerjaan baru lagi. Kita selesai
Usai menceritakan semua masa lalunya bersama Clara dan bayi mereka, Kubiarkan Mas Gibran menangis di pelukanku. Kubiarkan pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu melepas semua rasa kecewa dan sesal terhadap semua kelakuan kejinya di masa lalu.Menangis di hadapan wanitanya tentu bukan hal yang mudah bagi seorang Gibran Maharsa Adinata. Pria dengan segala kuasa dan harta yang dia miliki. Pria yang selalu tampak tangguh di hadapan banyak orang, termasuk diriku. Pria yang selama ini selalu melindungiku, menjadi penolongku, menjadi tameng di setiap kelemahanku.Malam ini dia benar-benar menunjukkan sisinya yang lain. Sisi sakit dan sesal yang ia simpan bertahun-tahun.Akupun semakin memeluknya erat. Berbisik padanya untuk memberi keyakinan bahwa aku akan selalu menerimanya tanpa kecuali dan tetapi. Menerima semua masa lalunya, menerima semua cerita keji sikapnya pada wanitanya di masa lalu dan pada buah hatinya yang hanya diberi kesempatan oleh Tuhan hanya 3 hari saja menyapa dunia.A
Kini Mas Gibran juga berada di atas bed pasien tempat aku dirawat. Dia memelukku dari arah belakang seraya menikmati aroma parfum yang tadi aku gunakan. Untung saja tadi Mama membantuku membersihkan diri. Tak lupa mama menyemprotkan parfum di rambut dan beberapa titik di tubuhku. Jika tidak, beh .... bisa-bisa aroma tidak sedap yang tercium Mas Gibran saat ini. "Mas ... " "Hem ... " Aku perlahan mulai kembali mengorek kisah masa lalu Mas Gibran. Aku masih penasaran dengan alasan berakhirnya hubungan Mas Gibran dengan Clara. "Siapa perempuan berwajah blasteran yang tadi dikatakan Clara pernah dekat dengan Mas?" Ok, pertama, aku memastikan bukan wanita blsateran berotak cerdas yang disebut Clara tadi sore sebagai alasan berpisahnya mereka. "Teman SMP Kami berdua." "Memangnya kapan Mas dekat dengan wanita itu?" "Ketika Kami sama-sama kuliah di Amerika." "Sampai kapan?" Dengusan keluar dari mulut Mas Gibran. "Kamu sedang berlatih menjadi wartawan?" Iya, wartawan pribadi Anda, G
"Morning," sapa Mas Gibran. Ah ... indah sekali pagiku. Seketika setelah mataku terbuka, aku langsung bisa melihat sosok tampan itu sedang duduk di kursi sebelah bed rawat inapku.Emmuach!Kecupan selamat pagi didaratkan Mas Gibran di bibirku. Seketika aku membenamkan wajahku di dadanya. "Malu ah, Mas," rajukku dengan gaya sok imut.Kedua alis Mas Gibranpun saling bertaut. "Dih, malu kenapa?" ledek Mas Gibran. "Toh ini bukan ciuman pertama kita. Kenapa kamu tiba-tiba malu-malu mau?"Mas Gibran mengangkat daguku dengan jemarinya. Kemudian dia kembali mencium bibirku sekali lagi. Emmuach!"Cantik sekali Tante Bule kalau bangun tidur gini."Dih, gombal! Mana ada cantik-cantiknya? Secara aku ngileran kalau lagi tidur. Pasti di pipiku sedang terpapang jelas jejas ilerku, huft!"Aku panggilkan perawat untuk membantumu membersihkan diri. Mama dan para sekutunya sudah on the way ke sini.""Sekutunya?""Gea dan Luna."Hoalah, iya sih, sekutu Mama Elma banget mereka berdua. Sekutu pembuat keheb