"Aku suka padamu, mau jadi pacarku?"
Kantong makanan Ivy jatuh, matanya terasa buram melihat sang kekasih tengah memeluk seorang gadis di depan pintu apartemen pria itu. "Bagaimana dengan pacarmu?" "Aku tak mencintainya lagi." Ivy menggeleng kuat, pedih mencengkeram dadanya. Ia berusaha bernapas susah payah. Air mata jatuh berderai ketika sang gadis berlari pergi membawa hatinya yang hancur. "Molly, kau di bar?" Ivy terisak, mengusap air mata sambil masuk ke dalam taxi yang baru saja berhenti. "Ya! Tapi di bar lagi sibuk, ada tamu VIP yang datang! Kenapa?" Ivy menggeleng, suaranya tercekat air mata. "Iv, ada apa?" Suara ribut terdengar di latar belakang sambungan telepon sahabatnya. "Aku ke sana ya." "Ok, nanti aku coba curi waktu buat nemuin kamu." "Ok." Ivy mematikan ponsel dan menangis tergugu. Perjalanan cintanya selama 5 tahun sudah hancur, sang kekasih ternyata mengkhianatinya. *** Bar Stars. "5 tahun kami pacaran Molly! Si sialan itu bilang tak mencintaiku lagi!" Ivy menegak teguila-nya. Entah sudah gelas ke berapa. "Cukup, Iv! Kau sudah mabuk!" Molly meraih gelas Ivy, menjauhkan dari gadis malang itu. "Molly! Berikan padaku!" "Molly!" Rekan kerjanya berteriak. "Bos memanggilmu!" "Iv, aku pergi dulu. Jangan ke mana-mana ok! Jangan minum lagi!" Molly beranjak pergi tergesa-gesa. "Mana minumanku?" Pandangan Ivy mulai ganda, sang gadis meraba-raba sekitar, tak menemukan gelas yang sudah dibawa Molly. "Bartender! Hei! Aku butuh vodka!" Tak ada yang menjawab karena suasana memang sedang ramai, apalagi musik berdentum heboh. Ivy berjalan sempoyongan, berniat menuju meja bar, tapi baru beberapa langkah, dia merasa ingin ke toilet. Ivy berbelok arah, melihat sekumpulan gadis-gadis sedang mengantri memasuki sebuah ruangan. "Toilet ya?" Dia ikut mengantri. "Cepat! Cepat!" Seseorang mendorongnya dari belakang. Ivy masuk ke sebuah kamar penuh dengan gadis-gadis cantik nan seksi yang berjajar rapi. Ivy yang kebingungan dibariskan sejajar dengan gadis host. Cahaya ruangan temaram memperlihatkan aksi erotis dari penghuni ruangan ini. Beberapa pria sedang meliuk agresif di atas tubuh-tubuh tanpa sehelai benang pun di karpet bulu. Mencecap kenikmatan dunia. Jantung Ivy langsung berdetak tak karuan. Apa-apaan ini? "Hanya ini yang kau punya?" Suara bass seorang pria menarik atensi Ivy. Pandangannya yang buram membuat Ivy tak bisa melihat jelas wajah pria itu, tapi sang gadis tahu, postur tubuh si pria terlihat proporsional, menarik di mata. Pria memesona itu duduk menyilangkan kaki, sementara gadis-gadis bergelimpangan di bawah kursinya dengan sikap memuja. "Ini gadis-gadis baru yang kau minta, Tuan!" Si pria memesona mengangguk paham, memindai melalui retina hijau cemerlangnya, menatap tajam tubuh para gadis. Molek dan aduhai, mampu membuat darah para pria berdesir panas. Lantas ia berdiri, melangkah dari ujung terjauh Ivy. Beberapa gadis mendelik centil, ada juga yang menyentuh dada dengan gerakan sensual seraya mengedipkan matanya menggoda. Degup jantung Ivy berdetak tak karuan. Tatapan itu bisa membunuh hati seorang wanita dalam arti harfiah. Damn! He's so hot! Dengan kemeja yang terbuka beberapa kancing atasnya, memperlihatkan collarbone seksi. Ivy lupa kenapa dia berdiri dan menunggu bukannya protes dan berteriak memarahi pelayan Bar Stars yang mengira bahwa dia adalah salah satu dari gadis host, hanya karena ia salah ngantri. "Permisi! Sorry! Excuse me! Hello!" Tak ada yang menjawab panggilannya. Ivy hendak beranjak pergi, tapi langsung ditarik kembali ke dalam barisan. "A-aku bukan—" "Berdiri yang bagus, jangan mengacau!" Pelayan bar memarahinya. Si pria VIP mulai memegang dagu gadis-gadis satu per satu untuk mengamati wajah mereka. Para host berharap dipilih olehnya, mereka tersenyum semanis gula dan menggoda si pria dengan gerakan vulgar. Bukannya tertarik, pria itu menatap mereka dengan ekspresi datar. Sampai akhirnya ia tiba di hadapan Ivy. Mata keduanya bertemu. Senyum di bibir pria tampan itu terulas, miring, tertarik ke atas di satu sisi. Seolah dia menemukan sesuatu dalam wajah si gadis. Apa ada yang lucu? Apa yang dia lihat? Ivy mengedip bingung. "Aku pilih yang ini." Ia menunjuk Ivy. "Apa?!" Ivy tak menyangka dia akan dipilih. Napas panasnya menerpa wajah Ivy saat pria itu mendekat. Bibir merahnya berbisik, membuat tubuh Ivy merinding. "Kau ... milikku malam ini." "Ok! Yang lain keluar!" Pelayan berteriak, meminta gadis-gadis host berbaris keluar, mereka terdengar kecewa dan mendesah kesal. Bagaimana bisa, gadis mabuk berpenampilan biasa saja bisa membuat tamu VIP ini tak mengalihkan pandangan dari wajahnya. Bahkan salah seorang gadis dengan sengaja menyenggol kaki Ivy saat ia berjalan ke pintu. Ivy yang hampir terjatuh disambut oleh tangan kekar pria tampan itu. "Bos! Kapan kau mulai? kami sudah bersenang-senang." Para pria yang dilihat Ivy sebelumnya semakin semangat melebarkan kaki gadis di bawahnya. "Diamlah kalian. Siapa namamu?" "Ivy Gilmore," jawab Ivy, berusaha melepaskan diri dari kungkungan kuat pria perkasa itu. "I'm sorry, sepertinya kau salah paham, aku bukan host." Ivy kembali limbung, pria itu menahan kuat pinggang ramping Ivy. "Aku tak peduli, aku sudah membayar mahal untuk malam ini." Jawaban pria itu membuat Ivy tak percaya. Gadis itu panik, melambaikan tangannya. "Apa kau mabuk?" "Kau yang mabuk, Ivy." Jemari panjang berurat milik pria itu mengusap bibir Ivy perlahan. "Sorry, Tuan—" Bohong jika Ivy bilang dia tak tertarik, pria ini memiliki sex appeal yang kuat, tapi pemandangan sensual di ruangan ini membuatnya ketakutan. "Daniel." Bahkan suara seksinya membuat darah Ivy berdesir. "Tuan Daniel, dengar! Cari saja gadis lain, aku bukan—" Bibirnya langsung dibungkam ciuman panas. Ivy melawan, mendorong tubuh atletis Daniel, tapi pria itu bergeming. Lambat-laun perlawanan Ivy berhenti, alkohol mengaburkan akal sehatnya. Ciuman manis Daniel terlalu memabukkan untuk ditolak. Daniel melepaskan ciumannya supaya Ivy bisa menarik napas sesaat. "Sudah kubilang, aku tak peduli. Kau milikku malam ini." Tanpa persetujuan, Daniel membopong tubuh Ivy, membawanya ke sofa empuk. Detak jantung Ivy hampir melompat keluar dari rongga dada, dia belum pernah bersetubuh sebelumnya. "Tunggu dulu, Daniel!" Zoe memerangkap wajah tampan di hadapannya. "Aku perlu ke toilet." "Kau bisa melakukannya di sini." Daniel menekan area perut bawah Ivy, membuat gadis itu menggelinjang geli. "A-aku perlu minum." Daniel meraih botol wiski di meja kaca, minum dari mulut botol dan langsung mengecup bibir Ivy, menyalurkan cairan tersebut. Seumur hidup, Ivy belum pernah mendapat perlakuan sevulgar ini, bahkan dengan mantan pacarnya saja hanya ciuman biasa tanpa pertukaran saliva. Harusnya Ivy merasa jijik, tapi tidak! Ya tidak! Cairan yang turun ke tenggorokannya terasa semanis madu. Mungkin dia sudah gila, sakit hati membuatnya mabuk dan terjebak dengan pria asing ini. Oh, Damn! Seolah harinya tak cukup buruk. "Ivy." Namanya dilantunkan penuh pujaan, wanita mana yang tak suka dipanggil seperti ini. Ivy menjawab dengan desahan lirih. "Daniel, aku ...." "Hm?" Daniel mengecup sisi leher Ivy yang jenjang, menandai kulit mulus gadis ini. "Daniel, sebentar." Ivy melenguh, bagian sensitif di belakang telinganya disentuh pria tampan itu. Bibir Daniel tersenyum semakin lebar, wanita begitu mudah ditaklukkan di bawah kakinya. "Ivy. Kita perlu pemanasan. Aku ingin kau menikmatinya." "Jangan. Aku belum pernah melakukannya." Entah kenapa dia mengakui hal tersebut di depan orang asing yang baru pertama kali bertemu, Ivy merasa berani karena alkohol. "Sungguh?" Mata Daniel berbinar senang. Seorang perawan. Sangat sulit dijumpai di bar murahan seperti ini. Wah! Hari ini dia merasa sangat beruntung. "Lepaskan aku!" Ivy mendorong Daniel, berusaha menelusup lewat celah tubuh sang pria. Daniel tertawa kecil, membiarkan Ivy merangkak menuju pintu. "Bos, kelincimu mencoba kabur!" Tawa mesum mereka semakin membuat Ivy takut. Daniel tertawa bersama mereka, berjalan santai dan menarik kaki jenjang Ivy. "Sudah kubilang, kau milikku malam ini!" Dia melempar gadis malang itu ke sofa. "Oh tidak!" Ivy berseru ngeri, melihat Daniel mulai melucuti pakaiannya.Satu meja langsung heboh mendengarnya. Mr. Jacob tertawa paling keras. Daniel dan Ivy juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagia mereka.Setelah makan malam menyenangkan itu berakhir, hari-hari berjalan dengan damai. Daniel mulai menjalani terapi untuk masokisnya, kondisi Ivy juga semakin membaik. Keduanya menjalani konseling untuk masalah berbeda.Dean tumbuh menjadi balita yang sehat. Mr. Jacob dan Nicolas selalu mengunjungi Mansion Forrester secara rutin untuk melihat Dean. Apalagi hubungan mereka semakin erat setelah Nicolas dan Priskila resmi berpacaran. Ivy merasa hidupnya sekarang jauh lebih baik, ternyata badai tak selamanya mengobrak-abrik perahu kehidupannya. Pelangi akhirnya bersinar indah.Daniel berubah drastis, selalu menjadi suami terbaik bagi Ivy. Jika dia menyerah dulu, atau tak pernah membuka hatinya, mungkin ... dia tak akan sampai di titik ini. Di mana cinta mereka akhirnya menciptakan harmonisasi rumah tangga yang baik."I love, Iv." Setiap pagi Ivy selalu diberka
Langkah kaki terdengar dari arah lorong. Pintu dapur terbuka pelan, dan Priskila masuk begitu saja tanpa memberi aba-aba. Semua kepala menoleh. Nicolas yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk terdiam, Ivy menurunkan sendoknya perlahan, dan Mr. Jacob berhenti tertawa.Daniel berdiri dari kursinya. Wajahnya langsung berubah. Ia berjalan cepat ke arah Priskila dan memeluk adik perempuannya erat. Senyum lebar terpancar di wajahnya.“Ini adikku, Priskila,” ujar Daniel sambil menoleh ke arah Nicolas.Nicolas mengangguk dan mengulurkan tangan, masih tampak sedikit kaget. Priskila menyambutnya dengan tenang, mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Senyum Priskila ramah, tubuhnya tegap, dan caranya berdiri memberi kesan percaya diri.Hari itu, Priskila mengenakan kemeja putih, dipadukan dengan rok hitam panjang. Rambutnya tergerai rapi, kulitnya terlihat bersih dan cerah. Ia tampak sangat berbeda dari terakhir kali Ivy melihatnya. Priskila sangat anggun.Meski kehadiran wanita itu tib
Ivy menjentik kepala Daniel main-main. "Nanti, kalau kau benar-benar bisa sembuh, kita bisa memikirkan anak kedua."Daniel tersenyum lebar. "Apa pun untuk Tuan Putriku, tapi ...." Daniel menangkap jari Ivy."Apa?!" "Kita tetap melakukannya selama sesi terapi. Kau tau aku tak bisa jika tak—" Bibir Daniel langsung dibungkam Ivy.Kedua pipi Ivy bersemu merah. "Tergantung ....""Tergantung apa?" Daniel menjulurkan lidah, menjilat telapak tangan Ivy, membuat wanita itu buru-buru menarik jemarinya."Kau patuh atau tidak." Daniel tertawa kecil, renyah, jantung Ivy berdebar mendengarnya. Ia ingin menggoda Daniel, tapi kenyataannya, lagi-lagi Ivy malah terbawa suasana. Wajah tampan Daniel begitu memesona, mata hijaunya yang mengerut kecil sewaktu ia tertawa, hidung mancung yang menggelitik telapak tangan Ivy, juga ... bibir merahnya, yang membuat Ivy ingin menanamkan kecupan mesra."Jangan tertawa.""Kenapa? Kau ingin mendengarku mengerang saja?" tanya Daniel jail. "Kau bisa mencobanya, di
Dalam masa pemulihan Ivy, Nicolas datang bersama ayahnya. Keduanya meminta waktu pada Daniel sejenak. Kali ini Daniel melunak, tak membantah sama sekali dan memilih meninggalkan ruangan Ivy. Ia memilih berjalan di koridor, membeli kopi instan dan duduk di ruang tunggu. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, matanya menutup sejenak. Dan setelah sekian hari terjaga demi mengurus Ivy, Daniel tertidur dengan lelap. Kaleng kopinya jatuh berguling ke lantai, membuat jejak basah, tapi pria itu sudah tak sadar lagi.Mr. Jacob memegang tangan Ivy, duduk di samping kiri brankar sementara Daniel di sisi kanan. Keduanya menatap Ivy dengan tatapan sendu."Iv, ayah minta maaf atas semua yang terjadi. Bisakah kau memaafkan ayah dan Nic?" Suara tuanya bergetar pelan.Ivy mengulas senyum tulus, membuat Nicolas menarik napas dalam. "Tidak," jawabnya pelan."Apa?" Nicolas terkejut."Tidak sampai kalian akur dengan Daniel, jangan lagi ada pertikaian atau perebutan apa pun di antara kalian. Aku manusia A
Ivy berdiri di tempat yang gelap. Tidak ada dinding, tidak ada langit, hanya permukaan basah dan dingin di bawah kakinya. Udara di sekelilingnya begitu sunyi, tapi terasa berat. Di kejauhan, dia melihat sosok Daniel. Punggung pria itu menjauh perlahan, langkahnya tertatih.Pakaian Daniel berlumur darah. Bahunya terguncang setiap kali ia melangkah, tubuhnya miring seperti menahan rasa sakit yang besar. Ivy mencoba memanggilnya, tapi suaranya tak keluar. Ia mengangkat tangan, berusaha berlari, tapi kakinya terasa berat seperti ditanam di tanah. Setiap langkahnya lambat, seperti mendorong tubuh melawan air.Daniel terus menjauh. Ivy menggapai udara kosong, matanya basah. Tangisnya pecah dalam diam. Ia tak bisa mendekat. Tak bisa menyentuh. Tak bisa menahannya pergi.Saat jarak antara mereka semakin jauh, Daniel menoleh sebentar. Wajahnya pucat, tatapannya kosong, lalu ia membalikkan tubuh lagi dan terus berjalan. Ivy merasakan dadanya sesak. Ia berteriak dalam hati, lalu tubuhnya tersent
Dor! Satu tembakan mengenai lengan atas Daniel. Pria itu terjerembap jatuh bersama teriakan memilukan Ivy."Daniel!" Ivy melindungi tubuh suaminya dengan badannya sendiri."Iv, pergilah." Daniel berusaha mendorong Ivy menjauh, dia harus membereskan Nicolas di sini. Hidup atau mati."Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu, tidak lagi." Ivy berbalik menghadap Nicolas, berdiri dengan kedua tangannya direntangkan."Ivy! Ini masalah antar lelaki! Menjauhlah!" Nicolas berjalan semakin dekat. Ivy merasa putus asa tak bisa melakukan apa pun. Tidak! Dia tak ingin menjadi wanita lemah lagi, tidak lagi!Wanita itu merangsek maju tiba-tiba, memeluk tubuh Nicolas dan berusaha merebut pistolnya. Daniel yang melihat hal tersebut segera mendekat untuk membantu.Sayangnya sebelum dia bisa terlibat suara tembakan terdengar keras."Ivy ... kenapa? Kau ...." Mata Nicolas membelalak tak percaya. "Tidak ada lagi ... yang harus diperebutkan. Aku ... tak mau melihat ada yang mati lagi." Ivy berdenguk, darah m