LOGINSora mematung.
Dengan langkah lebarnya Durand mendekat. Sora masih menunduk, fokusnya pada kaki pria itu. “Apa itu?” Matanya tertuju ada gelas di tangan Sora. Sora diam. Akan tetapi, hatinya berteriak panik. Durand semakin mendekat, tatapannya penuh intimidasi membuat gelas yang ada di tangan Sora bergetar. “Aku bertanya, apa yang ada di tanganmu?” Sora berpikir, haruskah ia menjawabnya? Melanggar aturan adalah kesalahan, tetapi mengabaikan pertanyaan Durand itu jauh lebih buruk. Dengan suara pelan dan nyaris berbisik, ia menjawab, “Air, Tuan.” Seketika, udara di sekeliling semakin mencekam. Suasana hening itu membuat tawa mematikan Durand terdengar jelas. “Air?” Durand mengulang. Ia kini berdiri tepat di depan Sora. “Aku tidak menyuruhmu berbicara!” Keberanian Sora semakin menciut. Ia memberanikan diri menatap Durand, lalu tak lama pandangan itu kembali turun. Ia takut, sekaligus bingung. “Tapi … Anda bertanya, Tuan. Saya hanya mengikuti peraturan yang Anda buat.” Sora tahu, ini adalah kesalahannya yang kedua karena berbicara lebih banyak. Dengan gerakan cepat, Durand mengulurkan tangannya, mengambil gelas dari tangan Sora. Membanting gelas kaca itu ke dinding, di samping kepala wanita itu. Pecahan kaca itu berserakan, dan sebagian cipratan air mengenai wajah Sora. Sora terkejut. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan gemetar. Pandangan Durand menunduk, memerhatikan wajah Sora penuh ketakutan. Ketakutan yang alami, tanpa dibuat-buat. “Aku bertanya itu hakku, kau menjawab adalah pelanggaran. Di rumah ini, yang kau lakukan hanyalah patuh! Aku ingin melihat kau terus bungkam sampai aku bosan mendengar napasmu.” Sora mengangguk takut. Durand melirik serpihan kaca di lantai. “Sekarang, bersihkan kekacauanmu! Jangan keluar kamar kecuali untuk keperluan kuliah, atau aku memintamu keluar.” Durand berbalik meninggalkan Sora tanpa belas kasihan. Sora menurunkan badannya, segera memungut serpihan lantai di kaca. Menundanya akan mendatangkan amarah lebih besar. Air mata yang sedari tadi ia tahan kini tumpah. Dengan hati-hati Sora memungutnya, menggunakan rok sebagai wadah. Tak ada sapu, tak ada serokan. Ia tak berani mencarinya. Ia sudah berusaha sehati-hati mungkin, tetapi pecahan tajam kaca itu mengenai kulit tipisnya. Darah mulai merembes keluar. Tetapi Sora mengabaikannya, dan segera menyelesaikan tugasnya sebelum Durand melihatnya. Setelah insiden gelas pecah, Sora membatasi dirinya. Selama tiga hari, ia mengurung diri di kamar, tanpa berani mengambil air, menahan haus dan ketakutan akan hukuman. Yang ia lakukan hanyalah menunggu. Menunggu pelayan datang membawa makanan dan minuman. Menunggu Durand memanggilnya. Suatu malam, Sora keluar, tetapi bukan karena haus ataupun lapar. Ia mendengar jeritan dan benda jatuh samar dari lantai bawah. Rasa Penasarannya lebih besar daripada rasa takutnya mengenai aturan Durand. Perlahan, Sora berjalan menuruni tangga. Di ujung tangga, ia melihat hal seharusnya yang tak pernah ia lihat. Di ruang tamu besar itu, beberapa pria bertubuh kekar berdiri memakai pakaian serba hitam. Di tengah ruangan, Durand berdiri tegap, membelakangi Sora. Namun, fokus utama Sora tertuju pada satu pria tergeletak berlumuran darah, dan satu lagi babak belur di bawah kaki Durand, memohon ampunan. “Tidak ada ampunan untuk pengkhianat. Dan kau tahu itu.” suara Durand datar, tanpa emosi. Durand mengangkat kakinya yang semula berada di leher pria itu. Ia mengambil tongkat besi di atas meja yang bersebelahan dengannya, menyeretnya hingga menimbulkan bunyi nyaring di atas lantai marmer. Mata Sora mengikuti setiap pergerakan Diran. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Durand dengan tongkat itu? Pria itu mulai mengangkat tongkat besinya, bersiap menjatuhkan hukuman terakhir. Bugh! Suara yang dihasilkan merobek pendengaran Sora. Seluruh tubuhnya gemetar. Pemandangan itu begitu kejam dari apa yang ia bayangkan. Biasanya, ia hanya melihatnya di film-film. Namun, sekarang matanya menyaksikan secara langsung. Durand adalah raja kematian yang menakutkan dan dengan mudah melenyapkan nyawa seseorang. Pukulan itu tak cukup sekali dua kali. Tanpa sadar, Sora tersentak hingga mengeluarkannya suara ‘embh’ melalui bungkaman mulutnya. Suara kecil di tengah heningnya suasana itu bagaikan meriam. Durand berhenti. Ia tak berbalik. Seluruh anak buah Durand menoleh ke arah tangga. Mata Sora melotot. Ia tertangkap basah. Mengintip urusan Durand adalah pelanggaran besar yang sudah ia lakukan. Entah apa yang akan dilakukan Durand padanya setelah ini? Apakah nasibnya akan sama seperti dua pria itu? Sora ingin lari, tetapi marmer di bawahnya seperti medan magnet yang menahannya. Perlahan, Durand menoleh. Ekspresinya datar, tidak marah, tidak juga terkejut. Tatapan yang ia berikan sama seperti menatap dua penghianat yang tergeletak di lantai. Wajah Sora memucat. Ia sadar, tatapan dari pria itu mengandung bahaya. Ia segera berlari, tergopoh-gopoh menuju kamarnya. Durand memberikan tongkat besi itu kepada anak buahnya. “Singkirkan tikus-tikus ini dari hadapanku.” Dengan kaki jenjangnya, pria itu mulai menaiki satu demi satu anak tangga, menuju lantai dua. Ia begitu tidak suka orang lain di mengintip urusannya. Sesampainya di kamar, Sora segera mengunci pintu rapat-rapat. Tubuhnya meringsut di depan pintu. Adegan di lantai bawah, tatapan Durand yang mematikan terus terbayang. Siapa sebenarnya keluarga ini? Mengapa sang ayah harus menitipkannya di sini? “Tolong aku, Tuhan. Tolong aku.” Kata-kata itu seperti mantra yang ia ucapkan berulang kali, mantra agar terhindar dari hukuman Durand. Namun, mantra yang keluar dari mulutnya tak cukup membantu. Saat itu juga, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Jantung Sora berdebar kencang. Hanya satu orang yang dengan bebas bisa mengetuk pintu kamarnya tengah malam seperti ini. “Buka pintumu, Sora!” suara Durand di balik pintu terdengar tenang, tetapi mengandung ancaman. Sora menjauhkan diri dari pintu. Gambaran orang-orang di bawah sana terus berputar di kepalanya. Berakhirlah sudah!Anak buah yang dikenal Stepan itu sedikit membungkuk. “Maafkan saya, Tuan.” Durand adalah Tuan Muda Volkov yang terkenal intimidasinya dan ketidakmudahan. Di mata semua orang, ia seperti gunung es yang tak tersentuh. Sejak kecil, ia tidak dikenalkan dengan kelembutan, melainkan tentang perintah dan hukuman. Ia dibesarkan dengan bayang-bayang disiplin militer yang ketat dan keras. Akhirnya, ia tumbuh menjadi sosok yang kaku, tanpa belas kasih dan dingin. Kelembutan dan kehangatan adalah bahasa yang tidak pernah ia pelajari.Semua pekerja di Mansion harus menuruti semua aturannya yang tak tertulis. Ia tak menerima kesalahan sekecil apapun. Satu kali melakukan kesalahan, maka hukuman harus diterima. Namun, Stepan adalah satu-satunya orang yang bisa berbicara leluasa dengan Durand. Satu-satunya orang yang boleh melanggar aturan tak tertulisnya karena informasi yang ia bawa menentukan nasib semua orang. “Katakan,” ucap Durand tak menoleh. Ia mengambil satu batang rokok, menjepitnya
Ucapan tajam Durand itu langsung menembus hatinya. Seketika air matanya berhenti, digantikan kepalan tangan erat. Api di perapian itu memantul di matanya, seolah kobaran itu adalah bentuk amarahnya yang siap membakar Durand. Kini, matanya bukan lagi menggambarkan kesedihan, tetapi kemarahan dan kebencian. Ia bisa menerima semua bentuk hukuman Durand untuknya. Namun, untuk kali ini, Sora tak bisa menerima perlakuan pria itu padanya. Sora bangkit dengan perlahan. Matanya menatap ke arah Durand. Tatapan ketakutan itu kini menjadi tatapan kebencian yang baru lahir. Ia tak lagi peduli dengan semua aturan pria itu. “Saya tahu jika barang itu hanya sampah di mata Anda, Tuan. Tapi, apakah Anda berhak membuang barang milik orang lain?!” Sora menaikkan suaranya satu oktaf. Durand terdiam. Alisnya sedikit terangkat melihat kemarahan Sora. Sora tersenyum sinis, kemudian melanjutkan, “Anda membuktikan betapa besarnya kekuasaan Anda hingga membakar satu-satunya kepingan emas milik Yatim Piat
Jantung Sora berdebar kencang. Tangannya mulai menjauh dari buku lalu menoleh ke arah pintu. Apakah dia harus membukanya?Ketukan itu kembali terdengar disertai suara perempuan dari balik pintu. “Nona Sora.”Sora menarik napas lega. Ternyata, itu adalah pelayan di rumah ini. “Ya?” sahut Sora, sambil berjalan ke arah pintu. Begitu pintu terbuka lebar, pelayan perempuan itu segera memberitahu, “Tuan Durand meminta Anda datang ke ruangannya, Nona.” Perasaan takut kembali menggerogoti hatinya. Namun, ia tak dapat menolak perintahnya. Sora mengangguk lalu mengikuti langkah pelayan itu, membawanya ke ruangan Durand. Mereka harus melewati lorong interior yang mewah dengan gaya klasik. Langit-langit tinggi berwarna putih mewah dihiasi ukiran stucco emas yang mahal. Di ujung sana, pintu ganda berwarna coklat tua dan dihiasi ukiran rumit berwarna emas. Semakin mereka dekat dengan pintu itu, ritme jantung Sora semakin kencang. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan dan baya
Hari demi hari berlalu, kini sudah satu bulan Sora tinggal satu atap bersama Durand. Beberapa kali ia mendapati wanita datang ke rumah. Namun, ia tak ingin tahu mengenai urusan Durand lebih dalam. Sora hanya ingin hidup tenang selama di sana. Meski beberapa kali telinganya mendengar suara-suara yang menarik perhatiannya. Namun, pikirannya terus bertanya, di manakah Viktor selama ini? Mengapa di mansion mewah ini tak terlihat keberadaannya?Hari ini, tepat pukul 14.00 waktu setempat, Sora sudah tiba di mansion. Jam pulang lebih awal dari biasanya. Begitu memasuki ruang tamu luas itu, langkahnya terhenti begitu salah satu pelayan menghampirinya. “Tolong berikan ini pada Tuan Durand. Aku sudah tidak tahan ingin ke belakang.” Pelayan itu memberikan dokumen tersebut pada Sora secara paksa. Posisi Sora tidak siap, hingga hampir membuat dokumen itu terjatuh dari tangannya. “Eehh … tung … gu.”Pelayan itu sudah menjauh, sebelum Sora berkata lebih lanjut. Sora menghela napasnya panjang,
“Aku tidak suka mengulangi perintahku!” lanjut Durand dengan nada penuh ancaman. “Jangan paksa aku mendobraknya, Sora!” Dengan tangan gemetar Sora membuka pintu. Membuka pintu ataupun tidak, hukuman akan tetap diterima. Belum sepenuhnya pintu terbuka, Durand mendorong Sora masuk dan menutup kembali pintu kamar tersebut dengan sedikit keras. Pria itu mencengkram pundak Sora, lalu mendorongnya ke dinding. “Kau sudah melanggar aturan malam ini.” Jari-jari besarnya menekan pundak wanita itu hingga membuatnya meringis kesakitan. “Sudah kukatakan, kau tidak ada hak melakukan sesuatu sesuka hati di sini!”Sora menggeleng, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawabnya. “Saya mendengar suara–”“Tutup mulutmu!” potong Durand, sebelum Sora menyelesaikan ucapannya. “Aku tidak memintamu berbicara, dan aku tidak butuh alasanmu!”Sora yang dikuasai ketakutan kini hanya menundukkan pandangannya. Pria di hadapannya benar-benar kasar, bahkan pada seorang wanita lemah sepertinya.“Dengar baik-baik.
Sora mematung.Dengan langkah lebarnya Durand mendekat.Sora masih menunduk, fokusnya pada kaki pria itu. “Apa itu?” Matanya tertuju ada gelas di tangan Sora.Sora diam. Akan tetapi, hatinya berteriak panik. Durand semakin mendekat, tatapannya penuh intimidasi membuat gelas yang ada di tangan Sora bergetar. “Aku bertanya, apa yang ada di tanganmu?” Sora berpikir, haruskah ia menjawabnya?Melanggar aturan adalah kesalahan, tetapi mengabaikan pertanyaan Durand itu jauh lebih buruk. Dengan suara pelan dan nyaris berbisik, ia menjawab, “Air, Tuan.”Seketika, udara di sekeliling semakin mencekam. Suasana hening itu membuat tawa mematikan Durand terdengar jelas. “Air?” Durand mengulang. Ia kini berdiri tepat di depan Sora. “Aku tidak menyuruhmu berbicara!”Keberanian Sora semakin menciut. Ia memberanikan diri menatap Durand, lalu tak lama pandangan itu kembali turun. Ia takut, sekaligus bingung. “Tapi … Anda bertanya, Tuan. Saya hanya mengikuti peraturan yang Anda buat.”Sora tahu, i







