Share

Bab 9

***

Berjam-jam berlalu dihabiskan Yerinsa dan Margareth mengantri, hingga mendapat giliran mereka. Sambil mengobrol dengan Margareth, Dokter Damberrain juga memeriksa Yerinsa yang berbaring di ranjang periksa.

Sekitar pukul lima sore lebih, baru mereka mendapat hasil pemeriksaan medis Yerinsa. Beberapa saran dan obat kembali diberikan dokter pada Margareth, juga sederet wanti-wanti untuk Yerinsa menjaga pola hidup sehat.

Sekarang, baru Yerinsa mengetahui penyakit apa yang diderita tubuh ini sejak dulu, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, tapi bisa diringankan sementara dengan jenis obat tertentu.

Penyakit lupus dengan jenis, Systemic lupus erthematosus (SLE). Penyakit ini biasa menyerang berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah, jika sedang kumat.

Pantas saja di atas meja rias di kamar Yerinsa begitu banyak botol produk tabir surya, ternyata tidak hanya untuk wajah dan leher, tapi juga untuk seluruh badan yang kemungkinan terpapar sinar matahari.

"Kita berhenti di restoran depan dulu, ya," kata Margareth saat mereka sudah keluar dari ruangan dokter Damberrain.

"Iya," angguk Yerinsa patuh, padahal dalam hati ingin cepat pulang.

Memasuki mobil di parkiran basement yang masih ditunggu supir, mereka perlahan meninggalkan rumah sakit tanpa kendala lagi seperti saat datang tadi.

Di tengah perjalanan, Margareth mengobrak-abrik isi tas jinjing dan mengeluarkan botol sunscreen berwarna kuning-putih.

"Kamu pasti lupa membawa tabir surya," kata Margareth sambil menarik satu tangan Yerinsa agar terulur.

Yerinsa mengerjab, sebelumnya tidak tau bahwa mengidap penyakit autoimun, jadi sama sekali tidak mempersiapkan apapun saat pergi. "Ibu tau?" tanyanya polos.

"Tentu saja. Ibu yang selalu mengingatkanmu untuk rutin menggunakan tabir surya jika ke sekolah atau saat di sekolah. Setiap bepergian, Ibu juga membawa untuk berjaga-jaga jika kamu lupa." Margareth menjelaskan dengan lirikan sekilas sambil mengeluarkan isi botol tabir surya.

"Saat melihat kamu membawa tas kecil itu, Ibu sudah menebak kamu tidak membawanya," tambah Margareth sambil mengaplikasikan krim pelindung kulit dari sinar UV itu ke tangan Yerinsa, setelah menggulung lengan baju.

Yerinsa tertegun, di kehidupan sebelumnya, dia tidak pernah mendapat perhatian sekecil ini. Dia anak sulung yang harus selalu terlihat tegar dan kuat, menghadapi cobaan di keluarga, dia tidak bisa mengeluh.

Bahkan memerhatikan jam makan saja tidak ada. Orangtuanya sibuk mengurus adik-adiknya, jarang membagi waktu untuk Teresia. Di usia remaja Teresia sudah harus bekerja sambil sekolah, membiayai sekolah sendiri, bahkan hingga lulus kuliah.

Bekerja. Bekerja. Dan bekerja. Itulah rutinitas Teresia, hingga lupa bagaimana bergaul dengan rekan seusia, dan tidak pernah merasa disayangi. Jadi, saat menjadi Yerinsa yang begitu dilimpahi perhatian dan kasih sayang, dia sangat canggung.

"Terima kasih, Bu," ucap Yerinsa tanpa sadar terharu.

Margareth melirik dengan satu alis terangkat, lalu tersenyum geli. "Ada apa dengan anak Ibu ini? Kenapa tiba-tiba berterima kasih?" tanyanya penuh selidik.

Melepas tangan Yerinsa, dan beralih mengaplikasikan krim ke leher gadis itu yang terbuka.

Yerinsa menggeleng. "Tidak ada, aku hanya ingin mengucapkan itu," katanya mengelak untuk menatap mata Margareth.

Wanita dengan rambut disasak bagian atas hingga membuat sedikit menyembul itu tersenyum. Kasih sayang yang dia berikan pada Yerinsa dan Gabriella tidak berbeda, tidak timpang sebelah, jadi sangat jarang si kembar ini saling iri.

Gabriella terlahir sehat dengan tubuh kuat, tidak kekurangan apapun, sedangkan Yerinsa menderita penyakit autoimun sejak balita. Meski kembar, imunitas Yerinsa seperti disedot Gabriella dari dalam kandungan.

"Berterima kasihlah nanti saat kamu sudah menjadi orang besar yang sukses," kata Margareth serius, lalu mengoleskan tabir surya ke seluruh kaki Yerinsa yang terekspose.

"... tentu saja aku akan sukses," balas Yerinsa setelah sempat diam beberapa saat.

Untuk bagian wajah Yerinsa mengusap sunscreen dengan kedua tangan sendiri, membuat wajah yang sudah putih itu menjadi glowing dan cerah merona.

"Nyonya, sudah sampai." Pemberitahuan supir di kursi depan menginterupsi kegiatan ibu-anak itu.

"Oh, sudah sampai," balas Margareth, melihat sekitar baru menyadari mereka di parkiran restoran cepat saji.

Menutup botol tabir surya setelah sekujur tubuh Yerinsa dilapisi krim pelindung itu, lalu beranjak ke luar mobil.

***

Setelah menghabiskan waktu banyak di rumah sakit dan makan di restoran, sekitar pukul tujuh malam baru Yerinsa dan Margareth tiba di rumah.

"Apa Gabby sudah kembali?" tanya Margareth pada pelayan yang menyambut mereka.

"Ibu."

Panggilan dari arah tangga mengalihkan perhatian Margareth dan menginterupsi jawaban yang akan keluar dari pelayan.

Tiga orang itu kompak menoleh ke asal suara, melihat Gabriella turun di tangga bersama Abrady.

"Oh, kalian akan pergi sekarang?" tanya Margareth dengan senyum manis.

Anggukan Abrady menjawab.

"Gabby, cantik sekali," puji Yerinsa begitu dua sosok itu sudah berdiri di hadapan mereka yang masih di ambang pintu.

Menatap penuh pujian pada sosok perempuan yang mengenakan gaun hitam berkerah sabrina. Set perhiasan permata ruby berkilau mempercantik penampilan, dari anting, kalung, dan gelang kecil tapi elegan.

Rambut pirang gadis itu disanggul dengan kepangan seperti bridesmaid, bagian belakang kepala mengenakan jepitan Korea, berwarna merah. Anak rambut membingkai pelipis hingga pipi yang wajahnya dirias bak Barbie hidup.

Tidak heran Luga terpincut pada pandangan pertama, Gabriella sangat cantik.

Walaupun sampai saat ini Yerinsa belum melihat seperti apa bentukan wajah dan penampilan Luga, tapi selera laki-laki itu memang tepat.

"Mata kamu seperti mau lepas, Yerin," cibir Gabriella sambil mendorong dahi Yerinsa dengan telunjuk agar menjauh dari jarak sekarang yang kurang dari tiga puluh senti.

"Ayah, apa aku tidak boleh ikut?" tanya Yerinsa malah beralih menatap sang ayah dengan memelas.

"Tidak."

Bukan hanya Abrady yang menjawab, tapi juga Margareth dengan tegas menolak. Menarik Yerinsa hingga batal menggelayuti pria berjas hitam di samping Gabriella.

"Yerin, tetaplah di rumah, agar cepat sembuh," kata Gabriella dengan senyum manis, mencubit pipi sang kembaran.

"Aku sudah sembuh," balas Yerinsa mantap dengan tangan terkepal.

"Tidak, Yerin. Sudah, Ayah dan Gabby harus pergi sekarang," tolak Abrady tegas.

Yerinsa mencebik tidak bisa lagi membujuk, akhirnya hanya mengantar kepergian dua orang itu, lengannya digaet Margareth yang melambai dengan senyum manis.

Setelah mobil yang dinaiki Abrady dan Gabriella hilang di balik gerbang utama, Margareth menoleh pada Yerinsa kembali. "Nah, Yerin Ibu yang cantik, sekarang pergi ke kamarmu dan istirahat," suruhnya sambil mengusap rambut sang anak.

Ekspresi masam di wajah Yerinsa berangsur hilang saat Margareth membawa masuk rumah kembali.

"Iya, Bu. Aku akan langsung tidur saja, ya?" angguknya.

"Tidak ada yang melarangmu istirahat, Sayang. Itu bagus, sampai kondisimu benar-benar pulih, jangan banyak melakukan sesuatu hal walaupun hanya di rumah," balas Margareth sambil menepuk-nepuk pelan sisi kepala Yerinsa.

Gadis enam belas tahun itu tersenyum, tentu saja tidur adalah alasan Yerinsa saja agar tidak mendapat gangguan di kamar nanti.

Menaiki tangga hampir seperti berlari, tidak bisa menahan senyum antusias di ujung bibir saat sudah berpisah arah dari Margareth di lorong ke kamar masing-masing.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status