Share

Bab 8

***

"Selamat pagi," sapa Yerinsa dengan senyum cerah begitu tiba di ruang makan.

"Pagi, Sayang," balas Margareth yang sedang mengoleskan selai pada sepotong roti.

"Selamat pagi," balas Abrady singkat dengan senyuman, sekilas mengalihkan perhatian dari koran pada sang anak.

"Pagi, Yerin." Gabriella juga membalas sapaan dengan tak kalah cerah setelah menyesap susu di gelas.

Yerinsa mendekati Abrady dan Margareth, mengecup singkat pipi kedua orangtuanya, baru menarik kursi di samping Gabriella. Satu lagi rutinitas pagi yang Yerinsa ketahui di keluarga ini, yaitu kecupan hangat untuk ayah dan ibu mereka.

Margareth duduk setelah memberikan jatah roti selai ke semua penghuni meja makan.

"Gabby kenapa pakai seragam sekolah?" tanya Yerinsa mengernyit melihat setelan Gabriellla beserta tas sekolah.

"Tentu saja karena harus sekolah, apa lagi?" jawab dan tanya balik Gabriella, ikut berkerut dahi mendengar pertanyaan lucu itu.

"Maksudku, bukankah hari ini harusnya kamu ke salon dan butik? Untuk bersiap acara pesta," tanya Yerinsa memperjelas maksud kalimatnya.

Gabriella manggut-manggut sambil mengunyah roti. "Aku ke salon dan butik setelah pulang sekolah, masih banyak waktu," katanya enteng setelah menelan.

"Oh," gumam Yerinsa mengangguk mengerti.

"Yerin juga ingat kita hari ini akan ke rumah sakit menemui Dokter Damberrain," kata Margareth mengingatkan Yerinsa tentang jadwal pemeriksaan mereka hari ini.

"Iya, Bu," angguk Yerinsa tentu saja ingat.

Malam ini adalah waktu Gabriella dan Abrady datang ke pesta pembukaan perusahaan cabang keluarga Luga, diadakan di sebuah hotel bintang lima, tidak mungkin Yerinsa tidak memperhatikan hari.

Malam ini juga artinya plot novel akan dimulai, setelah banyak pertimbangan dan cara, akhirnya Yerinsa memiliki satu rencana cukup nekat yang tidak diketahui siapapun selain Tuhan.

Setelah acara sarapan hangat mereka, Margareth mengantar kepergian suami dan anaknya di depan pintu.

"Hati-hati, sweatheart," pesan Margareth setelah mengecup singkat pipi Gabriella.

"Iya, Bu," balas Gabriella melangkah mundur sambil melambai.

Jalan ke kantor Abrady dan SMA Gabriella memang searah, jadi setiap pagi mereka berangkat bersama, sementara pulang dijemput supir.

"Yerin, kamu jangan melakukan apapun hari ini, siang nanti kita akan ke rumah sakit," kata Margareth begitu berpaling dari pintu, melihat Yerinsa duduk di sofa dekat tangga utama.

"Iya, Ibu. Memangnya aku bisa melakukan apa?" balas Yerinsa mengalihkan perhatian dari handphone dengan mencibir.

"Siapa tau kamu nanti lupa dan malah beraktifitas, lalu kelelahan sampai tidak bisa pergi," decak Margareth bersidekap.

"Aku tidak akan lupa," kata Yerinsa kali ini dengan senyuman.

Margareth mengangguk. "Bagus. Kalau begitu Ibu akan ke kamar saja sekarang," katanya sebelum pergi berlalu.

Yerinsa menggumam singkat, masih duduk nyaman berpangku kaki di sofa, memainkan handphone.

***

Sekitar pukul dua siang, Margareth kembali mencari Yerinsa untuk pergi saat ini ke rumah sakit sesuai jadwal temu dengan dokter.

"Ibu mencariku?" tanya Yerinsa dari arah lorong kamar sendiri, bergegas mendekati Margareth yang akan menuruni tangga.

"Iya. Cepat siap-siap, kita pergi sekarang," jawab Margareth dengan lirikan karena sedang memasang gelang di tangan.

"Oh, baik. Aku hanya tinggal mengambil tas," kata Yerinsa sebelum berbalik kembali ke kamar.

"Ibu menunggu di bawah, tidak perlu berlari." Mauren memperingati keras pada kebiasaan baru Yerinsa yang suka berlari seperti dikejar waktu.

"Mauren! Katakan pada Yerin jangan berlari!" seru Margareth pada Mauren yang memang ditugaskan selalu mengikuti Yerinsa.

Mauren merunduk sopan sebagai gestur hormat. "Baik, Nyonya," sahutnya sebelum menyusul Yerinsa.

Margareth menuruni tangga melingkar bercat emas dengan lebar sekitar satu setengah meter itu, kaki dengan high heels hitam menginjak setiap anak tangga berlapis karpet merah maroon penuh kehati-hatian.

Seperti kata Yerinsa, ke kamar hanya untuk mengambil tas selempang hitam berisi dompet uang, cermin kecil, dan power bank untuk handphone. Keluar dari kamar lagi setelah merapikan kilat riasan di cermin rias sambil berdiri saja.

"Nona, tidak perlu berlarian, nanti Anda jatuh," peringat Mauren yang setia mengikuti sang nona muda.

Yerinsa tersenyum tanpa membalas, berhenti berlari tapi masih berjalan dengan langkah cepat sambil memasang jam tangan di pergelangan kiri.

Waktu lima menit hanya dihabiskan untuk berjalan dari lantai bawah ke kamar saja. Di kehidupan dulu, sebagai Teresia sudah terbiasa terburu-buru karna hidupnya memang selalu dikejar waktu.

Mansion mewah berlantai dua itu bergaya Belanda modern, letak rumah meninggi dari tanah, setiap lorong selalu ada lampu kristal di langit-langit. Bagian luar teras halaman depan terdapat cukup banyak pot bunga besar, tempat menanam berbagai bunga sesuai jenisnya.

"Ibu, berapa lama kita akan di rumah sakit nanti?" tanya Yerinsa sambil mengikuti langkah Margareth menuju pintu utama.

"Tidak akan lama," jawab Margareth tidak terlalu memuaskan.

Yerinsa cemberut, mereka menuju mobil yang menunggu di halaman dengan supir sudah siap membukakan pintu penumpang.

Setelah ibu dan anak itu masuk, supir menyusul masuk. Mobil perlahan melaju mengitari halaman sesuai jalur jalan yang dibuat, lalu menuju gerbang utama mansion.

Menit demi menit berlalu di perjalanan, hingga mobil memasuki parkiran basement rumah sakit besar. Beberapa perawat dan suster terlihat berseliweran dengan tugas masing-masing.

Margareth dan Yerinsa keluar dari mobil setelah pintu dibukakan supir, bergandeng tangan memasuki rumah sakit.

"Ibu, aku bisa berjalan tanpa digandeng," protes Yerinsa ingin melepaskan gandengan dari wanita berdress biru malam di sampingnya.

"Tidak, nanti kamu tersesat. Rumah sakit ini pasti menjadi asing sejak kamu kecelakaan," tolak mentah Margareth, semakin merekatkan Yerinsa padanya.

"Ini sudah ke dua kalinya aku ke sini sejak kecelakaan itu, Bu. Aku ingat," kata Yerinsa memutar mata malu.

"Diam saja," bisik Margareth mendesis.

Yerinsa menghela napas panjang, baru tau bahwa Margareth sangat berlebihan akan kelemahan fisiknya.

"Ash-!"

Berbelok ke salah satu lorong rumah sakit, mereka berpapasan dengan beberapa orang hingga tubuh kecil Yerinsa tersenggol salah satu pria bertubuh kekar itu.

Perbedaan badan membuat Yerinsa kalah dan jatuh terduduk, gandengan pada Margareth juga terlepas. Yerinsa meringis merasakan pantat nyeri karena membentur ubin.

"Astaga-! Tolong Anda kalau berjalan itu hati-hati, anak saya masih sakit! Sembarangan saja menabrak, di rumah sakit kenapa harus berjalan rombongan seperti ini, mengganggu pengunjung lain saja."

Jiwa Margareth sebagai seorang ibu yang over menjadi tersulut melihat Yerinsa jatuh, wanita itu mengomeli para pria berpakaian hitam itu tanpa rasa takut.

"Bu, aku baik-baik saja," kata Yerinsa melerai karena malu sendiri ditatapi banyak pengunjung lain.

Margareth menoleh, merunduk untuk membantu Yerinsa berdiri. "Di mana yang sakit? Akan Ibu panggilkan suster untuk membawakan brankar untukmu," katanya mencecar cemas.

"Tidak perlu, Bu, kita lanjutkan mencari Dokter saja," tolak Yerinsa sambil bangkit berdiri.

Di antara pasang mata yang melihat kejadian perselisihan kecil itu, salah satunya adalah seorang laki-laki dengan jaket hitam dan celana jeans hitam robek-robek, berdiri di antara pria-pria kekar.

Mata amber tajam itu memperhatikan Yerinsa dengan jeli dari atas kepala hingga ujung kaki.

"Ayo, Bu," ajak Yerinsa menarik Margareth untuk melanjutkan langkah mereka.

"Tapi, Sayang," protes Margareth, tidak puas karena belum mendapat permintaan maaf.

"Ibu, aku baik-baik saja, ini hanya jatuh." Yerinsa memelas menatap Margareth agar mau segera pergi dari tempat ini, mengakhiri perselisihan absurd mereka.

"Baiklah. Ayo," angguk Margareth akhirnya mengalah.

Yerinsa tersenyum, sekilas menoleh pada pria besar yang bertabrakan dengannya, lalu merunduk sedikit. "Maaf, kami permisi," ucapnya berpamitan.

Tidak sengaja mata Yerinsa bertemu pandangan dengan seseorang di antara pria seragam berpakaian hitam itu, tapi style baddass sangat bertolak belakang.

"Apa-apaan kamu, dia yang harusnya minta maaf, bukan kamu," protes Margareth sengit, memutuskan kontak mata Yerinsa dengan si laki-laki asing.

Yerinsa cengengesan sambil menarik sang ibu menjauh, bergelayut di lengan Margareth tanpa membalas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status