Beranda / Romansa / Om Bule Kekasihku / Rasa Yang Tak Sempat Diucapkan

Share

Rasa Yang Tak Sempat Diucapkan

Penulis: Sabrina dewi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 21:39:57

Kafe akhirnya dibuka. Matahari Ubud sudah naik, mengisi ruangan dengan cahaya keemasan yang membuat setiap sudut terlihat lebih hangat dari biasanya. Sayangnya, hangat dari sinar matahari itu tak cukup untuk mencairkan kekakuan antara Nadia dan Daniel.

Daniel duduk di salah satu meja dekat jendela yang selalu menjadi tempat favoritnya saat datang ke kafe milik Nadia, kamera kesayangannya diletakkan di atas meja. Ia tidak memotret Nadia, ia menunggu. Menunggu Nadia yang sibuk lebih tepatnya pura-pura sibuk.

Nadia menyiapkan espresso kesukaan Daniel. Padahal tak ada pesanan dari Daniel. Tangan kanannya menggambar lingkaran di meja bar tanpa sadar, kebiasaan lama yang ia lakukan saat sedang gelisah.

"Nadia," panggil Daniel dengan suara pelan.

Nadia tak menoleh. "Kopi kamu? Sebentar ya."

"Aku nggak pesan kopi." Suara Daniel terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

Nadia menghentikan gerakannya tanpa menoleh. "Terus?"

"Aku mau kamu lihat aku. Just look at me for a second" ucap Daniel dengan lembut.

Perlahan, Nadia menoleh ke arah Daniel. Dan seperti biasa, itu adalah sebuah kesalahan bagi Nadia. Dipandang oleh Daniel selalu membuatnya merasa terbuka, seperti tak ada lagi tempat untuknya bersembunyi.

Daniel mengusap tengkuknya. "Aku tahu kamu takut. Tapi kamu nggak perlu ngumpet kayak gini Nadia. Aku bukan orang yang bakal pergi kalau kamu kasih aku alasan untuk tetap ada di sini."

Nadia menatap ke bawah. "Aku cuma… butuh waktu."

"Kita sudah dekat selama berbulan-bulan. Waktu bukan masalah di sini dan kamu tahu itu" ujar Daniel.

"Justru itu, Daniel." Nadia menghela napas panjang dan terasa berat. "Aku mulai nyaman. Bahkan terlalu nyaman. Dan kamu tahu apa yang terjadi kalau aku mulai merasa nyaman sama seseorang?"

Daniel mencondongkan tubuh ke depan. "Apa?"

"Aku terpaut. Terlalu cepat. Terlalu dalam. Dan kamu… kamu bukan orang yang bisa aku pastikan besok masih ada di sini. Kamu bisa pergi kapan saja, dunia kita berbeda" ucap Nadia dengan nada bergetar.

Daniel menatapnya lama, lalu berdiri. Ia berjalan pelan ke arah bar dan mendekat dengan Nadia. Setiap langkahnya membuat napas Nadia makin berat. Ia berhenti tepat di depan Nadia, jarak yang bahaya antara mereka.

"Aku di sini sekarang, Nadia. Dan aku nggak akan pergi ke mana-mana hari ini" ucap Daniel dengan lembut.

"Iya untuk hari ini, tapi untuk besok atau lusa? Aku tidak bisa memastikan kamu ada disini. Jadi, bukannya lebih baik aku menghindar darimu" ujar Nadia sambil menunduk.

"Kamu tak perlu menghindar dariku Nadia" ucap Daniel dengan lembut.

Nadia mencoba mundur sedikit, tapi punggungnya sudah menempel pada rak di belakangnya. Nadia merasa seperti terperangkap. Daniel mengangkat tangan, dan menyentuh pipinya pelan dengan ibu jari.

Sentuhan yang begitu lembut… tapi intens.

"Kamu nggak lihat? Apa kamu pikir cuma kamu yang takut?" bisik Daniel. "Aku takut juga Nadia. Takut kehilangan kamu sebelum kita sempat mulai apa pun."

Nadia menelan ludah. "Daniel, cukup! Nanti orang bisa lihat kita."

"Biarkan saja" jawab Daniel singkat.

Kebetulan suasana kafe pagi itu masih sepi dan karyawan Nadia sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing sebelum ada pelanggan yang datang.

"Daniel, ada karyawanku juga disini. Please jangan kayak gini" ucap Nadia dengan nada pelan.

"Lalu apa masalahnya? Mereka masih sibuk sekarang. Mereka juga tahu kalau selama berbulan-bulan ini kita dekat dan mereka juga sudah mengenalku aku" jawab Daniel.

"Nanti kalau ada pelanggan datang, mereka bisa lihat kita. Nggak enak juga kan?" ucap Nadia.

"Biarin, biar mereka lihat. Salah kamu sendiri yang selalu menghindar dariku" ucap Daniel dengan nada menggoda.

"Daniel…" suara Nadia pelan dan bergetar.

Daniel semakin mempersempit jarak diantara mereka. "Kalau aku cium kamu sekarang, kamu bakal dorong aku?"

Nadia hanya diam dan menunduk tanpa menjawab apa pun.

Pertanyaan itu membuat jantung Nadia terasa seperti mau melompat. Rasa hangat menjalar dari perut ke seluruh tubuh. Nadia menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.

"Apa kamu bakal dorong aku kalau aku cium kamu sekarang?" bisik Daniel mengulangi pertanyaannya.

"Daniel, kamu nggak boleh nanya gitu," jawab Nadia dengan suara pelan dan napasnya berat.

"Kenapa? Karena kamu nggak yakin bisa bilang tidak?" ucap Daniel dengan nada menggoda.

Nadia menutup mata sepersekian detik. "Karena kamu bikin semuanya jadi nggak jelas."

Daniel tersenyum tipis. "Baik. Aku perjelas tolong dengarkan aku. Aku suka kamu, Nadia. Lebih dari yang seharusnya. Dan aku mau kamu tahu itu."

Nadia tertegun. Kata-kata itu seperti sesuatu yang ia impikan selama ini tapi tak berani dia sentuh.

"Tapi…" Daniel merendahkan suaranya, nada dalam dan menggoda itu kembali terasa. "Kalau kamu butuh waktu, aku bisa menunggu. Tapi aku nggak akan pura-pura nggak menginginkan kamu."

Nadia merasakan tubuhnya memanas. "Kamu selalu ngomong hal-hal yang…"

"Yang bikin kamu blushing?" Daniel memotong.

Nadia memalingkan wajah. "Kamu nyebelin."

Daniel tertawa kecil. "Tapi kamu suka kan?"

Nadia ingin sekali menyangkal. Tapi gemuruh di dadanya membocorkan kebenaran tentang apa yang ia rasakan selama ini.

Sebelum suasana makin panas, pintu kafe terbuka dan seorang pelanggan masuk. Nadia langsung menjauh, wajahnya memerah.

Daniel hanya tersenyum kecil, penuh kemenangan yang samar.

Pertarungan mereka belum selesai. Tapi kali ini… Nadia mulai kalah oleh perasaannya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Om Bule Kekasihku   Sentuhan Yang Belum Bernama

    Pagi di Ubud muncul dengan lembut, menyelinap lewat jendela rumah Nadia sebagai cahaya keemasan yang memantul di dinding. Nadia terbangun dengan kepala masih bersandar pada sofa. Selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Ia mengerjap pelan. Selimut itu bukan miliknya. Lalu ia mendengar suara samar dari dapur. Daniel. Lelaki itu berdiri membelakangi Nadia, masih dengan kaus putih tipis yang menempel di tubuhnya, sedikit berkerut karena semalaman basah hujan. Rambutnya yang belum sepenuhnya kering terlihat lebih acak, membuatnya tampak lebih muda dan… memikat. Nadia menelan ludah, merasakan jantungnya bergerak lebih cepat dari biasanya. Daniel mengen noticed her. Ia berbalik, tersenyum kecil. “Pagi, sleepyhead” sapa Daniel. Nadia memeluk dirinya sendiri, bingung tapi hangat. “Kamu… masih di sini?” ucap Nadia dengan nada pelan. “Hmm.” Daniel menunjuk pintu. “Hujan baru berhenti sekitar jam empat tadi. Aku tidak mau kamu bangun sendirian dengan pintu belakangmu yang semalam terbuka b

  • Om Bule Kekasihku   Malam Yang Membuka Pintu

    Pintu belakang yang tiba-tiba terbuka itu menciptakan desiran udara dingin menerpa punggung Nadia. Ia memegang lengan Daniel tanpa sadar, mencari keseimbangan. Daniel menatapnya dengan cemas, namun kebahagiaan halus juga tampak di matanya: untuk pertama kalinya, Nadia mencari perlindungan pada dirinya tanpa ragu. “Tidak apa-apa,” ucap Daniel lembut, jari-jarinya masih menyentuh bahu Nadia, memberi kehangatan. “Biar aku yang tutup pintunya.” Ia berjalan ke belakang, menutup pintu yang berderit pelan. Nadia memperhatikan punggung Daniel, postur tegap itu, cara ia mengamati ruangan untuk memastikan semuanya aman. Tidak ada laki-laki lain dalam hidupnya yang pernah sepeduli itu. Daniel kembali mendekat. “Kamu sering sendirian di rumah sebesar ini? Apa keluarga kamu tidak pernah kesini?” Nadia mengangguk pelan. “Tidak. Aku suka sepi.” Daniel tersenyum tipis. “Sama. Tapi malam ini… aku lega tidak kamu alami sendirian.” "Kalau boleh aku tahu, dimana keluargamu saat ini?" tanya D

  • Om Bule Kekasihku   Jarak Yang Semakin Tipis

    Langkah mereka menyusuri jalan kecil Ubud yang licin oleh hujan. Nadia berjalan di depan, Daniel beberapa langkah di belakang, sesuai janjinya, tidak memaksa, hanya menjadi bayangan pelindung yang diam, lembut, dan sangat sulit diabaikan. Setiap kali Nadia menoleh, Daniel selalu ada di sana. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Seperti ia tahu persis jarak yang tepat untuk membuat Nadia merasa aman dan tanpa mengekang. Ketika Nadia sampai di depan rumah kecilnya, sebuah lampu kuning temaram dari teras menerangi wajahnya. Ia menoleh ke Daniel yang berhenti di bawah pohon. “Terima kasih… sudah mengantar,” ucap Nadia, suaranya pelan tapi tulus. Daniel mengangguk. “Anytime.” Hujan turun lebih deras, membuat Nadia harus berteriak sedikit, “Kamu mau berteduh sebentar? Hujannya makin deras.” Daniel menatapnya lama. “Kamu yakin?” Nadia merasakan jantungnya melonjak. Pertanyaan itu sederhana, tetapi caranya mengucapkan begitu dalam, rendah, seperti memberinya kesempatan un

  • Om Bule Kekasihku    Degup Yang Tak Bisa Disembunyikan

    Hujan turun pelan malam itu, merembes dari atap jerami cafe dan jatuh seperti tirai tipis di depan pintu. Nadia menutup cafe lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa, hari itu terasa lebih berat baginya. Atau mungkin.. terlalu penuh dengan perasaan yang tidak ia pahami. Ia sedang mengunci pintu ketika sebuah payung hitam tiba-tiba terbuka di belakangnya. Daniel. Lelaki itu berdiri hanya satu langkah darinya, jaket kulitnya sedikit basah di bagian bahu, rambut cokelat terang itu terpercik hujan, membuatnya terlihat lebih dewasa, lebih maskulin, lebih… memabukkan. “Kamu pulang jalan kaki?” tanya Daniel, suaranya lembut tapi terdengar seperti teguran manis. Nadia menghindari tatapannya. “Iya. Rumahku tidak jauh dari sini.” Selama mereka dekat, Daniel belum pernah berkunjung kerumah Nadia. Daniel mendekat, menurunkan payung agar melindungi mereka berdua. “Aku antar.” Nadia menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa pulang sendiri”"Sekarang sedang

  • Om Bule Kekasihku   Kilatan Cemburu di Senja Ubud

    Senja turun pelan di Ubud. Cahaya oranye memantul pada kaca-kaca kecil jendela cafe Nadia, seperti lukisan yang belum selesai. Nadia berdiri di balik meja bar, berusaha mengatur napasnya yang sejak tadi tak karuan. Bukan karena pelanggan, bukan karena hari yang panjang, tapi karena Daniel. Lelaki itu duduk di meja luar, menatap layar kameranya sambil sesekali mengernyitkan dahinya, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Atau… seseorang. Nadia tahu ia harusnya mengabaikan Daniel. Konflik kecil mereka kemarin masih menggantung seperti kabut tipis: tajam tapi tak terlihat. Daniel ingin mengambil foto di area cafe tanpa izin, dan Nadia, yang perfeksionis soal privasi tempatnya langsung menegur dengan nada dingin. Dan sejak itu, percakapan diantara mereka terasa penuh jarak. Namun entah kenapa, hari ini pria bule itu datang lagi. Seperti sengaja mencari sesuatu atau seseorang. Nadia berusaha cuek, tapi matanya terus saja melirik ke arah Daniel. Dan ketika seorang perempuan

  • Om Bule Kekasihku   Ketika Hasrat Mulai Membawa Masalah

    Siang di Ubud mulai padat. Jalanan dipenuhi turis, suara motor bersahut‑sahutan, dan angin membawa aroma rempah dari warung sekitar. Di dalam kafe, suasananya tampak normal, pelanggan datang dan pergi, tapi hati Nadia masih belum tenang. Daniel, sebaliknya, terlihat sangat tenang. Bahkan terlalu tenang. Ia duduk di pojok ruangan dekat jendela sambil mengedit foto di laptopnya. Sesekali, ia mengangkat kepala dan menatap kearah Nadia, tatapan yang selalu berhasil membuat Nadia kehilangan fokus. Dan ia tahu Daniel melakukannya sengaja. Setelah pelanggan terakhir di jam makan siang pergi, suasana menjadi lebih hening. Ia meminta karyawannya untuk beristirahat sebentar. Nadia sedang membersihkan meja ketika suara kursi digeser membuatnya menoleh. "Nadia... " ucap Daniel pelan. "Apa? Kamu mau espresso? Sebentar" jawab Nadia tanpa menoleh, ia melanjutkan untuk membersihkan meja. Daniel berdiri, menyampirkan kamera di bahunya dan berjalan kearah Nadia, "Nadia, kita perlu ngomong sekara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status