Share

Ogah Nikah?
Ogah Nikah?
Penulis: Senja

BAB 1. Kapan Nikah?

Seorang wanita dengan pakaian elegan dan mahal itu tengah fokus menatap layar laptop. Matanya menatap layar dan tangannya sibuk mengetik keyboard. Rambut Panjangnya ia sanggul kekinian. Dengan beberapa helai rambut yang ia sisakan di bagian wajahnya, ia tampak begitu menawan dan mempesona.

Cklek!

"Faura, lo enggak makan siang?" tanya seorang wanita dengan sebuah name tag tergantung di lehernya.

Faura-wanita yang sejak tadi fokus menatap pada layar- itu pun akhirnya memutuskan pandangannya. Kini, matanya beralih menatap wanita yang tengah berkacak pinggang di depan pintu ruangannya. Alis kirinya terangkat seolah bertanya 'ada apa?'.

Wanita itu berdecak. Sambil memasuki ruangan sepupu sekaligus atasannya itu, ia berbicara pada Faura. "Lo ini jangan cari penyakit, deh! Lo itu harus makan, lo enggak inget kalau dua bulan lalu lo masuk rumah sakit gara-gara telat makan?"

"Nanti. Gue masih punya banyak pekerjaan!" jawab Faura singkat sambil matanya kembali menatap layar laptop di depannya. Baru saja jarinya ingin menyentuh keyboard, sepupu cerewet dan menyebalkannya itu kembali berbicara.

"Namanya kerjaan itu enggak akan pernah selesai, Faura. Sama aja, kek, napas, enggak akan pernah selesai selagi kita hidup," tuturnya sambil duduk di depan Faura. Matanya menatap heran pada sepupunya yang hobi sekali berinteraksi dengan tumpukan berkas.

Faura mengernyit heran. "Kalau kita berhenti napas itu artinya kita mati." Faura berucap dengan pedas sembari matanya tetap menatap layar laptop.

Wanita itu menghembuskan napasnya keras. Faura memang keras kepala dan sangat sulit diatur. Wanita itu pun selalu berbicara singkat dan pedas pada siapa saja. Terkadang, Faura benar-benar tidak bisa ia nasihati. Seperti saat ini, di saat ia sedang mengkhawatirkan kesehatan sepupu terkasihnya itu, orang yang dikhawatirkan malah dengan santai mengerjakan tugas-tugasnya. Saat diberi tahu pun wanita dengan wajah terlampau cantik itu justru membalas kata-katanya dengan singkat dan pedas.

"Memang! Dan kalau lo enggak makan juga lo akan mati. Simple, kan?" balasnya sambil menaik turunkan alisnya saat menatap Faura. Jika sudah begini, hanya ini satu-satunya cara untuk membuat Faura tunduk padanya.

Faura mendengus jijik. Ekspresi yang dibuat oleh sepupunya kali ini berhasil membuatnya mual. "Gue jijik sama lo. Jauh-jauh sana!" usirnya sambil membuang muka. Sepupunya ini benar-benar bisa membuatnya merasa jijik.

Wanita itu menyeringai. "Lo ikut gue makan atau mau gue buat mual?" tawarnya. Faura mendelikkan matanya. Apa-apaan ini?

Memilih untuk menutup laptopnya, Faura tak lupa menyimpan berkas yang tengah ia kerjakan agar saat ia ingin melanjutkannya lagi berkas itu tidak akan hilang atau berubah. Faura kemudian berdiri dan berjalan menuju sofa di ruangannya. Dengan elegannya ia mendudukkan dirinya di sofa.

Wanita itu memperhatikan Faura. Dari atas hingga bawah ia sama sekali tidak menemukan kecacatan. Faura tampak seperti ratu kecantikan. Sebuah dress dengan panjang selutut yang dipadukan dengan jas hitam formalnya berhasil membuatnya tampak sangat cantik dan menawan. Ditambah riasan tipis nan elegan yang ia poles menambahkan kesan sederhana yang berhasil membuat siapa saja yang melihatnya terpukau. Tidak perlu riasan tebal karena pada dasarnya Faura memang memiliki kecantikan yang luar biasa.

"Faura, lo mau pesan apa?" tanyanya.

Faura mengedikkan bahu. "Terserah, gue apa aja mau asal jangan ikan. Gue enggak mau makan yang amis-amis. Dan jangan juga udang, gue alergi." Wanita itu mengangguk. Ia kemudian membuka ponselnya dan memesan makanan melalui aplikasi.

"Lo kenapa enggak pernah mau makan ikan?" tanyanya heran.

Faura mengerutkan alisnya. "Salah, ya?"

"Enggak juga, sih! Cuma aneh aja gitu, lo paling anti sama yang namanya ikan!" tuturnya.

Faura mengangguk paham. "Ikan itu amis menurut gue. Dan kalau gue makan ikan, itu artinya gue harus bersih-bersih lebih ekstra dari sebelumnya. Belum lagi mulut gue akan bau amis juga. Dan gue enggak suka hal itu. Itu bisa merusak penampilan gue, ya, walau semua make up gue enggak akan luntur saat kena air dan mahal, gue tetep enggak suka aja," jelas Faura sambil menatap wajahnya di layar ponselnya. Ia mengarahkan kamera itu ke wajahnya. Masih rapih, aman.

Wanita itu mengernyit heran. "Lo itu buat apa dandan cantik? udah kek mau ikut pentas kecantikan," tanyanya.

"Gue rasa lo sendiri tahu jawabannya," jawab Faura sinis dan judes. Wanita itu memang pada dasarnya suka berbicara pedas. Mulutnya sudah seperti diberi cabai rawit. Apalagi jika ada seseorang yang dengan atau tanpa sengaja menyenggolnya, bisa dibilang ia akan langsung berbicara pedas tanpa batas.

"Lo, kan, enggak punya pasangan, buat apa dandan. Kalau lo cantik pun enggak ada yang liat," balasnya polos.

Faura menghentikan gerakan tangannya yang tengah memegang wajah. Berusaha memeriksa kondisi wajahnya. Tangan lentiknya perlahan menurunkan ponsel dan menaruhnya di meja. Matanya menatap datar pada sepupunya yang justru hanya menatapnya polos. "Apa cantik itu cuma boleh dimiliki sama perempuan yang punya pasangan? Yang enggak punya pasangan enggak berhak cantik, begitu?" tanya Faura tajam. Aura di sekitarnya mulai berubah. Wajahnya yang semula normal-normal saja pun secara mendadak berubah menjadi datar dan bengis seketika.

"Dina, gue enggak tahu pemikiran dari mana yang lo dapat. Tapi lo seharusnya tahu kalau cewek cantik itu enggak perlu ada pasangan untuk jadi cantik. Cantik itu berhak dimiliki semua perempuan. Mereka itu memang pada dasarnya cantik. Dengan lo bilang begitu, lo sama aja merendahkan kaum lo sendiri," balasnya sambil sedikit menaikkan nada bicaranya. Dina-sepupu Faura-mendadak panik seketika. Nada bicara Faura tiba-tiba berubah yang artinya ia dalam mood yang tidak baik. Bagus, ia berhasil memancing kemarahan seorang Faura Sheilani. Faura adalah anak satu-satunya dari pasangan Rendi dan Ajeng Sheilani—pengusaha kelas atas di bidang properti.

"Denger, ya! Cewek itu cantik bukan karena mau dilihat cowok doang! Mereka juga berusaha menunjukkan bahwa cewek yang orang bilang ujung-ujungnya ngurus anak itu bisa membuat jagat raya terpukau. Selama ini, kan, cewek terlalu direndahin, ya, dan dengan cara ini bisa menaikkan nilai mereka. Ya, walau enggak selalu tentang wajah. Tapi wanita yang enggak berhias juga enggak kalah cantik, mereka cantik dengan apa yang ada dalam diri mereka sendiri. Lagian, cantik aja enggak cukup untuk memikat pasangan. Lelaki itu matanya jelalatan dan mereka terkadang enggak nganggep pasangan mereka sendiri. Padahal pasangannya udah cantik dan tampil sempurna. Jadi, lelaki enggak bisa diikat cuma dengan muka."

"Banyak, kan, berita tentang glow up nya seorang cewek setelah ditinggal pacarnya. Atau ada juga berita yang ceweknya malah down gara-gara ditinggal cowonya. Cantik itu enggak mandang ada pasangan atau enggak. Semua cewek itu memang cantik! Dan juga, dandan juga bisa buat muasin diri kita sendiri, seenggaknya kita enggak akan over thinking!" ucap Faura tajam sambil menepuk-nepuk pipi sepupunya keras.

Dina menggeser sedikit tubuhnya. Bisa-bisa ia terkena serangan maut dari sepupunya. "Jangan sewot, dong! Gue cume heran aja, kok, lo masih jomblo aja sampe sekarang," ucapnya bermaksud menenangkan Faura. Namun, bukannya tenang, Faura justru merasa Dina tengah merendahkannya.

"Gue enggak sewot, cuma pemikiran cetek lo ini harus diubah,"

"Lagian, lo enggak suka gue cantik? Atau lo mau bilang kalau gue enggak laku?" tebaknya. sambil bersidekap dada. Sejak tadi, Dina seakan menunjukkan padanya bahwa ia tidak perlu cantik karena sampai saat ini ia masih saja sendiri. Hanya orang yang punya pasangan saja yang berhak menjadi cantik. Jadi, cantik hanya untuk memikat pasangan saja, begitu? Kalau gagal berarti menjadi burik?! Kurang ajar!

"Eh, gue enggak bermaksud begitu. Sumpah!" ujarnya sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. Meminta dimaafkan atas kesalahannya dalam berbicara.

"Andai aja lo bukan sepupu gue. Udah gue buat botak kepala lo itu!" ancamnya sambil mendengus kesal.

Dina tersenyum lega. Ia selamat! "Btw, lo batal nikah, kan?" tanya Faura sambil tersenyum mengerikan ke arah Dina.

"Padahal lo udah tampil cantik. Jadi ...." Faura menjeda ucapannya. Matanya menatap lekat wajah Dina yang kini berubah pias. Dina terdiam, ia tidak bisa membalas ucapan Faura. Sialan Faura! Dia menyerang sisi lemahnya saat ini.

***

"Hah ... selesai juga!" desah Faura lega sambil menatap laptopnya dengan senyum lebar. Matanya kemudian melirik pada jam dinding yang berada di belakangnya. Jam delapan malam. Okey, ini waktunya untuk pulang. Ia akan menyelesaikan sisa pekerjaannya di rumah.

Dengan cekatan dan teliti, Faura membereskan barang-barangnya, termasuk berbagai jenis make up yang selalu menjadi penghuni tetap tasnya. Ia memakai jasnya. Membalut tubuh padat berisinya dengan sebuah jas yang jangan ditanya lagi kualitasnya. Sudah pasti kualitasnya jauh di atas rata-rata. Setelah selesai, ia membetulkan sanggulnya yang masih tampak rapih, hanya saja ada beberapa helai rambut yang sudah tidak beraturan. Baik, ini tidak masalah. Ia masih tetap terlihat cantik.

"Mari pulang. Kita akan kembali bertemu di rumah, sayang!" ucap Faura sambil menatap tas laptopnya yang ia jinjing. Ya, ampun! Ia sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Ia ingin segera berendam dan memanjakan tubuhnya dengan air hangat. Tubuhnya sudah lelah tidak karuan saat ini. Selama dua hari berturut-turut ia selalu tidur di kantor karena banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Dengan elegan dan sepatu hak tingginya Faura berjalan keluar. Lorong demi lorong ia lewati tanpa rasa takut. Ia sudah terbiasa. Suasana sepi di malam hari memang sudah menjadi sahabatnya. Saking sepinya, suara yang ditimbulkan dari hak sepatu itu menggema ke penjuru lorong sehingga menimbulkan efek seram bagi yang mendengarnya.

Saat sudah sampai di parkiran, langkah Faura terhenti saat melihat ada seorang lelaki di dekat mobilnya. Tanpa takut dan berpikir panjang, Faura bergegas untuk menghampirinya. "Ngapain, lo?" tanya Faura mengagetkan lelaki yang sejak tadi tengah bersandar di mobilnya.

"Sialan! Gue udah nungguin lo dari tadi malah ujungnya diginiin," sesalnya sambil mengumpati Faura yang kini bersidekap dada.

Faura mengangkat dagunya tinggi. "Gue enggak peduli. Ada urusan apa, lo?" tanya Faura to the point. Lelaki itu tersenyum lebar. Ini yang ia suka dari Faura, ia selalu menghindari basa-basi.

"Minggu depan bakal ada reunian SMA. Lo mau ikut enggak? Kalau mau, bareng gue aja!" tawarnya membuat Faura menghela napas. Kalau hanya ini yang ingin ia katakan, lewat pesan saja bisa, kan? Tidak perlu menyusul sampai ke kantornya.

"Cuma ini? Lo datangi gue cuma buat ha—"

"Berisik judes! Gue tahu lo itu emang judes. Tapi tolong hargai gue, gue lagi pusing, nih!" protesnya. Agar menambah suasana semakin mendukung, ia memegang kepalanya yang terasa pusing bukan main.

"Gue enggak peduli. Sekarang gue mau pergi, mau pulang!" balas Faura sambil mendorong-dorong lelaki itu untuk menjauh dari mobilnya. Lama-lama ia tabrak juga lelaki ini.

Setelah lelaki itu menyingkir, Faura bergegas memasuki mobilnya dan menjalankannya.

"Eh, tapi lo bakal ikut reuni, kan?!" teriaknya saat melihat mobil Faura mulai menjauh. Faura tak menjawab, tetapi ia sempat berhenti sebentar dan mengacungkan jempolnya melalui kaca mobil yang ia buka.

Sepanjang perjalanan, Faura mendengarkan musik di dalam mobil. Berbagai musik pop pun berhasil membuatnya rileks. Tangannya sesekali ikut bergoyang ke sana dan ke mari saat sedang berhenti di lampu merah. Suara merdunya menggaung mengikuti irama yang ia dengarkan.

Otaknya sudah bercabang memikirkan hal apa saja yang akan ia lakukan di rumah nanti sebelum kembali berkutat dengan berbagai berkas tercintanya. Berbagai hal indah sudah ia bayangkan. Matanya menatap jalanan dengan berbinar. Ia sudah tidak sabar untuk sampai ke rumah dan merealisasikan semua khayalannya.

Mobilnya pun perlahan memasuki pekarangan rumah. Ia mengernyit heran saat melihat lampu rumah yang menyala. Ia memang menyewa pembantu, tetapi ia hanya memperkerjakannya sampai sore hari saja. Jadi, siapa yang menyalakan lampu di rumahnya? Satpam? Tidak mungkin. Dia tidak akan seberani itu.

Faura yang merasa penasaran pun akhirnya segera turun dari mobil dan membawa barang-barangnya. Dengan wajah yang dipenuhi raut penasaran ia memasuki rumah. Wajahnya berubah datar seketika saat menyadari bahwa ada seseorang yang sedang duduk di ruang tamu. Tanpa berpikir panjang, ia menghampirinya.

"Mamah," panggil Faura sambil menatap wanita paruh baya di depannya. Wanita paruh baya itu tersenyum lebar saat melihat kedatangan anaknya. Tanpa menunggu lama, ia bangkit dari duduknya dan memeluk putri semata wayangnya.

"Faura, Sayang. Mamah pulang!" ujarnya senang memberi tahu. Faura menaikkan sebelah alisnya. Ada yang tidak beres. Tumben sekali ibunya ini menyapanya dengan begitu manis. Ada yang salah dan pasti ini berkaitan dengan dirinya.

"Ya."

"Sayang, kok, singkat gitu?!" protes ibu Faura sambil memanyunkan bibirnya. Faura mencibir jijik. Ibunya bukan lagi anak kecil yang akan memanyunkan bibirnya saat tidak mendapatkan es krim. Lagi pula, entah terkena apa ibunya ini sehingga bersikap begitu manis.

"Capek. Mau mandi," ucap Faura sambil berlalu pergi. Ia menaiki tangga sambil menjinjing barang-barangnya. Ibunya yang melihat hal itu pun hanya memasang wajah masamnya. Faura memang sangat-sangat sulit untuk diambil perhatiannya.

Setelah memasuki kamarnya, Faura pun bergegas untuk mandi. Khayalannya untuk berendam terpaksa musnah. Kedatangan ibunya yang tiba-tiba berhasil menghancurkan rencana indahnya. Ia hanya tinggal menunggu, drama apa lagi yang akan ibunya mainkan saat ini.

Setelah selesai mandi, Faura bergegas menggunakan bajunya dan turun ke bawah. Matanya menatap datar saat melihat ayahnya pun turut ada di rumah. Sudah ia duga. Akan ada sebuah drama besar yang selalu menyertai kedatangan orang tuanya.

"Faura, sini!" panggil ibunya sambil melambaikan tangan ke arah Faura. Fajar mendengus malas. Apa susahnya mereka langsung mengatakan keinginan mereka tanpa perlu drama menyebalkan.

Faura duduk sambil memainkan ponselnya. Ia benar-benar malas menghadapi orang tuanya. Jika tidak ingat bahwa orang tuanya adalah sosok yang menjadi perantaranya lahir ke dunia, sudah Faura usir kehadirannya sejak tadi. Dari pada mengganggu ketenangan hidupnya, lebih baik mereka tidak perlu pulang ke Indonesia.

"Faura, masa kamu fokusnya ke HP terus!" rajuk Ajeng sambil menatap Faura yang menaikkan sebelas alisnya.

"Terus ngapain?" tanyanya judes seperti biasa. Jangan berpikir bahwa Faura akan bersikap lemah lembut. Wanita itu tidak kenal siapa yang sedang berbicara dengannya, ia akan tetap berbicara judes dan pedas.

"Yaa, fokus cari suami, gitu," celetuk ayahnya—Rendi.

Wajah Faura menjadi datar seketika. Perkataan ayahnya sudah sangat jelas. Jadi, ini alasan mereka mendatanginya? Sudah Faura duga. Orang tuanya tidak akan membiarkan Faura hidup tenang barang sejenak saja. Ada saja hal-hal yang mereka recoki dalam kehidupan Faura.

Faura masih diam. Ia enggan untuk menanggapi. Terlalu malas untuk membalas pernyataan ayahnya. Ia benar-benar tengah lelah sekarang. Jika tadi ia hanya lelah fisik, sekarang jiwanya juga mulai terserang lelah. Matan indahnya kemudian menatap kukunya yang masih terlihat bersih dan rapih. Oke, kuku aman. Tidak ada yang rusak atau tergores sedikit pun.

Ajeng menaikkan kedua alisnya. Ia menatap lelah pada Faura yang sama sekali tidak merespon ucapan mereka. Wanita dengan paras yang menyerupai suaminya itu benar-benar mengabaikan mereka. Faura benar-benar mengabaikan kehadiran mereka.

"Ekhem!"

"Faura, Ekhem!"

"Faura, Ekhem! Uhuk!" Bagus! Ajeng kini terbatuk-batuk. Akibat ia yang memberi kode pada Faura melalui deheman, batuk justru benar-benar menghampirinya. Sialan! Ia hanya berniat pura-pura.

"Minum, Mah?" Bukan, itu bukan Faura. Itu adalah Rendi. Faura sejak tadi masih asik memperhatikan kukunya. Meski sudah berkali-kali melihatnya dan tidak menemukan kececatan, setidaknya berhasil membuat matanya tidak menatap sepasang suami istri di depannya.

Setelah Rendi memberinya minum, Ajeng menatap Faura serius. Sepertinya ia tidak perlu berbasa-basi lagi. Percuma saja, Faura tidak akan luluh dan menanggapinya.

"Faura, Mamah mau ngomong!"

"Faura mau ke kamar, capek!" pamit Faura sambil berdiri. Baru saja kakinya ingin melangkah, sebuah pertanyaan dilayangkan oleh Ajeng.

"Kapan kamu menikah?" tanya Ajeng.

Faura menghentikan langkahnya, ia berbalik badan dan menatap malas kedua orang tuanya. "Nanti," jawabnya singkat. Ajeng yang mendengar jawaban Faura pun merasa terpancing. Nanti itu kapan?!

"Kamu selalu jawab, nanti, nanti, nanti, dan nanti! Ya, nantinya itu kapan?! Itu yang selalu Mamah minta jawabannya. Bukan jawaban nanti dan nanti yang enggak jelas kapannya!" geram Ajeng sambil mendekati Faura. Bukannya takut, Faura justru berjalan mendekati ibunya. Wajahnya ia dekatkan pada telinga Ajeng yang tengah berdiri di depannya.

"Faura bukan Tuhan yang maha tahu takdir seseorang!" jawabnya dingin sambil menatap tajam ibunya.

Ajeng rupanya masih tak gentar. Ia kembali melayangkan ucapan pedasnya pada Faura. Sepertinya, Faura yang sering berbicara pedas pasti terbawa karena Ajeng.

"Kamu itu udah 29 tahun, Faura! Udah waktunya untuk nikah. Tapi apa yang Mamah lihat sekarang? Kamu bahkan selalu memberikan alasan yang enggak jelas saat Mamah tanya kapan kamu nikah."

"Aku kasih alasan jelas, kok. Aku belum mau nikah, masih mau kerja!" bela Faura sambil bersidekap dada.

Ajeng mengerutkan dahinya. "Kemarin kamu bilang masih ingin sendiri. Sekarang masih mau kerja. Besok-besok apa lagi?! Kamu mau ngasih Mamah berapa alasan lagi untuk menolak menikah? Sampai kapan Mamah harus memahami kamu terus?!" ucap Ajeng frustrasi. Dari tiga tahun yang lalu, alasan Faura belum menikah selalu saja berubah-ubah.

Faura merasa tersinggung dengan ucapan ibunya. Memahami? Sejak kapan? Mereka bahkan selalu menuntut ini dan itu padanya. Seolah-olah ia adalah boneka yang bisa digerakkan sesuka hati mereka.

"Sejak kapan Mamah memahami Faura? Kapan, Mah? Yang kalian lakukan selama ini selalu menuntut dan menuntut! Masalah banget, ya, kayaknya dengan status Faura yang belum nikah? Apa kalian enggak capek terus desak Faura untuk nikah?"

Ajeng menggeleng keras. Ia tidak akan pernah lelah dan mundur. "Enggak akan! Mamah akan terus desak kamu untuk segera menikah. Lagian, apa susahnya menikah, sih? Tinggal cari calon dan nikah, selesai. Seenggaknya kamu udah punya pasangan!"

"Lagian kamu enggak iri sama teman-temanmu yang bahkan udah gendong anak? Mamah aja iri pengen punya cucu, masa kamu enggak! Kamu itu harusnya mikir, mereka yang lebih muda aja bisa nikah dan punya anak. Masa kamu enggak, malu, dong!!" ucap Ajeng dengan napas yang ngos-ngosan. Matanya menatap nyalang pada Faura yang kini mengeluarkan aura permusuhannya.

"Buat apa malu? Mamah yang seharusnya malu ngomong gitu! Mamah nyuruh aku cepet nikah cuma buat gaya-gaya dan pamer sama orang? Mamah gila?! Mamah harusnya tahu bahwa nikah itu enggak cuma modal pasangan sama uang aja! Pernikahan itu untuk seumur hidup, Mah! Bukan buat perlombaan!"

"Lagian buat apa iri? Udah punya hidup masing-masing, kok, enggak perlu iri. Enggak semua orang itu sama, Mah. Mereka punya kematangan dan mental yang berbeda. Mamah sadar enggak, sih, Mamah itu selalu mendesak Faura? Coba aja kalau Faura punya mental yang lemah, udah gila kayaknya hidup sama orang tua yang selalu nyuruh nikah kayak Mamah. Kita ini manusia, Mah, bukan kucing yang mau punya anak tinggal kawin. Kita itu manusia!" Faura membalas telak ucapan Ajeng. Ia benar-benar tidak suka dengan pemikiran Ajeng yang terlampau kuno dan menyebalkan. Lagi pula, tersambar apa ibunya ini ingin memiliki cucu. Saat ia kecil saja yang mengurusnya adalah pembantu. Dan ini meminta cucu? Yang benar saja!

"Lagian, mau masih muda atau enggak, itu kehendak mereka untuk menikah. Yang menjalankan pernikahan itu bukan orang tua, bukan juga tetangga, apa lagi orang lewat! Enggak bisa cuma asal comot pasangan. Kalau nikah dipaksa-paksa begini apa hasilnya akan baik? Enggak! Belum tentu awet." Faura menatap marah pada ibunya.

"Udahlah, Mamah enggak perlu marah-marah begini. Orang juga punya perasaan, Mah. Orang pasti akan mikir untuk masa depannya. Bukan bisanya cuma disetir doang. Dia juga tahu kira-kira, mau nikah kapan, mau punya anak kapan, mau makan kapan. Dia bisa ngatur itu sendiri, begitu juga dengan Faura. Enggak perlu ada campur tangan orang lain!!" tegas Faura menutup perbincangan, ouh, tidak, lebih tepatnya perdebatan antara ia dan ibunya.

Setelah itu, Faura bergegas pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Ia baru saja pulang bekerja dan tiba-tiba ditodongkan pertanyaan seperti ini. Benar-benar membebani pikiran. Padahal rencananya ia ingin mengurangi beban malah berujung menambah beban.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status