Perjalanan dari kost membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai motor. Namun sebelum kembali, Nindy memutuskan untuk ke pasar tradisional terlebih dahulu guna membeli beberapa kebutuhan dapur. Dia tahu jika tidak selamanya ia akan bergantung dengan masakan Arinda. Gadis itu juga memiliki nasib yang sama, yaitu berusaha untuk bertahan hidup dengan gaya seminimalis mungkin.
"Bang, cabe campur lima ribu ya."
"Cabe lagi mahal, Neng."
"Ayo lah, Bang." Nindy mendekat dan berbisik, "Khusus buat saya."
"Khusus buat Neng Gendis yang manis ini saya kasih, tapi jangan bilang ibu-ibu yang lain. Bisa rugi saya," balas penjual yang juga ikut berbisik.
Nindy terkekeh, "Aman, Bang. Tapi kasih saya bonus."
Penjual yang merupakan langganan Nindy dan Arinda itu mulai menatapnya pias. Ada saja tingkah anak kost yang membuatnya mengelus dada.
"Ayo lah, Bang. Itu tambahin tomatnya juga." Nindy dengan santainya mengambil dua buah tomat dan memasukkannya ke dalam kantung plastik, "Nanti saya mau buat sambel," ujarnya lagi sambil terkekeh.
Setelah memilih bahan makanan yang menurutnya cukup untuk beberapa hari ke depan, akhirnya Nindy menyudahi acara belanjanya. Saat akan menuju tempat parkir, Nindy mendengar suara ribut-ribut di sekitarnya. Matanya mengedar untuk mencari asal suara tersebut. Dia mengerutkan dahinya saat melihat banyak orang yang tengah mengelilingi sesuatu. Dengan penasaran, Nindy mendekat dan ikut mengintip.
"Ada apa, Pak?" tanyanya pada tukang ojek yang ada di sekitar kerumunan.
"Ada oranh yang minta makan, Neng."
"Hah?" Nindy tampak bingung. Apa istimewanya dari seseorang yang meminta makanan hingga menimbulkan kehebohan seperti ini?
"Nenek udah makan banyak, jadi harus bayar. Saya mau pulang soalnya." Suara penuh emosi itu terdengar keras di telinga Nindy.
"Wih, galak bener." Nindy masih penasaran sampai akhirnya dia bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Nanti saya bayar kalau cucu saya sudah datang, Pak. Bapak di sini aja dulu kalau nggak percaya," ucap nenek itu.
Mulut Nindy terbuka lebar saat melihat siapa yang tengah menjadi pusat perhatian saat ini. Matanya membulat dengan tidak percaya.
"Nggak bisa, Nek. Saya mau pulang." Penjual tetap meminta uang pada nenek tua itu.
Nindy dengan cepat menerobos dan berdiri di depan penjual, "Berapa, Pak?" tanyanya cepat.
"Mbak ini siapa?" Pria itu menatap Nindy bingung.
"Ini Nenek saya. Maaf ya, Pak." Nindy tersenyum tidak enak.
"Ternyata ini cucu yang ditunggu dari tadi? Ke mana aja sih, Mbak?"
"Maaf ya, Pak. Nenek saya habis berapa tadi?" Nindy mulai mengambil dompetnya.
"Lima puluh ribu, Mbak."
Mulut Nindy kembali terbuka, "Banyak banget, Pak."
"Gimana nggak banyak, orang dari tadi siang Nenek udah duduk di sini. Nenek juga bayarin pembeli yang lain, taunya malah dia yang nggak punya duit."
Nindy meringis dan mulai membuka dompetnya. Dengan lemas dia memberikan uang berwarna biru itu dengan pelan.
"Sekali lagi saya minta maaf ya, Pak."
"Iya, Mbak. Lain kali Neneknya dijaga ya?"
Nindy mengangguk dan tersenyum pelan. Setelah itu dia berbalik dan menatap Nenek Farah dengan senyuman tipis.
"Nenek Farah ilang lagi ya?"
Tanpa diduga Nenek Farah tersenyum mendengar itu, "Ini Nak Nindy kan ya?"
"Nenek masih inget sama saya?" tanya Nindy terkejut. Dia masih ingat dengan penjelasan kakek tentang penyakit nenek yang mudah lupa akan sesuatu.
"Inget, Nak." Nenek Farah tersenyum.
"Kenapa bisa ada di sini, Nek?" tanya Nindy, "Kakek di mana?"
"Nenek lupa, Nak."
"Nenek bawa HP?" tanya Nindy lagi.
Wanita tua itu menggeleng dengan polosnya. Hal itu membuat Nindy menghela napas sabar.
"Ya udah, gimana kalau kita ke taman aja? Siapa tau nanti Kakek jemput Nenek di sana." Nindy mencoba mencari jalan keluar. Tidak mungkin jika dia meninggalkan Nenek Farah sendiri dengan kondisi ingatannya yang seperti ini. Nindy tidak setega itu.
"Boleh, Nak."
Nindy dengan cepat membawa nenek ke tempat di mana motornya berada. "Nenek udah makan?" tanyanya.
Nenek Farah menggeleng, "Tapi Nenek udah makan gorengan tadi."
"Masih laper nggak?" tanya Nindy lagi.
"Nggak kok, tapi Nenek haus."
Nindy tersenyum, "Nanti kita beli minum di taman."
***
Langit sore telah berubah warna dan sepertinya malam akan segera tiba. Raka tampak tergesa berlari keluar dari pusat perbelanjaan. Sudah dua jam dia memutari mall untuk mencari keberadaan neneknya. Bahkan ia juga meminta bantuan keamanan untuk itu. Namun hasilnya nihil, neneknya masih belum ditemukan.
Raka berhenti melangkah saat melihat kondisi mobilnya yang tampak mengenaskan. Dia melihat ke sekitar untuk memastikan apa benar jika mobil yang ada di hadapannya saat ini adalah mobilnya? Perasaan Raka tidak pernah salah. Dia memang ingat telah memarkirkan mobilnya di tempat ini.
Raka mendekat untuk melihat keadaan mobilnya lebih jelas. Dengan pandangan jijik dia mengambil salah satu kertas yang kotor itu.
"Brosur?" gumam Raka, "Obat impoten?"
Beberapa detik kemudian dia tersadar dengan apa yang terjadi. Dia meremas kertas itu dengan kesal.
"Ini pasti cewek yang tadi," gumamnya sambil melihat ke sekitar, berharap akan menemukan gadis yang selalu membuatnya naik darah di setiap pertemuan.
"Dasar badung!" ucapnya dan berlalu masuk ke dalam mobil. Yang terpenting saat ini adalah keberadaan neneknya. Tidak ada waktu untuk memikirkan gadis itu. Jika Raka diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengannya, maka ia tidak akan segan untuk melakukan pembalasan.
***
Keputusan Nindy kali ini tidak salah. Setelah menunggu selama satu jam lebih, akhirnya mobil mewah yang tak asing baginya mulai berhenti di depan mereka. Nindy tersenyum dan menuntun nenek untuk berdiri.
"Kakek udah dateng, Nek." Nindy tampak senang.
Seorang pria berumur mulai turun dari mobil dengn tergesa. Di belakangnya ada wanita paruh baya dengan seragamnya.
"Nek, kenapa tadi tiba-tiba ilang?" Wanita yang Nindy tebak sebagai perawat Nenek Farah itu terlihat khawatir.
"Kamu yang tiba-tiba ilang," balas nenek sedikit kesal.
"Nindy, kamu bantuin Nenek lagi, Nak?"
Nindy tersenyum pada kakek dan mengangguk pelan. Ini kedua kalinya mereka bertemu.
"Makasih ya karena udah nemenin Nenek lagi."
"Nggak papa kok, Kek."
"Tadi ketemu Nenek di mana?" tanya kakek penasaran.
"Saya tadi ketemu Nenek di depan pasar, Kek." Nindy menunjuk ke arah pasar.
Kakek menepuk dahinya pelan, "Kok bisa sih, Nek? Di ajak ke mall kok malah lari ke pasar?"
"Ya nggak tau," jawab Nenek Farah polos.
"Nak Nindy, terimakasih ya. Kakek nggak tau lagi gimana caranya bilang makasih sama kamu."
"Nggak papa kok, Kek." Nindy kembali tersenyum karena dia memang tidak merasa direpotkan. Nenek Farah juga mengobati rasa rindunya akan keluarganya di kampung halaman. Nindy seketika teringat dengan neneknya.
"Sebagai ucapan terimakasih, Kakek mau ajak kamu makan malam."
Nindy dengan cepat menggeleng. Dia tidak bisa berlama-lama karena harus kembali untuk memberikan bahan-bahan dapur yang ia beli pada Arinda.
"Nggak usah, Kek. Nggak papa kok. Saya harus pulang sekarang."
"Kalau begitu ini buat kamu." Kakek mulai membuka dompetnya, "Buat beli es krim."
"Kebanyakan kalau es krim, Kek." Nindy terlihat ragu karena kali ini uang yang diberikan berjumlah dua kali lipat dari sebelumnya.
"Nggak papa, ambil aja."
Nindy kembali menggeleng, "Nggak, Kek. Uang yang kemarin aja masih ada. Beneran, saya nggak papa."
Kakek tampak menyerah dan kembali membuka dompetnya lagi. Kali ini dia mengeluarkan sebuah kartu nama dan memberikannya pada Nindy, "Ini kartu nama kakek. Kalau kamu butuh sesuatu langsung hubungi Kakek ya?"
Nindy mengedipkan matanya berulang kali, "Butuh sesuatu, Kek?" tanyanya memastikan sesuatu.
"Iya, kamu lagi butuh sesuatu sekarang?"
"Saya butuh pekerjaan, Kek." Nindy menjawab dengan cepat. Tidak perlu sungkan karena ini berhubungan dengan kelangsungan hidupnya. Dia yakin jika kakek dan nenek bukanlah orang yang sembarangan. Nindy berharap jika kakek bisa memberikan pekerjaan untuknya.
"Kamu udah lulus sekolah, Nind?"
Nindy mengangguk cepat, "Saya sarjana, Kek."
Kakek tersenyum mendengar itu, "Oke, kalau begitu besok kamu langsung ke kantor cucu Kakek. Kamu bisa kerja di sana."
"Kantor?" Jantung Nindy mulai berdetak dengan cepat.
Apakah semudah ini?
"Iya, nanti alamatnya Kakek kirim ke nomor kamu."
"Kakek serius?" Nindy tidak bisa menahan diri. Matanya sudah berkaca-kaca sekarang.
"Iya. Biar Kakek yang bicara sama cucu Kakek nanti."
"Makasih, Kek! Makasih banget!" Nindy mencium tangan kakek dan bergumam terimakasih.
"Sama-sama, Nak. Kakek yakin kalau kamu itu anak yang baik makanya Kakek nggak ragu untuk kasih perkerjaan."
Nindy mengusap air matanya dan mengangguk senang. Lagi-lagi Tuhan memberikan jawaban akan kesabarannya selama ini. Mengeluh boleh, tapi jangan berlarut-larut. Roda kehidupan masih akan terus berputar dan selama masih berlangsung, Nindy tidak akan berhenti untuk berusaha.
***
TBC
Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul tapi Nindy sudah bersiap untuk memulai harinya. Sedari tadi dia tidak berhenti untuk tersenyum. Hatinya terasa campur aduk sekarang, antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mendapat pekerjaan dan takut karena ini adalah hari pertamanya. Nindy memang belum tahu pekerjaan apa yang kakek berikan tapi dia yakin apapun itu pasti tidak akan mengecewakannya. Nindy mengusap rambut basahnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia melirik ponselnya yang bergetar. Seperti biasa, ada ayahnya yang mengirimkan pesan setiap pagi. Kali ini Nindy tidak lagi bersedih. Dengan semangat dia langsung membalas pesan ayahnya. "Iya, Pak. Ini udah bangun, lagi siap-siap." Lega. Perasaan Nindy sedikit tenang karena tidak lagi berbohong kali ini. Nindy mendekat ke arah meja rias dan melihat kalender kecil di sana. Ada tanggal yang sudah ia lingkari den
Belum ada sehari tapi Nindy sudah ingin lari. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat Raka meninggalkannya sendiri di dalam ruangan. Tidak ada peraturan atau masukan khusus untuknya agar bisa menjadi asisten yang baik. Nindy bingung, dari mana dia harus memulai semuanya? Tidak ingin membuat Raka kembali marah, akhirnya Nindy memilih untuk menemui Tomi. Sebagai mantan asisten Raka, pria itu pasti bisa membantunya. Bersyukur Nindy langsung melihat Tomi di depan ruangan. Dia berjalan mendekat dengan sesekali tersenyum pada karyawan yang menatapnya bingung. Mungkin mereka belummengenalnya. Ingin sekali Nindy mengakrabkan diri tapi keadaannya sangat terdesak saat ini. Dia harus segera menjalankan perintah Raka untuk membeli sarapan. Apa memang seperti ini tugas dari seorang asisten? "Mas Tomi?" panggil Nindy pelan. "Ya, Nind?" "Liat Pak Raka nggak?" Alis Tomi terangkat
Alarm yang terus berbunyi berusaha keras membangunkan Nindy yang masih terlelap. Mata gadis itu terlihat memerah dan meminta untuk kembali dipejamkan. Namun Nindy tidak bisa melakukannya, dia harus bersiap untuk bekerja sekarang. Pagi ini tidak sama seperti pagi sebelumnya. Jika kemarin Nindy sangat bersemangat tapi tidak untuk sekarang. Dia masih sangat berharap jika bosnya bukanlah Raka. Namun harapannya tentu akan sia-sia. Nindy mematikan alarm-nya dan melihat jam yang masih menunjukkan pukul empat pagi. Ya benar, Nindy bangun sepagi ini untuk berangkat bekerja. Jika tidak ingat pesan Raka semalam tentu dia tidak akan mengatur alarm sepagi ini. "Besok pagi jam setengah 6 kamu sudah harus ada di rumah saya. Alamatnya Perumahan Adhiwangsa no 01." Nindy menggosok giginya sambil mengingat kembali pesan Raka. Sesekali matanya terpejam karena tidak bisa menahan kantuk. Entah kenapa hari pertama
Hari ketiga sudah tiba. Seperti hari sebelumnya, Nindy berangkat dengan Raka lagi hari ini. Ini semua terjadi karena dengan liciknya pria itu membuatnya menjadi asisten di kantor sekaligus pribadi. Mau tidak mau, Nindy harus berada di rumah Raka di pagi buta dan pulang hingga larut malam. Nindy menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Setelah seharian bekerja di ruangan Raka kemarin, akhirnya dia memiliki mejanya sendiri. Tepat di sebelah Tomi dan berbaur dengan karyawan lainnya. "Masih pagi udah kusut wajahnya, Nind?" Tomi yang baru saja datang mulai duduk di kursinya. Nindy meletakkan kepalanya di atas dan bergumam, "Ngantuk, Mas." Tomi terkekeh, "Semalem pulang jam berapa?" "Jam delapan." Nindy mulai memejamkan matanya. "Nanti jangan lupa minta bonus sama Pak Bos." Nindy membuka matanya dan duduk dengan tegap, "Ya pasti
Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan. Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona. Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail. "Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus. Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Perasaan Nindy terasa campur aduk sekarang, antara senang dan gelisah. Senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan orang tuanya dan gelisah karena takut jika rahasianya akan terbongkar. Meskipun sudah meminta Raka untuk menutup mulut, tapi kegelisahan itu masih ada. Bukan satu-dua orang yang tahu jika Nindy baru bekerja sekarang. Dia belum mempersiapkan semuanya karena kedatangan orang tuanya yang mendadak. "Pak Raka pulang aja deh." Nindy berbalik dan menatap Raka yang bersandar pada mobilnya. "Kamu ngusir saya?" Nindy mengerucutkan bibirnya kesal, "Nggak gitu." Dia tampak bingung menjelaskan. "Terus?" Nindy berdecak, "Iya, saya ngusir Bapak!" Raka tersenyum miring dan berjalan mendekat, "Nggak
Tepat pukul delapan malam Raka masih betah berada di kantor. Saat ini dia sedang membicarakan hal yang serius dengan Ilham. Dia tidak menyangka jika kerja sama untuk proyek besar terancam gagal karena klien-nya juga pendapatkan penawaran dari perusahan arsitektur lain. Jika sudah seperti ini maka Raka harus berpikir ulang tentang keuntungan-keuntungan apa saja yang akan ia tawarkan agar kerja sama tetap terjadi. Proyek besar ini memiliki banyak keuntungan, tentu Raka akan berusaha untuk mendapatkannya. "Tau dari mana ya si Doni kalau Pak Naru mau bikin proyek besar?" tanya Ilham bingung. Raka menatap Ilham aneh. Kadang pria itu bisa sangat pintar dan juga bodoh di waktu-waktu tertentu. "Udah banyak beritanya kali, Ham. Kenapa masih tanya?" "Ya heran aja gitu, udah jelas-jelas Narutama Group mau pakai Adhitama Design, tapi