Share

Om Bule Kekasihku
Om Bule Kekasihku
Penulis: Sabrina dewi

Awal Konflik

Penulis: Sabrina dewi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 19:01:24

Pagi di Ubud selalu punya cara sendiri untuk menyapa dengan pelan, hangat, dan penuh aroma kopi dari cafe kecil Nadia: Luna Beans. Namun pagi itu berbeda. Bukan hanya karena Nadia belum membuka pintu, tapi karena seorang pria bule berwajah tegas tampak berdiri di depan kafe dengan ekspresi kesal.

Daniel Charter, fotografer freelance yang berasal dari London terkenal dengan gaya candidnya dan juga terkenal dengan sifat keras kepalanya.

Nadia menghela napas panjang sebelum menghampiri pria itu. Ia sudah mendengar dari pesan yang ia baca semalam, tapi berpura-pura tidak tahu apa-apa jadi ia merasa lebih aman.

"Hai, good morning Daniel" sapa Nadia dengan tersenyum ramah dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Nadia, kamu sengaja, ya?" suara Daniel datar, tapi ada panas yang ditahan.

"Apa?" Nadia berusaha terlihat polos, meski hatinya berdebar.

"Nadia… kamu tahu aku butuh izin fotomu untuk pameran minggu depan. Kamu sudah janji kirim file itu semalam. Tapi apa? Kamu malah ngilang. Nggak baca pesan dan nggak angkat telepon dariku." Daniel menatapnya, mata birunya sedikit memerah seperti sedang menahan emosi.

Nadia menggigit bibir. Masalahnya bukan file foto. Masalahnya… dirinya sendiri.

"Maaf, aku sibuk," jawab Nadia singkat sambil membuka kunci pintu kafe.

Daniel menyusul masuk tanpa diundang.

"Sibuk apa? Menghindar?" ucap Daniel dengan wajah serius.

Nadia berhenti sejenak. Ia merasakan Daniel berdiri sangat dekat di belakangnya. Terlalu dekat.

"Kamu nggak berhak tahu," katanya pelan sambil berjalan masuk ke kafe.

Daniel tertawa pendek dan sinis. "Oh, jadi setelah semua yang terjadi, setelah kita dekat selama ini, kamu pikir aku cuma seorang fotografer yang numpang pakai waktu kamu?"

Ucapan itu menghantam keras.

Nadia menghela nafas panjang dan memejamkan mata sejenak. Mereka memang punya hubungan… samar. Hangat. Tak terdefinisi. Dan seminggu terakhir, semuanya telah berubah.

"Daniel, jujur aku tidak pernah berfikir seperti itu tentang kamu" ucap Nadia pelan.

"Lalu apa Nadia? Katakan dengan jujur" ucap Daniel penasaran.

Karena Nadia mulai menyadari sesuatu: Daniel semakin sering menjadi alasan hatinya berdegup tidak karuan.

Dan itu menakutkan bagi Nadia.

"Daniel tolong, aku nggak mau bahas tentang ini pagi-pagi" ujarnya sambil berjalan ke belakang meja bar, ia berusaha menjaga jarak dengan Daniel.

Nadia sebisa mungkin menghindari tatapan mata Daniel, karena ia tahu tatapan mata Daniel terlalu dalam sehingga membuatnya tidak bisa berbohong.

Daniel mengikutinya dengan tatapan tajam namun penuh luka. "Aku cuma butuh kamu jujur Nadia. Kenapa kamu menghindariku? Why are you pushing me away? (Kenapa kamu mendorongku menjauh?)"

Nadia menatapnya. Lama. "Karena kamu bikin semuanya jadi rumit Daniel. Dan aku nggak mau jatuh sama orang yang cuma ada di sini setengah waktu. Kamu kerja keliling, dan aku… aku di sini cuma pemilik kafe kecil yang bermimpi bisa melukis lagi. Daniel, dunia kita berbeda dan kamu tahu itu."

Daniel mendekat, perlahan, hingga aroma parfumnya yang lembut menusuk indra penciuman Nadia; maskulin dan hangat.

"Aku bisa di sini penuh waktu kalau kamu mau. Kamu bisa langsung memintaku kalau kamu mau. Aku cuma butuh kamu berhenti menutup pintu tiap kali aku mencoba masuk" ucap Daniel.

Nada suaranya rendah. Dalam. Dan terlalu menggoda.

Nadia terpaku. Ada ketegangan di udara tipis tapi membakar. Daniel berjalan kedepan Nadia, mereka berhadapan. Daniel mengangkat tangan, menyentuh lengan Nadia pelan, seolah takut ia akan kabur.

Tubuh Nadia merespons lebih cepat dari otaknya.

"Daniel.. jangan mulai, please," bisiknya lemah.

Daniel menunduk, wajahnya sangat dekat. "Aku belum melakukan apa-apa… tapi kamu sudah gemetar. Nadia, kamu pikir aku nggak notice?"

Nadia menelan ludah. "Lepasin, kamu nyebelin. Kamu pikir aku bakalan kabur dari sini"

Nadia berusaha melepas tangan Daniel, ia tidak mau Daniel merasakan tangannya yang gemetar.

"Kalau aku lepasin, takutnya nanti kamu pingsan karena gemetar" ucap Daniel sambil tersenyum tipis.

"Kamu pikir aku selemah itu?" ucap Nadia dengan sinis walaupun degup jantungnya tidak bisa terkontrol.

"Nadia, aku hanya ingin tahu kenapa kamu menghindar dariku akhir-akhir ini?" ucap Daniel dengan lembut.

Nadia menghela nafas panjang "Daniel, aku sudah jawab tadi, kamu nggak berhak tahu."

"Kamu bisa jujur ke aku kalau kamu nggak ngijinin aku menggunakan fotomu untuk pameran minggu depan. Jadi kamu nggak perlu menghindar dariku Nad" ujar Daniel yang masih memegang lengan Nadia.

"Lepasin tanganmu, nanti kalau staff-ku datang aku jadi merasa nggak enak" ucap Nadia dengan wajah cemberut.

Nadia tahu jika staffnya tidak akan datang ke kafe sepagi ini, ia hanya ingin menghindari Daniel.

"Ini masih terlalu pagi untuk mereka datang bekerja" ucap Daniel sambil menatap mata Nadia.

Daniel menatap mata Nadia dalam, seperti sedang mencari jawaban yang ia cari.

Nadia tidak bisa menyembunyikan emosinya saat itu, wajahnya semakin masam karena ulah Daniel yang menatapnya begitu dalam.

"Dan kamu lebih manis kalau marah kayak gini," jawab Daniel sambil tersenyum kecil, ia sedang menggoda Nadia dengan candaan kecil.

Konflik mereka bukan sekadar soal file foto. Bukan soal pekerjaan. Ini tentang dua orang yang terlalu dekat… tapi sama-sama takut melangkah.

Dan pagi itu, di kafe kecil yang masih gelap, mereka menyadari satu hal:

Menjauh justru membuat rasa itu makin kuat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Om Bule Kekasihku   Sentuhan Yang Belum Bernama

    Pagi di Ubud muncul dengan lembut, menyelinap lewat jendela rumah Nadia sebagai cahaya keemasan yang memantul di dinding. Nadia terbangun dengan kepala masih bersandar pada sofa. Selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Ia mengerjap pelan. Selimut itu bukan miliknya. Lalu ia mendengar suara samar dari dapur. Daniel. Lelaki itu berdiri membelakangi Nadia, masih dengan kaus putih tipis yang menempel di tubuhnya, sedikit berkerut karena semalaman basah hujan. Rambutnya yang belum sepenuhnya kering terlihat lebih acak, membuatnya tampak lebih muda dan… memikat. Nadia menelan ludah, merasakan jantungnya bergerak lebih cepat dari biasanya. Daniel mengen noticed her. Ia berbalik, tersenyum kecil. “Pagi, sleepyhead” sapa Daniel. Nadia memeluk dirinya sendiri, bingung tapi hangat. “Kamu… masih di sini?” ucap Nadia dengan nada pelan. “Hmm.” Daniel menunjuk pintu. “Hujan baru berhenti sekitar jam empat tadi. Aku tidak mau kamu bangun sendirian dengan pintu belakangmu yang semalam terbuka b

  • Om Bule Kekasihku   Malam Yang Membuka Pintu

    Pintu belakang yang tiba-tiba terbuka itu menciptakan desiran udara dingin menerpa punggung Nadia. Ia memegang lengan Daniel tanpa sadar, mencari keseimbangan. Daniel menatapnya dengan cemas, namun kebahagiaan halus juga tampak di matanya: untuk pertama kalinya, Nadia mencari perlindungan pada dirinya tanpa ragu. “Tidak apa-apa,” ucap Daniel lembut, jari-jarinya masih menyentuh bahu Nadia, memberi kehangatan. “Biar aku yang tutup pintunya.” Ia berjalan ke belakang, menutup pintu yang berderit pelan. Nadia memperhatikan punggung Daniel, postur tegap itu, cara ia mengamati ruangan untuk memastikan semuanya aman. Tidak ada laki-laki lain dalam hidupnya yang pernah sepeduli itu. Daniel kembali mendekat. “Kamu sering sendirian di rumah sebesar ini? Apa keluarga kamu tidak pernah kesini?” Nadia mengangguk pelan. “Tidak. Aku suka sepi.” Daniel tersenyum tipis. “Sama. Tapi malam ini… aku lega tidak kamu alami sendirian.” "Kalau boleh aku tahu, dimana keluargamu saat ini?" tanya D

  • Om Bule Kekasihku   Jarak Yang Semakin Tipis

    Langkah mereka menyusuri jalan kecil Ubud yang licin oleh hujan. Nadia berjalan di depan, Daniel beberapa langkah di belakang, sesuai janjinya, tidak memaksa, hanya menjadi bayangan pelindung yang diam, lembut, dan sangat sulit diabaikan. Setiap kali Nadia menoleh, Daniel selalu ada di sana. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Seperti ia tahu persis jarak yang tepat untuk membuat Nadia merasa aman dan tanpa mengekang. Ketika Nadia sampai di depan rumah kecilnya, sebuah lampu kuning temaram dari teras menerangi wajahnya. Ia menoleh ke Daniel yang berhenti di bawah pohon. “Terima kasih… sudah mengantar,” ucap Nadia, suaranya pelan tapi tulus. Daniel mengangguk. “Anytime.” Hujan turun lebih deras, membuat Nadia harus berteriak sedikit, “Kamu mau berteduh sebentar? Hujannya makin deras.” Daniel menatapnya lama. “Kamu yakin?” Nadia merasakan jantungnya melonjak. Pertanyaan itu sederhana, tetapi caranya mengucapkan begitu dalam, rendah, seperti memberinya kesempatan un

  • Om Bule Kekasihku    Degup Yang Tak Bisa Disembunyikan

    Hujan turun pelan malam itu, merembes dari atap jerami cafe dan jatuh seperti tirai tipis di depan pintu. Nadia menutup cafe lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, hari itu terasa lebih berat baginya. Atau mungkin.. terlalu penuh dengan perasaan yang tidak ia pahami. Ia sedang mengunci pintu ketika sebuah payung hitam tiba-tiba terbuka di belakangnya. Daniel. Lelaki itu berdiri hanya satu langkah darinya, jaket kulitnya sedikit basah di bagian bahu, rambut cokelat terang itu terpercik hujan, membuatnya terlihat lebih dewasa, lebih maskulin, lebih… memabukkan. “Kamu pulang jalan kaki?” tanya Daniel, suaranya lembut tapi terdengar seperti teguran manis. Nadia menghindari tatapannya. “Iya. Rumahku tidak jauh dari sini.” Selama mereka dekat, Daniel belum pernah berkunjung kerumah Nadia. Daniel mendekat, menurunkan payung agar melindungi mereka berdua. “Aku antar.” Nadia menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa pulang sendiri”"Sekarang sedang

  • Om Bule Kekasihku   Kilatan Cemburu di Senja Ubud

    Senja turun pelan di Ubud. Cahaya oranye memantul pada kaca-kaca kecil jendela cafe Nadia, seperti lukisan yang belum selesai. Nadia berdiri di balik meja bar, berusaha mengatur napasnya yang sejak tadi tak karuan. Bukan karena pelanggan, bukan karena hari yang panjang, tapi karena Daniel. Lelaki itu duduk di meja luar, menatap layar kameranya sambil sesekali mengernyitkan dahinya, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Atau… seseorang. Nadia tahu ia harusnya mengabaikan Daniel. Konflik kecil mereka kemarin masih menggantung seperti kabut tipis: tajam tapi tak terlihat. Daniel ingin mengambil foto di area cafe tanpa izin, dan Nadia, yang perfeksionis soal privasi tempatnya langsung menegur dengan nada dingin. Dan sejak itu, percakapan diantara mereka terasa penuh jarak. Namun entah kenapa, hari ini pria bule itu datang lagi. Seperti sengaja mencari sesuatu atau seseorang. Nadia berusaha cuek, tapi matanya terus saja melirik ke arah Daniel. Dan ketika seorang perempuan

  • Om Bule Kekasihku   Ketika Hasrat Mulai Membawa Masalah

    Siang di Ubud mulai padat. Jalanan dipenuhi turis, suara motor bersahut‑sahutan, dan angin membawa aroma rempah dari warung sekitar. Di dalam kafe, suasananya tampak normal, pelanggan datang dan pergi, tapi hati Nadia masih belum tenang. Daniel, sebaliknya, terlihat sangat tenang. Bahkan terlalu tenang. Ia duduk di pojok ruangan dekat jendela sambil mengedit foto di laptopnya. Sesekali, ia mengangkat kepala dan menatap kearah Nadia, tatapan yang selalu berhasil membuat Nadia kehilangan fokus. Dan ia tahu Daniel melakukannya sengaja. Setelah pelanggan terakhir di jam makan siang pergi, suasana menjadi lebih hening. Ia meminta karyawannya untuk beristirahat sebentar. Nadia sedang membersihkan meja ketika suara kursi digeser membuatnya menoleh. "Nadia... " ucap Daniel pelan. "Apa? Kamu mau espresso? Sebentar" jawab Nadia tanpa menoleh, ia melanjutkan untuk membersihkan meja. Daniel berdiri, menyampirkan kamera di bahunya dan berjalan kearah Nadia, "Nadia, kita perlu ngomong sekara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status