Share

Bentar Bang, Haus

Marvel berjalan masuk menuju ruang kepala kampus yang di sana sudah menunggu lelaki paruh baya yang tengah duduk seraya tersenyum padanya.

"Selamat datang, Pak," sapanya seraya menjabat tangan Marvel.

"Baik, Pak. Saya ada perlu dengan Anda," ujar Marvel.

"Silahkan duduk, Pak."

Marvel menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi merah tersebut lalu pria itu memperbaiki posisi kacamata yang bertengger di hidungnya.

"Saya gak bisa basa-basi, Pak. Tujuan saya kemari untuk mengurus pembayaran siswi kelas xxx atas nama Grace Mirza Rania," kata Marvel.

"Oh, iya. Sebentar, saya ambilkan dulu bukunya."

Sapron sang kepala kampus Grace beranjak dari kursi kebesaran menuju rak buku. Di sana sudah tertulis nama mahasiswa kelas xxx, mahasiswa skor, mahasiswa keluar, mahasiswa pindah kampus dan lainnya.

Sang bendahara yang ada di sana membuka almari kaca itu lalu mengecek satu per satu nama buku yang tertera di sana. Nama jurusan dan tahun ajaran mahasiswa yang melanjutkan pendidikan tinggi di sini.

Sapron kembali menduduki kursinya seraya membawa map tebal di tangannya. Ia mencari nama Grace lalu memperlihatkan pada Marvel.

Marvel segera mengambil map tersebut, melihat biodata Grace. Di sana terpampang foto Grace dengan pakaian seragamnya dari kepala hingga batas dada. Grace yang tersenyum tanpa kemperlihatkan giginya. Matanya yang bersinar, wajahnya yang cantik dan di sana rambutnya ia gerai.

Ia juga membaca nama orang tua Grace dan ayah Grace berstatus meninggal dunia. Ia juga melihat nomor ponsel Grace di sana.

"Pak, tunggakan Grace ada di sebalik halamnannya."

Marvel membuka lembaran sebaliknya. Di sana tertera pembayaran sekolah atas nama Grace. Mulai dari SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) yang tunggak 7 bulan.

"Jadi, berapa semuanya, Pak?" tanya Marvel menatap Sapron.

"SPP itu ada 5 juta," ujar Sapron menjelaskan.

Marvel mengambil dompetnya yang berada di balik jasnya. Ia memberikan kartu black card pada Sapron.

"Saya akan bayar semuanya termasuk tahun depan juga."

Marvel meletakkan black card miliknya lalu Sapron mengambil mesin gesek khusus kartu debit. Terlebih dahulu Sapron mengalikan total biaya yang akan dibayar Marvel lalu menggesekkan kartu tersebut.

"Pinnya, Pak." Sapron memberikan mesin tersebut lalu Marvel mengetik pin kartu tersebut dan Sapron mengembalikan black card milik Marvel.

"Terima kasih banyak, Pak atas bantuan Anda."

"Ya, sama-sama Pak. Kalau boleh tahu kelas Grace di sebelah mana?" tanya Marvel setelah ia menyimpan kembali kartu tersebut ke dalam dompetnya.

"Ada di belakang gedung ini, Pak. Grace ada di kelas xxx. Ngomong-ngomong, Bapak siapanya Grace?" tanya Sapron penasaran.

Ya, Sapron penasaran dengan Marvel yang datang padanya. Dia terlihat seperti orang kaya raya dan juga tampan. Sapron menduga bahwa Marvel ada kekasih dari Grace. Tetapi, Sapron kembali menduga bahwa itu tak mungkin karena Grace adalah orang yang biasa. Dia bukanlah keturunan konglomerat.

Sementara Marvel terdiam dengan pertanyaan Sapron. Jantungnya berdetak dan ia gugup harus mengatakan statusnya apa dengan Grace pada Sapron.

"Saya pamannya."

Setelah mengatakan itu, Marvel beranjak dati kursinya lalu berjalan krluar dari ruangan tersebut. Tanpa mengatakan hal lain, Marvel segera berjalan ke belakang gedung yang menjulang tinggi.

Di sanalah ia melihat kelas sebelas jurusan SI yang berjumlah sepuluh kelas. terletak di bagian atas sementara kelas bawah adalah kelas SI.

Sekolah yang bercat abu-abu dan voklat itu, sangat mewah dan sekolah bergengsi yang dimasuki Grace. Kenapa Grace memilih sekolah yang mahal? Pikir Marvel.

Ia segera menaiki anak tangga lalu mencari kelas Grace.

Dia tak bisa melihat ke dalam karena jendela kaca itu lebih tinggi darinya dan kelas ini juga dilengkapi pendingin ruangan di dalamnya. Pantas saja mahal.

Marvel terlebih dahulu mengecek lenampilannya. Mulai dari rambut, jas dan ia menyemprot sedikit parfum di jasnya.

Lalu berdehem sesaat menormalkan jantungnya yang berperang di sana dan mengembuskan napasnya perlahan.

Marvel melangkahkan kakinya 3 langkah di depan pintu kelas Grace lalu mengangkat tangannya.

Tok ... tok ... tok ...

Marvel mengetuk pintu kelas tersebut sedikit keras. Lalu ia berbalik membelakangi pintu tersebut.

Ceklek.

"Anda mencari siapa, Pak?"

Terdengar suara wanita setelah suara pintu itu terbuka. Marvel membalikkan tubuhnya menghadap kembali ke belakang. Betapa terpanahnya guru wanita tersebut melihat Marvel.

Tubuhnya yang tinggi dan kekar membungkus di balik jasnya itu, wajahnya yang tampan dengan tatapannya yang dingin di tambah lagi dengan aroma parfum milik Marvel.

"Maaf, Bu. Saya mau cari Grace. Bisa panggilkan dia untuk saya?" tanya Marvel dengan wajahnya yang datar. Wanita tersebut menganggukkan kepalanya lalu ia memanggil Grace.

"Grace, ada yang mencarimu."

Lalu wanita tersebut berjalan menuju mejanya kembali. Marvel melangkah memasuki kelas Grace yang berjalan mrnghampirinya.

Grace yang biasa saja mengira jika ibunya datang ke sekolah. Langkahnya terhrnti ketika melihat sepatu pantofel hitam mengkilat milik Marvel karena Grace menatap ke arah bawah lalu matanya bergerak ke atas.

Benar itu Marvel.

Di dalam kelas, semuanya terdiam melihat pria tampan yang tengah memanggil Grace. Siapa dia? Pikir teman-teman Grace.

Marvel menarik tangan Grace keluar dari kelasnya. Lalu Grace menahan langkahnya hingga langkah keduanya terhenti. Marvel membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Grace.

"Mau ngapain lagi sih, Om?" tanya Grace dengan wajahnya yang gusar.

"Saya cuman mau ketemu kamu aja. Ah, maaf. Ada yang ingin saya sampaikan sama kamu."

Grace mengangkat wajahnya menatap Marvel sambil mengerutkan keningnya.

"Apa?" tanya Grace penasaran.

"Saya udah bayar tunggakan kamu di sekolah ini."

Pupil mata Grace membesar.

"Kenapa di bayar, sih? Aku ada uang kok."

Marvel menggelengkan kepalanya.

"Nanti, kamu saya jemput. Saya mau bawa kamu ke kantor saya. Kamu pulang jam berapa nanti?"

Marvel mengangkat tangan kirinya, melihat arloji berwarna perak yang melingkar manis di sana.

"Mau ngapain? Gak usah. Banyak tugas sekolah." Grace menolak.

"Ikuti saja. Apa susahnya, sih? Saya jemput kamu."

"Jam 1 siang."

Marvel menganggukan kepalanya mengerti. Lalu Marvel melangkah lebih dekat ke Grace. Dia menangkupkan wajah Grace dengan kedua tangannya.

Marvel mengecup lama kening Grace lalu ia berpamitan tanpa menunggu gadis itu membalas.

Grace mematung melihat Marvel yang berjalan meninggalkannya. Punggung lebar itu menghilang dari pandangannya saat Marvel menuruni anak tangga.

***

Marvel keluar dari pekarangan sekolah menuju mobilnya. Perlahan senyumannya terukir di sana. Marvel sangat merindukan gadis polos itu.

Dia menjalankan mobilnya melesat menuju kantornya. Sesampai di kantor, Marvel masuk ke dalam lobi kantor menuju lift. Di perjalanannya, banyak karyawan dan staff yang terheran-heran dengan kehadiran Marvel. Sekarang sudah pukul 8.30 WIB. Tak biasanya boss mereka yang tampan dan sangar itu datang ke kantor kesiangan.

Ya, memang Marvel yang memegang kendali. Tapi, biasanya Marvel selalu disiplin dan paling terlambat pada jam 7.12 WIB.

Sungguh mengherankan.

"Tumben ya, Pak Marvel datang telat gini."

"Iya, gak kayak biasanya."

"Mm, Pak Marvel datang ke kantor wajahnya udah berseri aja. Apa kalian gak liat tadi dia senyum? Tapi, dia senyum kecil, sih."

"Wah, mungkin Pak Marvel sedang kasmaran kali."

"Wah, siapa sih wanita yang berhasil membidik hatinya? Eh, Pak Marvel 'kan udah punya bini. Dia gak ada tuh posting foto kemesraan mereka di akun Instagramnya."

"Mungkin Pak Marvel gak mau publish aja. Secara 'kan bininya cantik banget. Tapi, emang bininya gak pernah ke kantor setelah 1 tahun 9 bulan mereka nikah."

Mereka berkumpul di area lobi kantor saat Marvel memasuki lift. Membicarakan Marvel dan istrinya. Marvel sudah menikah, tetapi dia tak pernah mengubar istrinya itu hingga ia tak pernah membawa ke kantor. Ada apa gerangan?

***

Grace berjalan masuk ke dalam kelasnya dengan wajah tegang. Tegang dan grogi karena Marvel lagi dan lagi memberikan hadiah kecupan. Perlakuannya sungguh manis.

Dia tak menyangka akan mendapatkan seorang pria yang tampan, gagah, dan kaya raya itu. Bahkan ia sempat menduga akan meninggalkan clubbing itu. Untuk pertama dan terakhir kalinya jika ia telah mendapatkan uang.

Tetapi, ia bertemu dengan Marvel. Memberikannya ponsel yang sangat mahal, dan juga membayar uang tunggakannya di sekolah.

"Aku gak boleh jatuh cinta. Aku gak tahu latar belakangnya kayak apa."

Grace menduduki kursinya lalu satu per satu teman-temannya menanyakan mengenai Marvel.

"Ce, lo dapat cowok itu dari mane?"

"Ih, lo kok bisa deket sama dia, sih?"

"Sumpah, gue iri sama Grace."

"Grace, bagi tahu dong resepnya apaan. Kok lo bisa dapat laki-laki yang tajir?"

Grace hanya diam, tak menghiraukan pertanyaan temannya. Walaupun mereka tak mendekati Grace. Tapi, nanti setelah jam istirahat. Ia harus menjawab apa? Tak mungkin Grace berkata jujur pada temannya.

***

Sesampainya Marvel ke dalam ruangannya. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kebesaran seraya tersenyum berpangku dagu.

Marvel menyentuh bibirnya. Ia teringat akan kelakuannya yang mengecup kening Grace di sekolahannya tadi. Sunggu manis dan imut sekali Grace di mata Marvel.

Ia tak sabar ingin membawa Grace ke kantornya. Ada rasa tersendiri saat Marvel berada di dekat Grace. Sangat nyaman dan ia sangat mengagumi Grace.

Marvel menghidupkan komputernya setelah ia membayangkan raut wajah Grace yang terkejut dan kikuk. Sangat mengemaskan sekali.

Tok ... tok ... tok ....

Marvel melirik ke arah pintu kantornya.

"Masuk," ujar Marvel.

Ceklek!

Pintu ruangannya terbuka. Menampilkan penampakan pria berkulit kuning langsat, menggunakan setelan jas biru senada dengan celananya dengan kemeja biru muda bergaris putih.

"Ada apa Gerland?"

"1 jam lagi kita akan ada rapat, Bos."

"Mm, kamu boleh keluar," usir Marvel.

Manager Gerland menganggukkan kepalanya. Bossnya tak bisa diganggung dan ia menutup pintu ruangan Marvel dengan rapat.

Sementara Marvel menyandarkan punggungnya lalu memutar kursi ke belakang, menghadap ke arah jendela kaca.

Tok ... tok ... tok ...

Lagi-lagi pintu ruangannya kembali diketuk oleh seseorang.

"Masuk," ujar Marvel tanpa mengalihkan atensinya menatap gedung-gedung di balik jendela kantornya.

"Bang."

Marvel membalikkan kursinya. Ia menatap seorang pria yang lebih pendek darinya, memakai baju kaos oblong dengan celana jeans. Tak lupa ia membawa ras ranselnya.

"Ada apa, Gio?"

Gio adalah adik laki-laki Marvel. Sebenarnya dia adalah anak ketiga. Tetapi, Mama Marvel keguguran di saat usia kandungannya menginjam 9 bulan 2 hari. Dan kembali mengandung janin dan lahirlah Gio.

Mereka tampan. Diturunkan oleh ayahnya yang tampan dan mereka juga mendapatkan kulit sang ibunya yang putih pucat keturunan Sydney, Austalia.

Gio tersenyum melihat sang kakaknya yang berada di kantor. Ia meletakkan tas ranselnya lalu mengambil minuman di kulkas mini yang berada di sudut ruangan elegan milik Marvel.

"Mau apa?" tanya Marvel lagi.

"Bentar, Bang. Haus."

Gio membuka minuman kaleng berlabel Cola itu dan mengeguknya. Terlihat keringatnya keluar dari pelipis dan turun ke lehernya. Sedang apa anak itu? Pikir Marvel.

"Bang, gue dikejar-kejar sama perempuan. Perempuan yang gue putusin. Huh, untung aja jantung nih gak copot dan gue masih beuntung masih bisa bernapas dengan lega dan ketemu lo, Bang."

Marvel memutar bola matanya malas. Adiknya sangat playboy. Tetapi, banyak yang naksir padanya. Karyawan perempuannya. Mereka tak berani mengatakan langsung pada Marvel, Gerlandlah yang membongkarnya.

Marvek hanya diam, mereka mungkin tak tahu watak Gio yang terkenal dengan playboy cap kadal itu. Jika pun mereka tahu, mereka akan rela melakukan hubungan main-main dengannya. Dan kembali dicampakkan Gio ketika dia bosan.

Sementara Marvel? Ia lebih memilih mengembangkan usahanya dalam berbisnis. Uang, uang dan uang. Semuanya akan terpenuhi dengan uang apalagi perempuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status