Hari ketiga sudah tiba. Seperti hari sebelumnya, Nindy berangkat dengan Raka lagi hari ini. Ini semua terjadi karena dengan liciknya pria itu membuatnya menjadi asisten di kantor sekaligus pribadi. Mau tidak mau, Nindy harus berada di rumah Raka di pagi buta dan pulang hingga larut malam.
Nindy menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya. Setelah seharian bekerja di ruangan Raka kemarin, akhirnya dia memiliki mejanya sendiri. Tepat di sebelah Tomi dan berbaur dengan karyawan lainnya.
"Masih pagi udah kusut wajahnya, Nind?" Tomi yang baru saja datang mulai duduk di kursinya.
Nindy meletakkan kepalanya di atas dan bergumam, "Ngantuk, Mas."
Tomi terkekeh, "Semalem pulang jam berapa?"
"Jam delapan." Nindy mulai memejamkan matanya.
"Nanti jangan lupa minta bonus sama Pak Bos."
Nindy membuka matanya dan duduk dengan tegap, "Ya pasti
Di dalam ruangan Raka, Nindy menatap maket di depannya dengan kagum. Maket itu baru saja datang dan dia yang menerimanya karena Raka tidak berada di kantor saat ini. Dia sedang pergi bersama Ilham ke lokasi proyek pembangunan. Tangan Nindy terulur untuk menyentuh kaca yang melindungi maket tersebut. Dia kembali terperangah dan menggeleng tidak percaya. Saat maket yang berukuran cukup besar itu datang, Nindy tidak bisa berhenti untuk terpesona. Maket concert hall itu dirancang dengan desain yang rumit dan unik, khas dari Adhitama Design. Apakah ini proyek Raka? Jika iya, maka Nindy tidak bisa mengelak jika pria itu memang memiliki otak yang jenius. Raka melakukan hal yang tidak pernah Nindy pikirkan sebelumnya dengan detail. "Jenius sih, tapi sayang nyebelin. Jadi banyak minus-nya." Nindy mendengkus. Dia berjalan berputar sambil melihat maket itu dengan teliti. Meskipun hanya asisten, tapi Nin
Menu kedua sudah datang. Setelah menghabiskan ketoprak, Nindy kembali memesan makanan. Kali ini dia memesan bubur ayam. Nindy memang lapar mengingat jika ia hanya makan mie instan semalam. Nindy mengangkat wajahnya saat melihat Raka yang berlari kecil melewatinya. Pria itu tidak menatapnya sama sekali dan terus berlari. Nindy mencibir saat melihat para wanita yang sengaja berlari pelan di belakangnya. "Dih, sok ganteng banget. Pasti dalem hati girang tuh," gumamnya. Raka sudah mengelilingi lapangan sebanyak lima kali dan sepertinya masih belum ingin berhenti. Dasar kaki besi. "Minumnya, Nek." Nindy memberikan botol air mineral pada nenek. Wanita itu sudah menghabiskan bubur aya
Perasaan Nindy terasa campur aduk sekarang, antara senang dan gelisah. Senang karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan orang tuanya dan gelisah karena takut jika rahasianya akan terbongkar. Meskipun sudah meminta Raka untuk menutup mulut, tapi kegelisahan itu masih ada. Bukan satu-dua orang yang tahu jika Nindy baru bekerja sekarang. Dia belum mempersiapkan semuanya karena kedatangan orang tuanya yang mendadak. "Pak Raka pulang aja deh." Nindy berbalik dan menatap Raka yang bersandar pada mobilnya. "Kamu ngusir saya?" Nindy mengerucutkan bibirnya kesal, "Nggak gitu." Dia tampak bingung menjelaskan. "Terus?" Nindy berdecak, "Iya, saya ngusir Bapak!" Raka tersenyum miring dan berjalan mendekat, "Nggak
Tepat pukul delapan malam Raka masih betah berada di kantor. Saat ini dia sedang membicarakan hal yang serius dengan Ilham. Dia tidak menyangka jika kerja sama untuk proyek besar terancam gagal karena klien-nya juga pendapatkan penawaran dari perusahan arsitektur lain. Jika sudah seperti ini maka Raka harus berpikir ulang tentang keuntungan-keuntungan apa saja yang akan ia tawarkan agar kerja sama tetap terjadi. Proyek besar ini memiliki banyak keuntungan, tentu Raka akan berusaha untuk mendapatkannya. "Tau dari mana ya si Doni kalau Pak Naru mau bikin proyek besar?" tanya Ilham bingung. Raka menatap Ilham aneh. Kadang pria itu bisa sangat pintar dan juga bodoh di waktu-waktu tertentu. "Udah banyak beritanya kali, Ham. Kenapa masih tanya?" "Ya heran aja gitu, udah jelas-jelas Narutama Group mau pakai Adhitama Design, tapi
Di dalam mobil, Nindy tampak fokus dengan ponsel dan kertas di tangannya. Sedangkan Raka sedang sibuk menyetir. Jika dalam keadaan seperti ini, justru Raka yang terlihat sebagai asisten. Ini karena Nindy yang tidak bisa menyetir mobil. Tidak masalah bagi Raka, setidaknya keberadaan gadis itu sebagai asisten sedikit membantu pekerjaannya. "Gimana?" Nindy mengangguk dan membuka kembali ponselnya, "Kata Pak Yoseph pemasangan Tower Crane udah hampir selesai. Kayaknya hari ini bisa beres semua sih, Pak." "Bagus." Raka membelokkan mobilnya ke arah lokasi proyek pembangunan. Bangunan itu adalah salah satu proyek yang ia rundingkan dulu bersama karyawannya. Proyek apartemen mewah yang memakai desain dari Dodit. "Kamu ke Rudi sekarang, minta dua alat pelindung diri sebelum masuk ke area proyek. Saya mau ketemu Pak Yoseph dulu." "Oke, Bos."
Di dalam ruangan yang berbau khas itu Nindy menunduk dengan takut. Dia memainkan tangannya yang basah dengan gelisah. Sedari tadi Nindy tidak berani untuk mengangkat kepalanya. Dia terlalu takut dengan tatapan tajam Raka yang baru saja sadar setelah melakukan operasi patah tulang kemarin. "Mau sampai kapan kamu nunduk?" tanya Raka dengan suara pelan. Masih dengan menunduk, Nindy menggeleng pelan. Sesekali dia mengelap cairan hidung yang ikut mengalir bersama air matanya. "Liat saya." Nindy kembali menggeleng. Dia akan semakin merasa bersalah jika melihat keadaan Raka. "Liat saya Nindy," ucap Raka tenang tapi penuh dengan penekanan. "Nggak mau, takut." Nindy berucap lirih. Raka menghela napas dan menyandarkan kepalanya di kepala ranjang. Pemulihannya terhitung cepat dan dia sudah bisa duduk sekarang meskipun tangannya masih s
Di pagi hari, Nindy sudah fokus dengan pekerjaannya. Dahinya berkerut mencoba untuk berkonsentrasi agar tidak melakukan kesalahan. Tidak ada kertas atau pensil di depannya kali ini, melainkan tangan Raka. Sudah satu minggu pria itu keluar dari rumah sakit dan selama itu pula pekerjaan Nindy menjadi berkali-kali lipat banyaknya. "Jangan dalem-dalem," ucap Raka menarik tangannya. Nindy berdecak dan kembali menarik tangan Raka, "Jangan banyak gerak deh, Pak. Saya potong juga nih jarinya." "Silakan, tapi kamu yang urusin saya seumur hidup." "Gabut banget saya ngurusin Bapak seumur hidup?" balas Nindy aneh. Dia masih fokus pada pekerjaannya, yaitu memotong kuku Raka. "Gimana tugas desain yang saya kasih?" tanya Raka sambil meminum kopinya. "Masih proses." "Sekarang kamu bawa nggak? Saya mau liat." Nindy men
Jam makan siang telah tiba. Suasana kantin kantor yang tidak terlalu ramai dipilih Nindy sebagai tempat untuk menenangkan diri. Semenjak Arinda sibuk dengan pekerjaannya, Nindy jarang menikmati masakan sahabatnya itu. Mau tidak mau dia harus membeli makan siang sendiri. Beruntung Nindy sudah bisa berbaur dengan karyawan lainnya. Mata Nindy mengedar ke segala arah. Dia tersenyum saat melihat Tomi dan Dodit yang tengah menikmati makan siang sambil berbincang. Dengan membawa gulungan kertas di tangannya, Nindy berjalan mendekat dan menghempaskan tubuhnya di kursi kosong. "Kusut banget wajahmu, Nind." "Kayaknya aku kena mental deh, Mas," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di atas meja. Tomi terkekeh mendengar itu. Semua karyawan tahu tentang tugas yang Raka berikan pada Nindy dan semua juga tahu jika Nindy baru saja mendapatkan semprot dan cacian indah dari atasannya itu.