Usapan lembut di pipi membuat kelopak mata Camellia bergetar. Gadis itu menggerakkan sedikit kepala dan mencari-cari sumber sentuhan. Ketika tangan hangat itu mengelus kepala dan punggungnya, Camellia pun bergumam puas sembari menghela napas pelan.
Namun, dahinya membentuk kernyitan halus saat tangan itu menyentuh bagian tubuh yang membiru.
Sontak saja Camellia mencoba menjauhkan tubuh diikuti ringisan kesakitan yang seketika menghentikan sentuhan tangan hangat itu di udara.
Dan tidak lama setelahnya, dia pun mendengar bisikan lembut menenangkan.
Camellia menatap ujung sepatunya dengan gugup. Dengan kedua tangan meremas sisi rok selutut berwarna biru, gadis itu pun mengangkat kepala begitu mendengar suara yang familiar.“Miss Duncan,” panggil seorang pria paruh baya dengan jas putih yang keluar dari sebuah ruang perawatan.Seketika Camellia pun berdiri, dia mengulas senyum tipis dan menyambut dokter itu ramah.“Selamat siang Dokter Hans,” sapanya balik.Dokter tersebut menatap wajah Camellia yang masih terlihat membiru, membuat gadis itu pun berdiri gelisah dan menundukkan kepala kembali.Menyadari itu, Dokter Hans berdehem dan mengisyaratkan pada Camellia untuk berjalan bersisian dengannya.&ld
Tubuh Camellia terlonjak seketika, dan dengan cepat dia berbalik arah hanya untuk mendapati sosok Hagen yang berdiri tepat di depan wajah.“Astaga! Kau mengejutkanku,” jerit Camellia sembari memegangi dada, sedangkan matanya melempar delikan tajam.Hagen yang saat itu bersikap sangat tenang hanya memberikan tatapan datar pada gadis tersebut. Tidak seperti sebelumnya, pria itu seolah menguarkan aura dingin yang membuat langkah Camellia mundur tanpa sadar.“Kau belum menjawab pertanyaanku,” ucap Hagen sembari mengobservasi keseluruhan wajah Camellia yang masih membiru.Mata pria itu memperhatikan dengan seksama, membuat gadis itu pun berdiri gelisah.Didahului deheman, Camellia pun berkata; “Kau tida
Camellia menatap bingung pada ruangan yang dia tempati. Melihat warna dan interiornya, gadis itu pun menyadari bahwa dia berada di dalam kediaman Hagen. Seketika tangannya meremas seprei putih yang berada di bawah tubuh. Baru saja gadis itu hendak beranjak saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu yang terbuka. Kepalanya dengan cepat menoleh ke sumber suara, dan mendapati seorang wanita berparas rupawan tengah masuk ke dalam ruangan dengan pembawaan tenang. Saat melihat dirinya yang duduk di atas ranjang, wanita itu pun mengulas senyum yang tampak sangat terlatih. “Miss Duncan,” sapa wanita tersebut sembari berjalan mendekati ranjang. “Maaf, aku tidak mengetuk lebih dahulu, kupikir anda masih tertidur.”
Ujung jemari Hagen menyentuh sudut bibir Camellia yang masih menyisakan bekas luka, namun lagi-lagi gadis itu menepis lengannya. Bahkan, sebanyak apa pun dia berusaha memperlakukan gadis itu penuh kelembutan, Camellia akan menolak keras.Kini, keduanya duduk saling berhadapan di atas ranjang yang tadi gadis itu tiduri. Tanpa sekali pun menatap pada pria yang sedang mengoleskan salep pada bekas luka di wajah porselinnya, Camellia memilih menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.“Dalam seminggu, bekas lukamu akan menjadi samar,” ucap Hagen sembari menyentuh bagian pipi serta ujung mata Camellia penuh kehati-hatian.Mereka terlalu lama membisu, membuat atmosfir di sekitar tidak lagi seringan bulu.Dia pun meniup-niup pelan permukaan kulit gadis itu ketika suara ringisan keluar dari mulut mungilnya. Seketika hati Hagen seperti dicubit, karena wajah porselin itu kini penuh luka yang masih menyisakan nyeri.Sekuat tenaga dia menaha
Seketika Hagen pun menahan rasa sakit yang menjalar di sepanjang lengan, karena tiba-tiba saja Camellia menggigit tangannya yang hendak mengelus pipi gadis tersebut.“Argh, damn,” ringis Hagen sembari menatap Camellia yang masih menancapkan gigi-gigi putihnya di kulit pria itu.Dengan rahang mengeras dan gigi beradu menahan kesakitan, Hagen berusaha untuk tenang saat memanggil Camellia.“Princess.”Dia sengaja melembutkan suara, berharap gadis itu melepaskannya saat itu juga, namun ternyata dia tidak mengira dendam Camellia sangatlah besar. Terbukti dari kuatnya gigitan yang tidak juga lepas.“Jika kau pikir aku akan menamparmu, sebaiknya buang jauh-jauh pemikiran seperti itu,” ucap Hagen di sela-sela rahang yang mengetat. “Aku tahu kau sengaja memancing kemarahanku.”Dia memejamkan mata sembari menghela napas berat, menahan sakit yang perlahan menjadikan lengannya mati rasa. Satu per satu buli
Mata Camellia menatap nanar pada panci gosong di hadapan. Dia menggigit sudut bibirnya sembari tangan mengelus perut, sementara itu wajah gadis tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa dia kelaparan.Gadis cantik itu pun menghela napas yang panjang, kemudian dia memegangi pelipis sembari menahan diri agar tidak menangis.“Stupid,” bisiknya yang perlahan menjauhi kompor listrik di hadapan.Baru saja dia berbalik badan, saat tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran sosok pria di ambang pintu.Seketika saja suara jerit keterkejutan bercampur takut lolos dari bibir mungilnya.“Apa yang kau lakukan di sana? Diam-diam mengawasi layaknya pria aneh,” geram Camellia sembari beringsut ke sudut dapur.Mendapati itu, ujung bibir pria itu pun berkedut, menahan diri agar tidak tersenyum.“Aku hanya tertarik dengan kegiatanmu yang hendak membakar dapurku,” balas Hagen yang seketika mendapat lemparan delikan.Di
“Siapa yang memukulmu?”Tiba-tiba saja Camellia bertanya setelah menelan sesuap sup hangat yang Hagen pesan dari restaurant di sekitar.Kini, keduanya duduk saling berhadapan di meja makan. Tidak terlihat tanda-tanda dapur yang tadi berantakan, bahkan semua tampak mengkilap, membuat Camellia bertanya-tanya bagaimana cara pria itu melakukan semuanya dalam waktu yang singkat.Melihat arah pandang gadis itu yang menyapu seluruh ruangan dapur, Hagen pun tersenyum simpul.“Aku meminta seseorang membersihkannya.”Jawaban pria itu membuat kepala Camellia pun melirik ke arahnya.“Apa kau pikir, aku akan melakukan semua ini sendiri? Yang benar saja, Princess, aku bahkan tidak pernah memegang pembersih kaca seumur hidupku.”Delikan yang gadis itu berikan malah semakin membuat Hagen menatapnya geli.“Dan untuk pertanyaanmu, luka ini berasal dari pembelaan harga diri. Dan aku membalas orang itu den
Mata Camellia membulat begitu dia mendapati ada banyak tumpukan baju yang berasal dari rumah sudah berpindah ke dalam lemari pakaian pria itu. Dengan tangan mengepal, menahan amarah, gadis itu pun keluar dari kamar hanya untuk mendapati apartemen itu telah kosong. Lagi-lagi pria itu meninggalkannya sendiri seperti kemarin. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan?” umpat Camellia sembari mencari-cari ponselnya yang entah bagaimana hilang tanapa jejak. Gadis itu mencari ke setiap sudut ruangan, tetapi tidak ada ponsel atau apa pun di sana, membuatnya sangat marah. “Arrrrgh, aku ingin keluar, siapa pun di luar sana, biarkan aku keluar!” Telapak tangan Camellia menepuk-nepuk pintu, berharap ada seseorang di luar sana yang mendengarkan, namun setinggi apa pun suara jeritnya, tetap saja tidak ada yang mengetuk pintu untuk memeriksa keadaannya. Namun, mengingat bahwa Hagen adalah pria yang tidak akan meninggalkannya sendirian tanpa pengwasan, Cam