“Boleh pergi,” lanjutnya.
Mendengar itu, Poppy tampak heran.Tadi Ezra begitu menggebu, tetapi sekarang nampak tenang?Meski demikian, Poppy tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera pergi dari hadapan Ezra. “Aneh sekali…."Ia segera pergi dan kembali ke ruangan cleaning service.“Bagaimana? Apa Pak Ezra meminta dibuatkan kopi yang baru?” tanya sang atasan begitu Poppy tiba di sana.Wanita itu sontak menggeleng. “Tidak, Pak Ezra meminumnya.”“Benarkah?” Sean masih tidak percaya karena sudah menjadi kebiasaan jika Ezra akan minta dibuatkan kembali kopi.Paling tidak, mereka harus melakukannya tiga kali dalam sekali Ezra ingin ngopi.Poppy mengangguk membenarkan.Melihatnya semakin membuat Sean tidak percaya. “Ini di luar nalar! Bagaimana bisa Pak Ezra langsung cocok dengan kopinya? Apa kamu….” Sean menatap Poppy penuh selidik, membuat wanita itu jadi gugup.“Saya tidak tahu,” balas Poppy cepat lalu membuang muka.“Ya sudah, karena kau tidak memiliki pekerjaan. Coba bersihkan ruangan yang ada di samping gudang karena akan kembali digunakan.”"Baik, Pak." Poppy menyanggupi.Untungnya, semua pekerjaan Poppy lancar setelahnya. Diam-diam, ia bersyukur karena Sean tak menyuruhnya lagi untuk membuat dan membawa kopi ke ruangan Ezra. Bahkan, untuk keesokan harinya. Hanya saja, Poppy tak tahu bahwa kebahagian itu tak berlangsung lama….*****Prang!“Kenapa kopi ini tidak enak!”Pecahan beling bertebaran di lantai lantaran Ezra melemparkan cangkir berisi kopi yang menurutnya tidak enak.Pria itu sudah melakukan hal itu untuk yang ketiga kalinya, hingga membuat Rexi ketakutan.“Maafkan saya, Pak.”“Lakukan yang benar! Aku ingin kopi seperti yang kemarin.”“Baik, Pak.”Rexi lantas membereskan pecahan kaca tersebut kemudian kembali ke ruangan.Wajahnya yang pucat membuat Sean heran. “Ada apa denganmu?”“Pak Ezra melemparkan cangkirnya lagi.”“Kalau begitu, buatkan yang baru.”Rexi menggeleng dengan cepat.“Tidak, saya tidak ingin melakukannya. Dia meminta dibuatkan kopi yang seperti kemarin, bukankah itu dilakukan oleh Poppy?”“Kau benar, kalau begitu panggilkan Poppy sekarang!”“Baik.” Tidak lama Poppy yang sedang membersihkan toilet diminta datang ke ruangan.“Ada apa? Saya masih ada pekerjaan.”“Ini lebih penting dari yang sedang kau kerjakan,” ujar Sean cepat, “Pak Ezra ingin dibuatkan kopi yang seperti kemarin, kau buatkan dan antarkan ke ruangannya.”Deg!Wajah Poppy langsung pucat.“Tapi—”“Jangan membantah dan lakukan dengan segera!” sela Sean membuat Poppy tidak bisa membantah lagi.Dengan berat hati, ia pun melakukan tugas itu segera.Hanya saja, ia bingung. Kenapa pria itu berubah rewel?“Aku harus menutupi kembali wajah agar dia tidak mengenaliku.”Saat Poppy sedang berusaha untuk menutupi wajahnya dengan rambut, hal tidak terduga terjadi karena ia yang tidak fokus melihat ke depan.Tanpa sengaja, ia malah menabrak seseorang sampai membuat kopi yang dibawanya tumpah mengenai baju orang itu.Terang saja seseorang tersebut murka karena pakaiannya jadi kotor.“Apa kau tidak memiliki mata?!”Mendengar suara yang tidak asing membuat Poppy ragu-ragu untuk mengangkat kepalanya. “Mohon maaf, Pak.”“Angkat wajahmu!“Apa kau tidak memiliki telinga juga? Sudah kukatakan untuk mengangkat kepalamu!” sentak Ezra lagi karena Poppy tidak juga mengangkat kepalanya.Karena desakan Ezra, Poppy tidak memiliki pilihan.Wanita itu lantas mengangkat wajahnya dengan perlahan. Hingga Ezra bisa melihatnya dengan jelas.“Kau ….” Mata pria itu menatap Poppy dengan ekspresi marah.Rasanya, Ezra ingin mengamuk pada perempuan yang membuatnya sulit move on ini.Lalu … kenapa tiba-tiba, mantannya itu bisa bekerja di perusahaannya?Sadar kebingungan di wajah Poppy, Ezra pun mengendalikan ekspresinya.Dengan nada mendominasi, pria itu tiba-tiba melanjutkan ucapannya, "Kembalilah. Aku akan memikirkan sanksi untukmu nanti.”“Ba–baik, Pak.”Dengan gugup, Poppy mengangguk. Ia langsung pergi begitu tak ada kata lagi dari Ezra meski dirinya bingung.****“Carikan informasi mengenai wanita yang tadi menumpahkan kopi pada kemejaku,” perintah Ezra kepada Kevin yang berstatus sebagai tangan kanannya.“Baik, Pak, saya akan melakukannya.” “Lakukan sekarang juga! Aku sudah tidak sabar ingin mengetahuinya.” “Baik, Pak, kalau begitu saya permisi." Setelah kepergian Kevin, Ezra mondar-mandir bergerak tidak tenang. “Poppy … bagaimana bisa dia bekerja di perusahaanku sekarang?” gumamnya menerka-nerka. Tok tok tok!Tidak lama ketukan pintu terdengar, mengalihkan perhatian Ezra. Pria itu lantas berseru, meminta seseorang yang ada di luar untuk masuk. Pintu terbuka, menampakan Kevin yang berjalan ke arahnya.“Kau sudah mendapatkannya?” tanya Ezra tidak sabar.“Sudah, Pak.”“Berikan!” Ezra merebut kertas yang dipegang Kevin kemudian mulai membaca dengan teliti setiap bait yang tertulis di sana. Mata Ezra memicing kala merasa ada yang janggal dalam informasinya. “Apa kau yakin jika dia seorang janda?” tanyanya kepada Kevin. “Iya, Tuan, seperti yang tertulis di sana, wanita bernama Poppy ini baru diceraikan oleh suaminya. Sayangnya tidak ada informasi alasan apa yang membuat dia diceraikan.”Ezra tersenyum miring karena memiliki asumsinya sendiri. “Kau boleh pergi.”“Baik, Pak.”“Ck! Apa dia mendekati nenek agar bisa kembali padaku?” gumam Ezra setelah kepergian sang asisten.Kepalanya menggeleng merasa tidak habis pikir dengan jalan pikiran Poppy. “Tidak semudah itu, Poppy. Aku tidak akan membiarkan rencana busukmu berhasil,” gumamnya penuh tekad. Setelahnya, pria itu tersenyum penuh arti.Tidak bisa memutuskan begitu saja, Sesil diam. Sehingga Keenan kembali menocba meyakinkan. "Sesil, aku benar-benar lajang." "Meski begitu, kita bahkan tidak saling mengenal.""Kita bisa belajar mengenal satu sama lain lebih dulu jika begitu." "Lantas jika aku tidak merasa cocok denganmu, bagaimana?" tanya Sesil menatap Keenan dengan tajam."Kita tetap harus menikah."Tentu saja keputusan Keenan membuat Sesil mendengus sebal. "Jika keputusannya sama, untuk apa melakukan pendekatan?"Keenan terkekeh kecil dengan tangan yang mengusap ujung kepada Alice. "Karena aku yakin kau akan merasa cocok denganku." Begitu percaya dirinya Keenan mengatakan itu, sehingga membuat Sesil lagi-lagi mendengus. "Kau terlalu percaya diri!" cetus Sesil."Kau akan merasakannya jika sudah menjalani." "Sayangnya aku tidak mau," ujar Sesil masih teguh dengan pendirian. Mendensah pelan, Keenan menatap Sesil dengan serius. "Sesil, pertimbangkan baik-baik. Ini demi Alice. Lagipula ... apa yang mampu membiay
Kali ini Sesil yang mengerutkan kening. Apa maksudnya Keenan mengatakannya bodoh? "Dari pada bingung, lebih baik kau ikut denganku!" ujar Keenan lantas mengajak Sesil untuk kembali ke restoran tempat ia berkumpul dengan teman-temannya.Tentu dengan tidak semerta-merta Sesil mau ikut. Wanita itu menggeleng lalu berkata, "Untuk apa aku ikut denganmu? Aku bahkan tidak memiliki kepentingan hingga harus mendengarkan penjelasanmu!" Mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu Keenan sadar jika ini tidak akan mudah. Terlebih ia dan Sesil yang bahkan hanya berhungan ketika malam itu saja. "Tentu saja kita memiliki kepentingan! Apa kau tidak lihat Alice merindukanku? Merindukan papa kandungannya!" Menggeleng dengan cepat, Sesil menyangkal itu semua. "Tidak, Alice tidak merindukanmu." "Benarkah?" Keenan lantas menoleh ke arah Alice yang sekarang berada dalam gendongannya. "Alice, apa kau tidak merindukan papa?" Tentu Alice yang masih polos tidak mengerti jik mamanya tengah menghindari pria ya
Sesil dan Alice langsung menoleh ketika mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika mengetahui yang memanggil mereka adalah Keenan. Hanya saja mereka memiliki reaksi yang berbeda. Jika Sesil langsung pucat. Sangat bertolak berlakang dengan Alice yang sangat bahagia. Gadis kecil itu bahkan langsung memanggil Keenan sambil melambaikan tangan. "Papa!" Keenan membalas lambaian tangan Alice kemudian berjalan mendekat. Membuat Sesil yang menyadari itu lekas pergi dari sana.Sesil berbalik sambil menarik Alice sedikit kasar karena takut akan kehadiran Keenan yang semakin mendekat. "Alice, ayo kita pergi!""Tidak! Aku ingin bertemu Papa." Alice menahan sekuat tenaga, tetapi tenaganya sangat jauh dari sang mama. Alhasil Alice terseret yang membuat Keenan yang melihat itu tidak terima. Keenan berlari, mempercepat langkahnya untuk mengejar Sesil. Sehingga kakinya yang panjang berhasil menyusul. "Tunggu!" seru Keenan seraya menghadang jalan Sesil sambil merentangkan kedu
Tiba di rumah, Sesil langsung memasukkan semua pakaiannya ke koper. Wanita itu tidak bisa diam saja karena takut jika Keenan akan merebut Alice darinya.Tidak, Sesil tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Ia yang mengandung dan melahirkannya. Sesil juga yang merawatnya sampai sekarang. Jadi yang berhak atas Alice adalah dirinya. "Mama, kita mau ke mana?" tanya Alice ketika Sesil selesai mengemasi pakaiannya, dan mengajak Alice untuk pergi. "Kita ke rumah nenek, Alice. Kau tau, Nenek sudah merindukan kita!" Dengan cepat Alice menggeleng. "Tidak! Aku akan tetap tinggal di sini," cetusnya."Alice---" "Papa sudah berjanji akan pulang, jadi aku akan menunggunya!" Sesil mendesah frustasi. Lagi-lagi anaknya itu bersikap keras kepala dalam keadaan genting seperti ini. Sehingga membuat Sesil semakin terpojok. "Kita bisa beritahu papa, biarkan papa menyusul nanti. Hemm?" Sekuat tenaga Sesil menahan dirinya untuk tidak marah kepada Alice. Karena bagaimanapun Alice tidaklah salah.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bisakah Anda tidak mengaku-ngaku sebagai papa dari anak saya?" Sesil menatap Keenan dengan tajam.Sementara Keenan tampak lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Banyak pelajaran yang pria itu ambil dari kejadian beberapa tahun terakhir. Sehingga ia bersikap lebih tenang. "Maafkan saya jika memang perbuatan saya tadi membuatmu tidak nyaman. Saya hanya ingin menyenangkan Alice," ucap Keenan begitu tenang.Sesil mendesah pelan lalu berkata, "Tetapi perbuatan Anda akan membuat Alice menjadi ketergantungan. Alice anak yang kadang keras kepala, jadi saya khawatir jika nanti Alice akan benar-benar menganggap Anda sebagai papanya." "Jika memang demikian ... saya tidak keberatan," ujar Keenan lagi-lagi membuat Sesil merasa pening. Seharusnya Keenan melakukan penolakan. Terlebih bagaimana jika istri dari pria itu salah paham andai melihat Alice yang memanggilnya dengan sebutan papa? Oh, ayolah! Sesil tidak tahu saja jika Keenan sudah menduda selama lima tahun ini
"Pak Keenan," tegur Gigi ketika melihat Keenan yang malah melamun. Sontak hal itu membuat Keenan terperanjat. Sehingga cangkir yang dipegangnya terjatuh. Prang! Pecahan kaca itu berserakan, membuat Keenan refleks menghindar. Pria itu mendesah sambil menunduk, menatap pecahan kaca tersebut dengan datar. “Dokter, tidak apa-apa?” tanya Gigi panik.“Hemm. Tolong panggilkan petugas kebersihan,” ujar Keenan sambil berlalu. Setelahnya Keenan mengembuskan napasnya dengan kasar. Entah kenapa senyum Alice terus menari-nari dalam pikirannya. Hingga dadanya berdebar-debar, seolah merasakan kerinduan yang mendalam. Padahal ia baru sekali bertemu dengan anak gadis itu! Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Sesil. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di sofa, lalu memejamkan mata. Pertemuannya dengan Keenan jelas membuat Sesil terganggu. Wanita itu bahkan menjadi teringat dengan malam panas bersama Keenan.“Mama,” panggilan dari Alice lantas menyadarkan Sesil. Buru-buru ia menggele