Aku nggak pernah secanggung ini makan bareng orang tua sendiri. Nggak pernah, sampai hari ini. Sampai Gugi di sini. Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Papah. Dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung di kedua sisi hingga beberapa senti di bawah sikunya. Hari ini rambutnya rapi nggak kaya biasanya. Di sepanjang garis rahangnya terlihat bulu-bulu halus yang mulai tumbuh. Kumisnya pun begitu. Kenapa dia di sini? Tepat saat kedua orang tuaku sedang berkunjung?Bukankah seharusnya dia berada dimanapun selain di sini? “Jeee, kamu kok nggak bilang sih kalau janjian sama temennya? Tahu gitu Mamah masak lebih banyak tadi." Aku menatap wanita di sampingku yang tengah tersenyum-senyum menatap Gugi itu. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya.“Oh saya memang nggak janjian sama Nata, Tante. Tadi kebetulan emang lewat daerah sini.” Gugi menjelaskan dengan senyuman yang tertarik dari ujung kuping kanan ke kirinya. “Kebetulan katanya Pah, hahaha. Lucu ya temen Jeje,” kini Mamahku
Aku menarik nafas yang dalam sebelum membuangnya dihadapan kedua mata Ben. “Ben, aku segitu bodohnya ya di mata kamu?” “Nata, please ngomong pakai hati kamu. Jangan pakai emosi.” “Hati? Jadi kamu pikir kamu cukup tahu hati aku seperti apa?” Dia mencoba menjangkau tanganku. Kutepis. Sambil melihat ke sekeliling. Takut gerakan kami berdua terlalu mencolok dan menarik perhatian orang-orang. Lagi. “Nata, aku tahu kita bisa ngobrol dengan tenang. Nggak pakai emosi.” “Kamu yang bisa. Aku nggak. Ben, apapun itu, tolong nggak sekarang.” Aku memohon. Menatap matanya lebih dari lima detikpun aku belum mampu. Apa lagi dibujuk-bujuk. Nggak bisa. “Apa yang nggak sekarang?” “Ini. Apapun ini. Jangan sekarang.” “Nggak. Ini harus sekarang.” Ngototnya. “Ben, kayaknya tenaga dan mental aku belom pulih deh dari semua kegilaan kamu kemaren. Kamu tahu nggak rasanya kayak apa? Kaya naik Roller Coaster. Terlalu cepat sampai aku mual.” “Aku tahu, makanya aku di sini. Untuk minta maaf, untuk jelasin
Mas Rumi mendahuluiku. Dia melarangku berdiri. Menyuruhku tetap duduk di kursi. Sedang Gugi menatapnya serius. “Masih berani lu nyari Nata? Kurang ungu pipi lu kemarin?” Ucap Mas Rumi mendekati Gugi. “Ru, gue nyari Nata. Bukan lu.” “Nggak gue ngizinin. Lu kalau mau bikin stres cewek, cari yang lain. Jangan temen gue!” Aku yang nggak tahan mendengar keributan mereka di tengah teman kerjaku yang lain, mencoba melerai. “Kamu duduk,” titahku menunjuk Mas Rumi, “kamu, pulang!” lalu menunjuk Gugi. “Oke, sama kamu. Ayo.” Ucapnya menarik pergelangan tanganku. Usahanya dihentikan Mas Rumi yang langsung melepaskan genggaman Gugi dengan menepaknya keras. Dan berhasil. “Udah gue bilang, gue nggak ngasih izin! Lu yang ikut gue sekarang!” Selanjutnya, mereka berdua meninggalkan ruangan. Entah kemana. Entah bahas apa. * [ Rumi’s POV ] “Percaya omongan gue, lu nggak bakal mau lihat gue naik pitam Gi!” Ucapku ngasih peringatan ke orang yang baruku kenal setahun belakangan itu. Orang yang d
Aku pernah nggak sih cerita ke kalian soal gimana aku cinta sama kerjaan yang sedang kugeluti sekarang? Belom? Yaudah baca ya.Seperti yang udah kalian tahu, aku lulusan Fakultas Kedokteran dari salah satu universitas swasta di Jakarta. S.Ked ku berhasil kusandang setelah kuliah empat tahun penuh. Nilaiku bagus walaupun nggak Cumlaude. Si Oswasa dan Shimar istrinya juga cukup bangga sama pencapaianku saat itu. Termasuk si Gestara Soebandono. Masku satu-satunya.So, long story short, aku mutusin buat nggak ngelanjutin ke program profesi. Kenapa? Kan rugi banget. Kan ini. Kan itu. Aku tahu. Tapi demi kewarasanku, kita cukupin aja di S.Ked itu. Gimana respon orang tuaku yang udah ngeluarin duit banyak? Marahkah? Proteskah? Oh jelas. Tapi kujanjiin kalau anaknya nggak bakal nganggur lama.Eh malah beneran kejadian. Karena keseringan bergaul dengan temen-temenku yang kebetulan bergelut di bidang kreatif, aku akhirnya dikenalin sama satu bidang yang namanya Post Production Coordinator. Dita
Yang dikatakan Mas Rumi seperti angin segar di kupingku. Sejuk, sampai kesadaranku kembali. Aku diusahan oleh seseorang yang memiliki tunangan. Kenyataan manis yang kupikir nggak diinginkan wanita manapun. Seketika bayangan Gugi tersedu-sedu di depan pintuku menjadi bayangan yang menyeramkan. Fakta bahwa pemandangan itu membangkitkan kembali satu rasa di hatiku yang sudah mati-matian kukubur, membuatku takut. Takut aku terlalu lemah, lalu kalah, lalu membiarkan perasaan mengendalikan pilihanku, lalu merusak sesuatu yang sudah utuh, lalu apa? Bukannya kita semua sepakat, merusak kebahagiaan perempuan lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan? Tapi seperti yang biasa kehidupan lakukan pada kita semua, apapun keputusan yang kita pilih akan sesuatu, kepala kita bakal ditimpukin semua logika-logika setan untuk menggoyahkan. Kali ini contohnya adalah, kenapa harus menjauh? Bukankah Gugi yang memilih untuk mendekatiku lebih dulu? Bukankah Gugi yang begitu menginginkanku hingga menar
Lima menit. Sudah lima menit kami menelusuri jalanan kecil di sekitar hotel. Mencari tempat ngobrol tanpa khawatir dikupingin teman kerjaku. Nggak jauh dari sini, seingatku ada mall. Mari berdoa ingatanku nggak salah. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya ngobrol seadanya. Sesekali saling menangkap basah karena menatap diam-diam. Aku masih nggak habis pikir pria ini berhasil menemukanku. Setelah berjalan sekitar kurang lebih lima belas menit, kami sampai di mall itu. Kalian tahu apa? ITU LIMA BELAS MENIT TERLAMA. Syukurnya mallnya beneran ada disitu. Padahal cuma modal ingatanku yang, yaelah. Percaya dirinya tinggi banget pula nggak ngecek maps. Kami memasuki salah satu Coffee Shop. Memesan dua gelas minuman. Aku ice coffee latte, sedang Ben memilih milkshake. Strawberry. Kalian tahu gimana ekspresiku ketika dia mesan itu? Gemmmmmmmes. Pernah nggak kalian lihat Mas-Mas minum milkshake strawberry? Sebelum duduk, dia menarikkan satu kursi untukku. Kami memilih outdoor. Di dalam pen
Mendengar kalimat Ben barusan, walaupun sempat terkesiap, aku reflek menepak bahu kirinya yang dia balas dengan kekehan. Ngelunjak ni anak. Setelah makan malam, dia mengantarku kembali ke hotel. Aku nggak nanya dia bakal balik kapan atau mau tidur dimana. Belajar untuk nggak terlalu mau tahu banyak, semoga bisa ngurangin resiko dikecewain lagi pas udah nyaman-nyamannya. Mari berdoa. “Dari mana aja kamu?” Mas Rumi yang entah udah sejak kapan berada di kamarku, menodong dengan pertanyaan orang tuanya. “Ngopi. Makan.” “Sama siapa?” “Orang?” “Oh ayolah Nat!” “Ya lagian ngapain nanya sih kalau kamu udah tahu jawabannya apa?” “Kok dia bisa nyampe sini?” “Pesawat Mas.” Ucapku seadanya, yang kemudian kena jewer. Jadi aku nggak punya pilihan selain ceritain semuanya. Eh nggak deh. Secukupnya. Mereka mendengarku dengan ekspresif. Mas Ru dan Mbak Nana. Bingung juga kok rasanya masalah pribadiku sekarang udah jadi konsumsi kantor gini. “Gue sih tim Ben ya di kasus ini.” Seru wanita yang
Aku melihat keluarga itu reunian. Saling peluk. Aku dan Ben mundur selangkah memberi ruang untuk mereka. “Hay Ben. Loh Mbak Nata? Kok kalian bareng? Kenal?” Tanya wanita yang sedang rangkulan dengan Tante Sarah tadi. Mamanya Gugi ternyata. “Hey Tar. Loh kamu kenal Nata?” “Kenal dong. Pernah ketemu. Yakan Mbak?” Aku cuma tersenyum sambil mengangkat tangan kananku. Melambai kecil pada gadis itu. “Hey, man.” Ben menyapa sepupunya itu tanpa maju sedikitpun. “Ben,” sambut Gugi menatap Ben, lalu menatapku, sebelum menatap pinggangku yang tengah dirangkul erat oleh Ben. Aku merasa seketika udara di sekitar kami nggak ada oksigennya. Karbondioksida semua. “Yaudah kalau gitu kita berdua pamit duluan ya Tant, Om. Aku harus nganter Jenata dulu soalnya.” “Loh naik apa? Nggak mau bareng aja? Cukup kok mobil Gugi. Cukupkan nak?” Gugi nggak menjawab. Hanya mengangguk. “Ben ada nyimpen mobil kok Tant di parkiran. Aman.” “Oh gitu. Yaudah kamu hati-hati nyetirnya. Jangan sampai anak orang ken