Share

Bab 10

***

Sebenarnya Yerinsa sangat lelah, pantas saja Margareth mengatakan tidak akan bisa jika harus menghadiri pesta setelah mengantar Yerinsa check up, karena di rumah sakit menghabiskan waktu lama.

Sampai di kamar, Yerinsa bukannya beristirahat malah sibuk melakukan hal lain dan mengabaikan rasa letih setelah sejak siang di luar rumah.

Telah mempertimbangkan dampak dan konsekuensi yang akan timbul jika rencana ini dijalankan, akan Yerinsa terima itu nanti.

Sambil berjalan, mengingat satu persatu hal yang harus dia lakukan setelah ini. Mulut bergumam tanpa suara, dan pikiran berfokus pada pesta malam ini.

"Nona, ini Mauren. Saya mengantar susu untuk Anda."

Pikiran rumit dalam kepala Yerinsa terpecah-belah oleh suara ketukan di pintu, Mauren bicara tanpa berani masuk sebelum diperintah.

Kembali ke pintu, Yerinsa membuka tanpa membiarkan Mauren masuk, hanya menerima gelas susu dari perempuan itu yang memang selalu Yerinsa konsumsi sebelum tidur.

"Anda butuh bantuan sesuatu, Nona?" tanya Mauren melihat riasan Yerinsa belum dihilangkan.

Menenggak minuman putih itu hingga habis setengah gelas, Yerinsa menyerahkan sisanya pada Mauren sambil menggeleng. "Tidak perlu. Ini bawa saja, aku tidak bisa menghabiskannya," katanya dengan isyarat untuk Mauren pergi.

Seperginya pelayan itu, pintu Yerinsa tutup kembali setelah memastikan semua aman. Tidak berniat mengganti pakaian atau mandi, Yerinsa akan langsung bersiap pergi lagi, menyusup keluar.

Rencana Yerinsa adalah menyusul ke pesta tanpa diketahui Abrady dan Margareth, sampai di sana Yerinsa hanya akan menemui Gabriella agar tidak bertemu dengan Luga, mengambil waktunya.

Memasuki kamar mandi, dan keluar dengan membawa gumpalan besar berupa selimut dan seprei. Menuju pintu balkon, Yerinsa sejenak melihat ke bawah.

Sambil memastikan situasi aman, tangan Yerinsa gesit mengikat ujung setiap selimut dan seprei dengan kuat. Tidak butuh terlalu banyak kain karena hanya dari lantai dua ke tanah, dan paling ujung seprei diikat ke pagar balkon.

Ujung kain tidak sampai menyentuh tanah di bawah sana, tapi itu sudah cukup untuk Yerinsa bisa turun lewat jalur menggelantung.

"Berbakat juga gue jadi penyusup," gumam Yerinsa sambil celingak-celinguk.

Yerinsa perlahan memanjat pagar pembatas balkon, berpegangan sangat erat di kain selimut dan turun sedikit demi sedikit sambil memanjatkan doa.

Menit demi menit berlalu dalam ketegangan, jantung Yerinsa berdegup kencang setiap second detik. Setelah menginjak tanah dengan selamat, Yerinsa berlari mengendap-endap ke gerbang samping rumah.

Berhari-hari sudah memperhatikan jalur pelarian, Yerinsa menghafal setiap seluk beluk mansion dengan cepat, menganalisis keberhasilan.

Dan ...

Gotcha!

Yerinsa tiba di titik di mana dia harus memanjat gerbang mansion setinggi kurang lebih dua meter. Itu bukan gerbang utama, tapi gerbang belakang, tempat para pelayan biasa keluar masuk untuk bepergian membeli stok bahan makanan.

Gerbang utama setinggi lebih dari tiga meter, tidak mungkin untuk Yerinsa memanjat, apalagi di bagian atas gerbang berupa besi runcing seperti ujung tombak.

Bahkan gerbang belakang ini pun sudah terkunci setiap pukul delapan malam. Tidak mungkin Yerinsa bisa keluar tanpa memanjat ke atas. Untungnya bagian atas gerbang tidak runcing.

Yerinsa mengusap sedikit tetesan keringat di pelipis dan pipi sebelum mulai memanjat. Jari-jari kecil yang lentik berkuku cantik hasil perawatan itu mencengkeram bagian baja gerbang.

"Urgh-" lenguh Yerinsa menahan bobot tubuh sendiri, untung menggunakan celana dan tidak memakai high heels, jadi sedikit meringankan beban kerepotan.

Dalam hati menyemangati diri sendiri untuk berjuang sedikit lagi. Demi masa depan indah di ujung mata, Yerinsa menguatkan setiap cengkraman.

***

Yerinsa terengah-engah begitu sudah duduk di kursi penumpang mobil taksi. Untuk sesaat, gadis itu terpejam meredakan napas yang tersendat-sendat lelah. Taksi itu melaju ke alamat tujuan Yerinsa, sudah disebutkan sejak membuka pintu beberapa saat lalu.

Membuka mata perlahan, Yerinsa menatap tangan yang kotor oleh karatan besi di gerbang. Pakaian juga sedikit kotor, terlebih sepatu, lecet di sana sini tergores tembok.

"Pak, apakah ada air? Atau tissue basah?" tanya Yerinsa pada supir taksi.

"Ini, Nona," kata pria di kursi kemudi itu sambil memberikan sebotol air mineral dan kotak tissue.

Yerinsa menerima dua benda itu dan membuka kaca mobil, dan membasuh tangan dengan air di botol. Lalu membasahi tissue untuk digunakan membersihkan kaki, mengusap perlahan menyingkirkan kotoran.

Setelah dirasa bersih, baru Yerinsa mengembalikan botol serta tissue, mengucapkan terima kasih singkat dan berkata akan mengganti uang harga air mineral.

Saat mengecek wajah di cermin dompet, Yerinsa meringis dalam hati menemukan riasan wajah sudah sedikit meluntur. Penataan rambut yang hanya dikepang longgar ke sisi kanan, sedikit berantakan.

Padahal hanya perjuangan keluar dari rumah, tapi dampak pada tubuh ini sudah setara berjuang di medan perang.

"Nona, sudah sampai," kata supir taksi saat mobil perlahan mendekati pintu masuk sebuah hotel yang disambut pegawai hotel itu.

Yerinsa bersiap keluar dari taksi sambil bergegas membuka dompet. Mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar, tepat saat berhenti di depan pintu masuk. Di belakang ada mobil lain yang mengantri, membuat Yerinsa tidak memiliki waktu bersantai, dan segera keluar.

Berlagak layaknya anak pengusaha besar dengan aura elegan mengudara, Yerinsa berjalan ke pintu masuk hotel yang dijaga beberapa pria.

"Selamat malam, Nona. Bisa saya lihat undangan Anda?"

Salah satu pria berpakaian hitam di depan pintu mencegat langkah Yerinsa, menyapa sebelum menengadahkan tangan meminta konfirmasi undangan tamu.

"Ah-? Undangan?" Yerinsa mengerjab bingung.

"Iya, undangan. Anda harus memiliki undangan acara untuk bisa masuk," kata pria berambut klimis itu mengangguk.

Yerinsa membeku, mengumpat dalam hati saat menyadari tidak memikirkan hal ini sebelumnya, undangan pasti ada di tangan ayahnya.

Acara pesta orang kaya sangat merepotkan, padahal di dunia sebelumnya jika ingin ke pesta pernikahan tidak diwajibkan membawa undangan tamu, asal masuk saja dan bisa makan di kondangan.

"Itu ... saya tidak memiliki undangannya, tapi ayah dan kembaran saya ada di dalam," kata Yerinsa kikuk.

"Ayah dan saudari saya salah satu tamu acara ini, saya cuma mau menemui mereka sebentar. Apakah tidak bisa?" tambah Yerinsa membujuk dengan mata memelas.

"Jika tidak ada bukti tamu, tidak bisa masuk," balas pria itu masih kaku seperti kanebo kering.

Yerinsa menggigit bibir gusar, memutar otak mencari cara, akan sangat sia-sia jika dia tidak bisa menemui Gabriella padahal sudah sejauh ini.

"Oh-! Saya akan telpon kembaran saya untuk ke sini. Tunggu sebentar," kata Yerinsa tiba-tiba semangat mendapat ide.

Pria-pria berwajah dingin terlihat sangar itu tidak menanggapi, jadi Yerinsa memilih menepi sebentar sambil merogoh dompet yang dibawa, membiarkan tamu lain masuk lebih dulu.

Mengeluarkan handphone, Yerinsa mencari nomer Gabriella untuk dihubungi. Menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan, menunggu panggilan diangkat.

"Halo? Yerin, ada apa?"

Setelah beberapa saat, panggilan diterima, suara Gabriella menyapa gendang telinga Yerinsa, membuat terasa sejuk.

"Gabby, apa kamu bersama Ayah-? Maksudku ... apa Ayah sedang di dekatmu?" tanya Yerinsa hati-hati.

"Tidak. Ayah sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya, posisiku cukup jauh. Ada apa?" jawab Gabriella diakhiri bertanya heran.

"Um ... bisakah kamu keluar sebentar, aku di pintu masuk- ... tapi jangan beritahu Ayah. Please," pinta Yerinsa sempat ragu sebelum bicara dalam satu tarikan napas cepat.

"Apa?! Apa maksudmu kamu di luar? Bagaimana bisa? Apa yang kamu lakukan, Yerin?" Gabriella langsung mencecar serentetan pertanyaan panik.

"Tenanglah. Akan kujelaskan, tapi pertama-tama sekarang tolong temui aku dulu tanpa memberitahu Ayah. Oke?" bujuk Yerinsa lebih tenang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status