Seluruh keluarga sudah mengetahui kabar perceraian Disya dan Devan—termasuk kelakukan gila Devan, serta rahasia yang pada akhirnya terkuak tentang siapa Ibu kandung Kai, pasalnya dulu Devan adalah lelaki yang sangat dingin, cuek, sama sekali seperti tidak tersentuh. Sepulangnya dari London, lelaki itu membawa seorang bocah yang diakui sebagai anak kandungnya, tapi Devan tidak pernah membicarakan tentang siapa dan bagaimana ibu kandung Kai sendiri.
Devan itu tidak pernah mengenalkan seorang perempuan kepada keluarga besar. Disya adalah perempuan pertama yang Devan kenalkan sebagai istrinya, gadis itu juga baik, dan sudah akrab dengan keluarga besar Ganendra. Jadi, tentu saja mereka sangat menyayangkan jika mereka berpisah. Tapi... itu adalah konsekuensi yang Devan harus terima.Devan kembali menatap arlojinya, lalu menatap sekitar, menunggu kedatangan seseorang di Bandara. Senyumnya langsung merekah ketika kedua maniknya menemukan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum tidak kalah lebar."Bang Dev!" Perempuan itu langsung berlari dan menghambur ke pelukan Devan, memeluk lelaki jangkung itu dengan erat."Hai!" Devan membalas pelukan perempuan itu dengan sangat erat, sembari tangan kanannya bergerak mengelus pucuk kepalannya dengan lembut. "Apa kabar, Nay?" lanjut Devan.Naya mengangguk. "Baik.""Abang masih tetep jadi tontonan orang-orang ya," cibir Naya menatap sekeliling. Beberapa orang—kebanyakan perempuan sedari tadi memperhatikan Devan, tentu saja dengan mata berbinar kagum karena sosok pria seperti Devan.Hanya mengangkat bahunya acuh sebagai respon dari Devan, lelaki itu merangkul bahu Naya dan mengambil alih koper yang sedari tadi dibawa oleh adiknya itu, dan berjalan untuk menuju ke mobil meninggalkan tempat itu.Naya masih terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melirik beberapa perempuan yang terpesona dengan Devan. "Abang mungkin keliatan kaya hot Duda gitu ya di mata mereka?"Devan menggelang pelan, sambil menyentil pelan kepala Naya karena berkata seperti itu.Naya baru tiba di Jakarta, setelah tiga tahun berdiam diri di Lampung."Abang ngga ke kantor?" tanya Naya saat keduanya sudah berada di dalam mobil."Hm.""Kenapa?" tanya Naya dengan kening mengernyit bingung. Devan kan sangat gila kerja, apalagi semenjak bercerai dengan Disya, lelaki itu benar-benar sangat mengabdikan dirinya untuk pekerjaan."Karena kamu mau pulang. Abang ke kantor setelah mengantar kamu pulang."Naya terperangah, detik berikutnya perempuan itu tersenyum geli. "Tumben!"Devan hanya mengangkat bahunya acuh, kembali menatap jalanan dan fokus menyetir.Setelah berpisah dengan Disya, Devan lebih bisa bersikap hangat.***Tepat pukul sembilan malam Devan tiba di kediaman kedua orang tuanya. Lelaki itu lebih banyak berubah sekarang, salah satunya dia sangat sering sekali berkunjung ke rumah orang tuanya."Sudah datang, Mah?" tanya Devan menghampiri Maya yang sedang duduk di sofa seorang diri dengan buku catatan di tangannya."Sudah, dari jam delapan kita sudah jalan pulang, Bang," jawab Maya.Devan melingkarkan lengannya memeluk pinggang Maya, menatap buku catatan bersampul navy yang sedari tadi dikerjai oleh Mamahnya itu. "Mamah sedang apa?" tanya Devan"Mencatat beberapa tamu undangan yang akan hadir di acara ulang tahun papahmu."Devan mengangguk. "Apa Papah minta untuk dirayakan?""Kamu seperti tidak tahu papahmu saja dia sangat suka pesta," kata Maya sembari menyimpan buku catatan itu di atas meja.Devan lagi-lagi mengangguk. "Naya bagaimana?""Dia ada di kamar... Naya selalu bilang bahwa dirinya baik-baik saja padahal Mamah tahu dia tidak seperti itu," adu Maya sembari menyenderkan kepalanya di dada putra sulungnya. "Naya juga akan kembali ke Lampung," lanjut Maya sedih.Tujuan Naya kembali ke kota ini adalah untuk menghadiri pernikahan Nathan—mantan tunangannya. Setelah Devan bercerai dengan Disya, Naya benar-benar serius dengan rencananya untuk tinggal di Lampung dengan alih-alih menemani Omanya yang ada di sana. Ini adalah kali pertama Naya kembali setelah tiga tahun ini meninggalkan kota kelahirannya.Setelah tadi pukul sembilan Naya baru sampai di rumah, malamnya langsung menghadiri acara pernikahan Nathan dan Zara. Devan tidak bisa hadir ke acara resepsi pernikahan Nathan karena ada urusan pekerjaan yang benar-benar tidak bisa dia tinggalkan begitu saja.Saat baru memasuki kamar adiknya, pandangan Devan lagsung tertuju kepada pintu balkon yan terbuka sudah bisa ditebak jika Naya ada di sana. Kedua kakinya melangkah, dan benar saja dugaannya, Naya sedang duduk di salah satu bean bag di sana, adiknya terlihat sedang melamun."Kenapa harus kembali ke Lampung?"Perempuan yang sedang duduk di sana seperti tersadar dari lamunannya"... hanya ingin," jawab Naya seadanya.Devan menatap adiknya lekat. "Are you oke?"Naya memutar bola matanya malas, kalau dihitung-hitung rasanya sudah puluhan kali seseorang menanyakan hal yang sama seperti itu. "Aku malas jawabnya. Abang tahu, Abang adalah orang yang ke seribu yang nanyain keadaan aku," jawab Naya yang sebenarnya melebih-lebihkan ucapannya.Devan masih diam menatap adiknya, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Naya.Naya tersenyum lebar. "Aku baik, Bang. Ini pilihan hidupku, lihat Kak Nathan sekararang, dia juga bahagia sama Kak Zara. Kita memang nggak berjodoh...." Naya mendekatkan tubuhnya dengan Devan, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Devan, lalu menyenderkan kepala di dada lelaki itu.Membalas pelukan Naya, mengecup pelan pucuk kepala adiknya sayang. "Padahal Abang setuju banget kalau kamu sama Nathan, bukan hanya Abang, tapi Mamah, Papah, bahkan seluruh keluarga besar sangat setuju....""Namanya juga belum jodoh, Bang."Keheningan menyelimuti keduanya. Udara malam kali ini terasa dingin, rembulan penuh juga terlukis di langit gelap ditemani bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. "Masuk dan segera tidur, ini sudah malam, di luar juga sangat dingin," kata Devan setelah cukup lama terdiam.Naya melepaskan pelukannya, mendongak menatap wajah Devan lalu menyungginkan senyum geli. "Sekarang Abang perhatian banget sama Nay? Trus biasanya kalau ngobrol sama Nay, selalu manggil diri Abang dengan embel-embel saya, kok jadi tiba-tiba kaya gini?""Kamu adik Abang, Nay.""Yang bilang kita rekan kerja siapa emang?" cibir Naya."...."Naya tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ditinggalin Disya berpengaruh besar banget ya buat Abang?""Ada banyak hal yang harus kita syukuri keberadaanya, sebelum pergi, dan pada akhirnya kita menyesal karena terlambat menyadari bahwa hal itu berharga, sekecil apa pun.""Harusnya Abang menikahi Disya bukan karena mau balas dendam—" Naya menghentikan ucapanya karena Devan menatapnya seolah tidak terima dengan apa yang dikatakannya. "Apa ucapanku salah?""Kata-katamu terlalu kasar—balas dendam? Apa tidak ada kalimat yang lebih halus dari itu?"Naya terlihat memutar bola matanya jengah. "Tidak! Abang tuh yang dari awal salah, harusnya Abang nggak usah nikahin Disya kalau niatnya cuman balas dendam. Dan, harusnya kalau Abang mau balas dendam ke Mba Naisya aja langsung jangan Disya yang nggak tahu apa-apa malah dijadiin korban. Harusnya Abang bersyukur punya istri kaya Disya, ini bisa-bisanya selingkuh sama orang yang udah ninggalin Abang—" Naya memejamkan matanya, membuang napas kasar, dengan tujuan meredakan emosinya. Devan paham betul begitu kecewanya semua keluarga besar setelah mengetahui semuanya"Sudahlah, berhenti membahas masalah ini," lanjut Naya."Nasi sudah menjadi bubur, Abang sangat menyesal. Karma sudah menimpa Abang Nay, Disya pergi, bahkan calon buah hati kami pergi tanpa Abang tahu kehadirannya."Naya kembali menatap Devan, raut wajah lelaki itu sangat terlihat menyedihkan. "Maaf," lirih Naya merasa bersalah karena membuat Devan kembali bersedih. Disya benar-benar pergi meninggalkan Devan. Walaupun apa yang terjadi memang sudah menjadi konsekuensi yang harus Devan dapat, tapi Naya juga merasa kasihan."Daddy!"Devan dan Naya serempak menatap ke arah sumber suara. Bocah lelaki terlihat berlari ke arah mereka dengan membawa sebatang cokelat yang sudah habis setengah."Hi Kai!" Naya menyambut kehadiran keponakannya dengan wajah sumringah. Bocah itu balas menampilkan senyumnya, mengecup pelan pipi kanan Naya. "Sudah jalan-jalannya?" tanya Naya.Kai mengangguk. "Sangat seru!" komentarnya. Mengalihkan pandangan untuk menatap Devan. "Mommy masih ada di bawah, lagi ngobrol sama Oma," lanjutnya."...." Devan tidak bersuara, keningnya mengkerut bingung. tumben sekali Disya masuk ke dalam rumah dan duduk mengobrol dengan Maya? Ya walaupun hubungan pernikahan mereka berakhir, tapi Kai dan Disya masih tetap berhubungan baik, sering sekali Kai menginap di rumah Disya, atau mereka berdua, beserta keluarga Disya pergi untuk jalan-jalan ke suatu tempat. Begitu juga dengan hari ini, Kai baru kembali setelah Disya beserta keluarga besarnya mengajak Kai ke sebuah pantai. Disya pasti langsung pergi setelah mengantar Kai kembali ke rumah, bukan tanpa alasan, tapi karena Samudra mengantarnya, dan sepertinya lelaki itu tidak ingin dan tidak mengijinkan Disya bertemu dengan Devan. Tapi, kenapa malam ini berbeda? Disya mengobrol dengan Maya? Apa dia tidak tahu jika Devan sedang ada di rumah Mamahya?"Ah! Ada Om Sam juga di bawah," lanjut Kai."Om Sam?" Devan membeo."Iya, Om Sam. Daddy nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi, sambil melanjutkan memakan coklat yang dipegangnya.Naya melirik Devan yang memasang wajah terkejut. "Aunty Nay, juga ke bawah ayo. emang nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi yang membuat Naya kembali menatap ke arah bocah itu. Kai berdiri, menarik lengan Naya dan Devan agar berdiri dari duduknya."Tidak... Aunty di sini saja, ya...." Suara Naya tergagap.Kai mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa? Sudah lama kan tidak ketemu dengan Mommy?"Devan menangkap gelagat aneh dari tingkah adik satu-satunya itu. Walaupun sedari tadi Devan menemui Nesa bisa menangkap raut sedih dari perempuan itu, tapi kali ini seperti wajah ketakutan. Devan bertanya-tanya tentu saja."Kalian duluan saja turun ke bawah, Aunty Nay, nanti nyusul ya... "Pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Nesa.Setelah menganggukkan kepalanya menejawab pernyataaan Naya, Kai menarik tangan Devan untuk menemui Disya yang berada di ruang tengah.***Disya menekuk bibirnya main-main, berpura-pura kesal ketika membuka kotak kecil yang diberikan oleh suaminya. "Kenapa? Kamu tidak menyukainya, Sya?" tanya Devan, kembali memperhatikan raut wajah istrinya yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi bahagia. "Pak Devan tahu hadiah kecil ngga sih?" tanya Disya sedikit ketus. "Ini kecil, Sya—" "Ya ini harganya mahal banget pasti, bukan ratusan ribu lagi!" Devan membasahi bibirnya, lalu meraih kedua tangan Disya untuk digenggamnya. "Saya bingung ingin memberikan kamu apa, jadi saya membelikan ini—" Satu tangannya bergerak untuk menyentuh hidung Disya dengan jari telunjuknya. "Hey! Tapi tetap saja tidak baik menolak hadiah dari siapapun, Sya." Kembali mencebikkan bibirnya, Disya pada akhirnya mengangguk, menerima hadiah itu. Bentuknya memang kotak kecil tetapi harganya cukup fantastis—itu bukan ketentuannya, kesepakatannya tidak seperti itu. Jadi, beberapa hari yang lalu Disya menyarankan untuk bertukar hadiah. Perempuan itu s
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan