Share

Ingin Mati Saja!

            Xavier tengah memacu kecepatan motornya dan sama sekali tidak menyangka bila seseorang muncul secara tiba-tiba. Semuanya terjadi dalam hitungan detik. Xavier terjatuh dari motornya. Sedangkan orang yang dia tabrak, tergeletak tak berdaya kurang lebih tiga meter darinya. Xavier mencoba berdiri meski dia merasakan sakit luar biasa pada kaki kanannya. Diseretnya kakinya menuju korban yang tergeletak itu. Ternyata, seorang perempuan.

            “Woiiii, bangun!” Xavier mengguncangkan tubuh perempuan itu berkali-kali. Tak ada jawaban.

            “Bangunnnnn!” ucap Xavier lagi setelah melepas helmnya. Perempuan itu tetap pada diamnya. Hingga Xavier tersadar bahwa darah segar mengalir dari kepala perempuan itu.

            Xavier panik. Dia meminta pertolongan. Sayangnya, pada hari itu jalanan benar-benar sepi. Tak ada orang yang tampak. Lalu, dia memutuskan untuk menelepon ambulans.

            “Bertahanlah, kumohon!” lirih Xavier yang kini berada di dalam ambulans, menemani perempuan yang dia tabrak. Wajah lelaki itu memucat. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada perempuan di hadapannya itu.

***

            Xavier memandang perempuan itu lekat. Perempuan bertubuh kurus dan mungil, dengan kulit hitam manis. Wajahnya pucat, namun mulus dan bersih. Rambutnya panjang bergelombang. Pakaiannya telah berganti menjadi pakaian untuk pasien rumah sakit. Kepalanya diperban setelah dokter menjahit beberapa bagian yang terluka. Dia juga mendapat beberapa luka di kaki dan tangan.

            “Setelah mengalami kejadian yang sangat luar biasa hari ini, aku tetap beruntung karena kamu tidak mengalami luka serius. Ahh syukurlah,” lirih Xavier di dekat perempuan itu.

            “Xavier,” panggil seseorang yang membuat Xavier menoleh ke arah datangnya suara.

            “Hai Pak Dokter,” balas Xavier dengan senyum lelah di wajahnya.

            “Kamu benar-benar tidak mengenali perempuan ini?” tanya dokter bernama Ronald itu yang kini berdiri di samping Xavier.

            “Tidak. Dia tidak membawa kartu pengenal. Oh… dia bahkan tidak memiliki apa-apa,” rungut Xavier tak percaya.

            “Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Kalau polisi sampai tahu masalah ini—”

            “Ronald, aku tidak akan lari dari tanggung jawab,” tegas Xavier pada dokter muda yang merupakan sepupunya itu. 

            “Baiklah. Bagaimana dengan lukamu? Kamu bakalan membiarkannya begitu saja? Jangan kamu pikir aku tidak tahu kalau kakimu terluka.”

            Xavier terkekeh. “Aku tidak apa-apa, Pak Dokter.”

            “Duduklah biar kuperiksa.”

            “Tidak.”

            “Aku memaksa, Xavier,” ucap Ronald bersikeras.

            “Ya ya ya. Kamu memang selalu seperti ini. Tapi alangkah lebih bagus bila dokter cantik yang mengobatiku,” goda Xavier dengan senyum tipis di wajahnya.

            Ronald menjitak kepala Xavier secara tiba-tiba.

            “Awww! Apa yang kamu lakukan?” Xavier memandang Ronald kesal.

            “Tidak ada dokter cantik untukmu. Duduklah kalau ingin sembuh.”

            Akhirnya Xavier menyerah dan menuruti perkataan sepupunya itu.

            “Untunglah kamu menggunakan celana panjang. Jadi lukanya tidak begitu parah,” tukas Ronald setelah menggunting celana Xavier hingga lutut. Terlihat luka di tulang kering Xavier kurang lebih sepanjang 10 centimeter.

            “Selesai. Gimana? Aku cekatan, kan?” Ronald menunjukkan jejeran giginya yang rapi.

            “Kamu harus mengganti celanaku yang dengan seenaknya kamu gunting ini.”

            “Ya ampun, bukannya berterima kasih,” delik Ronald sembari mengembuskan napasnya berat dan perlahan-lahan.

            Xavier terkekeh melihat Ronald yang tengah mendelik kesal. “Thanks, Doc.”

            “Nah, gitu kan enak di dengar. Anyway, bagaimana kabarmu? Masih sibuk dengan gadis-gadismu?” Ronald menyandarkan tubuhnya pada dinding dengan kedua tangan berada di dada.

            “Dan kamu, apa masih bertahan dengan istrimu yang cerewet itu?” balas Xavier tidak mau kalah.

            “I love her so much. Hidupku berubah sejak hadirnya dia. Kamu akan merasakan itu ketika kamu menemukan orang yang tepat,” tukas Ronald yang kemudian izin pamit karena masih ada pasien yang harus dia tangani.

            Xavier tersenyum dan terkenang akan kisah yang pernah dia lalui bersama Ronald. Ronald lima tahun di atas Xavier. Tapi Ronald tidak pernah menganggap Xavier sebagai adiknya, pun sebaliknya. Sikap, tingkah, dan hobby mereka hampir sama. Hingga akhirnya Ronald beralih haluan menjadi pria baik-baik setelah bertemu dengan Hannah—tepatnya dua tahun yang lalu. Bahkan Xavier tidak menduga bahwa Ronald bisa menjadi seorang dokter. Meski dia akui bahwa pada dasarnya Ronald merupakan lelaki dengan kecerdasan luar biasa.

***

            12 jam berlalu, tetapi perempuan itu belum juga sadar. Ronald sudah menyuruh Xavier untuk pulang. Tapi lelaki itu menolak. Xavier meyakinkan dirinya untuk menjadi orang pertama yang berada di sisi perempuan itu ketika dia membuka mata.

            Xavier tersentak dari tidur ketika ponselnya berbunyi.

            “Halo.”

            “Xavier, kamu di mana? Aku telepon berkali-kali tapi kamu tidak menjawab. Kamu kenapa, sih? Gara-gara kamu aku nggak jadi liburan. Kamu harus tanggung jawab karena sudah membuat hariku buruk!” bentak seseorang dari seberang telepon. Mau tidak mau, Xavier menjauhkan ponsel dari telinganya. Tak kuasa mendengar teriakan keras sang penelpon.

            “Xavierrr! Jawab aku. Jangan jadi lelaki pengecut!” tambahnya lagi karena Xavier belum juga merespon.

            “Sydney, apa kamu tahu ini jam berapa? Tengah malam! Please jangan ganggu waktu tidurku!” balas Xavier santai.

            “Kamu kok cuekin aku, sih?”

            “Aku ngantuk. Lain kali kita bicara.”

            “Xavier—”

            Xavier memutuskan sambungan.

            “Kenapa aku bisa ada di sini?” sebuah pertanyaan yang berhasil membuat Xavier terkejut.

            “Wow…. Syukurlah kamu sadar,” ucap Xavier spontan dengan wajah berbinar.  

            “Kenapa aku bisa ada di sini?” ulang perempuan itu tidak memperdulikan Xavier. Pandangannya tetap fokus pada langit-langit ruangan serba putih itu.

            “Kamu muncul secara tiba-tiba dan akhirnya aku menabrakmu. Makanya sekarang kamu ada di sini,” tukas Xavier sesantai mungkin.

            Perempuan itu mengalihkan pandangan kepada Xavier. Sebuah tatapan dingin dan menusuk. Tak pernah Xavier menemukan tatapan seperti itu sebelumnya.

            “Hmm… namamu siapa? Alamatmu di mana? Mungkin sekarang orangtuamu sedang mencarimu. Kamu sama sekali tidak membawa kartu pengenal. Jadi—”

            “Harusnya kamu biarkan aku mati!”

            Xavier terbelalak. Tak percaya pada ucapan perempuan itu.

            “Harusnya kamu biarkan aku mati!”

            “Tak perlu mengulangnya berkali-kali. Aku mendengarnya dengan jelas!” jawab Xavier kesal.

            “Aku tak punya alasan lagi untuk hidup,” ucap perempuan itu kemudian mengalihkan pandangan dari Xavier.

            Xavier memandang perempuan itu tak percaya. Sesekali dia mengembuskan napasnya kencang.

            “Ternyata kamu berniat bunuh diri. Tahu gitu aku nggak bakalan bawa kamu ke sini,” desis Xavier geleng-geleng kepala.

            “Tapi kalau aku biarkan kamu mati begitu saja, aku bakalan dituduh sebagai pembunuh. Mengapa? Karena aku yang menabrakmu. Kamu nggak mikirkan itu, kan? Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Harusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu,” jelas Xavier kesal sembari memandang perempuan itu lekat.

            “Yang jelas, aku sudah bertanggung jawab. Aku membiayai semua pengobatanmu. Sekarang terserah kamu. Aku pergi.” Xavier mengambil jaket dan helmnya yang terletak di atas meja.

            Xavier berjalan tertatih-tatih menuju pintu.

            “Aku sendiri dan tidak tahu harus bagaimana menjalani hidup ini,” tukas perempuan itu lemah, tapi bisa didengar dengan jelas oleh Xavier. Seketika lelaki itu menghentikan langkahnya.

            “Harusnya kamu biarkan aku mati! Aku nggak pengen hidup. Aku lelah! Aku pengen matiiiiii!” teriak perempuan secara tiba-tiba. Ditariknya secara paksa selang infus yang menancap di pergelangan tangannya.

            “Apa yang kamu lakukan?” Xavier berlari menghampiri dan menghentikan perempuan itu.

            “Aku pengen mati! Aku pengen mati! Lepaskan akuuu!” teriaknya semakin kencang dengan air mata yang tiba-tiba mengalir di wajahnya.

            Untunglah Xavier bertindak cepat dengan menekan tombol darurat agar dokter segera datang.

            “Dengar, apapun masalah yang tengah kamu hadapi, mati bukan solusi terbaik!” bentak Xavier menatap kedua bola mata perempuan itu.

            “Lepaskan aku!”

            “Tidak!” bentak Xavier keras sembari menahan tubuh perempuan itu agar tidak lagi berontak.

            “Lepaskan aku!” ulang perempuan itu tak menyerah.

            Lima menit kemudian, tubuh perempuan itu melemah dan akhirnya tertidur setelah Dr. Ronald memberikan suntikan penenang padanya.

            “Harusnya kamu datang lebih cepat! Kamu tidak tahu apa yang akan dia perbuat kalau kamu telat beberapa detik saja?” tukas Xavier melampiaskan amarah dan kekesalannya pada dokter muda di hadapannya itu.

            “Slow, Bung. Semua akan baik-baik saja,” jawab Ronald dengan senyum teduh di wajahnya.

            “Apanya yang slow? Dia mau bunuh diri!”

            “Itu gunanya kamu ada di sini. Kamu temani dia. Kan kamu yang nabrak. Apalagi kita tidak tahu keluarganya ada di mana. Jadi, kamu bertugas untuk menemani sekaligus menenangkannya. Sepertinya dia tengah mengalami masalah berat,” jelas Ronald penuh wibawa.

            “What?”

            “Mohon kerja samanya ya, Xavier,” ujar Ronald yang kemudian meninggalkan Xavier dan pasien perempuan itu.

            Xavier mengacak-acak rambutnya yang tidak bersalah. Setelah mendengus kesal, dia pun memandang perempuan yang kini tertidur itu secara saksama. Masih ada sisa air mata di wajahnya. Meski awalnya ragu, Xavier akhirnya memutuskan untuk menghapus sisa air mata di wajah perempuan berwajah oval tersebut. Lelaki itu melakukannya dengan penuh kelembutan. Sejenak, hatinya terenyuh melihat kondisi perempuan itu. Bagimana pun, perempuan itu memang tengah berada dalam posisi sulit dan butuh seseorang untuk membantunya bangkit seperti sedia kala.

            “Dengar ya, semua orang punya masalah. Tapi tidak semua orang memutuskan untuk mengakhiri masalah dengan bunuh diri. Itu namanya kamu lari dari kenyataan. Kamu harus kuat, sehat, dan terus berjuang melanjutkan hidup. Buktikan pada semesta kalau masalah yang kamu hadapi tidak ada apa-apanya. Kamu harus bisa jadi pemenang. Hidup ini hanya sekali. Syukuri, hadapi, dan nikmati!” ucap Xavier panjang lebar. Dia tahu perempuan itu tidak akan mendengar ocehannya. Tapi paling tidak, dia sudah berhasil menyuarakan isi hatinya.

            Xavier bukan tipikal orang yang mau bersusah payah memberikan ‘nasehat’ kepada orang lain. Dia hanya berbicara semaunya, tanpa ada basa-basi. Namun perempuan bertubuh mungil yang kini tertidur lelap di hadapannya itu membuatnya sedikit merasa ‘kasihan’.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status