Jerat Obsesi Tuan Mafia

Jerat Obsesi Tuan Mafia

last updateLast Updated : 2025-12-23
By:  MurufuUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
4views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

"Nyawamu adalah milikku sampai utang itu lunas. Termasuk hatimu." Alya Kirana, seorang perawat UGD yang jujur, tidak pernah menyangka bahwa aksi heroiknya menyelamatkan pria asing yang tertembak di sebuah gang gelap akan menghancurkan hidupnya. Pria itu adalah Luciano, pemimpin klan mafia paling ditakuti yang memiliki tangan sedingin es dan tatapan mematikan. Masalah menjadi pelik saat adik laki-laki Alya kabur membawa lari uang operasional Luciano sebesar sepuluh miliar rupiah. Sebagai jaminan, Alya diseret ke dalam sangkar emas milik sang Tuan Mafia. Ia dipaksa menandatangani kontrak "setan" sebagai asisten medis pribadi sekaligus sandera yang tidak boleh pergi satu inci pun dari jangkauan Luciano. Luciano yang terobsesi, kasar, dan tidak mengenal ampun, mulai menjerat hidup Alya dalam aturan-aturan yang menyesakkan. Namun, di balik dinding mansion yang dingin, rahasia gelap masa lalu Luciano perlahan terkuak, dan Alya menemukan dirinya terjebak dalam perang emosi antara benci dan hasrat yang tak terelakkan. Sanggupkah Alya bertahan dalam jeratan obsesi pria yang seharusnya ia hindari? Atau justru ia akan tenggelam selamanya dalam genggaman sang Tuan Mafia? "Jangan jatuh cinta padaku, Alya. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan ragu untuk menghancurkanmu sekalian."

View More

Chapter 1

Bab 1: Malam Jahanam

Hujan malam itu turun seperti ribuan jarum es yang menghujam bumi, menenggelamkan Jakarta dalam genangan air kotor dan bau amis selokan.

Alya Kirana mempererat jaket tipisnya yang sudah basah kuyup. Jam tangan di pergelangan tangannya menunjukkan pukul dua pagi. Shift malam di UGD RS Medika kali ini benar-benar neraka; tiga korban tawuran, satu serangan jantung, dan puluhan pasien demam tinggi. Tulang-tulang Alya rasanya mau rontok.

Yang ia inginkan hanyalah kasur busa di kontrakannya dan tidur sampai mati rasa.

Namun, saat kakinya melangkah melewati gang sempit di belakang rumah sakit—jalan pintas yang biasa ia lewati—langkahnya terhenti mendadak.

Di antara tumpukan kardus basah dan tempat sampah yang meluap, sesosok tubuh pria tergeletak.

Darah.

Bahkan di bawah penerangan lampu jalan yang remang-remang dan guyuran hujan, Alya bisa melihat cairan merah pekat itu mengalir deras, bercampur dengan air hujan yang mengalir ke selokan.

Insting perawat Alya menjerit. Rasa lelahnya lenyap seketika, digantikan oleh adrenalin.

"Tuan?" panggilnya, suaranya bergetar kalah oleh suara guntur.

Tidak ada jawaban. Pria itu diam mematung. Kemeja putih mahalnya sudah berubah warna menjadi merah di bagian perut kiri.

Alya berlutut di sampingnya, mengabaikan celana kerjanya yang kotor terkena lumpur. Ia baru saja akan memeriksa denyut nadi di leher pria itu ketika—

Cengkeraman itu datang secepat kilat.

Sebuah tangan besar, dingin, dan basah mencengkeram leher Alya dengan kekuatan mematikan. Alya terkesiap, matanya terbelalak ngeri.

Pria itu membuka mata.

Dan demi Tuhan, Alya belum pernah melihat mata semengerikan itu seumur hidupnya. Mata itu sekelam malam tanpa bintang, tajam seperti mata elang yang sedang mencabik mangsa. Tidak ada rasa sakit di sana, hanya ada kekejaman murni dan kewaspadaan seekor binatang buas.

"Satu suara keluar dari mulutmu..." suara pria itu terdengar rendah, serak, dan berbahaya, "...aku patahkan lehermu."

Alya mengangguk kaku, air mata ketakutan mulai menggenang di pelupuk matanya. Cengkeraman di lehernya melonggar sedikit, tapi pria itu tidak melepaskannya. Tangan satunya bergerak ke balik jas, dan detik berikutnya, laras dingin sebuah pistol Beretta menempel tepat di pelipis Alya.

"Kau... perawat?" Pria itu melirik name tag Alya dengan pandangan kabur namun tetap mengintimidasi.

"Y-ya..." cicit Alya. "Tuan, Anda kehilangan banyak darah. Luka tembak itu... harus segera ditangani atau Anda akan syok."

Pria itu menyeringai. Seringai tipis yang bukannya membuat lega, malah membuat bulu kuduk Alya meremang. "Rumah sakit tidak aman. Musuhku ada di mana-mana."

Pria itu menekan laras pistolnya lebih keras ke kepala Alya. "Kau yang kerjakan. Di sini. Sekarang."

"Apa?! Itu gila! Ini tempat kotor, banyak bakteri, saya tidak punya alat—"

"Di tasmu," potong pria itu dingin. Matanya menunjuk tas selempang Alya dengan dagunya. "Aku tahu perawat sepertimu sering membawa pulang peralatan sisa. Scalpel, pinset... gunakan apa saja."

"Tapi tanpa bius—"

"Lakukan!" bentaknya tertahan. "Atau peluru ini yang akan masuk ke otakmu."

Alya tidak punya pilihan. Di bawah ancaman kematian dan guyuran hujan badai, ia melakukan operasi paling mengerikan dalam hidupnya.

Dengan tangan gemetar hebat, Alya mengeluarkan peralatan medis seadanya dari tasnya. Ia menyobek kemeja pria itu, mengekspos dada bidang yang penuh otot dan luka menganga yang mengerikan.

Alya bekerja seperti robot. Mengorek daging, mencari proyektil peluru, sementara darah pria itu menodai seragam putihnya.

Pria itu—sang iblis—sama sekali tidak berteriak. Dia hanya menggigit bibir bawahnya hingga berdarah dan mencengkeram lengan Alya begitu kuat hingga kuku-kukunya menancap ke kulit. Dia menatap wajah Alya lekat-lekat sepanjang proses itu, seolah sedang merekam setiap inci wajah wanita yang berani menyentuh tubuhnya. Tatapan itu bukan tatapan terima kasih. Itu tatapan obsesi.

Cling.

Suara logam peluru jatuh ke aspal basah menjadi suara terindah yang pernah Alya dengar.

"Sudah..." Alya terduduk lemas, napasnya memburu. "Sudah keluar."

Pria itu mengatur napasnya yang berat. Perlahan, dia menurunkan pistolnya. Tapi matanya tidak lepas dari wajah Alya.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Alya," jawabnya lirih, tidak berani menatap mata kelam itu.

Tiba-tiba, sorot lampu mobil menembus kegelapan gang. Sebuah sedan hitam mewah berhenti mendadak. Pria-pria berjas hitam dengan payung besar berhamburan keluar, wajah mereka panik. "Tuan Luciano! Kami menemukan Anda!"

Pria bernama Luciano itu dibantu berdiri oleh anak buahnya. Sebelum masuk ke mobil yang hangat dan aman, dia menoleh sekali lagi ke arah Alya yang masih terduduk di aspal dingin seperti sampah yang dibuang.

"Alya," gumamnya, seolah mengecap nama itu di lidahnya. "Kau punya tangan yang stabil dan nyali yang besar. Sayang sekali kita bertemu dalam keadaan seperti ini."

Mobil itu melesat pergi, meninggalkan Alya sendirian yang menggigil hebat.

Alya memeluk dirinya sendiri. Aku selamat, batinnya histeris. Aku masih hidup.

Dia berlari pulang sekuat tenaga, ingin segera mencuci darah pria asing itu dari tangannya dan melupakan malam jahanam ini selamanya.

Tapi takdir berkata lain.

Sesampainya di rumah kontrakan kecilnya, pintu depan sudah terbuka lebar.

Jantung Alya mencelos. "Rian?" panggilnya panik, mengira adiknya pulang mabuk lagi.

Namun saat ia melangkah masuk ke ruang tamu, dunianya runtuh.

Ruangan itu penuh sesak oleh pria-pria berjas hitam—orang-orang yang sama dengan yang ia lihat di gang tadi. Dan di sana, duduk di kursi kayu butut milik almarhum ayahnya, adalah pria itu.

Luciano.

Dia sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam bersih, lukanya sudah diperban rapi. Dia duduk dengan kaki menyilang, menyesap teh hangat milik Alya dengan santai, seolah dia adalah pemilik rumah.

Dia menatap Alya yang mematung di ambang pintu. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring yang mematikan.

"Selamat pagi, Suster Alya," sapanya lembut. Suaranya halus seperti beludru, tapi matanya tajam seperti pisau.

Dia meletakkan cangkir teh itu perlahan, lalu berdiri menjulang mendekati Alya. Alya mundur hingga punggungnya menabrak tembok. Luciano mengurungnya dengan kedua tangan, menunduk hingga hidung mereka hampir bersentuhan.

"Adikmu, Rian, baru saja kabur membawa uangku senilai sepuluh miliar rupiah," bisiknya, napas hangatnya menyapu wajah Alya yang pucat. "Dia menghilang. Dan kau tahu aturannya, kan?"

Jari Luciano menyusuri rahang Alya, turun ke leher, tepat di bekas cengkeramannya tadi.

"Keluarga adalah penjamin utang. Mulai detik ini, hidupmu, tubuhmu, dan napasmu... adalah milikku."

Mata Alya memanas. "Kau... kau gila."

"Tidak, Sayang," Luciano tersenyum gelap. "Aku hanya pebisnis yang sedang menagih hakku. Selamat datang di neraka pribadiku."

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status