Amy Forrester bukanlah wanita biasa yang akan membiarkan apa yang sudah berada di tangannya direbut oleh orang lain. Dia tahu, dalam kondisi saat ini tak akan mungkin membongkar hubungannya dengan Daniel pada suaminya. Pria itu tak akan memaafkannya, tidak saat dia telah memiliki wanita lain.Amy menggigit kukunya, menatap layar ponsel dengan cemas. Angkat teleponmu sekarang juga! Ketiknya cepat.Tak lama kemudian ponselnya mulai berdering. "Hallo, kenapa lama sekali?" hardik Amy marah."Sudah kubilang jangan menghubungiku jika tak penting.""Aku juga tak akan menghubungimu jika tak perlu, rencana kita gagal. Daniel tak takut dengan ancamanku."Terdengar tawa kecil di seberang sana. "Tentu saja dia tak takut, sekarang dia sudah melebarkan sayapnya di bisnis senjata. Bahkan Mr. Forrester sekarang tak akan bisa menganggunya.""Apa?!" Amy menggigit bibir. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"Terdengar tarikan napas keras. "Aku tak menyangka bekerja sama denganmu ternyata sia-sia. Kau t
Amy menyadari, walaupun Daniel tidak langsung menanggapi godaannya, ada sesuatu yang tersirat di matanya—sebuah ketertarikan yang tak bisa ia pungkiri. Saat dia menyentuh lengan Daniel, ada keheningan sejenak sebelum akhirnya Daniel menarik napas panjang dan menggeser gelasnya menjauh dengan kasar."Amy," ujarnya dengan suara lebih berat, penuh peringatan, "Kita tidak perlu bermain-main seperti ini."Amy hanya tertawa pelan, menarik kembali tangannya, lalu mundur beberapa langkah dengan senyum penuh arti. "Baiklah, Daniel. Aku kalah. Dia memang luarbiasa sampai bisa membuatmu seperti ini."Amy tersenyum penuh arti, langkahnya tenang, tapi penuh keyakinan saat dia mundur sedikit, berbalik hendak meninggalkan Daniel. Namun, sebelum dia bisa pergi lebih jauh, sesuatu dalam diri Daniel seolah pecah. Rasanya seperti ada dorongan yang tak bisa dihentikan—sesuatu yang mendalam dan mengganggu—dan tanpa sadar, dia bangkit dari kursinya dan meraih tangan Amy, menariknya kembali.Amy tampak terk
Plak!Ivy terhuyung ke belakang, hampir jatuh menghantam lantai, beruntung dia berhasil memegang kursi sehingga bisa menyeimbangkan tubuh.Amy baru saja menamparnya sekuat tenaga, dia berhasil lolos dari penjagaan Daniel. Ivy yang kepalang tanggung dikuasai emosi, tak memedulikan kondisinya yang sedang hamil. Dia menerjang ke arah Amy, memukul wanita itu."Cukup!" Daniel menahan lengan Ivy, menariknya menjauhi Amy."Oh, jadi kau membelanya!" teriak Ivy gusar. Daniel tak menjawab, ia membopong istrinya ala bridal. Ivy memberontak dan memukul, tapi suaminya tak melepaskannya.Amy tertawa keras di belakang mereka, membuat darah Ivy semakin mendidih. "Sialan! Lepaskan aku! Akan kuhajar wajah sialannya itu! Lepaskan!" Ivy tak ingin begini, mungkin karena hormon hamilnya membuat menjadi begitu mudah tertawa emosi. Dia tak bisa mengendalikan amarahnya.Daniel menggertakkan gigi saat rambutnya dijambak, pipinya dipukul, Ivy bahkan sampai menggigit pundak pria itu agar melepaskannya."Ivy! C
Daniel yang terkejut dan cemas, langsung berlari menuju kamar dengan langkah terburu-buru. Begitu memasuki kamar, ia mendapati Ivy tergeletak lemah di atas ranjang, wajahnya pucat dan bibirnya terkatup rapat. Daniel segera mendekat, matanya penuh kekhawatiran. “Ivy? Ivy, bangun. Ivy!” Ia menoleh cepat pada Jenna. "Apa yang terjadi?""Nyonya menolak makan, lalu tiba-tiba pingsan.""Fuck! Ivy, sadarlah!"Tidak ada jawaban, hanya napas yang berat terdengar dari hidung wanita itu. Daniel dengan cepat meraih tubuhnya, mengangkatnya dengan hati-hati. "Jenna siapkan mobil!""Baik Tuan!" Jenna bergegas melakukan perintah Daniel.Pelayan ikut berlari keluar, sementara Daniel memeluk tubuh Ivy, membawanya keluar dari kamar menuju ruang tamu.Sopir sudah menunggu dengan pintu mobil terbuka lebar. Daniel memasukkan istrinya ke kursi belakang, lalu ikut masuk. Kepala Ivy diletakkan di pangkuan Daniel."Cepat jalan!""Baik, Tuan."***Beberapa saat kemudian, di rumah sakit.Lorong rumah sakit itu
Ivy menatap jalanan di luar, tak ingin berbicara dengan Daniel, meskipun pria itu memegang lengannya dan membisikkan kalimat-kalimat menenangkan."Dokter bilang asal makan dengan teratur, semua akan baik-baik saja. Jangan tunda makan lagi ya."Ivy memilih menjadi orang bisu. "Jika kau marah padaku, pukul aku, tapi jangan sampai menyakiti dirimu sendiri."Akhirnya Ivy menoleh menatapnya. "Untuk apa menyakiti tanganku, di saat hatiku sudah sakit."Daniel menghela napas kasar. "Kau ingin pindah ke tempat yang lebih tenang? Di pedesaan?""Kau tahu apa yang aku mau Daniel.""Please, Iv." Sekarang, mereka bahkan tak bisa berkomunikasi seperti biasa.Sang sopir yang sekaligus bertindak sebagai bodyguard diam-diam mengernyit tak percaya. Daniel Forrester adalah pria kejam yang tak tunduk pada siapa pun. Sudah berapa wanita yang ia buat menangis, berapa pria yang ia bunuh. Namun lihat sekarang, di hadapan Ivy Gilmore, pria itu tampak tak berdaya. Jika musuh mereka tahu, mereka bisa dengan mud
Ivy tak mengerti kenapa dia bertindak seperti ini. Cinta memang buta, berapa kali pun Daniel menyakitinya, Ivy tak sanggup melihatnya terluka.Jika dia harus mati, Ivy bersedia mati bersama Daniel. Cinta, mampu membuat orang kehilangan segalanya, bahkan nyawanya sendiri.Dor!Tembakan itu mengenai tanah karena pria bertopeng lain mendorong lengan temannya hingga sasarannya meleset."Hei! Apa yang kau lakukan?" hardik pria yang hendak menembak Daniel marah."Jangan membunuh mereka dulu. Lihat!" Ia mengedikkan kepala pada Ivy. "Kapan lagi kita bisa menikmati wanita secantik ini. Top tier."Senyum pria satunya langsung melebar, lidahnya terjulur penuh nafsu.Ivy tak bisa mendengarkan mereka, matanya fokus memperhatikan Daniel. Darah pria itu terlalu banyak keluar. Kenapa bodyguard Daniel tak mengikuti mereka? Ke mana mereka saat tuannya sekarat seperti ini? Ivy menggertakkan gigi, berusaha menahan darah keluar dengan tangannya.Bibir Daniel bergerak pelan, Ivy langsung menunduk. "Lari, d
Tatapan Ivy terfokus pada sosok Daniel yang terbaring tak berdaya. Suara alat-alat medis yang bekerja memberikan kesan bahwa waktu seakan berhenti. Lampu-lampu putih yang redup di langit-langit hanya memperburuk suasana yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan."Ivy, Nyonya Ivy! Ayo keluar dulu, lebih baik—" Christian berusaha menarik lengan Ivy."Tidak!" Ivy mengempaskan tangannya, berlari ke arah dokter dan perawat yang sedang bekerja."Dok! Bagaimana kondisi suamiku?"Dokter menatap Christian, seolah meminta persetujuan untuk memberitahu Ivy. Christian menghela napas, mengangguk pelan. Toh Ivy sudah terlanjur melihat kondisi Daniel, berbohong juga percuma saja."Mr. Forrester mengalami koma karena syok hipovolemik."Pupil mata Ivy melebar ketakutan. "Apa maksudnya, Dok?""Mr. Forrester kehilangan banyak darah, jantungnya tidak dapat memasok darah yang cukup ke tubuh."Ivy merasa dunianya ambruk, dia terhuyung ke belakang. Beruntung Christian dengan sigap menopang tubuhnya.Christ
Amy baru berusia 14 tahun saat dia dibawa ke rumah bordil oleh ayahnya sendiri. Tidak! Ayah tirinya. Karena ayahnya sendiri entah siapa. Ibunya memilih diam ketika Amy menjerit ketakutan, berharap wanita yang melahirkannya akan menyelamatkannya. Sayangnya tidak! Amy tahu hal itu mustahil, tapi dari lubuk hatinya, dia masih berharap. Ya! Dia masih berharap."Ah, akhirnya kau membawa putrimu juga!" Wanita pemilik rumah bordil itu menyambut ayahnya dengan wajah berbinar. Pundi-pundi uang akan mengalir deras, mengingat gadis muda yang diincarnya akhirnya datang. Ya! Amy muda begitu menawan, rambut cokelatnya dan mata biru yang indah. Hidungnya mancung, bibirnya penuh, dengan lekuk tubuh memukau walaupun usianya masih sangat muda."Berikan uang yang kau janjikan padaku!""Sabar! Biar kuperiksa dulu apa dia masih perawan." Wanita pemilik rumah bordil itu menarik lengan Amy yang sudah gemetar ketakutan."Dia masih perawan!" teriak ayah tirinya berang. "Kau tak percaya padaku, Helga?""Tida
Langit pagi di hutan masih tampak kelabu, diselimuti kabut tipis yang menggantung rendah. Dari celah sempit di dinding batu, Daniel mendorong tanah basah dengan tangan telanjang, kuku-kukunya kotor dan berdarah. Napasnya terengah, tapi tekadnya tak goyah.Ia telah bersembunyi selama semalam di ceruk sempit itu, nyaris tak bergerak, hanya ditemani suara angin dan gemeretak ranting. Kini, dengan sisa tenaga, ia menggali jalan keluar. Tanah runtuh perlahan, membentuk lubang cukup besar untuk tubuhnya menyelinap keluar.Begitu berhasil keluar, Daniel terhuyung, lututnya lemas. Namun, suara mesin dari kejauhan membangkitkan semangatnya. Ia berlari meski kakinya gemetar, menuju jalanan berkerikil yang membelah hutan.Sebuah mobil tua melaju pelan, lampu depannya menembus kabut. Daniel melambaikan tangan dengan sisa tenaga, tubuhnya nyaris roboh di tengah jalan.Mobil itu berhenti mendadak. Seorang pria paruh baya keluar, wajahnya terkejut melihat kondisi Daniel.Pengemudi bertanya, "Astaga!
Tak pernah terpikirkan dalam benak Ivy sebelumnya, kalau dia akan berakhir di tangan Christian. Baginya, Christian berbeda dari pria yang selama ini mendekati Ivy. Pria itu selalu sopan. Siapa yang menyangka, justru Christian menyembunyikan watak aslinya dengan sangat baik. Mengkhianati bosnya, menjebak Nicolas, dan sekarang memerangkap Ivy dalam nafsu butanya. Semua pakaian Ivy sudah berserakan di lantai. Christian menindihnya dengan buas, memasuki Ivy tanpa pemanasan sama sekali. Ivy hanya bisa menutup matanya, menggigit bibir sampai berdarah. Berusaha menahan kesakitan. Semua akan berakhir, dia terus mengulang satu kalimat yang sama.Namun nyatanya, air mata terus bergulir membasahi wajah cantik wanita itu. "Jangan menangis. Aku akan memberikan semua padamu, Iv. Kau hanya perlu berperan sebagai seorang istri. Seperti kau melayani Daniel."Tidak akan sama bagi Ivy, hatinya mencintai Daniel, tapi tidak dengan Christian. Ia tak pernah jatuh hati pada pria ini."Iv. Cinta akan tum
Ivy sedang menikmati kesendiriannya di ruang tamu, ketika tiba-tiba suara mobil memasuki halaman mansion. Dengan cepat, dia melangkah menuju pintu depan, berharap melihat suami yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang.Namun, ketika pintu terbuka, bukan wajah Daniel yang dilihat, melainkan Christian. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang agak canggung. "Christian? Kamu ... bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Ivy dengan nada terkejut dan bingung. Wajahnya yang semula cerah seketika berubah pucat. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Maaf, Ivy, aku tahu ini mengejutkan," ujar Christian, melangkah masuk sambil melihat sekeliling. "Ada hal penting yang perlu kita bicarakan tentang suamimu."Ivy merasa jantungnya berdetak lebih kencang, tangannya gemetar. "Apa maksudmu, Christ? Dia baik-baik saja, 'kan?" tanya Ivy, suaranya terdengar lirih dan khawatir. Christian menghela napas, matanya menunjukkan keberatannya untuk menyampaikan kabar yang dibawanya
Peluru melesat mengenai kepala anak buah Christian, tepat di tengah kening. Pria itu jatuh ke lantai dengan percikan darah mengenai Christian."Serang!" teriak Daniel.Sayangnya, tak ada yang bergerak. Semua anak buahnya malah berkecak pinggang, menatapnya dengan ekspresi penuh cemooh."Apa yang kalian lakukan?!"Christian tertawa kecil. "Dia kira, dia masih bosnya."Semua senjata terarah pada Daniel, tanpa terkecuali. "Kalian semua!" Daniel menggertakkan gigi, tak menyangka jika Christian berhasil mempengaruhi semua anak buahnya."Satu jentikan jari dariku saja, kau akan mati Daniel." Christian mengangkat tangan ke atas.Jantung Daniel berdetak kencang, matanya awas melihat sekeliling, jika dia menembak Christian pun tak ada kesempatan karena peluru dari anak buah pria itu akan menembus tubuhnya. Daniel hanya ingin pulang ke pangkuan Ivy. Dia tak ingin mati sebelum bertemu langsung dengan putranya."Akan kuberikan semuanya, beri aku kesempatan bertemu putraku sebelum kau membunuhku.
"Tidak! Tidak! Berapa kali harus kukatakan, bukan aku pelakunya!" teriak Amy marah di ruang interogasi."Lalu kenapa Mrs. Forrester harus berangkat hari ini? Jelas tiket baru dibeli hari ini." Sang penyidik melampirkan kertas berisi informasi pembelian tiketnya. Pengacara Amy berusaha menjelaskan dengan singkat, bahwa ini sebenarnya bukan mendadak, tapi Amy lupa membeli tiket. Alibi yang sungguh buruk. Amy mengusap wajahnya lelah. Siapa yang membunuh suaminya?"Ini juga ditemukan di kamarmu." Tumpukan berkas ditaruh di meja, menampilkan aset atas nama Amy. "Nyonya, kau mengincar harta suamimu bukan?""Tidak!" Astaga, jangan katakan kalau dia sudah ditipu oleh Christian. Apa Christian yang telah membunuh Mr. Forrester? Kenapa? Bukankah hubungan mereka terlihat baik. "Oh tidak! Tidak! Kalian!" Amy berdiri tiba-tiba, menarik tangan salah satu petugas. "Cepat! Kalian harus menyelamatkan Daniel Forrester!""Tenanglah Nyonya. Kami sudah memeriksa Daniel Forrester, dia baik-baik saja. Alibi
Puri Forrester, jam 9 pagi,Sinar matahari pagi menyinari garasi mewah milik Mr. Forrester. Di dalamnya, sebuah sedan hitam mengilap terparkir rapi. Seorang pria berpakaian teknisi, salah satu anak buah Christian, masuk dengan langkah tenang. Ia membawa tas peralatan dan berpura-pura memeriksa kendaraan.Dengan cekatan, ia memasang sebuah Under Vehicle Improvised Explosive Device (UVIED) di bawah kursi pengemudi. Bom ini dilengkapi dengan tilt fuse, sebuah tabung kecil berisi merkuri yang akan mengalir dan menutup sirkuit listrik saat kendaraan bergerak, memicu detonasi."Sudah selesai." Pria itu tersenyum, mengangguk pada bodyguard yang mengira pria teknisi ini adalah orang suruhan Mr. Forrester."Beri tahu Tuanmu untuk hati-hati lain kali, biayanya bisa dua kali lipat."Bodyguard terkekeh. "Bos punya banyak uang," ucapnya sombong."Ya, tapi kalau mogok di jalan lagi, dia harus mengganti mobil baru ini dengan yang lain.""Mobil mahal memang hanya tampilannya saja yang keren, isinya b
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen