Camellia menatap bingung pada ruangan yang dia tempati. Melihat warna dan interiornya, gadis itu pun menyadari bahwa dia berada di dalam kediaman Hagen.
Seketika tangannya meremas seprei putih yang berada di bawah tubuh.
Baru saja gadis itu hendak beranjak saat tiba-tiba dia mendengar suara pintu yang terbuka.
Kepalanya dengan cepat menoleh ke sumber suara, dan mendapati seorang wanita berparas rupawan tengah masuk ke dalam ruangan dengan pembawaan tenang.
Saat melihat dirinya yang duduk di atas ranjang, wanita itu pun mengulas senyum yang tampak sangat terlatih.
“Miss Duncan,” sapa wanita tersebut sembari berjalan mendekati ranjang. “Maaf, aku tidak mengetuk lebih dahulu, kupikir anda masih tertidur.”
Ujung jemari Hagen menyentuh sudut bibir Camellia yang masih menyisakan bekas luka, namun lagi-lagi gadis itu menepis lengannya. Bahkan, sebanyak apa pun dia berusaha memperlakukan gadis itu penuh kelembutan, Camellia akan menolak keras.Kini, keduanya duduk saling berhadapan di atas ranjang yang tadi gadis itu tiduri. Tanpa sekali pun menatap pada pria yang sedang mengoleskan salep pada bekas luka di wajah porselinnya, Camellia memilih menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.“Dalam seminggu, bekas lukamu akan menjadi samar,” ucap Hagen sembari menyentuh bagian pipi serta ujung mata Camellia penuh kehati-hatian.Mereka terlalu lama membisu, membuat atmosfir di sekitar tidak lagi seringan bulu.Dia pun meniup-niup pelan permukaan kulit gadis itu ketika suara ringisan keluar dari mulut mungilnya. Seketika hati Hagen seperti dicubit, karena wajah porselin itu kini penuh luka yang masih menyisakan nyeri.Sekuat tenaga dia menaha
Seketika Hagen pun menahan rasa sakit yang menjalar di sepanjang lengan, karena tiba-tiba saja Camellia menggigit tangannya yang hendak mengelus pipi gadis tersebut.“Argh, damn,” ringis Hagen sembari menatap Camellia yang masih menancapkan gigi-gigi putihnya di kulit pria itu.Dengan rahang mengeras dan gigi beradu menahan kesakitan, Hagen berusaha untuk tenang saat memanggil Camellia.“Princess.”Dia sengaja melembutkan suara, berharap gadis itu melepaskannya saat itu juga, namun ternyata dia tidak mengira dendam Camellia sangatlah besar. Terbukti dari kuatnya gigitan yang tidak juga lepas.“Jika kau pikir aku akan menamparmu, sebaiknya buang jauh-jauh pemikiran seperti itu,” ucap Hagen di sela-sela rahang yang mengetat. “Aku tahu kau sengaja memancing kemarahanku.”Dia memejamkan mata sembari menghela napas berat, menahan sakit yang perlahan menjadikan lengannya mati rasa. Satu per satu buli
Mata Camellia menatap nanar pada panci gosong di hadapan. Dia menggigit sudut bibirnya sembari tangan mengelus perut, sementara itu wajah gadis tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa dia kelaparan.Gadis cantik itu pun menghela napas yang panjang, kemudian dia memegangi pelipis sembari menahan diri agar tidak menangis.“Stupid,” bisiknya yang perlahan menjauhi kompor listrik di hadapan.Baru saja dia berbalik badan, saat tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran sosok pria di ambang pintu.Seketika saja suara jerit keterkejutan bercampur takut lolos dari bibir mungilnya.“Apa yang kau lakukan di sana? Diam-diam mengawasi layaknya pria aneh,” geram Camellia sembari beringsut ke sudut dapur.Mendapati itu, ujung bibir pria itu pun berkedut, menahan diri agar tidak tersenyum.“Aku hanya tertarik dengan kegiatanmu yang hendak membakar dapurku,” balas Hagen yang seketika mendapat lemparan delikan.Di
“Siapa yang memukulmu?”Tiba-tiba saja Camellia bertanya setelah menelan sesuap sup hangat yang Hagen pesan dari restaurant di sekitar.Kini, keduanya duduk saling berhadapan di meja makan. Tidak terlihat tanda-tanda dapur yang tadi berantakan, bahkan semua tampak mengkilap, membuat Camellia bertanya-tanya bagaimana cara pria itu melakukan semuanya dalam waktu yang singkat.Melihat arah pandang gadis itu yang menyapu seluruh ruangan dapur, Hagen pun tersenyum simpul.“Aku meminta seseorang membersihkannya.”Jawaban pria itu membuat kepala Camellia pun melirik ke arahnya.“Apa kau pikir, aku akan melakukan semua ini sendiri? Yang benar saja, Princess, aku bahkan tidak pernah memegang pembersih kaca seumur hidupku.”Delikan yang gadis itu berikan malah semakin membuat Hagen menatapnya geli.“Dan untuk pertanyaanmu, luka ini berasal dari pembelaan harga diri. Dan aku membalas orang itu den
Mata Camellia membulat begitu dia mendapati ada banyak tumpukan baju yang berasal dari rumah sudah berpindah ke dalam lemari pakaian pria itu. Dengan tangan mengepal, menahan amarah, gadis itu pun keluar dari kamar hanya untuk mendapati apartemen itu telah kosong. Lagi-lagi pria itu meninggalkannya sendiri seperti kemarin. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan?” umpat Camellia sembari mencari-cari ponselnya yang entah bagaimana hilang tanapa jejak. Gadis itu mencari ke setiap sudut ruangan, tetapi tidak ada ponsel atau apa pun di sana, membuatnya sangat marah. “Arrrrgh, aku ingin keluar, siapa pun di luar sana, biarkan aku keluar!” Telapak tangan Camellia menepuk-nepuk pintu, berharap ada seseorang di luar sana yang mendengarkan, namun setinggi apa pun suara jeritnya, tetap saja tidak ada yang mengetuk pintu untuk memeriksa keadaannya. Namun, mengingat bahwa Hagen adalah pria yang tidak akan meninggalkannya sendirian tanpa pengwasan, Cam
Di hari ke dua setelah pria itu tidak ada, Camellia pun dikejutkan dengan sosok Brandon yang tengah duduk di sofa.Langkah gadis itu saat menuruni tangga seketika terhenti, dan dengan tatapan bertanya, dia menatap sekitar. Berharap Hagen muncul secara tiba-tiba dari mana saja. Namun, setelah memandangi Brandon yang tampak duduk sendirian di sofa, keyakinan Camellia pun akan kehadiran Hagen sirna.Dia tidak mengira bahwa pria itu meninggalkannya sendiri di apartemen. Itu artinya sudah jalan lima hari dia terkurung di dalam tempat itu.“Apa kau datang sendirian?” tanya Camellia begitu mendekati sofa di mana Brandon duduk termenung menatap keluar jendela.Seketika kepala pria itu pun menoleh ke arahnya dan dengan senyum simpul dia mengiyakan.
Mata Camellia menatap ke luar jendela kamar dengan pandang datar. Meskipun secangkir cokelat hangat berada dalam genggamannya, dia masih merasa kedinginan. Pandangan gadis delapan belas itu terfokus pada butiran air hujan yang menempel pada kaca jendela. Matanya mengikuti pergerakan tetesan-tetesan hujan yang jatuh perlahan ke bawah. Dia menghela napas berat dan menyesap cokelat panas tersebut setelah beberapa saat. Namun, suara dering ponsel memecah fokusnya seketika. Kepala gadis itu menoleh ke sumber suara, pada benda pipih yang tergeletak di atas meja. Awalnya dia enggan untuk melihat, tapi mengingat ayahnya di rumah sakit, dengan cepat Camellia berjalan ke sana. Tapi, dia merasa kecewa saat mendapati nomor Brandonlah
Bukannya merasa terkesan, gadis itu malah menatap Hagen seolah dia pria aneh.“Layang-layang my ass,” gumam Camellia sembari meninggalkan pria itu.Tahu bahwa Hagen akan terus mengikuti, dia pun terus berjalan tanpa perlu menoleh atau memeriksa sejauh mana jarak mereka saat ini.Bahkan ketika pria itu memanggil, Camellia dengan sengaja menulikan diri.“Princess, kurasa kita butuh sesuatu untuk berlindung dari panas matahari.”Diam-diam