Share

Obsesi Liar Kakak Iparku
Obsesi Liar Kakak Iparku
Author: Love Star

Bab.1 Hati Hancur

Author: Love Star
last update Last Updated: 2025-07-23 10:40:28

“Ahh!”

“Jangan... berhenti!”

“Ah...!”

Malam itu—Hotel Mawar, kamar 240 yang berada di lantai dua. Terus terdengar desahan seorang wanita yang berada dalam kungkungan seorang pria.

Tubuh mereka saling menyatu satu sama lain, mengobati hasrat mereka yang seminggu ini tak dilakukan.

“Sayang, kamu benar-benar nikmat,” bisik sang pria di telinga wanita itu.

Derit ranjang terdengar, karena goyang akibat dua pasangan itu. Sesekali ciuman mereka tautkan, membuat mereka semakin panas dan bergairah.

Namun tanpa mereka sadari sudah ada dua sosok wanita dan pria yang melihat adegan mereka yang bergairah itu. Lampu kamar remang-remang, membuat dua pasangan yang tengah memadu kasih di atas ranjang tak menyadari ada orang lain yang tengah menonton mereka.

Jadi ini, yang dibilang lembur? Batin wanita yang berdiri di ambang pintu.

Kakinya gemetar hebat saat mendengar deritan ranjang dan desahan wanita yang berada dalam kungkungan pria yang sebenarnya adalah suaminya sendiri.

Kamu tega, Mas. Salah apa aku ini? Aku gak pernah hianatin kamu! Tapi kamu malah hianatin aku!! Batinnya lagi.

Kini ia benar-benar lemas lalu berbalik keluar dari sana, kakinya sangat berat untuk dibawa melangkah. Sedangkan pria yang tadi berdiri bersamanya ikut mengekori dari belakang dengan wajah rasa iba dan kasihan.

“Maafin aku, Mbak. Aku bongkar ini semua buat kamu agar kamu gak di bohongi oleh Mas Raka terus.” Gumam pria itu mendekat, gumamnya hanya dia yang dengar. Lalu ia merangkul Aria yang sudah tak stabil lagi langkahnya.

“Mba, maafin Awan ya?” ucap pria itu pelan.

Aria menggeleng pelan, “Gak, ini bukan salah kamu. Justru aku mau berterima kasih atas kejujuran kamu.” Ujar Aria terdengar pilu.

“Selama ini... semua teman-temannya menyembunyikan perselingkuhan mereka pastinya. Tapi... untungnya... kamu... beda!” ungkap Aria. Memang dari tiga bulan yang lalu, ia sudah merasakan jika gelagat suaminya aneh. Apa lagi masa iya dia lembur sampai jam 11 malam, padahal lembur kerja di pabrik hanya sampai jam lima sore.

Keduanya berjalan di sepanjang koridor menuju lift.

Awan sesekali melirik Aria yang diam—berjalan sambil menunduk tanpa ada kata-kata dari mulut wanita yang tengah ia papah itu.

Malam semakin larut. Aria duduk di teras depan rumahnya. Menunggu sang suami yang belum pulang.

Tatapan Aria kosong, menatap ke bunga mawar yang sudah layu. Bunga itu ia peting tadi sore karena ingin menunjukkan pada suaminya, jika bunga mawar yang ia tanam sudah berbunga lebat.

Tapi... Bunga di tangannya itu hanya menjadi saksi bisu tangisan yang ia pendam sedari tadi.

“Kenapa kamu tega Mas? Salah aku apa?” tanya Aria pada kesunyian malam itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 lebih 26 menit, namun Raka masih saja belum pulang.

Aria melirik ke arah tangkai bunga mawar yang masih banyak duri itu. Tatapannya dingin—menyimpan rasa kecewa, sakit hati, sedih dan dendam mulai muncul.

“Aku... Sudah pernah bilang ke kamu Mas. Jika kamu selingkuh, maka aku tak akan segan-segan meninggalkanmu!” katanya dengan nada tertahan, “Kalo gini caranya... Jangan salahkan aku jika aku berubah juga mas!!” lanjut Aria.

Perlahan ia mengarahkan tangkai bunga mawar itu pada tangan kirinya. Dari situ, terlihat Aria menyayat-nyayat tangannya menggunakan duri dari tangkai bunga mawar.

Senyum smirk muncul di sudut bibirnya, tatapannya tajam seakan bukan dirinya yang lugu, polos dan ceria—melainkan jiwa yang lama hilang, kini muncul kembali.

Setelah puas dengan menyayat tangannya sendiri, Aria mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Awan.

Ia menekan tombol panggilan—Tuuuut!!

“Halo, Mbak Aria?” ujar Awan dari seberang telpon.

“Wan, besok sibuk gak?” tanya Aria lirih. Ia sudah tak enak hati jika harus meminta bantuan Awan, tapi hanya ada Awan saja dalam pihaknya.

Hening cukup lama sampai—Awan menjawab.

“Gak sibuk kok, Mbak. Cuman seperti biasa, setiap pagi berangkat kerja bareng suami Mbak Aria dan... Pulang seperti biasa.”

“Emang kenapa, Mbak?” tanya Awan balik.

“Ga-gapapa. Cu-cuman tanya ajah. Kalo gitu... Mbak matiin telfonnya ya?” ujar Aria gugup.

“Tunggu, Mbak!!” seru Awan sedikit panik, “Besok... Aku libur kok. Aku lupa, kalo besok bukan jadwal aku.” Lanjutnya dengan nada setengah panik.

Aria awalnya bingung, “Gitu ya? Kalo gak ngerepotin... Mbak minta antar kamu.”

“Siap, Mbak. Besok pagi aku ke sana.” Seru Awan sedikit senang.

Aria lalu mematikan telfon, ia heran dengan Awan. Dulu pemuda itu sangat kaku padanya, tapi kali ini? Entahlah, Aria pun tidak tahu. Tapi yang jelas... Besok ia akan menyelidiki siapa wanita yang berani-beraninya merebut miliknya.

Saat lamunan itu... Sebuah mobil Lamborghini warna kuning perlahan masuk ke halaman rumah. Aria mengamati mobil itu dan saat mobil itu berhenti di depan rumah—keluar seorang pria tampan dan gagah memakai kacamata hitam, kemeja hitam yang dilipat bagian lengannya hingga siku, dan setelan celana hitam.

Dan saat itu juga Aria kaget karena Samudra—Kakak dari Suaminya yang sudah 10 tahun tak pulang katanya, kini berada di hadapannya.

“Kenapa kamu diluar jam segini?” tanya Samudra dingin, tajam, dan menusuk. Membuat Aria mundur melangkah.

Bukannya menjawab Aria berbalik dan buru-buru masuk. Bukan karena takut, namun ia memanggil Ibu dan Ayah mertuanya.

Tiga jam kemudian—ruang tamu.

Mereka semua kumpul walau jam sudah menunjukan pukul 2 dini hari lebih beberapa menit. Termasuk Aria duduk di kursi kayu—seberang Samudra, Kakak Iparnya.

Aria hanya menunduk karena selama menikah dengan Raka, ia tak pernah melihat atau bertemu dengan Samudra. Ia hanya tau lewat foto yang di pajang di ruang keluarga.

Saat menunduk itu, pikiran Aria masih tetap pada suaminya yang masih belum pulang. Hatinya semakin panas.

Mau main kotor kah? Tanya Aria dalam hati. Kedua tangannya mencengkram ujung baju dengan kuat, hingga kuku-kukunya menjadi putih.

Namun itu tak luput dari tatapan Samudra dingin—tetapi tajam, menusuk.

“Ma, Dia… istri Raka?” tanyanya masih menatap Aria.

Aria yang mendengar itu hanya semakin menunduk.

“Iya, tapi jangan di pikirkan. Dia hanya menantu! Orang luar!” celetuk Bu Saima—Mertua Aria, ibu Raka.

Seketika hati Aria menjadi hancur berkeping-keping. Sudah dikhianati, dicemo’oh, kini hanya dianggap orang luar. Hatinya benar-benar hancur. Rasanya ingin lari dan memeluk Ayah dan Ibunya saja.

Sehina itukah aku, di mata kalian? Batin Aria tersenyum getir.

“Memang iya sih, Ma. Orang luar tetap orang luar!!” sinis Samudra menatap dingin ke arah Aria.

Perlahan Aria mendongak dan menatap ke arah Samudra, namun ia kembali menunduk.

Tunggu pembalasanku!! Batin Aria dengan mantap. Kini ia tak akan mengalah lagi, ia akan membalas semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Liar Kakak Iparku   Bab. 16 Sejak Awal

    Siang itu, setelah makan bersama dan membereskan dapur, suasana rumah mulai kembali normal. Ibu Saima dan Pak Narto tengah duduk di meja makan, sibuk membicarakan rencana acara keluarga dua hari lagi. Aria sedang menata gelas di rak ketika Raka muncul dari kamar dengan pakaian rapi—kaos polos biru tua dan celana jeans."Aria," panggilnya sambil meraih kunci motor di meja. "Aku mau ketemu Dodi, teman kerja. Ada urusan sedikit."Aria menoleh, menatap wajah suaminya yang tenang-tenang saja. Senyum tipis ia pasang, meskipun di dalam hati, ia sudah tahu persis bahwa ‘Dodi’ hanyalah kedok. Bukan Dodi yang akan ditemui Raka, tapi perempuan itu—selingkuhannya—di sebuah hotel yang pasti sudah mereka sepakati.Ia tidak ingin membuang energi untuk bertanya atau memprotes. Aria hanya menjawab pelan, "Oh, hati-hati di jalan."Raka mengangguk singkat, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Suara motor menjauh, meninggalkan kesunyian yang terasa menyisakan perasaan sesa

  • Obsesi Liar Kakak Iparku   Bab. 15 Godaan Dipagi Hari

    Pagi itu, rumah sudah kembali pada rutinitasnya. Aria sudah berada di dapur sejak pukul empat subuh, mengerjakan tugasnya seperti biasa. Ia mencoba untuk bersikap senormal mungkin, tetapi ada luka yang perih di dalam hatinya dan rasa nyeri yang nyata di bagian bawah perutnya. Setiap gerakan terasa kaku, pengingat dari kejadian semalam yang tak ingin ia kenang. Pukul tujuh pagi, Ibu dan Ayah mertua sudah selesai sarapan. Mereka berdua berpamitan hendak pergi ke pasar. "Aria, kami berangkat dulu ya. Nanti makan siang jangan lupa dihangatkan," ujar Ibu sambil menepuk bahu Aria. Aria hanya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Hati-hati di jalan." Setelah pintu utama tertutup, suasana kembali hening. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring saat Aria menyelesaikan sarapannya sendiri. Pikirannya melayang pada Samudra. Pria itu, kakak iparnya, masih terlelap. Begitu pula dengan Raka. Untungnya Raka sudah terlelap setelah pukul 11 malam, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi sem

  • Obsesi Liar Kakak Iparku   Bab. 14 Dikamar Sebelah

    Raka masih duduk santai, menghisap rokoknya pelan, sesekali mengeluarkan asap sambil berceloteh soal kerjaan. Samudra mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Aria. Napasnya hangat, membuat bulu kuduk Aria meremang. Dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik, "Kamu tau nggak… bibir kamu kemarin itu masih kerasa manis sampai sekarang." Aria menahan napas, tangannya yang memijat bahu Raka sempat berhenti sepersekian detik. Untung Raka tidak sadar, malah sibuk memainkan ponselnya. Samudra menambahkan, kali ini suaranya makin rendah. "Kalau nggak ada dia di sini, udah dari tadi aku ambil lagi." Aria menggertakkan giginya, mencoba terlihat tenang. “Kamu… jangan gila,” desisnya pelan, sambil berpura-pura merapikan letak bantal di belakang Raka. Samudra tertawa kecil, senyum miringnya penuh tantangan. “Aku nggak gila… aku cuma ketagihan,” bisiknya lagi. Raka menoleh sebentar. “Ngomong apa kalian berdua?” tanyanya santai, matanya bergantian memandang Aria dan Samudra. Aria cep

  • Obsesi Liar Kakak Iparku   Bab. 13 Pengganti Rokok

    Beberapa hari kemudian, Nadine pulang lebih awal dari biasanya. Jam dinding di ruang tamu baru menunjukkan pukul delapan malam, tapi rumah terasa… sepi. Adrian sedang duduk di sofa, ponsel di tangannya, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Ngapain senyum-senyum sendiri?” Nadine langsung duduk di sampingnya, nada suaranya setengah bercanda, setengah curiga. Adrian kaget sedikit, lalu cepat-cepat mengunci layar ponsel. “Nggak, cuma baca chat grup kantor,” jawabnya datar. Nadine menatapnya lama. Selama ini, Adrian bukan tipe orang yang menutup-nutupi isi ponsel. Dan senyum itu… bukan senyum orang yang sedang bercanda dengan rekan kerja. Beberapa hari terakhir, Nadine memang merasa Adrian sedikit berubah. Tidak lagi menanyakan dia ada di mana kalau pulang larut, tidak lagi mengirim pesan “hati-hati di jalan” seperti dulu. Bahkan, tatapan Adrian terasa lebih dingin. “Anak-anak udah tidur?” Nadine mencoba membuka topik lain. “Udah,” jawab Adrian singkat. “Tadi Aria main ke sini sebentar,

  • Obsesi Liar Kakak Iparku   12. Manipulasi Pikiran

    Seminggu berlalu sejak malam itu. Aria berusaha tampil biasa saja di depan semua orang—senyum seperlunya, obrolan seadanya—namun diam-diam, kenangan akan hangatnya bibir Samudra terus menghantui pikirannya. Seakan setiap kali ia menyentuh gelas minum, ia kembali merasakan sentuhan itu.Samudra pun sama saja. Ada rindu yang menumpuk, ada keinginan yang mendesak untuk mengulang, tapi rumah terlalu ramai dengan saudara-saudara yang mondar-mandir. Kesempatan tidak pernah datang. Mereka hanya bisa saling curi pandang singkat, tanpa kata.Sore ini, Aria duduk di sebuah kafe yang cukup terkenal—Star Café. Aroma kopi bercampur wangi kue hangat memenuhi udara.Di hadapannya duduk Adrian, lelaki berwajah tegas namun terlihat letih, bersama dua bocah kembar berusia lima tahun, Alan dan Avan.Adrian adalah suami Nadine—wanita yang entah dengan keberanian macam apa mau menjadi selingkuhan Raka, suami Aria sendiri. Dan kedua bocah lucu itu adalah anak kandung Nadine.Aria tersenyum lembut, matanya

  • Obsesi Liar Kakak Iparku   Bab. 11 Mati Lampu

    Begitu Raka selesai makan, ia berdiri dari meja. “Aku duluan, ya. Ngantuk banget.” Tanpa menunggu jawaban, Raka berjalan menuju kamar dan menutup pintu. Suara langkahnya semakin menjauh… lalu hilang. Aria menelan ludah, tangannya sibuk membereskan piring sambil berusaha menghindari kontak mata dengan Samudra. Namun begitu ia mengangkat kepala, Samudra sudah bersandar santai di kursinya, menatapnya dengan ekspresi seperti kucing yang baru menemukan tikus kecil di pojok ruangan. “Nah… katanya kita bebas mau ngapain…” ucapnya pelan, senyumnya melebar. Aria mendengus. “Bebas itu buat aku nyapu atau masak, bukan buat ngeladenin Kakak aneh-aneh.” Samudra berdiri, melangkah pelan mendekat. “Sayang sekali, Darling… aku maunya bebasnya beda.” Aria mundur selangkah, tapi Samudra justru semakin dekat. “Kak, aku lagi banyak kerjaan…” elaknya sambil memegang tumpukan piring, berharap itu bisa jadi alasan. Tapi Samudra malah mengambil satu piring dari tangannya, meletakkannya di meja, lalu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status