Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul tapi Nindy sudah bersiap untuk memulai harinya. Sedari tadi dia tidak berhenti untuk tersenyum. Hatinya terasa campur aduk sekarang, antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mendapat pekerjaan dan takut karena ini adalah hari pertamanya. Nindy memang belum tahu pekerjaan apa yang kakek berikan tapi dia yakin apapun itu pasti tidak akan mengecewakannya.
Nindy mengusap rambut basahnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia melirik ponselnya yang bergetar. Seperti biasa, ada ayahnya yang mengirimkan pesan setiap pagi. Kali ini Nindy tidak lagi bersedih. Dengan semangat dia langsung membalas pesan ayahnya.
"Iya, Pak. Ini udah bangun, lagi siap-siap."
Lega. Perasaan Nindy sedikit tenang karena tidak lagi berbohong kali ini.
Nindy mendekat ke arah meja rias dan melihat kalender kecil di sana. Ada tanggal yang sudah ia lingkari dengan spidol berwarna merah, tanggal di mana dia harus membayar kost.
Nindy menarik napas dalam, "Nggak papa. Gue udah dapet kerja. Habis ini nggak akan pusing lagi bayar kost."
Tak ingin membuang waktu, Nindy mulai bersiap. Dia sudah menyiapkan pakaian terbaiknya dari semalam. Beruntung dia memiliki banyak pakaian formal semasa kuliah sehingga tidak sulit untuk menyesuaikan diri saat bekerja di kantor.
Setelah kakek memberikan alamat kantor cucunya semalam, Nindy langsung mencari tahu mengenai perusahaan tersebut. Meskipun masuk dengan jalur yang mudah, tapi dia juga harus tahu setidaknya sedikit mengenai perusahaan tersebut. Lucunya lagi, ternyata Nindy pernah mengirim lamaran pekerjaan ke perusahaan, tapi hingga saat ini masih belum ada panggilan.
Artinya dia tidak lolos bukan?
***
Mungkin terlalu pagi bagi Nindy untuk datang tapi tidak masalah. Dia sangat bersemangat untuk hari pertamanya. Tepat jam enam pagi dia sudah sampai di depan kantor. Nindy menelan ludahnya gugup saat melihat bangunan megah dan unik di depannya. Tentu saja unik, Adhitama Design adalah salah satu perusahaan arsitektur ternama. Namanya sudah terkenal se-Asia Tenggara bahkan hingga tingkat Asia.
Setelah cukup menikmati kemegahan dan keunikan dari gedung perusahaan di depannya, Nindy memutuskan untuk masuk. Beruntung dia mendapat arahan dan bantuan dari beberapa orang. Sedikit memberikan kesan positif di matanya mengenai perusahaan ini.
Menunggu di lobi adalah pilihan Nindy. Dia sudah mengirimkan pesan pada kakek dan berniat menunggunya. Selama beberapa menit menunggu, Nindy melihat sudah banyak karyawan yang datang. Penampilan mereka semua membuatnya takjub. Tak lama lagi, Nindy akan bisa berbaur dengan mereka. Dia tidak sabar untuk itu.
"Gendis Anindya Maharani, itu nama kamu?" tanya seorang pria yang tiba-tiba datang menghampiri Nindy.
Nindy berdiri dan mengangguk, "Betul, Pak. Saya Nindy." Di tangannya terdapat map yang berisi berkas-berkas yang diperlukan.
Pria itu tersenyum, "Kalau gitu kamu ikut saya. Pak Anwar udah nunggu di atas."
"Pak Anwar?" tanya Nindy sedikit bingung.
Pria itu kembali tersenyum, "Kakek Anwar."
Nindy mengangguk paham dan segera bergegas mengikuti pria itu. Dia tidak tahu jika kakek sudah datang.
Nindy masuk ke dalam lift dengan mulut yang terbuka. Bahkan lift saja dibuat seunik mungkin. Tangannya terulur untuk menyentuh dinding lift dan bergumam, "Semoga betah kerja di sini."
"Maaf, Pak. Kalau boleh saya tau nama Bapak siapa?" tanya Nindy dengan sopan.
"Nama saya Tomi, tapi jangan panggil saya Bapak. Saya bukan atasan kamu." Tomi tersenyum.
Nindy ikut tersenyum, "Saya panggil Mas Tomi boleh?" tanyanya karena dia yakin jika Tomi hanya beberapa tahun lebih tua darinya.
"Boleh, biar akrab karena setelah ini kamu juga akan kerja di sini."
Nindy menyeringai, "Siap, Mas Tomi. Mohon bimbingannya ya, Mas."
Tomi mengangguk dan lift terbuka. Mereka sampai di lantai utama, di mana ruangan bos berada. Suasana lantai ini terasa sangat nyaman. Posisi duduk karyawan yang lagi-lagi dibuat unik membuat Nindy terperangah.
"Keren banget." Tanpa sadar Nindy berucap.
Tomi mengangguk setuju, "Ini kantor baru yang dibuat langsung sama Pak Bos. Baru tujuh tahun, dulu Adhitama Design masih di kantor yang lama dan... biasa aja."
Nindy terkekeh mendengar itu. Kesan keduanya berada kantor ini kembali positif. Nindy akui jika karyawan di kantor ini benar-benar membantunya. Memang benar kata orang, perilaku yang baik jauh lebih penting dari kepintaran.
"Ayo, masuk. Pak Anwar ada di dalam." Tomi membuka sebuah pintu besar dan masuk ke dalamnya.
Sebelum masuk, Nindy sempat berdoa agar semuanya berjalan dengan lancar. Saat sudah berada di dalam, Nindy tersenyum melihat keberadaan kakek. Dia berjalan mendekat berniat untuk menyapa, tapi langkahnya terhenti saat melihat siapa yang duduk di samping kakek saat ini.
"Nindy, kamu udah datang, Nak?"
Ucapan kakek bagaikan angin lalu. Nindy masih terdiam dengan pandangan terkejut. Matanya menatap sosok pria di samping kakek dengan takut. Lebih parahnya lagi, pria itu malah menyeringai yang membuatnya langsung mengkerut.
"Nindy?" Tomi berusaha menyadarkan Nindy.
Nindy tersadar dengan napas tertahan. Dia menunduk dan memainkan tangannya gelisah.
"Kamu nggak papa, Nind?" tanya kakek yang saat ini sudah berada di depannya.
"Nggak papa kok, Kek." Nindy mengangkat kepalanya dan tersenyum manis, mengabaikan pria yang membuatnya terkejut tadi.
"Oh iya. Ini Raka, cucu Kakek. Dia yang akan jadi atasan kamu nanti."
Nindy memejamkan matanya mendengar itu. Hancur sudah kesan positif yang ia dapatkan sedari tadi. Ternyata kesan ketiganya tidak begitu baik, bahkan sangatlah buruk. Siapa yang sangka jika bosnya adalah pria yang selalu memarahinya ketika bertemu?
Nindy tidak tahu harus berkata apa saat ini. Mendadak mulutnya berubah menjadi bisu. Dia diam mematung dengan tiga pasang mata yang menatapnya bingung.
"Raka?" panggil Kakek tiba-tiba.
Pria yang bernama Raka itu mulai berdiri dan menghampirinya. Nindy mulai waspada saat melihat senyum mengerikkan pria itu. Tanpa berbicara, Raka mengambil map yang Nindy bawa dan membacanya.
"Gendis Anindya Maharani," gumam Raka sambil membaca kertas di tangannya, "Dua puluh dua tahun, lulusan arsitektur..." Raka mengangguk membaca itu.
"Jadi Gendis?" ucap Raka memberikan map yang ia baca pada Tomi.
"Nindy, Pak. Panggil saya Nindy."
Raka mengangguk dan maju satu langkah, "Saya nggak nyangka kalau kamu sarjana."
Nindy mendongak dan mulai menatap Raka. Meskipun takut tapi dia tetap menatap mata pria itu secara langsung.
"Ada yang salah, Pak?" tanya Nindy dengan suara tercekat.
Raka kembali tersenyum, "Ada, akhlak kamu yang salah."
Mata Nindy kembali terpejam mendengar itu. Lain kali ingatkan dia untuk berhati-hati dalam bertindak. Nindy ingin sekali lari, tapi dia ingat dengan lingkaran merah di kalendernya. Dia mulai bimbang.
"Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa Nindy ucapkan.
"Kalian kenapa?" tanya kakek bingung.
Raka menjauh dan menggeleng, "Nggak papa, Kek."
"Oke, kalau gitu posisi apa yang kosong, Ka?" tanya kakek.
Raka menatap Nindy lekat, "Asistenku, Kek."
Bukan hanya Nindy yang terkejut, tapi Tomi juga. Pria itu maju dengan wajah pias, "Terus saya gimana, Pak? Saya nggak dipecat kan?"
Raka dengan cepat menggeleng, "Kamu sekarang jadi asistennya Ilham."
Tomi terdiam mendengar itu, sedetik kemudian dia mengangguk dan tersenyum lebar, "Siap, Pak! Kalau gitu saya ke Pak Ilham dulu." Tomi beralih pada Nindy dan menepuk bahunya pelan, "Semangat ya, Nind."
Nindy menggigit bibirnya pelan. Kenapa nasibnya begitu sial? Nindy yakin jika Raka sengaja menjadikannya sebagai asisten.
"Kalau gitu Nindy akan jadi asisten kamu mulai dari sekarang. Kamu jangan galak-galak ya, Ka. Dan Nindy, semoga kamu betah kerja di sini."
Nindy hanya bisa mengangguk dan tersenyum paksa. Dia menatap kepergian kakek dengan pandangn tak rela. Saat pintu ruangan telah tertutup, jantung Nindy ingin lepas rasanya. Saat ini hanya ada dirinya dan Raka di ruangan ini.
Raka berjalan ke arah meja kerjanya dan mengambil sebuah kertas dari laci. Pria itu tampak santai dan tidak memedulikan Nindy yang menatapnya waspada sedari tadi. Raka mengambil air putih dan sedikit membasahi kertas di tangannya. Setelah selesai, dia berjalan ke arah Nindy dan berdiri tepat di depannya. Begitu dekat sampai gadis itu bisa melihat wajah kejam Raka.
"Pak—" Belum selesai Nindy berbicara, Raka langsung menempelkan kertas itu di kening Nindy.
Nindy terkejut dan segera mengambil kertas di keningnya. Matanya kembali terpejam saat membaca kertas tersebut.
Brosur impoten.
"Pak, saya minta maaf." Nindy mulai gelisah.
Raka bergerak maju dan berbisik, "Saya nggak impoten," ucapnya dan berlalu pergi.
Nindy berbalik dan mulai merengek, "Pak, maafin saya. Iya, Pak Raka nggak impoten. Saya salah," ucap Nindy pada akhirnya. Dia tidak malu untuk memohon karena dia memang salah di sini. Nindy tidak mau kehidupan kerjanya menjadi kelam hanya karena dendam dari bosnya.
"Belikan saya sarapan," ucap Raka sebelum benar-benar keluar dari ruangan.
Nindy berjongkok dan menutup wajahnya rapat. Dia meringis meratapi nasibnya yang entah kenapa sangat menyedihkan.
Ayo, Nind. Jangan nyerah, katanya mau foya-foya?
***
TBC
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan."Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru."Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat."Kamu udah telat dua hari dari
Tiga minggu telah berlalu. Hubungan Raka dan Nindy semakin membaik setiap harinya. Meskipun masih dibumbuhi dengan perdebatan konyol, tapi cinta mereka tumbuh semakin kuat. Bahkan semua penghuni kantor juga sudah mengetahui hubungan mereka. Sejak awal Raka memang tidak ingin menyembunyikan hubungan mereka, berbeda dengan Nindy yang selalu merasa sungkan dengan karyawan lain. Oleh karena itu Nindy selalu membatasi pergerakannya di kantor.Raka melepas dasinya dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tak lama Nindy, Ilham, Tomi, dan Sisca masuk dengan wajah yang juga terlihat lelah. Seharian ini pekerjaan mereka memang padat. Mereka harus terbang ke Surabaya untuk melihat proyek Narutama. Mereka berlima adalah perwakilan kantor yang harus melihat lokasi secara langsung."Pak Ilham beli apa?" tanya T