Share

Obat Herbal Dari Suamiku
Obat Herbal Dari Suamiku
Author: Teteh ley

Bab 1. Obat herbal

Author: Teteh ley
last update Last Updated: 2025-04-20 18:03:02

"Assalamualaikum, sayang," ucap Mas Andre ketika ia berdiri di ambang pintu. Senyumnya terlihat terbit ketika melihatku tengah duduk di sofa ruang televisi.

Melihat kedatangannya, aku langsung berdiri lalu berjalan menghampirinya. "Mas," ucapku sambil memeluk tubuhnya erat. "Kangen."

Mendengar penuturanku Mas Andre terkekeh. Mengusap puncak kepalaku dengan sayang. "Mas juga kangen kok sama kamu," ujarnya sambil merangkul tubuhku masuk kedalam rumah.

"Kapan pulang Dre?" Tiba-tiba saja Tante Elsa datang menghampiri kami. Senyum tanteku ini terlihat terbit ketika melihat sosok suamiku pulang dari perantauan. Sebulan sekali, ia pulang ke rumah untuk mengunjungi ku.

Sedangkan Tante Elsa, ia kerap kali datang ke rumah setiap seminggu sekali. Kadang juga dua atau tiga kali dalam sebulan.

"Baru nyampe, Tante," jawab Mas Andre singkat. "Apa kabarnya Tante?" Senyum Mas Andre mengembang sempurna saat ia berucap demikian. Terlihat ramah dan hangat.

"Kabar Tante baik. Mau Tante ambilkan minum?" Tante Elsa menawarkan jasa untuk mengambil air minum untuk Mas Andre.

"Tidak perlu Tante, biar Andre ambil sendiri." Tolak Mas Andre halus. Membantu aku untuk duduk di sofa.

"Oh ya sayang, ini Mas bawain obat herbal buat kamu." Mas Andre mengeluarkan sebuah paper bag kecil dari kantongan yang ia bawa. "Orang bilang obat herbal ini baik untuk lambung kamu," ujarnya lagi. "Nanti Mas bikinin ya!"

Sudah berapa bulan ini aku rutin minum obat herbal yang dibelikan oleh Mas Andre. Obat herbal yang khusus untuk mengobati lambung yang aku derita selama ini.

"Terima kasih ya Mas, kamu memang suami terbaikku," ucapku sambil merangkul tubuhnya. Satu kecupan manis aku hadirkan di wajahnya.

"Sama-sama, sayang. Apa sih yang nggak buat kamu," ujarnya sambil terkekeh kecil. Mencawil daguku. Menoleh ke arah Tante Elsa yang hanya diam tanpa kata.

"Oh ya Tante, terima kasih sudah berkenan menjaga Rania selama aku tidak ada di rumah." Mas Andre mengalihkan pembicaraan.

"Tidak usah bicara seperti itu, Rania ini keponakan Tante sendiri. Sudah menjadi kewajiban Tante untuk menjaganya. Ya walaupun tidak bisa setiap saat." Tante Elsa membubuhkan senyum khasnya.

"Andai Tante tidak bekerja, mungkin Tante akan siang malam berada disini untuk menjaga Rania," ujarnya. Ucapannya terdengar serius dan tulus.

"Tidak apa-apa, Tante. Tante sering kali datang ke sini juga sudah lebih dari cukup kok buat aku," tukas Mas Andre sama Tante Elsa. "Oh ya Tan, aku punya hadiah juga buat Tante," ujarnya lagi. Mengambil sebuah benda yang terbungkus rapi.

"Apa itu Mas?" tanyaku ketika melihat bungkusan tersebut.

"Ini obat herbal juga sayang, tapi untuk mengatasi anemia, Tante Elsa 'kan punya penyakit anemia." Menyerahkan bungkusan tersebut sama Tante Elsa.

"Makasih ya Dre, obat ini manjur banget. Tante benar-benar ketagihan."

Hah!

Masa minum obat sampai ketagihan segala? Aneh nih Tante Elsa. Sebenarnya aku agak heran dengan bungkus obat tersebut, kok kayak seperti obat kuat gitu.

Tapi, kalau itu benar adanya, buat apa Tante Elsa meminumnya? Tante Elsa kan gak punya suami.

"Tapi aku sebaliknya, Tante," tukasku ketika mendengar penuturannya. "Aku malas banget minum obat herbal ini, bawaannya ngantuk terus." Jujur aku berucap. Setiap kali aku minum obat herbal tersebut, pasti bawaannya ngantuk banget.

"Namanya juga obat sayang, mana ada obat yang enak." Mas Andre menyela ucapanku diiringi dengan kekehan ringan. Mengacak kerudungku asal.

"Tapi buktinya Tante Elsa malah ketagihan," ucapku dengan nada yang manja. "Apa jangan-jangan obat kuat."

"Uhukk!"

Tante Elsa yang tengah minum langsung tersedak. Menoleh ke arah Mas Andre dengan tatapan aneh.

"Hahaha. Kamu ini ada-ada saja," balas Mas Andre diakhiri dengan tawa. Mungkin merasa lucu ketika mendengar penuturanku. "Sudah, Mas capek. Mas mau istirahat." Ia berujar sambil bangkit dari tempat duduknya, lalu menggandeng tanganku.

"Tante, kami berdua ke kamar dulu." Mas Andre pamit sama Tante Elsa yang kebetulan tengah menatap kearah kami.

"Silahkan!" Singkat jawabannya.

.

"Ada kabar gembira buat kamu sayang," ucap Mas Andre ketika kami bertiga tengah makan malam bersama. Termasuk Tante Elsa yang memutuskan untuk menginap di sini malam ini.

"Apa itu Mas?" tanyaku antusias. Menatap wajah tampan suamiku.

"Mulai sekarang Mas tidak akan pergi lagi keluar kota, soalnya Pak Arham menugaskan Mas untuk bekerja di perusahaan yang ada di Jakarta. Jadi kita tidak akan LDR-an lagi," ujarnya sambil mencawil daguku. Ada tawa kecil saat melihatku mencebikan bibir. Kesal karena Mas Andre membuat kerudung aku jadi berantakan.

"Beneran?"

"Iya sayang. Kamu bahagia nggak?"

"Tentu dong Mas."

Aku benar-benar tidak menyangka jika kami tidak akan LDR-an lagi. Sesuatu hal yang aku impikan sejak lama. Dengan demikian setiap hari aku akan selalu ada di sampingnya. Manja-manja setiap kali aku rindu kasih sayangnya.

"Wah! Tante ikut bahagia mendengarnya. Kalau gitu tugas Tante sudah bebas kan?" Tante Elsa yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. Ikut antusias ketika mendengar penuturan suamiku.

"Tante ini ada-ada saja, ya nggak dong Tan, Tante 'kan sudah aku anggap sebagai ibu aku sendiri. Sampai kapanpun juga Tante tetep akan menjadi bagian dari hidup kami," ucapku yang langsung mendapat anggukan kepala dari Mas Andre.

"Tante cuma takut ganggu kalian saja," ujarnya sambil menyuap.

"Tante bisa aja," jawabku sambil menoleh ke arah Mas Andre. Sedangkan aku lirik hanya mengangguk saja. Tak ada jawaban apapun darinya.

.

"Oh ya sayang, obat herbal yang Mas bawa tadi kamu taruh dimana?" tanya Mas Andre sesaat setelah kami selesai makan. Malam ini kami bertiga memutuskan untuk ngobrol-ngobrol sebentar di ruang televisi.

"Ada di kamar, memangnya kenapa?" Aku mendongak menatap wajah tampan suamiku.

Malam ini, Mas memakai kaus oblong polos dengan celana bokser panjang. Namun, biar cuma pake kaus oblong, tapi tidak membuat ketampanan berkurang sedikitpun.

"Loh, kok malah nanya? Itu obat buat diminum, sayang," ujarnya sambil terbahak. "Mas ambil dulu ya." Ia kembali berujar sambil bangkit dari tempat duduknya. Berjalan menuju kamar tidur yang ditempati oleh kami berdua. Selang beberapa saat kemudian, ia sudah kembali lagi dengan sebuah bungkusan.

"Biar Tante yang seduh," pinta Tante Elsa ketika melihat Mas Andre mau ke arah dapur.

"Gak usah Tan, biar aku aja." Dengan ramah Mas Andre menolak tawaran Tante Elsa.

"Gak papa, sini! Sekalian Tante juga mau bikin." Tante Elsa kekeh dengan pendiriannya, mengambil bungkusan tersebut dan langsung membawanya ke arah dapur.

Selang beberapa menit kemudian, ia sudah kembali lagi dengan dua gelas berisi ramuan herbal di atas nampan.

"Terima kasih, Tante," ucap Mas Andre saat menerima gelas berisi ramuan herbal tersebut.

"Sama-sama," balasnya singkat. Setelah itu ia berlalu pergi meninggalkan kami berdua dengan gelas obat herbal miliknya.

"Minum dulu sayang, nanti keburu dingin." Mas Andre menyerahkan gelas tersebut ke arahku.

"Iya Mas. Nanti aku minum kok." Aku mengangguk. Menerima gelas tersebut lalu menaruhnya di atas meja.

"Tapi di minum saya sayang," ujarnya lagi. "Mas tinggal dulu sebentar, ada yang ingin Mas kerjakan di lantai atas," ujarnya sambil tersenyum, mengusap lembut puncak kepalaku. "Mas ingin, kamu cepat sembuh sayang."

"Iya Mas, nunggu benar-benar dingin dulu. Kamu 'kan tahu aku tidak suka minuman yang panas."

"Iya sayang." Mas Andre bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju lantai atas.

Setelah kepergian Mas Andre, aku hanya diam sambil mengamati gelas berisi minuman herbal tersebut.

Sebenarnya aku tidak suka dengan yang namanya obat herbal kayak gini. Tapi karena aku menghormati kerja kerasnya, terpaksa aku menerimanya.

"Ah iya, kenapa aku tidak buang saja ini obat." Aku meracau sendiri, mengambil gelas tersebut dan membawanya ke kamar mandi yang ada di dalam kamar, membuang obat herbal tersebut hingga menyisakan sedikit saja dalam gelas.

Setelahnya aku langsung menyimpan gelas kosong tersebut di tempat atas meja kamar. Merebahkan tubuh ini pada kasur. Menanti Mas Andre kembali lagi ke dalam kamar.

Krieeet...

Pintu kamar terbuka dari luar dengan sangat pelan. Setelahnya terasa ada sesuatu yang mendekat ke arahku. Aku yang kebetulan tengah tiduran menyamping ke arah kanan memilih pura-pura tidur. Ingin tahu reaksi apa yang akan di lakukan oleh Mas Andre.

"Ternyata efektif juga obat herbal itu, dengan demikian Rania tidak akan bangun sampai pagi," gumam Mas Andre, ia sedikit mencubit pipiku untuk membuktikan bahwa aku benar-benar tidur dan nggak nya. Setelahnya ia kembali keluar dari kamar sambil mengendap-endap.

Apa maksud ucapan Mas Andre barusan?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 27. Akhir kisah

    Aku terbangun dari tidur saat mendengar Adzan subuh berkumandang. Mata ini rasanya berat banget. Rasa ngantuk masih belum mau pergi. Beberapa kali aku menguap. "Mau kemana?" Baru juga mau bangun, Arsya malah melingkarkan tangannya di pinggangku. Posisi kami berdua tidur di satu selimut yang sama. Matanya masih terpejam sempurna. Wajah khas bangun tidur masih terpampang jelas di hadapanku. "Udah adzan. Aku mau mandi." Bibir berucap demikian lain halnya dengan tubuh yang seakan menikmati momen romantis ini. Menikmati pelukan hangatnya. Suami muda ku ini benar-benar sudah membuat aku dimabuk kepayang dengan sentuhan cintanya. Gak nyangka aku akan dicintai secara ugal-ugalan olehnya. "Sebentar lagi. Masih kangen." Kali ini ia membuka mata. Bibirnya merekah saat aku tengah menatapnya. "I love you." Satu sentuhan kecil ia daratkan di kening. "Terima kasih juga buat yang semalam." "I love you too." Menelusupkan wajah di dada bidangnya. Malu karena Arka teru

  • Obat Herbal Dari Suamiku    bab 26. Menuju ending

    Wanita bertubuh tambun itu terlihat bingung dengan pertanyaan-ku. Sedangkan Bu Maya dan Arsya, keduanya tampak tenang seperti tidak terpengaruh dengan ucapan wanita tersebut. Bahkan keduanya malah tertawa kecil saat melihat ekspresi wajahnya dan wajahku. "I love you." Arsya malah berbisik hal yang membuatku kesal. Bagaimana gak kesal, di saat bingung seperti ini Arsya malah seakan tidak ingin menjelaskan tentang pertanyaan-ku ini. "Nak Rania salah orang kali. Di keluarga kami tidak ada yang namanya Bram." Ia kembali menjelaskan. Entah aku yang lupa atau mungkin wanita tersebut yang lupa. Tapi bodo amat lah, biar nanti saja aku tanyakan langsung sama Bu Maya. Acara keluarga kami berjalan dengan lancar. Ada acara doa bersama yang dipimpin oleh seorang ustadz setempat. Mungkin istilahnya acara malam ini bisa disebut acara resepsi kecil-kecilan yang Arsya lakukan. Ada acara sambutan dari Arsya juga. Dia bilang sudah lama suka sama aku dan berniat untuk menikah

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 25. Siapa Bram?

    Sepanjang perjalanan menuju salon, aku dibuat berpikir keras. Berpikir, seperti apa kehidupan Arsya sampai mau ketemuan saja harus tampil sempurna. Aku juga heran, seperti apa sih kehidupan Arsya di keluarganya. Selian itu, aku juga berpikir, mampukah Arsya bayar salon? Secara perawatan di salon itu cukup menguras isi dompet. Atau mungkin salon kecantikannya yang sederhana dan murah? Sebenarnya siapa sih sosok Suami dadakan ku itu? Dia hanya datang pake motor tapi sering kali beli makanan atau keperluan rumah yang harganya diluar isi pikiran ku. Lamunanku buyar saat motor yang dikendarai oleh Arsya tiba di halaman salon kecantikan. Sebuah salon kecantikan yang menurut aku hanya bisa digunakan oleh orang berduit saja. "Kenapa?" Arsya menatapku. Melihatku hanya bengong di tempat. "Yakin mau kesini?" Takutnya Arsya gak bisa bayar. Nanti aku juga yang malu karena sudah sok menginginkan kecantikan dan perawatan tapi gak mampu bayar. "Seratus persen

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 24. Suamiku

    Akhirnya, setelah beberapa kali aku membujuk, Arsya mau mengantar aku ke restoran dimana aku bekerja selama ini. "Maaf ya, gak bisa antar sampai dalam." Ucapan Arsya saat aku mencium punggung tangannya. Senyum di bibirnya tak pernah lepas. Nada cintanya terus menerobos masuk lewat tatapan matanya. Memaksa aku supaya membalasnya. "Nggak papa, Mas." Aku tersenyum tulus. Pamit masuk kedalam restoran. "Selamat Pagi, Bu Rania." Masuk kedalam restoran, aku langsung disambut oleh sapaan hangat dari Leni. Mengekor langkahku dari belakang. "Pagi Len. Apa hari ini ada orderan dari Klein baru?" Menapaki anak tangga satu persatu menuju lantai atas. Menuju sebuah ruangan dimana aku bekerja selama ini. Kerjaan aku meng-input data pengeluaran dan pemasukan barang berikut jumlah uang hasil dari penjualan kami. Baik yang hari ini maupun yang Minggu lalu. "Kalau dari luar gak ada, Bu. Tapi tadi pagi Bu Maya telpon saya untuk menyiapkan makanan untuk tamu undangannya.

  • Obat Herbal Dari Suamiku    Bab 23. kesiangan bangun

    Melihat pintu kamar mandi dibuka, buru-buru aku menyimpan kembali ponsel Arsya di meja. Pura-pura tidak tahu siapa yang sudah menghubunginya. Biar waktu yang akan menjawab semuanya. Andai saja bi darsih bukan ibu kandungnya, aku yakin ada hal yang membuat Arsya berbuat demikian. Pasti akan ada alasan lainnya. Mendengar ponsel miliknya berbunyi, Arsya langsung mengambilnya. Menatap lalu mengangkatnya. Obrolannya juga biasa-biasa saja, tidak layak seperti seorang anak sama ibunya. Selepas itu ia kembali mematikannya. Lebihnya lagi, Arsya tidak bicara apa-apa soal bi darsih. Obrolan kami dilanjut setalah selesai makan malam. Kini, posisi kami berdua sudah berada di dalam kamar tidur. Lebih tepatnya kami duduk sedikit berjauhan. Kalau ditanya alasannya, ya malu. Rasanya agak gimana gitu, tiba-tiba saja harus jadi istrinya Arsya secara mendadak. "Mbak, ehh Rania maksudnya." Arsya tampak ragu dengan panggilannya. Sepertinya gak biasa manggil aku dengan sebutan nama.

  • Obat Herbal Dari Suamiku    bab 22. Sah

    "Kami berdua tidak berbuat sesuatu, Pak." Aku berusaha untuk menjelaskan prihal kejadian barusan. Posisi kami sekarang berada di rumah Pak RT. Setelah ketahuan oleh dua laki-laki yang kebetulan lewat. Setelah itu kami berdua digiring ke rumah Pak RT yang ada di ujung jalan. Keadaan lampu juga sudah kembali menyala. "Halah, pake ngeles segala. Sudah ketahuan juga." Laki-laki bertubuh kurus langsung menyela penjelasan ku. Tatapan matanya terlihat jijik seiring dengan seringai kecilnya. "Lagian buat apa juga kami bohong, gak ada manfaatnya buat kami." Menoleh ke arah temannya yang langsung menganggukkan kepala. "Tapi Pak, kami benar-benar tidak melakukannya." Aku masih kekeh dengan pendirianku, menoleh ke arah Arysa yang hanya diam saja. Pura-pura sibuk dengan ponselnya. Entah apa yang ia lakukan. Yang jelas aku sedikit kesal dengan tingkahnya. Bukannya ikut menjelaskan kek, apa kek. "Panggil Pak penghulu sama Pak ustad." Setelah anget obrolan kami, Pak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status