Share

Bab 8

Author: Pelmen_minmin
last update Last Updated: 2022-06-09 13:44:31

***

"Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan.

"Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti.

"Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak.

"Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas.

Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka.

Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan.

"Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah.

"Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu.

"Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik? Untuk bersiap acara pesta," tanya Yerinsa memperjelas maksud kalimatnya.

Gabriella manggut-manggut sambil mengunyah roti. "Aku ke salon dan butik setelah pulang sekolah, masih banyak waktu," katanya enteng setelah menelan.

"Oh," gumam Yerinsa mengangguk mengerti.

"Yerin juga ingat kita hari ini akan ke rumah sakit menemui Dokter Damberrain," kata Margareth mengingatkan Yerinsa tentang jadwal pemeriksaan mereka hari ini.

"Iya, Bu," angguk Yerinsa tentu saja ingat.

Malam ini adalah waktu Gabriella dan Abrady datang ke pesta pembukaan perusahaan cabang keluarga Luga, diadakan di sebuah hotel bintang lima, tidak mungkin Yerinsa tidak memperhatikan hari.

Malam ini juga artinya plot novel akan dimulai, setelah banyak pertimbangan dan cara, akhirnya Yerinsa memiliki satu rencana cukup nekat yang tidak diketahui siapapun selain Tuhan.

Setelah acara sarapan hangat mereka, Margareth mengantar kepergian suami dan anaknya di depan pintu.

"Hati-hati, sweatheart," pesan Margareth setelah mengecup singkat pipi Gabriella.

"Iya, Bu," balas Gabriella melangkah mundur sambil melambai.

Jalan ke kantor Abrady dan SMA Gabriella memang searah, jadi setiap pagi mereka berangkat bersama, sementara pulang dijemput supir.

"Yerin, kamu jangan melakukan apapun hari ini, siang nanti kita akan ke rumah sakit," kata Margareth begitu berpaling dari pintu, melihat Yerinsa duduk di sofa dekat tangga utama.

"Iya, Ibu. Memangnya aku bisa melakukan apa?" balas Yerinsa mengalihkan perhatian dari handphone dengan mencibir.

"Siapa tau kamu nanti lupa dan malah beraktifitas, lalu kelelahan sampai tidak bisa pergi," decak Margareth bersidekap.

"Aku tidak akan lupa," kata Yerinsa kali ini dengan senyuman.

Margareth mengangguk. "Bagus. Kalau begitu Ibu akan ke kamar saja sekarang," katanya sebelum pergi berlalu.

Yerinsa menggumam singkat, masih duduk nyaman berpangku kaki di sofa, memainkan handphone.

***

Sekitar pukul dua siang, Margareth kembali mencari Yerinsa untuk pergi saat ini ke rumah sakit sesuai jadwal temu dengan dokter.

"Ibu mencariku?" tanya Yerinsa dari arah lorong kamar sendiri, bergegas mendekati Margareth yang akan menuruni tangga.

"Iya. Cepat siap-siap, kita pergi sekarang," jawab Margareth dengan lirikan karena sedang memasang gelang di tangan.

"Oh, baik. Aku hanya tinggal mengambil tas," kata Yerinsa sebelum berbalik kembali ke kamar.

"Ibu menunggu di bawah, tidak perlu berlari." Mauren memperingati keras pada kebiasaan baru Yerinsa yang suka berlari seperti dikejar waktu.

"Mauren! Katakan pada Yerin jangan berlari!" seru Margareth pada Mauren yang memang ditugaskan selalu mengikuti Yerinsa.

Mauren merunduk sopan sebagai gestur hormat. "Baik, Nyonya," sahutnya sebelum menyusul Yerinsa.

Margareth menuruni tangga melingkar bercat emas dengan lebar sekitar satu setengah meter itu, kaki dengan high heels hitam menginjak setiap anak tangga berlapis karpet merah maroon penuh kehati-hatian.

Seperti kata Yerinsa, ke kamar hanya untuk mengambil tas selempang hitam berisi dompet uang, cermin kecil, dan power bank untuk handphone. Keluar dari kamar lagi setelah merapikan kilat riasan di cermin rias sambil berdiri saja.

"Nona, tidak perlu berlarian, nanti Anda jatuh," peringat Mauren yang setia mengikuti sang nona muda.

Yerinsa tersenyum tanpa membalas, berhenti berlari tapi masih berjalan dengan langkah cepat sambil memasang jam tangan di pergelangan kiri.

Waktu lima menit hanya dihabiskan untuk berjalan dari lantai bawah ke kamar saja. Di kehidupan dulu, sebagai Teresia sudah terbiasa terburu-buru karna hidupnya memang selalu dikejar waktu.

Mansion mewah berlantai dua itu bergaya Belanda modern, letak rumah meninggi dari tanah, setiap lorong selalu ada lampu kristal di langit-langit. Bagian luar teras halaman depan terdapat cukup banyak pot bunga besar, tempat menanam berbagai bunga sesuai jenisnya.

"Ibu, berapa lama kita akan di rumah sakit nanti?" tanya Yerinsa sambil mengikuti langkah Margareth menuju pintu utama.

"Tidak akan lama," jawab Margareth tidak terlalu memuaskan.

Yerinsa cemberut, mereka menuju mobil yang menunggu di halaman dengan supir sudah siap membukakan pintu penumpang.

Setelah ibu dan anak itu masuk, supir menyusul masuk. Mobil perlahan melaju mengitari halaman sesuai jalur jalan yang dibuat, lalu menuju gerbang utama mansion.

Menit demi menit berlalu di perjalanan, hingga mobil memasuki parkiran basement rumah sakit besar. Beberapa perawat dan suster terlihat berseliweran dengan tugas masing-masing.

Margareth dan Yerinsa keluar dari mobil setelah pintu dibukakan supir, bergandeng tangan memasuki rumah sakit.

"Ibu, aku bisa berjalan tanpa digandeng," protes Yerinsa ingin melepaskan gandengan dari wanita berdress biru malam di sampingnya.

"Tidak, nanti kamu tersesat. Rumah sakit ini pasti menjadi asing sejak kamu kecelakaan," tolak mentah Margareth, semakin merekatkan Yerinsa padanya.

"Ini sudah ke dua kalinya aku ke sini sejak kecelakaan itu, Bu. Aku ingat," kata Yerinsa memutar mata malu.

"Diam saja," bisik Margareth mendesis.

Yerinsa menghela napas panjang, baru tau bahwa Margareth sangat berlebihan akan kelemahan fisiknya.

"Ash-!"

Berbelok ke salah satu lorong rumah sakit, mereka berpapasan dengan beberapa orang hingga tubuh kecil Yerinsa tersenggol salah satu pria bertubuh kekar itu.

Perbedaan badan membuat Yerinsa kalah dan jatuh terduduk, gandengan pada Margareth juga terlepas. Yerinsa meringis merasakan pantat nyeri karena membentur ubin.

"Astaga-! Tolong Anda kalau berjalan itu hati-hati, anak saya masih sakit! Sembarangan saja menabrak, di rumah sakit kenapa harus berjalan rombongan seperti ini, mengganggu pengunjung lain saja."

Jiwa Margareth sebagai seorang ibu yang over menjadi tersulut melihat Yerinsa jatuh, wanita itu mengomeli para pria berpakaian hitam itu tanpa rasa takut.

"Bu, aku baik-baik saja," kata Yerinsa melerai karena malu sendiri ditatapi banyak pengunjung lain.

Margareth menoleh, merunduk untuk membantu Yerinsa berdiri. "Di mana yang sakit? Akan Ibu panggilkan suster untuk membawakan brankar untukmu," katanya mencecar cemas.

"Tidak perlu, Bu, kita lanjutkan mencari Dokter saja," tolak Yerinsa sambil bangkit berdiri.

Di antara pasang mata yang melihat kejadian perselisihan kecil itu, salah satunya adalah seorang laki-laki dengan jaket hitam dan celana jeans hitam robek-robek, berdiri di antara pria-pria kekar.

Mata amber tajam itu memperhatikan Yerinsa dengan jeli dari atas kepala hingga ujung kaki.

"Ayo, Bu," ajak Yerinsa menarik Margareth untuk melanjutkan langkah mereka.

"Tapi, Sayang," protes Margareth, tidak puas karena belum mendapat permintaan maaf.

"Ibu, aku baik-baik saja, ini hanya jatuh." Yerinsa memelas menatap Margareth agar mau segera pergi dari tempat ini, mengakhiri perselisihan absurd mereka.

"Baiklah. Ayo," angguk Margareth akhirnya mengalah.

Yerinsa tersenyum, sekilas menoleh pada pria besar yang bertabrakan dengannya, lalu merunduk sedikit. "Maaf, kami permisi," ucapnya berpamitan.

Tidak sengaja mata Yerinsa bertemu pandangan dengan seseorang di antara pria seragam berpakaian hitam itu, tapi style baddass sangat bertolak belakang.

"Apa-apaan kamu, dia yang harusnya minta maaf, bukan kamu," protes Margareth sengit, memutuskan kontak mata Yerinsa dengan si laki-laki asing.

Yerinsa cengengesan sambil menarik sang ibu menjauh, bergelayut di lengan Margareth tanpa membalas.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi sang protagonis   Bab 103

    ***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins

  • Obsesi sang protagonis   Bab 102

    ***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran

  • Obsesi sang protagonis   Bab 101

    ***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai

  • Obsesi sang protagonis   Bab 100

    ***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A

  • Obsesi sang protagonis   Bab 99

    ***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka

  • Obsesi sang protagonis   Bab 98

    ***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status