Share

BAB 2. Rehat Kerja, Cari Mantu!

Pagi ini, Faura berangkat menuju kantornya. Dengan pakaian yang belum rapih secara sempurna, Faura mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Biarlah penampilannya masih berantakan, ia akan membereskannya nanti setelah sampai. Ia begitu terburu-buru karena terlambat masuk ke kantor.

Faura bukan tipe pemimpin yang akan menyepelekan jabatannya. Dia juga bukan tipe pemimpin yang asyik berlibur ke sana dan sini, sementara di kantor pekerjaan begitu banyak dan menumpuk. Lebih baik, ia tidak menggunakan waktu istirahatnya dibanding harus meninggalkan puluhan berkas kesayangannya.

Mobilnya pun memasuki parkiran khusus miliknya. Namun, ia terkejut saat melihat parkiran itu ditutup dengan rantai berwarna merah yang diikat di setiap tiang penyangga. Faura yang lupa akan penampilannya pun terburu-buru keluar. Belum sampai ia melangkah sepenuhnya keluar mobil, Faura menyadari penampilannya yang jauh dari kata rapih saat matanya tanpa sengaja menatap kaca spion. Dengan wajah yang celingak-celinguk mengawasi sekitar, Faura pun memilih kembali masuk ke dalam mobil dan membenarkan penampilannya.

Setelah merasa cukup, Faura membereskan alat make up-nya.

Dengan pakaian kerja yang sudah sangat rapih dan rambut yang ia gerai, Faura turun dari mobil dan mengecek apakah ada peringatan atau tidak di sana. Nihil, tidak ada satu peringatan pun di sana. Lantas, apa yang membuat parkiran khusus miliknya ditutup? Ah, ia jadi harus memarkirkan mobilnya di parkiran biasa. Faura kembali menaiki mobilnya dan berputar arah. Ia kini menuju parkiran umum karyawannya.

Selesai dengan parkiran, Faura bergegas memasuki kantor dan langsung menuju ruangannya. Hal aneh pun ia rasakan saat melihat tidak ada satu pun berkas di meja kerjanya. Padahal ia berangkat cukup siang hari ini dan seharusnya berkas-berkas itu sudah sampai pada dirinya. Namun, satu berkas pun tidak ia temukan.

Cklek!

"Loh, Faura?" tanya Dina yang merasa keheranan saat melihat kehadiran Faura di kantor. Faura berbalik dan menatap bingung pada Dina. Kenapa pertanyaan Dina seolah-olah ini adalah hari libur? Dan lagi pula, apa Dina belum memberikan laporan yang ia minta pada setiap divisi beberapa hari yang lalu?

"Iya, ini gue. Lo kenapa, sih?" tanya Faura risih saat mendapati Dina menatapnya dengan heran. Faura menelisik penampilannya, tidak ada yang aneh dan ia masih tampak cantik dan memukau.

"Harusnya gue yang nanya gitu. Lo kenapa masuk, sih?" tanya Dina balik sambil mengetukkan jarinya di meja kerja Faura. Sepupunya ini benar-benar membuatnya pusing. Bukankah ia mengambil cuti untuk satu bulan ke depan? Dan kenapa wanita yang mulutnya sepedas cabai itu berada di sini?

Faura mengernyitkan dahi. Ia lalu menatap datar dan bengis sepupunya. "Lo yang kenapa! Ini itu hari kerja dan jelaslah gue mau kerja. Lo itu ngomong seolah-olah ini hari libur. Mana laporan yang gue minta beberapa hari yang lalu, kok, enggak ada? Mau makan gaji buta, lo, ya?" tuding Faura sambil menunjuk angkuh sepupunya. Dina menggeleng tidak terima. Enak saja ia dibilang ingin makan gaji buta!

"Enak aja lo nuduh gue mau makan gaji buta! Gini-gini gue pekerja keras tahu! Dan lagian, laporan yang lo minta itu udah ada di gue," balas Dina sambil bersidekap dada. Matanya menatap wajah Faura yang berubah menjadi bengis seketika. Faura yang mendengar pembelaan Dina pun mencibir rendah. Matanya kemudian balas menatap Dina yang kini tampak sangat berani kepadanya. Tumben sekali.

"Ya, kalau udah ada kasih ke gue, Dina. Jangan lo dekemin sendiri, itu laporan enggak akan bertelur! Bawa sini laporannya!" pinta Faura angkuh sambil berdiri tegak di depan Dina.

"Gila lo, ya! Gue bilang laporan itu ada di gue! Lagian lo ngapain ke sini, sih?" geram Dina saat melihat tingkah Faura yang begitu menyebalkan.

"Udah, ah! Awas sana, gue mau kerja! Males gue ngeladenin lo, pertanyaan lo itu sama sekali enggak berbobot," ujar Faura sambil mendorong-dorong kecil Dina agar menyingkir dari mejanya. Dina merasa tidak terima. Enak saja Faura mendorong dirinya. Kalau jatuh bagaimana? Lagi pula, dia tidak salah sama sekali.

Dina menghalangi langkah Faura. Matanya menatap tajam pada Faura yang balas menatapnya bengis. Semalaman suntuk ia mengatur jadwal Faura untuk satu bulan ke depan, dan sekarang Faura ingin menghancurkannya begitu saja? Tidak akan ia biarkan! Lagi pula, ini semua terjadi atas permintaan Faura sendiri.

"Enggak ada kata kerja. Balik lo ke rumah, jadwal lo untuk satu bulan ke depan udah gue kosongin!" tutur Dina sambil menghadang Faura dengan kedua tangannya. Faura melotot kaget mendengarnya. Satu bulan?!

"Lo kurang ajar, ya! Enak aja lo main kosong-kosongin jadwal gue. Punya hak apa lo?!" sungut Faura sambil menunjuk wajah Dina. Dina yang diperlakukan seperti itu pun merasa tersinggung. Ia memang tidak memiliki hak apa pun di perusahaan sepupunya ini, tetapi bukan berarti Faura bisa memperlakukannya sesuka hati.

"Eh, gue memang enggak punya hak di perusahaan ini. Tapi bukan berarti lo bisa memerintah gue macam babu lo. Gue ini manusia, gue juga punya rasa capek dan jenuh. Lo pikir gue enggak jenuh dan capek gitu ngosongin jadwal lo untuk satu bulan ke depan, belum lagi gue ngurus laporan itu gara-gara lo yang tiba-tiba minta cuti! Lo bahkan baru kasih tahu gue malam hari menjelang tidur. Kenapa, sih, lo enggak ngasih tahu gue saat lo di kantor aja? Lo ganggu waktu istirahat gue tahu enggak. Dan yang terpenting, lo buat gue dimarahin sama investor perusahaan!!" sungut Dina sambil menatap Faura emosi. Faura memang lebih kaya dari dirinya, tetapi bukan berarti Faura bisa merendahkannya sesuka hati. Lagi pula, terkena apa Faura bisa berubah pikiran secepat ini.

Sementara itu, Faura terkejut mendengar ucapan Dina. Pertama, ia terkejut karena Dina berani berbicara kasar dan marah pada dirinya. Padahal selama ini Dina selalu mengalah dan menghindari perdebatan di antara mereka, tetapi sekarang, Dina justru memulai perdebatan mereka. Kedua, ia merasa terkejut saat Dina mengatakan bahwa dirinya menghubungi Dina untuk mengosongkan jadwalnya satu bulan ke depan. Permasalahannya, ia tidak pernah melakukan hal itu dan ia tidak akan pernah ingin melakukannya.

"Gue enggak pernah ngajuin cuti, Din!" bela Faura sambil menatap Dina serius.

Dina mengeryitkan dahinya. Ia kemudian mengambil ponsel yang berada di saku celana kerjanya. "Nih, mau buktinya!" ujar Dina sambil menyerahkan ponselnya pada Faura. Faura kemudian membaca riwayat pesannya pada Dina semalam.

Faura Sheilani:

Din, atur jadwal gue. Gue mau ambil cuti satu bulan. Besok pagi, semua harus selesai!

23.29

Me:

Lah, laporannya gimana? Lo, kan, minta besok harus udah kumpul semuanya!

23.35

Faura Sheilani:

Lo yang atur, intinya gue mau libur!

23.42

"Lo ini aneh! Semalam lo bilang mau cuti satu bulan. Giliran udah gue atur jadwalnya, eh, lo malah masuk sekarang," omel Dina sambil menatap malas Faura. Bukti sudah ada di tangannya, dan jika sampai Faura masih mengelak. Ia tidak akan memberi ampun.

"Gue enggak pernah kirim pesan begini. Lagi pula, riwayat itu enggak ada di ponsel gue," elak Faura sambil memberikan ponselnya. Kini, Dinalah yang membaca riwayat pesan di ponsel Faura. Kosong, tidak ada pesan yang Faura kirimkan semalam. Bagaimana bisa?

Mereka saling pandang. Mulut mereka sama-sama terkunci, tetapi otak mereka berusaha mencari jawaban dari semua teka-teki ini. Hingga pada akhirnya ....

"Enggak ada mahluk halus yang ganggu lo, kan?" tanya Dina was-was. Faura merubah wajahnya menjadi datar. Matanya menatap lekat pada Dina yang tiba-tiba saja berkata se-absurd itu. Alisnya kemudian terangkat sebelah saat menyadari sesuatu.

"Pertanyaan lo ini memang gila, tapi gue ingat sesuatu. Jadi, makasih atas pertanyaan gila lo itu!" tutur Faura sambil berjalan tergesa-gesa keluar ruangan. Dina yang mengetahui hal itu pun seketika berteriak.

"Faura! Lo mau ke mana? Jangan tinggalin gue, please ... gue takut, Faura!" teriaknya sambil mengejar Faura yang sudah hilang entah ke mana. Cepat juga langkah Faura. Ia bisa menghilang begitu saja dengan sepatu hak tingginya. Karena merasa takut, Dina pun bergegas keluar ruangan. Matanya menatap takut sekeliling ruangan Faura dari balik pintu. Ia kemudian langsung melepas sepatu hak tingginya dan berlari ke lantai bawah untuk mencari teman.

Bruk!

"AAKH!"

***

"Mamah! Mamah!!" teriak Faura sambil memasuki rumah. Penampilannya sudah acak-acakan. Rambut panjangnya bahkan sudah tidak karuan lagi. Kusut luar biasa. Setelah sesi lari berlari dengan sepatu hak tinggi, Faura memilih untuk langsung pulang ke rumah. Bukan tanpa alasan ia pulang ke rumah, melainkan ia yakin bahwa ibunya adalah dalang di balik semua ini.

Semalam, mereka bertengkar hebat lagi. Ajeng dengan keangkuhannya itu kembali meminta Faura untuk menikah. Ia bahkan telah menyiapkan puluhan foto lelaki yang sudah ia tandai sebagai calon menantunya kelak. Faura yang mengetahui hal itu pun merasa marah. Belum ada satu minggu ibunya berada di rumah, wanita tua yang sayangnya tidak tahu diri itu telah berhasil mengusik hidupnya.

Emosi Faura sudah berada di ubun-ubun sekarang. Keributan semalam dan berbagai penjelasan yang ia berikan pada sang ibu rupanya tidak berdampak apa-apa. Ibunya justru semakin bertindak nekat dengan membawa-bawa pekerjaannya. Faura dan pekerjaannya sudah seperti jantung dan darah. Tidak akan bisa hidup tanpa salah satunya.

Sambil menjinjing tas dan sepatunya, Faura berteriak memanggil ibunya yang entah menghilang ke mana. Sejak pagi tadi ia sama sekali tidak melihat orang tuanya berada di rumah. Dan kini, ia pun tak mendapati kehadiran mereka. Faura bahkan merasakan tenggorokannya sakit karena terlalu banyak berteriak. Merasa lelah, Faura pun akhirnya duduk di sofa sambil mengatur napasnya yang terasa berat. Matanya sesekali terpejam kelelahan.

Ia menduga, ibunya mengirim pesan itu saat ia sedang tertidur setelah kelelahan berdebat. Bodohnya, malam itu ia memang tidak mengunci pintunya karena terlalu lelah bekerja di ruang kerja dan mengadu urat dengan ibunya sehingga dengan asal ia memasuki kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia yakin, pasti ibunya sempat menyentuh tangannya untuk membuka ponselnya. Ia jadi semakin kesal, kenapa ia bisa tidur seperti orang mati, sih!

"Faura?" panggil Ajeng yang tiba-tiba memasuki rumah bersama Rendi. Faura yang semula sedang menutup mata pun langsung membukanya. Tanpa pikir panjang, Faura lekas berdiri dan berjalan ke arah orang tuanya. Ajeng yang melihat hal itu pun merasa khawatir karena cara berjalan Faura yang sempoyongan. Wanita yang ia lahirkan 29 tahun yang lalu itu pun tampak begitu lelah dan frustrasi di saat yang bersamaan.

"Kamu kenapa?" tanya Rendi. Tangannya terangkat ingin menghapus keringat di dahi anaknya. Namun, belum sampai kulit itu tersentuh olehnya, Faura jauh lebih dulu menepis tangannya. Faura lalu mengangkat dagunya tinggi sambil matanya menyipit saat menatap dua orang paruh baya banyak tingkah di depannya.

"Jangan pegang-pegang!" peringat Faura sambil memasang wajah bengisnya. Tatapannya lalu beralih pada Ajeng yang masih terdiam memperhatikannya. Wanita tua itu tidak terlihat bersalah sama sekali.

"Mamah, kan, yang kirim pesan ke Dina untuk mengurus cuti Faura selama satu bulan ke depan?" tuding Faura tanpa basa-basi sambil bersidekap dada. Matanya menatap rendah dan marah pada Ajeng yang masih setia dengan diamnya.

"Jawab!!" bentak Faura karena merasa Ajeng tidak kunjung menjawab. Ajeng yang mendengar hal itu pun merasa terkejut. Ia bahkan terlonjak kaget di tempatnya. Namun, ia tetap berusaha untuk tenang.

"Iya, memang Mamah yang mengirim pesannya. Mamah juga yang menghapus riwayatnya," jawab Ajeng tenang sambil menatap lekat mata anak semata wayangnya. Faura melotot mendengarnya, ia benar-benar tidak percaya ibunya melakukan hal ini tanpa alasan yang jelas.

Sementara itu, Faura merasa emosi dalam dirinya semakin tersulut. "Mamah ngapain ngelakuin ini? Mamah tahu kalau kerjaanku itu banyak. Untuk libur satu hari aja aku mikir berhari-hari dan ini untuk satu bulan? Satu bulan? Mamah sadar enggak, sih!" ujar Faura emosi. Matanya menatap tak percaya pada ibunya yang masih bersikap tenang.

"Mamah ngelakuin ini juga buat kebaikan kamu, biar kamu bisa cari menan—"

"Apa? Apa?! Mamah mau aku cari menantu, gitu?" potong Faura sambil menunjuk dadanya sendiri.

"Iya, kamu ini harus nikah. Mamah mau kamu nikah!!" tuntut Ajeng membuat Faura semakin emosi. Faura memejamkan matanya, ia bersiap untuk melancarka berbagai penolakan.

"Mah, harus aku jelasin berapa kali lagi, sih? Aku bilang nanti. Mamah enggak ngerti kata nanti, ya? Lagian yang nikah itu aku, Mah. Bukan Mamah, Mamah hanya bisa nonton nantinya. Mamah nyuruh aku nikah seolah-olah nikah itu udah kayak beli cabe di pasar," balas Faura frustrasi. Ia bahkan sampai menjambak rambutnya sendiri dengan keras. Rambutnya yang semula berantakan kini semakin terlihat berantakan, Faura benar-benar kacau karena tuntutan dan tindakan semena-mena ibunya.

Rendi yang melihat anaknya begitu terpojok dan frustrasi pun merasa kasihan. Dalam hati ia merutuk pada dirinya sendiri karena hanya bisa diam melihat tanpa meleraikan mereka. Perlu diketahui, dua wanita yang sama-sama ia cintai itu tidak suka jika ia hanya membela salah satunya. Sudah cukup ia dipandang begitu buruk oleh Faura, jangan sampai Ajeng pun melakukan hal yang sama padanya. Faura saja hingga kini masih enggan berdekatan dengannya. Jika Ajeng pun melakukan hal yang sama, entah apa yang akan terjadi padanya.

"Mamah enggak peduli. Mamah kasih kamu waktu satu bulan untuk mencari menantu dan bawa ke hadapan Mamah secepatnya. Kalau kamu gagal, kamu harus menikah dengan orang pilihan Mamah atau kamu akan Mamah carikan jodoh di biro jodoh!" ultimatum Ajeng pada Faura sebelum ia berlalu pergi ke kamarnya. Ia perlu istirahat setelah dengan tenaga ekstra menahan emosinya. Berhadapan dengan Faura memang selalu berujung emosi yang membludak. Sifat anak itu yang memang keras kepala dan tidak mau kalah hampir membuatnya kehabisan cara.

"Fau—"

"DIAM!"

***

"Lo ngapain ngajak gue ketemuan, sih? Reuninya masih lama kalau lo lupa," tanya Ardian malas. Matanya kemudian menatap dengan enggan pada Faura yang duduk di depannya. Wanita itu tampak masih enggan untuk berbicara yang sebenarnya. Sejak tadi Faura hanya menggeram dan sesekali menjambak keras rambut panjangnya. Lebih mengherankannya lagi, Faura yang biasanya tampil rapih dan cantik luar biasa itu kini justru terlihat seperti orang gila.

Rambut Faura sudah benar-benar berantakan. Hampir mendekati gimbal sepertinya. Riasan wajahnya yang sekarang tampak mengerikan dan bajunya yang sudah kusut di mana-mana. Belum lagi, wajah Faura hampir menyaingi baju kemejanya yang kusut. Sejak awal, Faura memang tidak mengikat rambutnya dan hingga kini ia pun tidak mengikatnya. Jadi, rambutnya mengembang begitu saja.

"Rambut lo udah berantakan pas ke sini dan jangan di jambak lagi, entar lo disangka kena angin tornado lagi," tuturnya santai. Faura mendelik tajam. Mulutnya sudah terbuka pertanda ia siap untuk melayangkan protes. Sebelum semua itu terjadi, Ardian jauh lebih dulu menyelanya. "Gue cuma ngomong, enggak ada niat ngerendahin lo!"

"Lagian, tumben lo enggak kerja. Biasanya jam segini lo bahkan enggak sudi jawab pesan-pesan gue," sambungnya heran. Faura hari ini memang benar-benar aneh. Jam-jam sibuk seperti ini ia justru keluyuran tak tahu arah dengan penampilan yang sangat jauh dari Faura yang biasanya. Lagi pula, ia yakin sejak tadi Faura menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, penampilan Faura yang sudah mirip orang gila ini berhasil membuat mereka ditatap aneh oleh pengunjung mall yang lain.

Saat ini, mereka memang sedang berada di mall. Berawal dari Faura yang meminta untuk ditemani refreshing hingga mall menjadi tujuan mereka. Sejak awal menjemput Faura, Ardian merasa terkejut luar biasa. Ia bahkan tidak percaya bahwa wanita yang sudah berantakan di depannya adalah Faura—sahabatnya.

"Kalau lo enggak cerita, gimana gue bisa kasih solusinya," desah Ardian malas sambil memainkan ponselnya. Sejak tadi ia hanya berbicara sendiri, lama-lama ia yang akan menjadi gila di sini.

Faura yang sejak tadi tertunduk pun mengangkat wajahnya. "Gue diliburkan selama satu bulan," jawab Faura pelan dan frustrasi. Matanya menatap sendu pada Ardian yang kini menatapnya heran.

"Lo libur? Sejak kapan?" tanya Ardian senang. Ini adalah sebuah keajaiban. Faura mendengus kesal mendengarnya. Matanya kemudian menatap meja kayu yang mereka jadikan tumpuan saat ini. "Jadi, ini semua berawal dari orang tua gue yang pulang ke Indonesia. Gue—"

"Lo jangan stress gitu cuma gara-gara ortu lo pulang ke Indonesia. Seharusnya lo seneng, dong. Nih, lihat gue, dijenguk aja gue kagak sama ortu gue!" sela Ardian sambil menggelengkan kepalanya menatap Faura yang tampak sangat frustrasi karena kedatangan orang tuanya.

Faura menggeram kesal. Ia belum selesai bicara, tetapi lelaki dengan mulut seahli lambe gosip ini sudah memotong ucapannya. "Denger gue dulu. Gue belum selesai ngomong, tadi lo yang minta gue cerita. Sekarang malah lo sendiri yang motong!" ucap Faura judes. Ardian tak dapat menjawab. Bukan seperti itu maksudnya. Akhirnya, Ardian pun hanya bisa meminta maaf pada Faura.

"Mamah gue yang ngatur semuanya. Pagi tadi gue berangkat dan tiba-tiba si Dina malah marah enggak jelas. Gue heranlah, pas gue tanya ternyata dia bilang dia udah ngosongin jadwal gue untuk satu bulan ke depan. Pas gue cari tahu, ternyata itu ulah mamah."

Ardian mulai tertarik. Lelaki yang terkadang suka menggosip dan suka bersikap bijak secara tiba-tiba itu merasa bahwa ada masalah besar yamg sedang menimpa Faura. "Kenapa mamah lo ngambil cuti? Dia kangen sama lo?"

"Mana ada dia kangen sama gue. Kalau kangen, enggak akan gue dibiarin sendiri. Lagian, kedatangan mereka ke Indonesia juga ada alasannya."

"Apa?" tanya Ardian penasaran. Selain rindu dengan anak, alasan apalagi yang tepat dan bisa menjadi latar belakang kepulangan sepasang orang tua ke rumah anaknya?

"Mamah gue pengen gue nikah. Semalam dia bahkan ngasih gue puluhan foto cowok. Katanya pilih salah satu buat jadi suami. Ya gue tolaklah, eh, mamah malah ikut campur kerjaan gue. Mamah liburin gue satu bulan untuk cari calon suami. Kalau gue gagal, gue harus bersedia nikah sama cowok pilihan mamah atau gue dicariin jodoh di biro jodoh!"

Hening, tidak ada jawaban dari Ardian. Lelaki itu hanya menatap terkejut pada Faura. Gila, ini benar-benar gila. Satu bulan? Ya, ampun. Pantas Faura mendadak mirip seperti orang gila, ternyata ini masalahnya. Ardian kemudian merasakan hawa tidak enak saat Faura menatapnya dengan lekat. Jangan-jangan akan ada masalah yang menarik dirinya. Jangan sampai.

"Lo mau bantuin gue, kan?"

"Ba—bantuin apa?" tanya Ardian gugup. Ia akan berada dalam kemalangan jika seperti ini.

"Bantuin gue untuk tetep kerja dan bebas dari tuntutan mamah gue. Gue mau lo ngehasut semua investor gue untuk menemui gue secara langsung. Kita punya beberapa beberapa investor yang sama, kan? Gue enggak mungkin turun tangan langsung, mamah gue bisa tahu. Maka dari itu, gue butuh lo sebagai perantara gue." Ardian menahan napasnya. Benar dugaannya. Rasanya Ardian ingin lari saja saat ini. Ia harus membuat alasan apa untuk membujuk para investor itu? Mereka bahkan berbeda perusahaan dan orang-orang sering kali salah kaprah menganggap hubungan mereka.

"Lagian, beberapa investor marah sama Dina. Dan lo harus hasut mereka untuk bertemu langsung sama gue."

"Gue enggak yakin," gumam Ardian pelan. Membujuk para investor untuk melakukan hal yang sama sekali bukan kepentingannya adalah suatu hal yang sulit. Mengurus hal yang merupakan kepentingannya saja sudah sulit. Apalagi ini?

Bisakah Ardian melenyapkan Faura saat ini juga? Rasanya ia ingin menghilangkan Faura sejenak agar semua masalah selesai. Ibunya akan bertobat karena kehilangan Father yang. Dan Faura sendiri akan tetap bebas. Sayang, ini adalah kehidupan nyata dan bukan drama yang sering kali muncul di layar televisi.

Sayang sekali. Padahal Ardian ingin mencoba!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status