Share

Bab 9. Merasa Diawasi

Ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu kembali berputar di mana saat itu, aku duduk di taman sendiri karena merasa sedikit pusing. "Aish, kepalaku sakit banget," keluhku sambil memijatnya. "Mana mual lagi."

Aku menutup mulut saat ada dorongan dari lambung. Aku segera mendongak untuk mencegah mual itu. Namun, itu ternyata tak berhasil karena rasa ingin muntah itu justru semasih terus membayangiku.

Tak tahan, aku pun langsung berlari ke tong sampah terdekat dan mengeluarkan semua isi lambungku. "Pahit," keluhku.

Tiba-tiba, aku merasa bagian tengkukku ada yang memijat dan bahkan rambutku yang terurai menghalangi kini sudah dipegang oleh orang tersebut. "Sudah," ujarku memberitahu.

Setelah selesai memuntahkan semua, badanku terasa lemas dan lagi-lagi orang itu membantuku untuk duduk ke kursi.

"Ckckck, kamu tuh ngapain berangkat kerja kalau lagi sakit, Na!" Kaisar Mahendra, seniorku ketika kuliah dulu. Tapi, kami beda jurusan, cuma karena kami satu arah dan menjadi tetangga kos makanya selalu bersama.

Aku tersenyum, walau nyatanya itu tidak akan berpengaruh untuk Kaisar. "Bang Kai, bisa gak kamu pijitin bahuku? Kayaknya ada tuyul yang menggelendotiku sedari tadi, berat banget soalnya," ujarku sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigiku yang rapi.

"Itu bukan tuyul ataupun setan, melainkan dosamu yang menggunung, Na," sindirnya. Bang Kai adalah nama panggilan yang aku buat untuknya, tetapi jika aku sedang kesal atau marah maka aku akan memanggilnya Bangke.

"Sialan! Gak usah ngomongin dosa bisa gak, sih, Bang? Aku tuh jadi merasa manusia paling hina di dunia ini."

Bang Kai hanya menggelengkan kepala melihatku. Dia ini beda satu tahun denganku, atau dua tahun, yah? Ah, entahlah. Intinya dia itu seniorku yang selalu ada untukku.

Duh, berasa punya Abang kalau sama dia. Soalnya dia itu tipe cowok yang humble, peduli dengan sekitar, merangkul, halah bahasanya bikin pusing. Intinya dia itu baik.

"Kak Tama masih suka menindasmu apa gimana, hm?"

"Iya, itu, Bang. Enak banget," tuturku keenakan saat tangan pria itu memijat bagian kepalaku yang pusing. "Eh, tadi Bang Kai ngomong apa?"

"Kak Tama masih memberimu tugas-tugas yang banyak?" tanya pria itu lagi.

"Ckckck, gak pantas dia dipanggil Kak, Yang ada pantasnya dia itu dipanggil Devil, bapaknya Evil. Njir, Gedeg banget aku tuh sama dia, Bang," keluhku. Saking semangatnya, aku sampai meremas botol kaleng minumanku hingga penyok.

Aku mendengar Bang Kai tersenyum. "Kamu ini kenapa sih, kalau sama dia bawaannya emosi terus? Padahal, Kak Tama orangnya baik, loh."

Aku langsung menepis tangan Bang Kai, kemudian memberi tatapan sengit kepadanya. "Baik dari mananya? Hongkong? Atau, Korea? Cih!" ucapku tak terima. "Kalau dia baik, gak mungkin aku bisa sampai kayak gini." Tanganku langsung dilipat di depan dada.

Lagi-lagi Bang Kai tersenyum. "Haduh, please, deh! Itu lesung pipi kenapa harus nyempil di sana, sih? Kan, aku jadi gemes pengin nusuk," batinku gemas.

"Kamunya aja yang terlalu membawa perasaan, Na. Coba, kamu pikirkan keadaan kamu dulu dengan sekarang! Apa kamu tak sadar itu?"

Aku langsung memberengut kesal. Aku yang dulu bukanlah siapa-siapa, bahkan untuk sekadar membeli pulsa saja masih ngutang ke penjaga counter, apalagi beli bedak dan ponsel mahal? Bisa setahun aku gak makan.

Dulu aku tinggal di kontrakan dengan kamar mandi di luar dan harus berebut dengan penghuni lain.

Membayangkan akan masa lalu membuatku meringis ngilu. "Ya, secara dulu aku kan hanya anak rantauan yang butuh duit buat bertahan hidup, Bang."

Aku berkilah, karena memang tidak mau mengakui jika semua yang telah aku dapatkan sekarang adalah campur tangan dari Tama si bos kampret. Aku tak sudi! Intinya semua ini kudapatkan dengan kerja kerasku, bukan dari Tama.

"Makanya gak usah ngoyo nyari duit, Na. Kalau sakit kayak gini, terus siapa yang repot? Kamu sendiri, 'kan?"

Aku mengibaskan tanganku. "Ngomong mah enak, Bang Kai. Tapi, realitanya pun kamu juga melakukan hal yang sama, Bang," sindirku sambil menahan sakit di kepala. "Sshh!"

"Ckckck, kamu udah malam belum, sih?" Tangannya kembali mendarat di kepalaku dan memijitnya.

"Udah ... tadi pagi," jelasku nyengir. Namun, dia justru menoyor kepalaku. "Ish, aku tuh lagi sakit loh, Bang. Tega banget sih, sama orang sakit."

"Cih! Malas banget aku kasihan sama orang yang gak mau peduli sama kesehatannya sendiri." Bibir boleh mencibir, tetapi Bang Kai tetaplah Abang yang tidak akan pernah tega melihatku sakit.

Lihat saja dia sekarnag, dia justru menarikku ke dalam pelukannya. "Duh, nyaman banget, sih, Bang," ujarku sambil menyamankan diri ketika tangan pria itu memijit bagian kepalaku.

Aku tau seberapa keras Bang Kai dalam mencari nafkah. Adiknya ada 2 dan mereka masih kuliah dan yang kecil SMA kelas 3. Sedang kedua orang tuanya sudah meninggal waktu mereka kecil. Jadi, dia adalah tulang punggung dalam keluarganya.

Sedih, sih lihatnya. Tetapi mau gimana lagi. Hidupku pun juga tak kalah menyedihkan jika diceritakan. Bedanya, aku masih punya ibu, tetapi tidak berpengaruh apa pun untukku.

"Ngomong-ngomong, kamu ngerasa gak, sih, Na?"

"Ngerasa apa?" Aku bertanya bingung.

Aku duduk dengan tegak dan menatap Bang Kai dengan pandangan bertanya. "Ada apaan, Bang?"

Bang Kai menggeleng sambil mengusap tengkuknya. "Gak tau kenapa, aku merasa kayak ada yang lagi ngelihatin kita," ungkapnya saat itu.

Sekarang aku pun jadi mengerti. Ternyata orang yang sedang mengawasi kami saat itu adalah pria yang kini tengah menatapku tajam, alias Gartama Wirasesa.

Aku pun langsung berdiri sambil berpegangan pada dinding di belakangku. "Maaf, Pak. Saya dan Bang Kai itu hanya teman. Kalaupun kami ada hubungan apa-apa," jedaku untuk melihat tanggapannya. "Anda tidak perlu ikut campur karena Anda ini bukanlah kekasihku!"

"Ah, jadi kamu sedang memintaku untuk menjadikanmu sebagai kekasihku?"

Mataku langsung melotot dengan mulut setengah melongo. Aku menelengkan kepala sambil mencari di mana kata-kataku yang menyebutkan jika aku memintanya untuk menjadikannya sebagai kekasihku.

Tidak ada. Aku pun langsung mendengkus. "Please ya, Pak! Ini masih jam kerja. Jadi tolong bersikaplah profesional!" tuturku setengah menggeram menahan emosi.

Namun, bukannya menyerah, Tama justru semakin menyeringai di tempatnya. Aku pun tidak peduli dan memilih berjalan pergi menuju pintu keluar. Sudah tak peduli aku tentang di mana kacamata si bos. Aku harus pergi dan menyelamatkan emosiku yang sebentar akan lagi meledak.

"Naina. Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara!"

Langkahku berhenti saat tangan pria itu menarikku terlalu kencang hingga tubuh kami saling bertubrukan. Aku mendongak berniat untuk protes, tetapi Tama yang justru merunduk membuat bibir kami kembali bertemu.

"Ah!" Aku langsung mendorongnya menjauh dan kupalingkan wajah yang kini pasti kembali merona merah.

"Itu aku gak sengaja," ujarnya sambil menyeringai. "Mungkin, bibir kita tahu di mana tempat yang pas untuk saling berciuman."

"Gila! Bapak gila!" seruku sambil keluar ruangan dengan menutup wajahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status