Ultimatum.
Betapa Diraja membenci kata tersebut. Terlebih lagi sekarang.
Di hadapannya, ayah dan ibu duduk berseberangan setelah memberikan ultimatum keras kepada dirinya.
Posisi duduk mereka pun tersirat menunjukkan di mana posisi mereka dalam pengambilan keputusan absurd ini.
“Tapi Ayah! Aku menolak perjodohan ini! Ini skema pernikahan gila! Kita masih bisa selamatkan Sudibyo Corporation tanpa pernikahan bisnis ini!” tolak Diraja dengan tegas.
Rahangnya mengeras dan dia menggerutukkan gerahamnya penuh amarah.
“Bagaimana kamu mau tanggung jawab setelah ada insiden penembakan salah satu karyawan kita di Royal Ruby dengan keluarga Ong dari Singapura, huh? Mau ditaruh di mana muka kita jika bertemu kembali dengan keluarga Arka kelak?” Ayah bersuara keras memotong penolakan Diraja.
Kejadian dua minggu lalu di Hotel Royal Ruby kembali terngiang di ingatan Diraja. Saat itu mereka sedang meeting di hotel milik salah satu korporasi terbesar di Indonesia, Danudihardjo Enterprise membicarakan masalah IPO atau Initial Public Offering perusahaan mereka demi mencari modal tambahan untuk ekspansi bisnis mereka.
IPO tersebut akhirnya batal karena ternyata salah satu partner bisnis mereka, keluarga konglomerat Ong dari Singapura berniat menghancurkan Sudibyo Corp dan menjadikan perusahaan mereka sebagai boneka untuk kepentingan mereka di Indonesia.
Berangkat dari temuan tersebut, Diraja berhasil membujuk ayahnya untuk menolak rencana IPO dan tertarik dengan ide merger dan akuisisi dari Danudihardjo Enterprise.
Di tengah-tengah pembicaraan dengan Darius tempo lalu, ayahnya tiba-tiba mengajukan proposal pernikahan dengan keluarga Darius demi menjaga kekuatan Sudibyo dalam diskusi tersebut. Ide yang tentu saja ditolak oleh Darius, karena Amir mengusulkan adik ipar Darius–Ambar sebagai ‘tumbalnya’.
Meski sudah ditolak, ayahnya masih bersikeras dengan ide perjodohan sebagai balasan tawaran merger dan akuisisi dari Darius Danudihardjo demi melindungi perusahaan ayahnya–Sudibyo Corporation dari ambang kehancuran karena terseret intrik dari keluarga konglomerat Ong yang berbasis di Singapura.
Pertemuan di hotel tersebut dilakukan bersama penasihat terpercaya mereka, Mas Arka untuk mencari opsi terbaik bagi perusahaan mereka. Dan sepertinya Mas Arka juga setuju untuk menerima proposal merger dan akuisisi yang ditawarkan oleh Darius.
Danudihardjo Enterprise tidak akan menjadi majority shareholder mereka, dan mereka menjanjikan first option untuk keluarga Sudibyo dalam right of first offer untuk membeli kembali saham mereka jika Danudihardjo Enterprise ingin exit strategy dari perusahaan mereka.
“Ayah, aku akan cari cara supaya deal dengan Danudihardjo dapat memberikan win-win solution bagi semua pihak yang terlibat! Tapi aku menolak opsi perjodohan dengan anak yang bahkan masih belum lulus kuliiah!” ujar Diraja penuh frustasi.
Dia tak bisa memungkiri kalau dia melakukan banyak langkah yang salah ketika membantu ayahnya memimpin perusahaan yang menyandang nama mereka.
Tapi perjodohan? Pernikahan bisnis? Dengan mahasiswi pula?
Itu adalah garis yang tak akan Diraja lewati sampai kapanpun!
Ayahnya tetap menatap tak senang ke arahnya. Amir Sudibyo masih menganggap kalau pernikahan antara dirinya dan Ambar adalah hal terbaik untuk Diraja dan juga eksistensi perusahaan mereka.
Konsolidasi dengan salah satu keluarga konglomerat di Indonesia yang mana silsilah dari pihak ibu Darius bahkan bisa ditelisik hingga beberapa generasi ke atas karena mereka keturunan ningrat sejak jaman penjajahan.
Ambar Tri Handayani adalah satu anomali dalam business deal Diraja kali ini. Batu sandungan yang membuat Diraja sulit bergerak dan bahkan harus beradu kepala seperti ini dengan ayahnya sendiri. Sosok yang begitu Diraja hormati karena etos kerjanya yang tinggi dalam membangun perusahaannya sendiri.
“Pasti ada cara lain, Ayah!” ujar Diraja keras kepala. Setengah memohon agar ayahnya melunak dan mencari pilihan lain.
Ibu yang duduk di samping ayah hanya terdiam, meskipun tangannya secara tak sadar mengusap lengan sang suami agar pria paruh baya itu tetap tenang dan tidak terpancing emosinya.
Rumah mereka yang biasanya hangat mendadak menjadi seperti neraka bagi Diraja. Sudah beberapa bulan ini dia merasa tidak betah jika berkunjung ke rumah dan memilih untuk tinggal di kondominium apartemen dekat kantor.
Ketika ibu menanyakan kenapa Diraja jarang pulang, dia selalu berkilah kalau banyak kerjaan dan akan menyita waktu jika dia bersikeras untuk kembali ke kediaman orang tuanya setiap malam.
“Bagaimana caranya, huh? Kemarin waktu kita mau IPO, kamu bersikeras untuk menghentikannya karena kita tak ingin terseret dengan kegiatan kriminal keluarga Ong! Lalu ketika Darius datang dan menawarkan merger dia memberikan penawaran yang tak bisa kita terima karena terlalu memberatkan!”
“Maka pernikahan adalah jalan tengah terbaik supaya kepemilikan saham kita tetap turun kepada keturunanmu kelak!” Ayah menjelaskan panjang lebar.
Pernikahan bisnis demi menjaga kekayaan dan aset agar tidak berpindah tangan dan kepemilikan. Harta dan garis keturunan adalah sesuatu yang bisa ditukar guling dalam lingkungan Diraja.
Diraja mengerti tentang konsep pernikahan bisnis seperti itu di luar kepala. Kakak perempuannya, Rengganis juga mengalami nasib serupa, dan kini dia harus melakukannya demi menyelamatkan Sudibyo Corporation dari ambang stagnasi bisnis yang bisa berlanjut pada kemunduran dan tak menutup kemungkinan–kebangkrutan.
Sudibyo Corporation adalah pengejawantahan darah, keringat, dan air mata Amir Sudibyo dan Larasati Sudibyo, kedua orang tua Diraja. Mereka membesarkan perusahaan ini dari nol hingga akhirnya seperti sekarang.
“Sekarang kamu pilih, Diraja. Kamu cari cara untuk menikahi Ambar, atau turun dari jabatanmu dan biarkan sepupumu Bian yang naik dan mengambil alih tanggung jawab keluarga ini!”
Itu adalah ultimatum terakhir yang ayah berikan kepada dirinya.
Diraja duduk mematung di kursi kulit mewah berwarna coklat yang senada dengan warna meja jati Jepara yang membatasi jarak antara sofa dirinya dan kedua orang tuanya.
“Ayah!” Diraja tak percaya dengan apa yang baru saja ayahnya ucapkan.
“Ayah yakin Bian tak keberatan memikul tanggung jawab ini, kalau kamu memang tidak tertarik membangun Sudibyo Corporation dan menanggung beban. Ya sudah! Berarti kamu memang tidak cocok untuk posisi tersebut. Ayah akan berpikir ulang untuk mencari penggantiku kelak kalau hal seperti ini saja tak bisa kamu hadapi, Diraja!”
Ayah bangkit dari sofa dan menggelengkan kepalanya penuh kekecewaan.
“Kamu tahu, berdiri di atas itu memang penuh dengan pengorbanan. Sampai mana kamu mau berkorban dan bertanggung jawab bukan hanya untuk keluargamu, tapi juga ribuan karyawan yang menggantungkan nasib di atas pundakmu itu,” ujar Ayah dengan nada suara berat.
Tak lama ayah dan ibu beranjak dari ruang keluarga. Ibu menghampiri dirinya dan meremas bahunya penuh empati sebelum akhirnya menyusul suaminya masuk ke dalam.
Sunyi menghampiri ruang ini setelah mereka meninggalkan Diraja yang diam terpaku sendiri. Suara penuh ritme dentang jam besar antik peninggalan Belanda yang terpajang rapi di ruang tamu kediaman keluarga Sudibyo membantu Diraja menjernihkan pikirannya yang sempat kalut setelah konfrontasi dengan ayahnya tadi.
Diraja memejamkan matanya sejenak. Berpikir langkah selanjutnya yang harus dia ambil ke depannya.
Menikah dengan orang asing yang tidak dia cintai, atau turun jabatan dan membiarkan kerja kerasnya diambil alih oleh sepupunya, Biantara?
Diraja menghembuskan napas beratnya, dan menarik ponsel dari saku celananya.
“Hey Tito, maaf mengganggu malam-malam. Saya mau minta tolong bisa?” Diraja menelepon asisten pribadinya di malam seperti ini. Pria itu tentu saja sudah terbiasa dengan permintaan Diraja yang seperti ini.
“Ada apa, Pak Diraja?” tanya Tito dengan sigap.
“Bisa cari nomor telepon adik ipar Darius yang bernama Ambar? Saya butuh teleponnya.”
AMBAR 6 Bulan yang lalu Ambar selesai bersolek dan merapikan kembali riasan wajahnya yang mungkin sempat mengkhawatirkan karena dia menangis melihat kakak tersayangnya berdiri di pelaminan bersama pria yang begitu besar mencintai kakaknya. Kakak perempuannya–Amira Dwi Handayani hari ini menggelar resepsi pernikahannya dengan sang suami atau kakak ipar Ambar–Darius Richard Danudihardjo. Si konglomerat muda mantan playboy yang akhirnya bertekuk lutut di hadapan kakaknya. Kini Mas Darius begitu bucin dengan Mbak Amira dan setiap orang yang melihat gerak geriknya pasti akan mengatakan 100% kalau Mas Darius itu heads over heels fall in love with Mbak Amira. Rasa harunya juga muncul begitu saja karena dia tiba-tiba mengingat peristiwa penculikan di Pulau Laguna karena upaya Carlos Danudihardjo, ayah Mas Darius, untuk memisahkan dan bahka mencelakai Amira karena berhubungan dengan Darius. Untung saja Mas Darius telah menyelesaikan semua permasalahan, dan memberikan keyakinan kalau mereka
Hampir enam bulan lebih telah berlalu sejak resepsi pernikahan Mbak Ambira dan Mas Darius. Itu pula waktu yang bergulir sejak dia bertemu dengan Diraja Sudibyo, rekan kerja Mas Darius yang entah kenapa kesetanan ingin sekali menemuinya dan berbicara hal gila seperti pertunangan dan pernikahan. Ambar tentu saja memblokir nomor pria itu dan menghiraukan segala usahanya untuk bertemu dan membicarakan tentang masalah absurd pertunangan tersebut. Ambar memilih untuk menghabiskan waktunya fokus dalam ujian sekolah dan ujian masuk kuliah dalam enam bulan belakangan tersebut. Maka ketika dia telah lulus SMA beberapa waktu lalu dan sibuk dengan persiapan ujian masuk kuliah, dia tak lagi memikirkan dan cenderung lupa tentang Diraja. Dia terlalu sibuk menikmati hidup sebagai adik ipar Mas Darius yang dilimpahi kekayaan. Banyak hal baru yang membuka mata Ambar. Padahal ketika mereka terakhir bertemu sebelum adanya insiden penembakan di hotel Royal Ruby–Ambar sudah jelas-jelas mendengar kalau
DIRAJA Diraja akhirnya melepaskan genggaman tangannya ketika pintu lift terbuka dan mereka berjalan menuju unit apartemennya. Setelah membuka pintu dan masuk, Diraja membawa Ambar menuju sofa yang menghadap jendela besar yang menghadap jalan protokol utama Jakarta di sore ini. Dia mengambil triple espresso on the rock miliknya dan menyerahkan matcha frappe untuk Ambar yang menerima minuman tersebut sambil menggerutu pelan. “Duduk saja.” Dengan kepalanya, Diraja mengarahkan Ambar agar tidak segan-segan duduk. Tapi sepertinya gadis itu memasang kewaspadaan tingkat tinggi dan menolaknya dengan cepat. “Berdiri seperti ini saja,” balasnya dengan keras kepala. Diraja menghembuskan napasnya. Akhirnya dia duduk sambil menyeruput espresso-nya. “Diskusi kita akan panjang, dan saya capek mengangkat kepala kalau kamu berdiri seperti itu terus,” jawab Diraja dengan tenang. “Duduk,” titah Diraja yang membuat Ambar semakin kesal dan menghentakkan kakinya. Tapi tak lama dia menuruti kei
AMBAR “Mas Darius dalam bahaya?” Ambar menyipitkan matanya. “Kamu tahu siapa kompetitor yang ingin menghancurkan Darius? Dan siapa mereka sebenarnya?” Diraja melempar pertanyaan kepadanya. Ambar menggeleng lemah. Jantungnya berpacu cepat mendapatkan informasi terbaru ini. Apakah Mbak Amira juga berada di dalam bahaya? Pikirannya kembali mundur ketika dirinya dan Mbak Amira diculik di Pulau Laguna oleh ayahnya Mas Darius. Belum lagi ketika ada peristiwa penembakan di lobi hotel Royal Ruby yang mengakibatkan satu orang tertembak dan terluka. Sebenarnya itu peristiwa besar, namun karena kekuasaan kakak iparnya–berita tersebut terkubur dan tak ada media massa nasional yang secara serius meliput peristiwa tersebut karena campur tangan Mas Darius dan kedua sahabatnya, Mas Raka dan Mas Nero untuk ‘membungkam’ media. “Siapa mereka?” tanyanya penuh ketegangan. “Apa Mbak Amira akan baik-baik saja?” Ambar tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Pria yang duduk dengan tenang di hadapa
Hari ini ayah kembali menanyakan apa yang akan Diraja lakukan mengenai proses merger dan akuisisi dengan perusahaan Darius. Pembicaraan sejak beberapa bulan lalu memang belum ada perkembangan berarti hingga sekarang. “Lalu bagaimana dengan saran ayah waktu itu?” tanya ayahnya saat mereka berdiskusi di ruang chairman milik ayahnya. Mereka berdua sedang membicarakan Sudibyo Corporation secara keseluruhan sebagai bentuk salah satu proses suksesi dan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Amir Sudibyo kepada anaknya–Diraja Sakala Sudibyo. “Tentang Ambar?” Diraja menegaskan pertanyaan sang ayah. Beliau mengangguk tenang meskipun terlihat jelas dia menanti perkembangan dan berita baik dari masalah ini. “Aku sudah berbicara dengan Ambar minggu lalu,” ungkapnya. “Lalu? Bagaimana hasilnya?” todong ayah. “Aku memberinya waktu hingga minggu ini untuk berpikir. Biar bagaimanapun Ambar tidak akan mengalami kerugian kalau dia menolak pernikahan ini. Berbeda denganku. Makanya aku ngga
“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit. Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkomp
AMBAR Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah. Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya. Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi. Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mere
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar