Share

Chapter 2: Cinta Naya

Seluruh keluarga sudah mengetahui kabar perceraian Disya dan Devan—termasuk kelakukan gila Devan, serta rahasia yang pada akhirnya terkuak tentang siapa Ibu kandung Kai, pasalnya dulu Devan adalah lelaki yang sangat dingin, cuek, sama sekali seperti tidak tersentuh. Sepulangnya dari London, lelaki itu membawa seorang bocah yang diakui sebagai anak kandungnya, tapi Devan tidak pernah membicarakan tentang siapa dan bagaimana ibu kandung Kai sendiri.

Devan itu tidak pernah mengenalkan seorang perempuan kepada keluarga besar. Disya adalah perempuan pertama yang Devan kenalkan sebagai istrinya, gadis itu juga baik, dan sudah akrab dengan keluarga besar Ganendra. Jadi, tentu saja mereka sangat menyayangkan jika mereka berpisah. Tapi... itu adalah konsekuensi yang Devan harus terima.

Devan kembali menatap arlojinya, lalu menatap sekitar, menunggu kedatangan seseorang di Bandara. Senyumnya langsung merekah ketika kedua maniknya menemukan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tidak kalah lebar.

"Bang Dev!" Perempuan itu langsung berlari dan menghambur ke pelukan Devan, memeluk lelaki jangkung itu dengan erat.

"Hai!" Devan membalas pelukan perempuan itu dengan sangat erat, sembari tangan kanannya bergerak mengelus pucuk kepalannya dengan lembut. "Apa kabar, Nay?" lanjut Devan.

Naya mengangguk. "Baik."

"Abang masih tetep jadi tontonan orang-orang ya," cibir Naya menatap sekeliling. Beberapa orang—kebanyakan perempuan sedari tadi memperhatikan Devan, tentu saja dengan mata berbinar kagum karena sosok pria seperti Devan.

Hanya mengangkat bahunya acuh sebagai respon dari Devan, lelaki itu merangkul bahu Naya dan mengambil alih koper yang sedari tadi dibawa oleh adiknya itu, dan berjalan untuk menuju ke mobil meninggalkan tempat itu.

Naya masih terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melirik beberapa perempuan yang terpesona dengan Devan. "Abang mungkin keliatan kaya hot Duda gitu ya di mata mereka?"

Devan menggelang pelan, sambil menyentil pelan kepala Naya karena berkata seperti itu.

Naya baru tiba di Jakarta, setelah tiga tahun berdiam diri di Lampung.

"Abang ngga ke kantor?" tanya Naya saat keduanya sudah berada di dalam mobil.

"Hm."

"Kenapa?" tanya Naya dengan kening mengernyit bingung. Devan kan sangat gila kerja, apalagi semenjak bercerai dengan Disya, lelaki itu benar-benar sangat mengabdikan dirinya untuk pekerjaan.

"Karena kamu mau pulang. Abang ke kantor setelah mengantar kamu pulang."

Naya terperangah, detik berikutnya perempuan itu tersenyum geli. "Tumben!"

Devan hanya mengangkat bahunya acuh, kembali menatap jalanan dan fokus menyetir.

Setelah berpisah dengan Disya, Devan lebih bisa bersikap hangat.

***

Tepat pukul sembilan malam Devan tiba di kediaman kedua orang tuanya. Lelaki itu lebih banyak berubah sekarang, salah satunya dia sangat sering sekali berkunjung ke rumah orang tuanya.

"Sudah datang, Mah?" tanya Devan menghampiri Maya yang sedang duduk di sofa seorang diri dengan buku catatan di tangannya.

"Sudah, dari jam delapan kita sudah jalan pulang, Bang," jawab Maya.

Devan melingkarkan lengannya memeluk pinggang Maya, menatap buku catatan bersampul navy yang sedari tadi dikerjai oleh Mamahnya itu. "Mamah sedang apa?" tanya Devan

"Mencatat beberapa tamu undangan yang akan hadir di acara ulang tahun papahmu."

Devan mengangguk. "Apa Papah minta untuk dirayakan?"

"Kamu seperti tidak tahu papahmu saja dia sangat suka pesta," kata Maya sembari menyimpan buku catatan itu di atas meja.

Devan lagi-lagi mengangguk. "Naya bagaimana?"

"Dia ada di kamar... Naya selalu bilang bahwa dirinya baik-baik saja padahal Mamah tahu dia tidak seperti itu," adu Maya sembari menyenderkan kepalanya di dada putra sulungnya. "Naya juga akan kembali ke Lampung," lanjut Maya sedih.

Tujuan Naya kembali ke kota ini adalah untuk menghadiri pernikahan Nathan—mantan tunangannya. Setelah Devan bercerai dengan Disya, Naya benar-benar serius dengan rencananya untuk tinggal di Lampung dengan alih-alih menemani Omanya yang ada di sana. Ini adalah kali pertama Naya kembali setelah tiga tahun ini meninggalkan kota kelahirannya.

Setelah tadi pukul sembilan Naya baru sampai di rumah, malamnya langsung menghadiri acara pernikahan Nathan dan Zara. Devan tidak bisa hadir ke acara resepsi pernikahan Nathan karena ada urusan pekerjaan yang benar-benar tidak bisa dia tinggalkan begitu saja.

Saat baru memasuki kamar adiknya, pandangan Devan lagsung tertuju kepada pintu balkon yan terbuka sudah bisa ditebak jika Naya ada di sana. Kedua kakinya melangkah, dan benar saja dugaannya, Naya sedang duduk di salah satu bean bag di sana, adiknya terlihat sedang melamun.

"Kenapa harus kembali ke Lampung?"

Perempuan yang sedang duduk di sana seperti tersadar dari lamunannya"... hanya ingin," jawab Naya seadanya.

Devan menatap adiknya lekat. "Are you oke?"

Naya memutar bola matanya malas, kalau dihitung-hitung rasanya sudah puluhan kali seseorang menanyakan hal yang sama seperti itu. "Aku malas jawabnya. Abang tahu, Abang adalah orang yang ke seribu yang nanyain keadaan aku," jawab Naya yang sebenarnya melebih-lebihkan ucapannya.

Devan masih diam menatap adiknya, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Naya.

Naya tersenyum lebar. "Aku baik, Bang. Ini pilihan hidupku, lihat Kak Nathan sekararang, dia juga bahagia sama Kak Zara. Kita memang nggak berjodoh...." Naya mendekatkan tubuhnya dengan Devan, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Devan, lalu menyenderkan kepala di dada lelaki itu.

Membalas pelukan Naya, mengecup pelan pucuk kepala adiknya sayang. "Padahal Abang setuju banget kalau kamu sama Nathan, bukan hanya Abang, tapi Mamah, Papah, bahkan seluruh keluarga besar sangat setuju...."

"Namanya juga belum jodoh, Bang."

Keheningan menyelimuti keduanya. Udara malam kali ini terasa dingin, rembulan penuh juga terlukis di langit gelap ditemani bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. "Masuk dan segera tidur, ini sudah malam, di luar juga sangat dingin," kata Devan setelah cukup lama terdiam.

Naya melepaskan pelukannya, mendongak menatap wajah Devan lalu menyungginkan senyum geli. "Sekarang Abang perhatian banget sama Nay? Trus biasanya kalau ngobrol sama Nay, selalu manggil diri Abang dengan embel-embel saya, kok jadi tiba-tiba kaya gini?"

"Kamu adik Abang, Nay."

"Yang bilang kita rekan kerja siapa emang?" cibir Naya.

"...."

Naya tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ditinggalin Disya berpengaruh besar banget ya buat Abang?"

"Ada banyak hal yang harus kita syukuri keberadaanya, sebelum pergi, dan pada akhirnya kita menyesal karena terlambat menyadari bahwa hal itu berharga, sekecil apa pun."

"Harusnya Abang menikahi Disya bukan karena mau balas dendam—" Naya menghentikan ucapanya karena Devan menatapnya seolah tidak terima dengan apa yang dikatakannya. "Apa ucapanku salah?"

"Kata-katamu terlalu kasar—balas dendam? Apa tidak ada kalimat yang lebih halus dari itu?"

Naya terlihat memutar bola matanya jengah. "Tidak! Abang tuh yang dari awal salah, harusnya Abang nggak usah nikahin Disya kalau niatnya cuman balas dendam. Dan, harusnya kalau Abang mau balas dendam ke Mba Naisya aja langsung jangan Disya yang nggak tahu apa-apa malah dijadiin korban. Harusnya Abang bersyukur punya istri kaya Disya, ini bisa-bisanya selingkuh sama orang yang udah ninggalin Abang—" Naya memejamkan matanya, membuang napas kasar, dengan tujuan meredakan emosinya. Devan paham betul begitu kecewanya semua keluarga besar setelah mengetahui semuanya

"Sudahlah, berhenti membahas masalah ini," lanjut Naya.

"Nasi sudah menjadi bubur, Abang sangat menyesal. Karma sudah menimpa Abang Nay, Disya pergi, bahkan calon buah hati kami pergi tanpa Abang tahu kehadirannya."

Naya kembali menatap Devan, raut wajah lelaki itu sangat terlihat menyedihkan. "Maaf," lirih Naya merasa bersalah karena membuat Devan kembali bersedih. Disya benar-benar pergi meninggalkan Devan. Walaupun apa yang terjadi memang sudah menjadi konsekuensi yang harus Devan dapat, tapi Naya juga merasa kasihan.

"Daddy!"

Devan dan Naya serempak menatap ke arah sumber suara. Bocah lelaki terlihat berlari ke arah mereka dengan membawa sebatang cokelat yang sudah habis setengah.

"Hi Kai!" Naya menyambut kehadiran keponakannya dengan wajah sumringah. Bocah itu balas menampilkan senyumnya, mengecup pelan pipi kanan Naya. "Sudah jalan-jalannya?" tanya Naya.

Kai mengangguk. "Sangat seru!" komentarnya. Mengalihkan pandangan untuk menatap Devan. "Mommy masih ada di bawah, lagi ngobrol sama Oma," lanjutnya.

"...." Devan tidak bersuara, keningnya mengkerut bingung. tumben sekali Disya masuk ke dalam rumah dan duduk mengobrol dengan Maya? Ya walaupun hubungan pernikahan mereka berakhir, tapi Kai dan Disya masih tetap berhubungan baik, sering sekali Kai menginap di rumah Disya, atau mereka berdua, beserta keluarga Disya pergi untuk jalan-jalan ke suatu tempat. Begitu juga dengan hari ini, Kai baru kembali setelah Disya beserta keluarga besarnya mengajak Kai ke sebuah pantai. Disya pasti langsung pergi setelah mengantar Kai kembali ke rumah, bukan tanpa alasan, tapi karena Samudra mengantarnya, dan sepertinya lelaki itu tidak ingin dan tidak mengijinkan Disya bertemu dengan Devan. Tapi, kenapa malam ini berbeda? Disya mengobrol dengan Maya? Apa dia tidak tahu jika Devan sedang ada di rumah Mamahya?

"Ah! Ada Om Sam juga di bawah," lanjut Kai.

"Om Sam?" Devan membeo.

"Iya, Om Sam. Daddy nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi, sambil melanjutkan memakan coklat yang dipegangnya.

Naya melirik Devan yang memasang wajah terkejut. "Aunty Nay, juga ke bawah ayo. emang nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi yang membuat Naya kembali menatap ke arah bocah itu. Kai berdiri, menarik lengan Naya dan Devan agar berdiri dari duduknya.

"Tidak... Aunty di sini saja, ya...." Suara Naya tergagap.

Kai mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa? Sudah lama kan tidak ketemu dengan Mommy?"

Devan menangkap gelagat aneh dari tingkah adik satu-satunya itu. Walaupun sedari tadi Devan menemui Nesa bisa menangkap raut sedih dari perempuan itu, tapi kali ini seperti wajah ketakutan. Devan bertanya-tanya tentu saja.

"Kalian duluan saja turun ke bawah, Aunty Nay, nanti nyusul ya... "Pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Nesa.

Setelah menganggukkan kepalanya menejawab pernyataaan Naya, Kai menarik tangan Devan untuk menemui Disya yang berada di ruang tengah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status