Share

BAB 3. Reuni Ajang Pamer Gebetan!

"Lo ke mana aja, sih?" dumel Ardian yang sejak tadi menunggu di parkiran kantor Faura. Faura mengedikkan bahunya acuh. Setelah ia menemukan posisi duduk yang pas, ia langsung membuka tasnya dan mengambil beberapa make up. Ia belum mengenakan make up dengan benar tadi. Lihat saja, bibir dan matanya masih benar-benar polos. Karena lelaki menyebalkan di sampingnya ini, ia harus melewatkan beberapa ritual rutin untuk kecantikannya.

Matanya kemudian menatap pada lelaki di sampingnya saat lelaki itu mulai menjalankan mobilnya. "Lo punya otak enggak, sih?" sinisnya sambil menatap datar lelaki yang kini justru mengernyitkan alisnya bingung. Apalagi?

"Kenapa memangnya? Gue salah apa lagi?" tanyanya mengalah. Ia tidak ingin berdebat dengan wanita cantik sejenis macan di sampingnya. Sudah cukup ia menunggu hampir dua jam lamanya di parkiran dan jangan sampai mereka berdebat yang menyebabkan Faura memilih untuk membatalkan agenda mereka. Jangan sampai!

"Lo itu buta atau apa? Lo tahu kalau gue lagi mau pakai lipstik sama eyeshadow. Lo harusnya mikir kalau mobilnya jalan, gimana gue bisa pakai dengan benar.  Yang ada coret sana-sini," omel Faura pada Ardian. Lelaki itu menghela napasnya. Mana ia tahu hal itu. Ia kira Faura cukup profesional untuk memakainya sehingga tidak peduli dalam keadaan dan suasana apa pun ia akan tetap berhasil mempercantik wajahnya tanpa cacat.

"Gue kira lo udah pro."

Faura yang baru saja menempelkan lipstiknya di bibir pun membatalkan niatnya untuk memakai lipstik. "Pro gimana maksud lo?" tanyanya heran. Matanya melirik dengan tenang pada lelaki di sampingnya.

Lelaki itu menghela napas. Lebih baik ia tidak berbicara tadi. "Enggak. Udah, cepet pake make up-nya. Kita udah telat banget, nih."

Faura mengangguk paham. Lebih baik ia melupakan hal itu dan fokus untuk menyempurnakan kecantikan wajahnya. Ia mengarahkan kaca pada wajahnya dan mulai memakai lipstik dengan satu tangan yang memegang kaca. Lipstik berwarna merah bata itu mulai menghiasi bibir Faura yang memang pada dasarnya sudah bewarna merah muda alami. Tidak terlalu tebal dan juga tidak terlalu tipis. Faura hanya tidak ingin orang-orang menilainya seperti pelakor yang siap merebut suami mereka kapan saja. Mulut julid dan pedas teman-temannya tidak akan ia lupakan.

Setelah selesai dengan bibir, Faura beralih pada kelopak matanya. Ia mengoleskan eyeshadow bewarna gold yang dipadukan dengan warna coklat. Sebagai pelengkapnya, ia menambahkan eyeliner yang ia ukir tipis. Setelah melihat tampilannya  sudah memuaskan, Faura pun membereskan dan memasukkan make up-nya ke dalam tas lagi. Kemudian, tas itu ia letakkan di sampingnya dan ia mulai mengenakan sabuk pengaman.

"Kenapa lo minta jemput gue di kantor? Bukannya lo tinggal di apartemen sementara dulu?" tanyanya sambil mulai menjalankan mobilnya. Dengan hati-hati ia pun mulai memasuki jalan besar. Matanya tetap fokus pada jalanan meski sesekali ia melirik sahabatnya yang sedang menekuk wajah. Sepertinya ada yang salah.

"Gue tidur di kantor semalam," jawab Faura sambil menyandarkan punggungnya. Tangannya kemudian mengambil ponsel dan membuka file-file yang masuk ke email-nya. Ardian mengernyit heran. Bukankah wanita dengan perangai yang judes dan pedas itu memutuskan untuk sementara tinggal di apartemen?

"Kenapa di kantor?" tanyanya sambil menatap wanita itu. Waktu di lampu merah masih menunjukkan tiga puluh detik lagi.

Faura tetap sibuk pada ponselnya. Ia mengeryitkan dahinya saat melihat ada laporan yang salah. Entah siapa yang mengerjakannya, Faura tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Setidaknya, harus ada teguran yang ia layangkan.

Lelaki itu akhirnya berbicara banyak hal. Ia berusaha mengajak berbicara wanita gila kerja di sampingnya.

"Fokus amat, Bu," celetuknya karena merasa ia diabaikan. Rasanya mulutnya sampai berbusa karena terlalu banyak berbicara.

Faura mengangkat wajahnya dan menengok ke arah samping. Matanya kemudian menatap sahabat lelakinya itu. "Lo mau kepoin apa lagi?" tanya Faura paham.

"Kok, lo tidur di kantor. Apartemen lo roboh?" tanyanya tengil. Faura mendelik sinis mendengar pertanyaan yang sahabatnya ajukan. Sementara itu, orang yang mengucapkannya merasa tiba-tiba sesak. Ia yakin sebentar lagi akan ada keributan yang dimulai dari mulut kurang ajarnya sendiri.

"Lo tahu kalau gue itu kaya. Pertama, keluarga gue emang udah kaya dari lahir dan kedua, gue juga kaya dengan usaha gue sendiri. Jadi, enggak ada alasan apartemen gue untuk roboh, tuh. Sayangnya, apartemen gue kedatangan penyihir. Dari pada gue pusing, lebih baik gue di kantor. Bisa kerja dengan bebas," jawab Faura manis. Dimanis-maniskan lebih tepatnya. Karena perlu diingat, dalam kamus hidup Faura hanya ada kata 'judes dan pedas' tanpa embel-embel manis di halaman belakangnya.

Bibirnya terbentang lebar menampakkan gigi putihnya yang rapih dan bersih mengkilap. Bukannya merasa senang, lelaki itu justru merasakan sinyal bahaya semakin dekat. Kalau Faura sudah bersikap manis seperti ini, itu berarti nasibnya sudah dipastikan tidak akan baik-baik saja untuk ke depannya. Namun, ia menyadari kalimat terakhir yang diucapkan oleh Faura. Penyihir? Siapa?

"Penyihir gimana? Lo kalau ngomong itu yang jelas," pintanya pada Faura yang kini wajahnya berubah malas.

"Ortu gue datengin apartemen gue," ujar Faura memberi tahu. Seketika, tawa lelaki itu pun meledak begitu saja. Jadi, penyihirnya adalah orang tua Faura sendiri? Ya, ampun, ini benar-benar lelucon.

"Lo ngatain ortu lo sendiri penyihir? Lo kalau ngasih panggilan kesayangan jangan aneh-aneh, deh!" gemasnya sambil menatap Faura geli. Beruntung mereka sudah sampai di parkiran gedung yang mereka sepakati sebagai tempat reuni. Maklum saja, reuni orang-orang kaya memang selalu berbeda, benar? Mereka tentu saja akan menyiapkan dana seharga biaya pernikahan hanya untuk sebuah pesta.

"Lo bahkan baru gue ceritain tentang keegoisan mereka beberapa hari lalu."

Ardian menggeleng pelan. Ia rasa Faura salah paham dengannya. "Gue inget, tapi apa enggak keterlaluan? Ya, gimana pun mereka yang udah buat lo hadir di dunia. Walau masalah lo sekarang berat banget, gue rasa ini berlebihan."

Faura mengedikkan bahunya. "Gue rasa itu enggak keterlaluan setelah apa yang mereka buat pada gue. Dan untuk yang kali ini, gue rasa udah enggak ada toleransi yang bisa gue kasih lagi," tutur Faura sambil menatap ke arah luar. Kaca mobil masih tertutup, tetapi mereka bisa melihat ke arah luar. Faura kemudian mendesah malas saat melihat segerombol wanita sosialita yang hanya bisa meminta tanpa usaha sedang berbicara satu sama lain.

Faura pun mencurahkan isi hatinya. Ia bercerita bahwa semalam ibu dan ayahnya hampir saja menculiknya untuk dibawa pulang. Ibunya benar-benar nekat. Wanita tua yang sudah melahirkannya itu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya.

"Serius?!" pekik Ardian terkejut sambil membunyikan klaksonnya tanpa sengaja. Orang-orang yang sejak tadi berdiri di depan mobilnya pun langsung kaget seketika. Mereka terlonjak kaget dan menjauhi mobil Ardian. Ya ampun, hampir saja mereka mati jantungan.

"Iya. Untung aja gue sempet lari sebelum gue dibius. Gue bahkan enggak sempat pake baju bener. Gue lari sambil pake baju tidur!" ucap Faura tak percaya. Ia sendiri masih tak menyangka bahwa ia bisa melakukan hal segila itu. Belum lagi, baju tidur yang ia pakai semalam benar-benar tidak layak dipertontonkan di depan khalayak ramai. Eh, baju tidur memang tidak seharusnya dipertontonkan, bukan?

"Gila. Lo ngasih pemandangan gratis, dong!" pekik Ardian takjub. Ah, ia jadi menyesal tidak berada di sana. Selain ia kehilangan kesempatan untuk menolong Faura, ia juga kehilangan sajian gratis yang begitu menggoda jiwanya sebagai lelaki.

Faura mendelik tidak suka. Ia menangkap ada maksud terselubung di dalam ucapan Ardian tadi. "Lo pengen liat juga?!" tantangnya bengis. Lihat saja, sampai mana Ardian berani berbuat macam-macam dengannya.

Ardian meneguk ludahnya kasar. Jika biasanya lelaki akan tergoda saat sang wanita menantang, maka lain lagi dengan Ardian. Faura yang menantangnya adalah Faura yang meminta nyawa sebagai bayarannya. "Enggak, kok. Lo, kan sahabat gue. Cuma, ya, kalau gue disuguhi gratis, gue enggak bakal nolak!" ucap Ardian sambil tersenyum-senyum.

Faura memelototkan matanya. Namun, sedetik kemudian dia langsung menunduk. "Gue enggak laku, ya? Ortu gue ngobral gue seolah gue ini barang lama," ucapnya pelan.

Ardian menggeleng tidak setuju. Lalu, ia memegang pundak Faura dan memintanya untuk membalas tatapannya. "Lo laku, kok! Cuma memang belum waktunya aja lo gendong anak. Masalah gandeng-menggandeng, lo biasa gandeng gue, tuh!" candanya sambil menatap Faura jahil.

Faura melayangkan tatapan tajamnya. Lalu berkata, "Najis banget gue gandeng lo. Kalau enggak kepepet mau pamer sama mantan cinta monyet gue pas SMP, udah gue dorong lo!" Lelaki itu terkekeh mendengar ucapan pedas Faura.

"Gue heran, kenapa acaranya diadain siang? Biasanya, kan, malam," heran Faura.

Ardian menjawab sambil membetulkan tatanan rambutnya melalui kaca tengah. "Lo tahu geng rusuh plus alay zaman kita SMA dulu?" tanyanya.

Faura mengangguk tahu. "Tahulah. Mereka, kan, yang suka cari gara-gara sama gue. Mereka ini sombongnya selangit, padahal gue masih lebih kaya dari mereka."

Lelaki itu mendesah malas. Jika sudah membahas perihal kekayaan, Faura memang juaranya. "Iya, deh. Lo memang paling kaya. Tapi bukan itu masalahnya,"

"Terus?"

"Siska si ketua geng alay yang dulu sering adu mulut sama lo itu udah nikah sekarang. Lo tahu, kan, kalau dari dulu dia emang suka cari muka dan perhatian?" tanyanya memastikan. Barang kali saja Faura tiba-tiba hilang ingatan tentang teman-teman SMA-nya.

"Tahu. Tahu banget malah,"

"Nah, jadi dia dan geng alaynya itu bilang bahwa acaranya jauh lebih baik kalau siang hari. Soalnya, Siska mau ngurusin suami tersayangnya yang katanya, sih, gue denger dia jadi Istri kedua. Dia nikah sama lelaki yang dua puluh tahun lebih tua. Lo tahu, kan? Atau lo enggak diundang pas nikahannya?" tanyanya sambil sedikit bergosip.

"Gue diundang, tapi undangannya gue buang. Males gue liatnya," jawab Faura enteng membuat lelaki itu menepuk jidatnya.

"Ya, udah. Sekarang kita masuk, intinya lo udah tahu jawabannya, kan?"

"Ya."

***

"Faura, astaga ... udah lama banget kita enggak ketemu, ya?" sapa Siska sambil berjalan menghampiri Faura. Faura mendengus jijik. Siapa juga yang ingin bertemu dengan wanita ular seperti Siska. Tanpa menghiraukan tatapan Faura terhadap dirinya, Siska justru memeluk erat Faura. Pelukan maut lebih tepatnya karena sampai kapan pun mereka akan tetap menjadi musuh bebuyutan.

"Enggak usah peluk gue, enggak level," tutur Faura membuat Siska melepas pelukannya dengan kesal. Ia harus sabar. Belum saatnya untuk menjatuhkan Faura yang sombongnya tidak ada bandingannya. Wanita yang sampai saat ini masih melajang itu rupanya tidak pernah mau berdamai dengan dirinya. Ya, setidaknya pura-pura setelah tidak bertemu bertahun-tahun, bukan?

"Eh, mana pasangan lo? Kok, gue enggak lihat," tanya Siska iseng tanpa mempedulikan lelaki yang sejak tadi berada di samping Faura. Alisnya terangkat sebelah saat tak mendapat jawaban dari Faura. Musuh bebuyutannya itu justru menatapnya datar. Kepalanya kemudian menengok ke kanan dan kiri Faura, ia bertingkah seolah sedang mencari seseorang.

"Enggak usah belagu, lo. Lo enggak lihat kalau Faura datang sama gue?" tegur Ardian saat melihat Siska yang bertingkah semakin menyebalkan.

Siska menekuk bibirnya. Lelaki ini memang selalu merusak suasana. Padahal tadi ia yakin sudah bisa menyulut emosi Faura. Lihat saja Faura sekarang, begitu dingin dan datar. Bisa dikatakan mengerikan.

"Gue tahu, tapi masa lo lagi, sih? Dari zaman SMA sampai udah mau kepala tiga gini masa masih bawa temen. Sekarang itu zamannya bawa gebetan, bukan bawa temen. Ketinggalan zaman, deh!" ejek Siska sambil tersenyum manis ke arah Faura.

"Ouh, berarti lo udah maju banget, ya, sampe-sampe lo nikah sama orang yang seumuran bapak lo, istri kedua lagi. Hebat, udah ada di zaman apa lo?" balas lelaki itu sengit. Faura masih diam. Ia terlalu malas untuk meladeni Siska yang sikapnya semakin menyebalkan dari zaman SMA.

Siska gelagapan. Ia merasa tersindir dan terjebak oleh balasan yang sahabat setia Faura berikan. Matanya kemudian menatap tajam pada lelaki itu. Baru saja mulutnya terbuka ingin melakukan pembelaan, tetapi sebuah seruan untuk berkumpul sudah diumumkan. Mau tidak mau, ia harus menunda agenda untuk menjatuhkan Faura.

"Ayo, kita harus kumpul!" ajaknya. Ardian mendecih sinis. Padahal ia sudah menyiapkan berbagai ejekan dan sumpah serapah untuk wanita gila harta di depannya.

"Dasar parasit!" umpat Ardian setelah Siska berjalan mendahului mereka.

Setelah mereka berkumpul, berbagai sambutan-sambutan dan ucapan rindu pun menggaung ke seantereo gedung. Namun, Faura hanya bisa berdecih sinis mendengarnya. Tiba-tiba, nama Faura dipanggil oleh pembawa acara untuk naik ke atas panggung. Faura yang mengetahui hal itu pun merasa biasa saja, ia tidak menyadari bahwa ini adalah salah satu jebakan yang Siska berikan. Tanpa ragu, Faura menaiki panggung dengan langkah anggunnya. Baru saja kakinya melangkah ke panggung, berbagai jepretan dan mata sudah berhasil tertuju pada dirinya.

Faura benar-benar cantik malam ini. Dengan sanggul kekinian dan gaun panjangnya yang berwarna merah tanpa lengan benar-benar membuatnya tampak anggun dan seksi bersamaan. Belum lagi aksesoris gelang dan kalung yang ia pakai menambahkan kesan mewah dalam dirinya. Beberapa helai rambut keluar dari ikatan yang justru semakin menambah kecantikannya. Pada intinya, apa pun yang Faura gunakan, ia tetap mampu tampil cantik dan mempesona. Lihat saja sekarang, saking fokusnya mereka pada Faura, mereka mengabaikan Siska yang tengah berbicara mengambil alih MC.

"Bagaimana? Terpesona, bukan?" tanya Siskan licik sambil menatap Faura yang mengusung senyum anggun dan berkelasnya. Siska sedikit bergeser, berusaha memberi ruang untuk orang-orang memperhatikannya sama seperti Faura. Sayang, mereka tetap tidak beralih pandangan.

"Nah, sekarang kita tanyakan satu hal pada Faura."

"Apa yang paling kamu rindukan di sekolah, Faura?" tanya Siska senang.

"Tidak ada," jawab Faura tenang. Jawaban itu berhasil membuat semua mata melotot mendengarnya. Terutama Siska sendiri, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang Faura katakan. Suara riuh pun terdengar dari para penonton, rata-rata dari mereka merendahkan Faura yang tampak sangat sombong.

"Kamu tidak merindukan apa pun, Faura?" tanya Siska memastikan. Lebih tepatnya, ia ingin membuat situasi semakin panas. Anggota yang lain sudah mulai merasa kesal karena sikap Faura dan hanya butuh sedikit lagi untuk menjatuhkan Faura.

"Ouh, aku salah, aku rindu pada sesuatu ternyata," ucap Faura tiba-tiba. Siska tampak sangat penasaran, ia pun mendekatkan microfon pada Faura yang tersenyum anggun sembari menatap ke arahnya.

"Apa itu?" tanya Siska semangat. Para penonton pun seketika terdiam, mereka benar-benar penasaran pada apa yang Faura rindukan.

"Rindu ngeliat tingkah laku lo yang mirip jalang! Lo itu tipe cewek kegatelan dan suka caper apalagi kalau ada cowok kayak. Udah, deh, lo siap jadi apa aja. Asalkan lo dapat duit dan enaknya!" tutur Faura sambil tersenyum angkuh. Ruangan yang semula hening itu pun semakin hening saat Faura selesai berbicara. Beberapa dari mereka bahkan memasang wajah tegangnya saat melihat wajah Siska yang sudah merah karena marah. Faura tidak peduli, ia lalu berlalu pergi meninggalkan Siska sendiri di atas panggung.

***

"Faura, lo ke sini sama siapa? Kok, lo di sini sendirian?" tanya Rena—anggota geng alay Siska.

Faura menatapnya sambil tetap tersenyum anggun. "Gue sama Ardian, sekarang orangnya lagi ngobrol sama temannya, tuh!" jawab Faura sambil menunjuk Ardian—sahabat Faura—yang tengah mengobrol bersama teman lelakinya.

Rena tersenyum mengejek. "Lo enggak bawa gebetan? Lo, kan, butuh seseorang buat ngegandeng lo," tutur Rena jahil. Matanya menatap rendah pada Faura yang justru semakin mengeluarkan kecantikannya.

"Sorry, ya, gue bukan orang tua yang butuh gandengan kalau mau jalan," balas Faura tenang. Matanya kemudian menyipit saat menyadari ada empat orang wanita yang berjalan ke arahnya. Salah satu di antara mereka adalah Siska. Ouh, ya, ampun. Lagi dan lagi ia harus berhadapan dengan wanita ular itu.

"Eh, ada Faura," celetuk Winda. Faura memutar bola matanya malas. Bukankah ia sudah naik ke panggung tadi? Dan wanita sok kaya di depannya ini baru menyadarinya sekarang? Basi!

"Memang ada gue. Gue rasa mata lo terkena gangguan, makanya lo enggak bisa lihat gue di panggung. Seharusnya, lo ucapkan hal itu saat gue belum naik ke panggung. Basa-basi lo itu terlalu mainstream." Faura menatap Winda dengan tatapan polosnya.

"Ouh, terlalu mainstream, ya? Gimana kalau gue yang berbasa-basi, dijamin anti mainstream," saran Fania yang langsung ditanggapi Siska dengan acungan jempolnya. Faura mengangguk membolehkan. Ia ingin tahu sampai mana skill geng alay dan abal-abal kaya ini bisa menjatuhkan dirinya.

"Kita semua udah pada ada gebetan, nih. Siska bahkan udah nikah, iya enggak, Sis?" tanya Fania yang diangguki Siska dengan bangga.

"Jelas, dong!"

"Nah, lo kapan, nih? Lo itu, kan, ngakunya lebih cantik dari Siska. Jadi, seharusnya lo udah laku duluan, dong!" ejek Fania sambil menatap Faura yang masih bersikap tenang. Teman-teman Siska yang mendengar hal itu pun merasa senang. Mereka yakin, pasti Faura akan merasa minder.

Namun, nyatanya mereka salah. "Gue, sih, enggak pernah ngaku lebih cantik dari Siska karena yang tahu gue cantik itu, kan, berdasarkan penilaian orang, ya. Ya, kalau orang nilai gue cantik, bukan pendapat gue berarti. Cuma, gue memang mengakui kalau gue jauh lebih kaya dari Siska. Makanya, gue udah paham, kok, alasan Siskan nikah sama orang yang udah bapak-bapak, jadi Istri kedua lagi."

"Siska itu, kan, matanya jelalatan. Mata duitan juga, plus suka caper enggak ketulungan. Apa lagi kalau dekat pria kaya, apa aja, deh, bakal dia lakuin."

"Masalah gue udah nikah atau belum, memang harus, ya, dibandingin sama Siska? Gue, sih, merasa kasihan malah sama Siska. Kalian ini bandingin gue sama Siska yang jelas-jelas gue bahkan jauh lebih laku dari Siska. Siska, mah, yang ngejar bapak-bapak semua. Dan gue? Jangan ditanya. Mulai dari CEO, dokter, crazy rich, sampai artis pun ngejernya gue. Umurnya masih muda lagi, enggak pernah, tuh, gue dikejer sama bapak-bapak. Mereka juga tahu diri kali saat mau ngejar gue, gue enggak sebanding sama mereka. Dan lagi pula, orang-orang yang deketin gue itu rata-rata kayanya tujuh turunan. Mereka bukan kaya karena hasil korupsian!"

"Gue enggak mata duitan, ya!" geram Siska. Ia bahkan benar-benar menunjuk raut marahnya pada Faura.

"Iya! Siska itu enggak mata duitan. Dia itu tulus cinta sama suaminya. Suaminya aja ngerasa beruntung banget dapetin dia," bela Rena. Siska tersenyum menang. Lima lawan satu.

"Ouh, tulus itu yang kayak Siska. Berarti tulus itu bebas pelukan dan ciuman sama siapa aja? Gue tadi lihat Siska mojok, tuh!" tanya Faura polos. Nada yang ia gunakan benar-benar polos. Wajahnya pun ia buat setidak bersalah mungkin.

Lain dengan Faura, lain lagi dengan Siska. Wanita gila harta yang memang hobinya dikejar dan mengejar pria kaya itu benar-benar merasa marah. Ia yang tadi sempat tersenyum menang pun kembali menekuk wajahnya. Faura benar-benar mempermalukan dirinya.

"Eh, jangan kurang ajar, lo, ya!" peringat Winda sambil menunjuk wajah Faura.

Faura mengangkat sebelah alisnya. Perasaan, di sini yang kurang ajar adalah mereka dan bukan dirinya. "Gue enggak kurang ajar. Mikir aja pake otak, lo mau basa-basi sama gue, kan? Nah, itu udah gue balas, loh, Fania. Basa-basi lo itu memang anti mainstream, buktinya lo berhasil mempermalukan ketua lo sendiri."

Faura kemudian berjalan pergi meninggalkan geng alay Siska. Namun ....

"FAURA!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status